15 | Take your time
Mengingat bagaimana Laras bertanya soal apa yang sudah kulakukan dengan Mirza selama kami menjalin hubungan, aku jadi berpikiran juga tentang apa yang mereka lakukan dulu. Bagaimana mereka mengisi waktu saat sedang bersama? Meskipun aku dan Mirza sudah sepakat untuk tidak lagi lihat ke belakang, pertanyaan Laras tadi sungguh memancing keingintahuanku yang tenggelam dalam tenang.
Berkaca pada hubunganku dengan Kak Ajun dulu, bukan tidak mungkin kan kalau Mirza dan Laras juga begitu? Mengisi satu sama lain, saling bicara dan mendengarkan, menghabiskan waktu bersama. Soal bagaimana gaya pacaran mereka, aku tidak mau tahu. Mereka sudah dewasa dan aku tidak peduli. Itu sudah lewat dan tidak akan ada pengaruhnya untukku. Aku lebih ingin tahu sampai di mana perjalanan hubungan mereka sebelum akhirnya berhenti.
Apa mereka juga berniatan untuk menikah? Siapa saja yang sudah tahu hubungan mereka? Kenapa mereka akhirnya jalan masing-masing-lebih tepatnya, kenapa Laras meninggalkan Mirza? Ini seharusnya mudah sekali menemukan jawabannya. Mereka tidak bisa bersama. Titik. Entah mereka yang tidak memperjuangkan hubungan mereka atau memang tiada restu yang memihak mereka. Tapi kurasa tidak begitu juga, mengingat bagaimana Mirza tetap ringan langkah mengajakku untuk bertemu sanak-familinya. Dia lebih menghindari Laras ketimbang keluarganya.
Kulihat Bibi yang mengganti sprei kasur Mirza, dengan jendela kamar yang sengaja dibukanya. Kelihatannya Bibi bukan orang yang tidak sepeduli itu pada Mirza. Lebih dari orang yang membantu Mirza, bekerja dengannya, jelas sekali kalau Bibi juga seperti orang tua yang mengurusnya. Bahkan selama di rumah ini bersama Bibi, wanita baya itu seperti sudah banyak tahu tentangku yang pasti karena cerita Mirza. Aku lebih tidak percaya Bibi tidak tahu hubungan mereka dulu ketimbang Bibi tidak mengerti apa-apa.
Sikapnya pada Laras pun ... kalau aku di posisi Laras, mungkin aku akan memilih untuk menghindari kontak dengan Mirza. Sementara di posisi Mirza, aku akan bilang pada Bibi agar tidak membiarkan Laras masuk. Tapi mereka tidak begitu. Ini membingungkan. Tidak salah kan aku berpikir kalau hubungan mereka yang tampak, hanya sebatas saudara sepupu biasa? Melihat bagaimana Bibi amat sangat biasa menghadapi Laras sedari tadi, bukankah tidak mungkin Bibi sesantai itu kalau tahu bagaimana buruknya hubungan mereka? Bibi benar-benar memperlakukannya dengan baik, pun Laras yang kelihatan sekali bagaimana dia sangat mengenal Bibi. Ah, menyebalkan! Kenapa juga aku harus memikirkan perempuan yang sedari tadi berlaku seperti sedang di rumahnya sendiri?
"Mbak Ganis, mau makan siang nggak? Mau Bibi masakin nasi?"
Pertanyaan Bibi membuyarkan lamunanku. "Enggak usah, Bi. Saya nunggu Mirza aja," kataku seraya menegakkan duduk, melihat jam pada ponselku yang hampir menunjukkan pukul 1 siang.
Laras yang sudah selesai salat, melirikku sebelum melipat mukenanya. "Kamu lagi nggak salat?"
Harusnya aku langsung bergerak saat Laras ambil wudhu tepat ketika suara khutbah di masjid terdengar. Kuakui kalau Laras sangat tepat waktu. Dia tidak termakan pelajaran saat kecil yang bilang kalau salat Zuhur di hari Jumat harus menunggu laki-laki selesai salat Jumat dulu. Meski aku sudah tahu kalau tidak apa-apa salat sesuai waktunya saja setelah azan berkumandang, aku masih terbiasa dengan kebiasaan itu. Oh, atau dia memang tumbuh di dalam keluarga yang pemahaman dan pengamalan agamanya sangat baik seperti Kak Ajun?
"Bi, mukenanya aku simpan di sini ya," kata Laras karena aku tidak kunjung menjawab.
Aku beranjak dari dudukku sambil membuka jarum-jarum pada kerudungku. Takut kalau benda kecil itu hilang, tidak lupa kubawa tasku juga untuk bisa menancapkannya di sana. Seperti tidak sensitif dengan posisiku yang tidak jauh di belakang, mata Laras membelalak begitu berbalik melihatku. Tapi aku jauh lebih terkejut melihat memar kebiruan di leher dan dadanya yang sedikit tampak di balik jilbabnya.
"Laras ...?"
Buru-buru Laras merapatkan kerudungnya, menjauh dariku. Tapi aku lebih dulu menangkapnya, menaikkan lengan bajunya tanpa permisi, dan melihat memar lainnya yang tidak lagi mengagetkanku. Terserah kalau dia menganggapku kurang ajar dan tidak tahu batasan. Ini hal lain.
"Saya buru-buru," ucap Laras, perlahan merapikan baju dan kerudungnya. "Bi, aku langsung pulang ya, enggak akan mampir lagi sebelum ke Bandung."
"Iya Mbak," jawab Bibi yang kini sibuk membalikkan jemurannya. "Hati-hati, Mbak," katanya.
Aku bergegas memasang kerudungku lagi, menyusul Laras keluar. "Laras!" panggilku.
"Jangan bilang Mirza," ucap Laras, mengembalikan ingatanku pada saat aku melihat surat dari pengadilan agama di butiknya waktu itu. "Kamu ngerti, kan?"
"Kenapa kalau Mirza tahu? Dia keluarga kamu!" Aku kasihan sekaligus sebal pada Laras yang kini sedang merogoh tasnya. "Kamu udah lapor, kan?"
Laras menutup hidungnya dengan tisu. "Ini undangan puncak pameran butik saya lusa nanti. Kalau kamu ada waktu, kamu bisa datang."
Aku menutup mulut melihat darah pada tisu yang habis digunakan Laras, refleks beristighfar.
"Jangan bilang Mirza," katanya sekali lagi. "Makasih," Laras mendongakkan kepalanya, memejamkan matanya, tidak peduli dengan sinar matahari yang semakin terik.
Kedatangan mobil yang dipesannya menekan segala pergerakanku. Laras hanya sekilas melirikku sebelum akhirnya masuk.
Melihat langsung bagaimana kondisi Laras menambah panjang pikiranku sial perempuan itu. Aku sampai harus cuci muka berkali-kali sebelum ambil wudhu, tak henti beristighfar. Selesai salat, Bibi kembali menawarkan makan yang kemudian aku angguki tanpa bicara. Tidakkah ada orang yang tahu tentang apa yang dialami Laras?
Seperti lupa dengan keingintahuanku soal dapur Mirza yang ternyata benar seperti yang dikatakannya, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bicara pada Bibi meski sulit untuk memulainya dari mana. Sampai gulai yang dimasaknya mendidih pun, aku masih belum menanyakan apa-apa sementara Bibi tak melewatkan sedikit pun gerak-gerikku di dapur yang menurutnya kelihatan sekali kalau aku sudah biasa.
"Mbak Ganis bisa bikin masakan Indonesia kayak gini?" tanya Bibi saat aku masih fokus mengaduk gulai yang akan pecah santan kalau ditinggalkan.
"Uhm ... sedikit, Bi. Yang simpel aja, yang dimasak sehari-hari," jelasku seadanya.
"Mas Mirza juga suka masak, tapi yang aneh-aneh, yang Bibi nggak bisa," pungkas Bibi. "Yang serba instan, yang cepat bikinnya."
Aku tersenyum simpul, mengerti maksud Bibi. Kembali kulirik berbagai macam saus dan bumbu yang tertata begitu rapi di rak atas kompor. Beberapa hanya pernah kulihat di supermarket sementara yang lain juga pernah kucoba selama aku tinggal sendiri.
"Bibi kalau mau masak, sengaja belanja dulu sendiri sebelum ke sini?" Dari tadi aku penasaran karena Bibi sudah siap dengan semua bahan masakannya yang serba pas dibawanya dalam keranjang.
"Bibi di rumah ada warung nasi, Mbak. Anak Bibi yang urus. Mas Mirza nggak pernah mau kalau sengaja dibawain yang udah siap makan, jadi Bibi masak aja di sini."
Baiknya Mirza dalam segala hal kadang membuatku lupa kalau itu bisa merepotkan orang juga. Di sisi lain, Bibi bilang, dia seperti tidak bekerja karena Mirza akan mencuci pakaiannya sendiri. Masak pun, tidak perlu kalau bukan Mirza yang minta. Bibi hanya beres-beres dan bersih-bersih rumahnya yang sudah rapi dan bersih, sampai kupikir tidak apa-apa juga kalau tidak ada Bibi yang mengurusnya.
"Mirza emang serapi ini, ya, Bi?" Aku menata masakan di atas meja makan yang menghadap dapur.
"Enggak ada Bibi juga bisa aja ya Mbak kalau kayak gini," Bibi terkekeh, sedikit menyinggung karena aku juga memikirkan hal serupa. "Dulu Mas Mirza kan kuliah di Semarang, Mbak. Rumahnya sering ditinggal, lama. Baru dua tahunan ini di Jakarta-nya lagi. Seumur kantornya aja," jelas Bibi. "Seumur rumah ini juga. Sekarang cuma ditinggal ke kantor, ke luar kotanya juga sekali kali, enggak lama. Jadinya Bibi juga cuma seminggu sekali ke sininya."
"Oh, Bibi di rumah sebelumnya juga udah kerja sama Mirza?" Aku memastikan lagi apa yang sudah Mirza beritahukan dan Bibi bilang secara singkat.
Bibi menarik kursi makan di seberangku. "Di rumah orang tuanya, yang sekarang Bibi tinggalin sekeluarga."
"Hah?" Aku menelan salivaku. "Bibi udah berapa lama kerja sama Mirza?"
"Dari waktu Bapak sama Ibu masih ada, Mbak," Bibi tersenyum, seperti mengingat sesuatu. "Mas Mirza yang minta Bibi sekeluarga tinggal di sana waktu udah dewasa, mulai sibuk kuliah, pergi ke luar kota, ke luar negeri."
"Terus ... kalau sama Laras?" tanyaku ragu tapi tidak sabar mendengarnya. "Katanya, Mirza pernah tinggal sama keluarganya Laras, kan?"
Bibi menarik napasnya dalam-dalam, mengangguk pelan. "Sampai udah dapat KTP, Mas Mirza balik lagi ke rumah. Waktu tinggal sama keluarganya Mbak Laras, rumahnya sempat disewain. Bibi juga yang urus karena kebetulan Bibi warga sana. Katanya uangnya buat modal kuliah," bisik Bibi jenaka di penghujung kalimat.
Wah ... bukankah Mirza sudah pandai berbisnis sejak remaja? Bagaimana bisa dia berpikiran begitu saat kartu identitas yang dimilikinya hanya Kartu Pelajar dari sekolah?
"Tabungan pelajarnya pasti banyak isinya," kataku yang dibenarkan Bibi dengan tawa. "Terus ... terus, waktu udah balik lagi ke rumah gimana, Bi?" Aku semakin penasaran. Ah, jadi ini kenapa Mirza ingin aku bertemu dengan Bibi.
"Mas Mirza sibuk buat persiapan kuliahnya. Bareng Mbak Laras juga waktu itu. Ke luar kota, ke luar negeri. Waktu yang di luar kota, kalau Bibi nggak salah, kampusnya sama. Di Semarang. Tapi waktu ke luar negeri, Mbak Laras ke Turki. Kalau Mas Mirza ke Singapura."
Kini aku bisa mengerti bagaimana mereka bisa menjalin hubungan tanpa orang lain bahkan keluarganya tahu. Di luar kota, jauh dari keluarga, tentu mereka akan saling mengandalkan. Di luar negeri yang lebih jauh lagi, siapa yang akan tahu kalau mereka yang sama-sama jauh dari jangkauan orang-orang terdekat juga berhubungan jarak jauh?
"Makan dulu, Mbak," Bibi bangkit dari duduknya, mengambilkan piring. "Nah, itu Mas Mirza," kata Bibi, mendengar suara pagar dibuka.
"Makan duluan aja, Bi," kataku, buru-buru menghampiri Mirza yang mendudukkan dirinya di kursi halaman sambil melepas sepatunya.
Ingatanku soal pesan yang kukirimkan pada Mirza, datang setelah aku mengamati raut wajah Mirza yang tidak biasanya meski hanya dari samping. Rambutnya basah dengan keringat, pun keningnya. Jakarta sepanas ini, bagaimana bisa dia bersepeda meski dalam jarak dekat?
"Kamu mau minum?" tanyaku canggung, yang kemudian membuat Mirza menoleh.
Setelah beberapa detik hanya diam melihatku, Mirza akhirnya mengangguk. "Kamu udah makan?"
Aku hanya mengangkat tanganku sembari melangkah ke dalam rumah. Bibi yang tampaknya tahu apa yang kutuju, langsung menunjukkan letak air minum kemasan agar aku tidak perlu repot.
"Kamu mau bilang sesuatu?" tanyaku saat kembali duduk bersama Mirza yang duduk berselonjor di lantai. Seandainya Mirza terpikirkan kenapa aku sampai mengirimkan pesan, meminta maaf padanya.
Mirza membuka botol minumnya, meneguknya sampai habis setengah botol. "Maaf kenapa?" tanya Mirza yang langsung mengerti ke mana arah pembicaraanku.
"Tadi Laras ke sini," jawabku, tidak menahannya dulu, tidak juga berniat untuk berbasa-basi. "Ah ... harusnya saya nggak gitu," Aku membayangkan kembali bagaimana aku menghadapi Laras tadi. Mulai dari sebal, heran, tidak suka, sampai pada kasihan dan penasaran. "Tadi tuh Laras kayaknya mau pamer dia tahu sandi pintu rumah kamu. Tahunya malah nggak berhasil."
"Terus kamu ketawain, gitu? Pantesan minta maaf," kata Mirza sudah lebih rileks. Wajahnya yang tadinya pucat, kini sudah kembali dialiri darah. Dia menarikku untuk duduk lebih dalam karena sinar matahari yang semakin menyengat. "Isshhhh kayak anak kecil," Mirza terkekeh melihatku yang hanya bergeser alih-alih bangkit seperti dirinya.
"Sedikit, tapi bukan gitu maksudnya. Pokoknya, saya ladenin aja gerak-gerik dia. Enggak usah dibayangin, lah!" jelasku sesingkat-singkatnya.
"Wah ... jadi mau lihat!" canda Mirza enteng.
"Kenapa? Berasa direbutin?" tanyaku sinis meski tidak yakin juga kalau Mirza begitu.
"Enggak, lah! Apa enaknya kayak gitu? apa bagusnya, malah nambah masalah," pungkas Mirza seraya duduk bersila, menghadapku penuh. "Kamu nggak kenapa-napa?"
Terlepas dari bagaimana hubungan Mirza dan Laras dulu yang sedikit banyak sudah aku tahu dari Bibi, aku terpikirkan juga kondisi Laras. Sebagai perempuan, aku ingin sekali menariknya untuk melapor, menanyakan bagaimana proses perceraiannya, apa yang sudah dilakukannya untuk itu. Lalu, sebagai orang yang sedang menjalin hubungan dengan Mirza, tahu bagaimana hubungan mereka dulu, juga ikatan sepupu mereka yang tidak akan pernah lepas, aku ingin tahu kenapa Laras tidak ingin kalau Mirza tahu. Apa Laras berpikiran kalau Mirza akan mengasihaninya? Atau mungkin, Laras malu pada Mirza karena telah meninggalkannya untuk laki-laki yang meninggalkan luka tidak hanya di hatinya, tapi juga di sekujur tubunya?
"Kenapa?" tanya Mirza, pelan sekali. "Soal Laras?"
Aku balik duduk menghadapnya, masih berpikir soal apa yang akan kukatakan. Entah mana yang lebih darurat, kondisi Laras kah atau keingintahuanku soal sebab dari berakhirnya hubungan mereka dulu untuk melengkapi cerita Bibi yang sudah kusimpulkan secara kasar.
"Kan udah janji buat nggak lihat ke belakang," Aku menghela napas, sedikit tidak rela. "Oh iya, minggu ini Laras ada pameran. Kamu mau ikut nggak?"
Mirza melihatku lamat-lamat sebelum kembali menyamakan posisi duduknya sepertiku. "Nis...."
"Waktu di Bandung kemarin, saya pernah main ke butiknya Laras, sama teman saya juga. Kebetulan dia lagi cari baju buat acara tasyakurannya," ceritaku, kemudian ingat kalau aku belum menelepon balik Teh Denia yang sebelumnya meneleponku tapi tidak terjawab. "Kalau kamu mau ikut, biar saya coba ajak teman saya itu juga. Nanti saya kenalin."
Mirza tersenyum kecil sekali, mengangguk. "Makasih ya...."
"Beneran?" Aku memastikan. "Enggak apa-apa?"
"Makasih udah cerita, udah mau ngenalin saya juga ke teman kamu," tutur Mirza benar-benar pelan dan meyakinkan sampai membuatku percaya kalau mengajaknya ke acara Laras bukan lagi masalah untuknya.
"Mirza...."
"Kamu mau bilang sesuatu?" tanyanya, kembali mengubah posisi duduknya dengan menghadapku. "Ada yang mau kamu tahu? Yang perlu kamu tahu?"
Mirza dengan mudah menangkap apa yang masih mengganjal untukku. Ketidakpuasanku akan obrolan kami, apa yang aku dapati dengan mengobrol bersama Bibi, juga kehadiran Laras yang tanpa permisi dengan pertunjukan akhir yang di luar dugaan.
"Kamu maunya ngasih tahu apa?" Aku menjawabnya persis dengan pertanyaannya. "Yang menurut kamu perlu saya tahu."
Melihat ekspresi Mirza, aku seperti bisa membayangkan apa yang sedang dipikirkannya. Wajahnya seperti menyuarakan keraguannya yang berkata, "ada yang perlu kamu tahu, tapi saya belum bisa kasih tahu."
"Take your time," kataku, setelah sekian lama tak mengucapkannya. Namun itu tak mengubah air muka Mirza. Yang sudah-sudah, Mirza akan langsung membicarakan kegelisahannya. Tapi kali ini tidak. Dia tetap dalam duduknya, sampai aku kembali ke dalam rumahnya, mengambil tasku lengkap dengan makanan yang tergesa-gesa dibungkuskan Bibi karena aku menolak makan. "Saya pulang ya?"
Mirza bangkit dari duduknya, mengantarkanku sampai mobil yang hanya kuparkir di depan.
"Nis," panggil Mirza, tepat saat aku sudah duduk di balik setir dan sibuk dengan sabuk pengamanku. "Di hubungan sebelumnya saya nggak berani perjuangin itu. Tapi saya mau sampai di tahap itu sama kamu." Mirza melepas jam tangannya, memakaikannya ke tangan kiriku. "Saya mau lakuin banyak hal yang dulu takut buat saya tunjukin sekalipun nggak akan ada yang tahu, nggak ada yang curiga."
Kalimat terakhir Mirza membenarkan asumsiku. Sementara aku menceklis satu persatu dugaanku, Mirza lanjut berkata, "Saya mau bebas interaksi sama kamu di manapun sekalipun itu media sosial, jalan-jalan sama kamu, punya barang sama, janjian pakai pakaian senada, bebas buat ketemu di mana aja, main ke tempat kamu."
Satu persatu juga ingatanku saat bersama Kak Ajun bermunculan. Sangat kontradiktif. Saat kami secara tidak sadar memanfaatkan ikatan kami sebagai sepupu untuk bisa terus dekat dan bersama. Aku dan Kak Ajun melakukan semua yang Mirza inginkan sementara dia dan Laras tidak begitu. Sudah jelas kalau hubungan yang membuat kami sampai di titik balik benar-benar terbalik.
"Saya mau ketemu orang tua kamu, teman-teman kamu, keluarga besar kamu, sampai ngelamar kamu." Mirza menghela napasnya, mengusap jam tangan yang sudah pas pada lenganku. "Kali ini saya yang bilang ke kamu; take your time."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro