16 | Let's just get married!
Tidak sulit mengajak Teh Denia untuk ikut denganku melihat pameran butik Laras. Sepaket dengan Faisal yang tidak akan mungkin membiarkan istrinya berjalan-jalan ke luar kota sendirian, terlebih dalam kondisi hamil. Sepulang dari rumah Mirza, aku langsung menelepon mereka. Sudah lama juga mereka tidak main ke tempatku setelah terakhir kali akulah yang ke Bandung dan mengunjungi mereka.
Dan, di Minggu pagi, usai memastikan Teh Denia dan Faisal sudah dalam perjalanan, sambil beres-beres, aku bertelepon dengan Mirza yang katanya akan menjemputku.
"Masih ingat kan jalan ke tempat saya?" candaku sambil menjemur pakaian.
"Masih, lah, Nis!" Mirza terkekeh. "Acaranya jam berapa, sih?"
"Acaranya tuh sore. Tapi kita makan siang di luar aja. Teman saya udah berangkat dari tadi, takutnya mereka yang malah nungguin. Capek-capek dari Bandung, masih disuruh nunggu juga. Kan enggak lucu."
"Heum ... oke. Saya harus pakai baju apa? Bakalan ke mana aja? Ngapain juga?"
"Ih, biasa aja, Mirza!" Aku tidak bisa menahan kekehanku. "Kayak kalau mau hangout aja. Santai."
"Oke. Terus, teman kamu itu tipikal yang gimana?" tanya Mirza lagi dengan serius. "Dia orangnya santai nggak? Lebih tua dari kita atau sebaya? Sosok orang tua atau masih pasangan yang baru nikah, gitu?"
Kali ini aku semakin tidak bisa menahan perasaan gemasku. Mirza tidak kedengaran khawatir ataupun tidak percaya diri. Hanya saja, jelas sekali kalau dia ingin menyesuaikan semuanya. Yah ... iya juga, sih, Mirza memang pandai menyesuaikan diri. Aku sangat mengaguminya soal ini sampai sekarang. Tapi setelah cukup lama bersamanya, aku selalu ingin kalau Mirza sendiri yang punya keinginan alih-alih menuruti apa yang ada.
"Nis...."
"Enggak usah dipikirin. Cukup jadi kamu aja," Aku menarik napasku dalam-dalam. "Kamu yang sama saya ... saya yang temannya mereka." Beberapa detik, aku tidak mendengar suara Mirza. "Cukup jadi kamu aja, Mirza...." Sekali lagi aku menekankan.
"Makasih ya...."
Aku tidak tahu pasti apa yang Mirza alami kenapa ia bisa jadi seperti itu. Apa mungkin sejak kecil dia terbiasa diarahkan orangtuanya dalam banyak hal? Atau mungkin, apa bersama Laras dulu, perempuan itu banyak mengaturnya? Ah, kenapa aku masih saja terganggu dengan perempuan itu setelah tahu kesulitan yang sedang dialaminya?
"Oh iya, kamu mau pakai baju apa? Yang kayak gimana?" Aku teringat permintaan Mirza tempo hari. Sekarang, biar aku yang menyesuaikannya.
"Bagusnya yang gimana?" tanya Mirza. "Kamu sempat lihat lemari saya nggak, sih, waktu ke sini?"
Pertanyaan Mirza mendadak membuatku canggung. Kedengarannya terlalu privasi. Ya ... memang, aku melihat beberapa pakaiannya yang digantung rapi berjajar. Hanya beberapa pakaian formal dan selebihnya pakaian yang bisa dipakainya bepergian santai dan kerja sekaligus mengingat pekerjaannya yang juga bernuansa santai dan menyenangkan khas anak muda.
"Uhm ... yang gimana aja. Bagus kok buat bepergian santai gini," jawabku diplomatis. "Saya nanya tuh karena mau menyesuaikan sama yang kamu pakai. Kali aja ada yang lebih spesifik."
"Ya Allah...." Meski samar, aku bisa mendengar Mirza berseru. Lelaki itu pasti menjauhkan ponselnya. Apa mengikuti kemauannya seperti ini, lengkap dengan aku yang menyesuaikannya, itu menyenangkan untuknya?
"Halo ... saya masih di sini loh, Mirza!"
"Hahaha ... maaf, maaf." Suara Mirza kembali terdengar lebih dekat. "Kemarin kemarin kalau keluar bareng enggak pernah jomplang. Enggak usah janjian aja deh kalau gitu," kata Mirza.
"Beneran?" Aku memastikannya lagi. "Kayaknya kemarin ada yang bilang mau janjian pakai pakaian senada."
"Nis, udah ah!"
Aku bisa merasakan kalau Mirza tengah malu sampai aku sendiri menutup muka membayangkannya. "Jam tangannya...."
"Udah!" Mirza menghentikanku.
"Saya mau nge-post kamu di Instagram boleh nggak?"
"Heh!"
Fakta bahwa usia kami yang tidak lagi begitu muda untuk urusan merah jambu seperti ini, kami masih bisa melakukan hal-hal kecil dan sepele yang bagi kami masih saja menyenangkan betapapun kami serius menjalani hubungan ini. Kalau boleh, aku ingin ini berlangsung lama dan seterusnya, selamanya. Mungkin ini terkesan berlebihan, tapi aku sungguh-sungguh soal ini.
Mulai dari mencari nama pengguna Mirza di media sosial yang sebelumnya sekadar kuintip di awal perkenalan kami, mengikutinya, sampai diprotesi karena aku benar mengunggah gambar lengannya yang juga memakai jam tangan persis seperti yang diberikannya padaku. Mirza tidak pandai menyembunyikan perasaan malunya, sampai-sampai ia cerewet dengan raut wajah yang juga kentara jujur sekali. Aku senang melihat dan mendengarkannya dalam situasi ini. Seperti sedang disuguhkan sisi lain Mirza yang juga heboh di balik ketenangannya yang luar biasa.
"Kalau kamu nggak nyaman, nggak suka, biar saya hapus aja," Aku sungguh ingin memastikannya.
"Bukan gitu. Cuman, ya ... nggak biasa aja."
"Tapi senang nggak?"
Mirza mengatupkan mulut menahan senyumnya, kembali fokus ke jalanan. "Kalau kamu senang, saya juga," pungkasnya. "Cukup jadi kamu aja."
Berkaca dari apa yang aku inginkan dari Mirza untuk tetap menjadi dirinya alih-alih menyesuaikan, sepertinya sekali-kali seperti ini tidak masalah. Lagi pula, aku sedang tidak menjadi orang lain sekalipun sedang dalam berusaha menuruti keinginan Mirza dengan caraku sendiri. "Setelah dipikir-pikir, menyesuaikan diri sama pasangan tuh enggak seburuk itu."
"Pasangan?" ledek Mirza berbalik membalasku. "Selamanya kita tuh bakalan terus menyesuaikan. Sekalipun punya banyak kemiripan, suka hal-hal yang sama, tetap bakalan ada penyesuaian. Emosi kita enggak akan selalu dalam kondisi baik."
"Yang penting saling pengertian, kan?" Aku melanjutkan, yang langsung diangguki Mirza. "Penerimaan satu sama lain juga."
"I knew right from the start that you were sweet and smart."
"Masa, sih?" tanyaku sambil menyembunyikan malu. Sudah lama tidak dipuji orang terkasih-lebih tepatnya lagi sudah lama tidak punya orang terkasih. "From the start?"
"Hu'um," Mirza mengangguk yakin, menoleh padaku sekilas dengan senyumnya. "Gimanapun beratnya yang lagi dilewatin, apa yang udah dilaluin, orang enggak akan menanggalkan karakter aslinya sepenuhnya. Enggak ada waktu buat menipu, enggak sempat juga buat bersiasat."
"Bisa jadi juga lupa buat berpura-pura," Napasku terhela mengingat semua yang sudah kulewati. Dengan membiarkan semuanya berjalan, pun aku yang tetap melangkah, mungkin itu yang tidak mengubahku banyak. "Enggak tahu caranya."
"Ngapain harus pura-pura, sih?" Mirza tertawa kecil, mengangkat tangannya, namun refleks menurunkannya dan beralih mengambil botol minumnya begitu aku melihatnya.
Sejenak aku tercengang, kemudian tertawa melihat tangannya yang canggung membuka tutup botol. "Kamu tahu nggak, tempo hari Laras nanyain, saya sama kamu udah ngapain aja," ceritaku yang langsung membuatnya menahan minumnya dengan pipi mengembung dan mata melebar.
"Terus kamu jawab apa?" tanyanya sambil menyerahkan tiket parkir.
"Uhm ... nggak, ah. Nanti kalau saya ceritain malah tambah suka," candaku yang membuat Mirza tertawa. "Mungkin dia cemburu sebagai perempuan yang pernah sama kamu. Mungkin juga dia ingin tahu, sebagai sepupu sekaligus teman kamu. Atau bisa jadi, dia khawatir, perempuan kayak gimana yang jalan sama kamu setelahnya."
"Sebagai?" tanya Mirza sambil menegakkan duduknya, menajamkan pandangannya untuk menemukan tempat parkir.
"Gimanapun, kalian pernah bareng-bareng dan sedekat itu," kataku pelan. "Sebagai apa pun itu."
Mirza menarik napasnya dalam-dalam, dengan cekatan memarkir mundur mobilnya.
"Baik banget, sih, kamu, Mirza," ucapku yang kini justru membuatnya tercengang. "Kok bisa...." Suaraku kian memelan.
"Tiba-tiba banget. Kenapa?" tanyanya, meminum air mineralnya lagi yang sisa setengah botol.
"Lagi nyetir, macet, sibuk cari parkir, dan aku ngomong terus. Ngomongin sesuatu yang pastinya menyebalkan juga. Tapi raut wajah kamu nggak berubah, cara kamu nyetir juga biasa aja. Yang paling penting, kamu enggak marah dan kesal juga. Tetap sahutin aku kayak biasa."
Mirza kali ini benar-benar tertawa. "Lagi dong!" pintanya yang aku belum tahu apa. "Aku. Bukan saya," katanya yang sama sekali tidak memberiku jawaban atas keingintahuanku.
"Kirain apaan. Seberpengaruh itu?"
"Kamu mau tahu nggak, dulu aku sama Laras kayak gimana dan ngapain aja?" tanya Mirza, lagi-lagi tidak menjawab pertanyaanku yang memang tidak perlu dijawab. Gantian aku yang merasa lain karena Mirza juga mengganti 'saya'-nya yang menurutku bagian dari personanya, menjadi 'aku' yang terasa lebih dekat.
"Enggak mau tahu," kataku seraya membuka pintu mobil.
"If we both aren't married by 30, let's just get married." Perkataan Mirza menahan langkahku. "Hubungan kami tipikal yang seperti itu."
Aku mengembuskan napasku kasar, memalingkan wajahku ke pintu yang sudah dibuka. "But she's married, first."
"At 30 something."
Situasi mereka tergambar jelas di bayanganku. Aku seperti melihat diriku dan Kak Ajun dulu yang tanpa sadar juga dalam situasi yang sama. Aku yang menjalin hubungan dengan berbagai macam pria, sementara Kak Ajun yang tidak punya waktu untuk itu. Aku yang penuh ragu, serta Kak Ajun yang tidak pernah tahu. Kami berada dalam akhir yang sama, berada di ujung tombak yang juga sama.
"Kamu ... baik-baik aja?" Aku tidak mau tenggelam dalam bayang-bayang hubunganku dengan Kak Ajun yang tidak seharusnya diperbandingkan dengan hubungan Mirza dan Laras. Sebagai orang dalam posisi yang sama-sama ditinggalkan, yang Mirza alami lebih sulit dariku. Ditinggalkan atas keputusan orang itu sendiri, bukan karena Sang Pencipta yang mengambilnya, yang tidak akan bisa dilawan. "Bilang aku kalau kamu lagi ngerasa nggak baik-baik aja."
"Udah lewat, Nis," Mirza menarik napasnya dalam-dalam, mengembuskannya pelan dengan akhir senyumnya yang terukir. "Aku lewatin itu dulu sebelum akhirnya ketemu kamu. Itu beneran udah lewat. Makanya aku biasa aja. Kadang-kadang ada pengaruhnya sih, kepikiran juga. Is she okay? Is she happy?" Mirza menggeleng, menaikkan bahunya. "Kalau lagi sendiri dan cemas, di situasi yang butuh teman, bukan nggak mungkin kepikiran itu. Biasanya aku datang konsul tanpa janjian, ceritain semuanya."
"Terus ...?" Aku teringat situasi Laras sekarang. She's not okay, she's unhappy.
"Aku ketemu kamu, mulai terbuka sama kamu dan sebaliknya juga kamu. Dapat respons yang baik. Itu lebih dari cukup."
Kesenangan kami sejak pagi tadi berganti haru biru. Sampai kapan pun, apa yang sudah kami lewati di masa lampau akan selalu terbawa sejauh apapun kami melangkah. Bagaimanapun kami meninggalkannya, membiarkan itu berlalu, menanggalkannya adalah mustahil.
"Tapi aku beneran suka sama kamu loh, Nis. Bukan cuma karena butuh kamu buat mengalihkan itu," Mirza menjelaskan. "Semoga kamu nggak mikir gitu."
"Enteng banget, Pak, ngomongnya. Kayak udah biasa." Aku cukup heran dengan Mirza yang sangat lancar ber-aku-kamu sejak aku memulainya. Juga ... apa yang diucapkannya, aku sama sekali tidak terpikirkan itu.
"Apanya?"
"Enggak," Aku tidak mau memperpanjangnya. "Tolong cerita kalau kamu lagi nggak baik-baik aja. Atau tiba-tiba kamu ingat dia, ingin tahu kabarnya, apa pun perasaan kamu soal dia. Di posisi aku sekarang, kedengarannya aku kayak orang bodoh. Tapi aku serius soal itu," kataku yakin. "Aku juga bakalan kayak gitu ke kamu. Uhm-"
"Let's just get married." Ucapan Mirza sama sekali tidak mengejutkanku. "We both aren't married with someone who has 'If we both aren't married by 30, let's just get married' kind of relationship with each of us. No matter what, however, but, let's get married?!"
Mulutku terkatup sementara aku memperhatikannya yang menunggu jawabanku. Aku tahu, cepat atau lambat hubungan kami akan tiba di sini.
"Nis...."
"Perasaan kamu gimana habis bilang gitu?"
"Rengganis...."
"Aku serius," pintaku sebenarnya. Sejenak aku teralih untuk menyalakan ponsel yang dari tadi kuabaikan setelah bergetar berkali-kali, menunjukkan pemberitahuan pesan dari Lembayung. "Kamu mau ceklis hal lain dari daftar keinginan yang kamu bilang kemarin nggak?" tanyaku, mematikan layar ponselku lagi. "Ketemu adik sepupuku, gitu?"
"Jawab dulu," kata Mirza, enggan menanggapi pertanyaanku. "Will you marry me?"
Tawaku pecah. "Aku senang deh kamu punya keinginan sendiri juga, enggak selalu menyesuaikan. Aku udah bayangin, wah ... jangan-jangan kalau kamu terus yang ngikut aku, malah aku yang bakalan bilang will you marry me."
"Eh, tapi mau dengerin dong. I'd love to hear that!"
Buru-buru aku keluar dari mobil. Ini gila! Kami benar-benar seperti muda mudi kasmaran yang baru saja menjalin asmara.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro