13 | Secukupnya dan Seperlunya
Aku tidak sedang menunggu seseorang yang tengah berjuang hidup di atas meja operasi. Aku juga sedang tidak menunggu seseorang sadar setelah cukup lama bertahan hidup dengan bantuan ventilator. Aku hanya sedang menunggu seorang lelaki yang berniat baik untuk menjalin hubungan denganku, melakukan konseling.
Setelah Mirza bilang kalau tidak masalah aku ikut pergi konsultasi, benar saja ia mengabariku begitu waktunya tiba.
Dan ... di sinilah aku, menunggunya di lobi. Tempatnya seperti rumah sakit meski tidak begitu besar. Hawa dingin memelukku sampai-sampai kardigan yang kupakai sebagai outer jadi lebih berguna. Lalu-lalang orang tidak luput dari perhatianku. Ada yang memakai baju seperti pasien rumah sakit, ada juga yang memakai setelan biasa seperti Mirza. Berbagai usia, berbagai kalangan. Aku menyoroti mereka yang datang sendirian, ada juga yang baru selesai konseling lalu menghampiri mereka yang duduk tak jauh dariku.
"Ibu pamit duluan, ya, Mbak." Seorang ibu yang duduk satu sofa denganku, menyambut anak perempuan yang kemudian tersenyum padaku sembari mengamit lengan sang ibu. Menurut cerita ibunya, anaknya itu sedang dalam proses terapi dan pemulihan mental usai tangan kanannya diamputasi.
Tanpa sembunyi-sembunyi, kepalaku berputar mengikuti arah langkah mereka. Tampak sang ibu mengelus-elus tangan sang anak yang tengah bercerita. Sampai mereka hilang dari pandanganku, aku meluruskan dudukku lagi, berbarengan dengan helaan napas yang diakhiri dengan senyum tipis. Ah, hangat sekali. Melihatnya, aku jadi mengingat diriku beberapa tahun lalu. Saat kepedihan yang kurasakan selalu soal percintaan, banyak orang di luar sana yang jauh sekali kelasnya di atasku. Dengan berbagai macam ujian yang mungkin tidak akan bisa kukerjakan.
"Hei!" Mirza tiba-tiba duduk di sebelahku, memberikan sebotol air mineral. "Enggak lama, kan?"
Aku melihat jam pada layar ponselku, "Lumayan buat ngelamun," kataku yang dikekehi Mirza. "Gimana? Aman-aman aja, kan?"
Mirza mengangguk sebelum menenggak air mineralnya. "Katanya cukup datang di waktu perlu aja, enggak rutin lagi."
Aku tak bisa menahan senyum kelegaanku mendengar kabar baik itu setelah hampir menyesal telah menawarkan diri untuk mengantarkan Mirza. Aku bukan Teh Naya yang terbiasa dipusingkan dengan berbagai macam permasalahan anak SMA. Aku juga bukan Ibuk yang dengan lapang mendengarkan setiap masalah orang dewasa dari berbagai kalangan. Itu sudah profesi mereka. Berbeda sekali denganku yang menghadapi ini karena hubunganku dengan Mirza. Aku tidak punya dinding pembatas bernama profesionalitas.
"Belum beres ngelamunnya?" tanya Mirza karena aku hanya diam sedari tadi memperhatikannya.
"Ajak ngobrol dong biar nggak ngelamun," kataku yang ditertawai Mirza. "Mau ke mana sekarang?"
"Uhm ... kamu nggak ada rencana apa-apa?"
Sebenarnya aku ingin menghabiskan waktu bersamanya selagi kami di luar. Apa saja. Menonton, ke toko buku atau ke museum sekalian, ke pameran, ke mana pun. Aku lebih ingin mengisi waktuku hari ini dengannya.
"Temanin saya ambil kacamata yuk!"
Tanpa perlu menjawab, aku hanya mengikutinya. Tidak sepertiku yang sudah malas duluan dengan lalu lintas Jakarta, Mirza lebih pada tidak peduli dengan tanda merah yang berderet di petunjuk jalan yang dibiarkannya menyala. Ini sesuatu yang biasa untuknya. Mau tidak mau harus dilewatinya.
Begitu menyadari ke mana Mirza membawaku, refleks aku menoleh padanya. Menyadari kalau aku melihatnya, Mirza juga menoleh. Senyum yang ditahannya menguar jadi tawa yang juga ditularkannya padaku 0,1 detik kemudian.
"Ke sini?" tanyaku, ingat bagaimana pertama kali kami bertemu berdua saja usai perjodohan Pak Wisnu yang tidak bisa kuhindari lagi. "Kamu kayaknya emang anak sini banget ya?"
Mirza mengangguk usai mengambil tiket parkir dan melajukan mobilnya lagi. "Semua yang saya butuhin ada di sini. Jadi all-in, enggak ribet ke sana dan ke mari. Sekali jalan aja."
Mirza dan hitung-hitungannya. Aku kadang masih tidak yakin kalau laki-laki yang membuat Pak Wisnu tidak pantang menyerah membujukku adalah yang seperti Mirza. Lelaki yang perlu aku cari kekurangannya untuk bisa menolaknya, lelaki yang terbuka dengan segala kekurangannya, yang menurutku tak menjadikannya kurang sedikit pun.
"Saya mau sekalian belanja bulanan, sih. Tapi ke optik dulu aja, ya, bentar?" Mirza mengeluarkan kotak kacamata yang disimpannya di dalam laci dasbor dan memberikannya padaku selagi ia membuka sabuk pengamannya. "Itu udah lama pecahnya," kata Mirza saat aku bilang ingin melihatnya. "Baru ingat pas mau pakai."
"Jatuh di mana?" Aku mendapati kacamata yang hanya menyisakan bingkai dan pecahan lensa yang sudah terlepas.
"Di rumah waktu kolaps," katanya, seraya membuka pintu. "Sebelum ketemu kamu."
Bayangan soal Mirza yang sedang dalam kondisi buruknya, langsung terlintas di benakku. Seperti di adegan-adegan dalam film, saat seseorang sedang membutuhkan obatnya.
"Kamu nggak masalah cerita kayak gini?" tanyaku, masih dengan ketidaknyamananku dengan Mirza yang selalu aku.
"Karena itu perlu, makanya saya kasih tahu," ucap Mirza membawaku masuk. "Dulu saya sampai separah itu. Makasih banyak udah terbuka soal itu."
"Iya, saya tahu kalau kamu pernah sampai separah itu." Aku mengabaikan ucapan terimakasihnya. "Tapi kamu sampai sini tuh bukan karena saya juga," kataku, tetap dengan pendirianku, menolak keras ketergantungan Mirza.
Seolah apa yang dikatakannya tadi bukan sesuatu yang besar, Mirza tidak ambil hati dan pikiran dengan keberatanku. Ia melanjutkan langkahnya. Perkataanku hanya angin lalu. Tidak akan baik juga kalau aku memperpanjangnya di tempat umum seperti ini.
Tanpa mendebatnya, aku pun mengikuti langkah Mirza. Seperti benar kalau Mal ini adalah 'tempatnya', Mirza langsung menekan nomor lantai pada lift yang akan mengantarkannya ke optik yang jadi tujuan utamanya. Letaknya tidak jauh dari pintu utama, berjajaran dengan toko perhiasan, jam tangan dan aksesoris bermerek kenamaan lainnya.
Penjaga toko yang melihat kedatangan kami pun menyapa Mirza. Kelihatan sekali kalau ini tempat langganannya, pun orang-orang di sana yang sepertinya pernah bergantian melayani Mirza.
Tidak menunggu lama, penjaga toko tersebut langsung memberikan pesanan Mirza sementara ia balik memberikan kotak kacamata yang dibawanya, menunggu nota perbaikannya yang akan digunakannya saat mengambilnya nanti.
"Kamu langganan sini ya?" tanyaku, berusaha tak memikirkan perkataanku tadi lagi.
"Ya ... gitu, lah. Lumayan, dari awal pakai kacamata, selalu di sini," kata Mirza seraya bercermin. "Bagus nggak?" Mirza menegakkan berdirinya, menolehkan wajahnya penuh padaku.
Untuk pertama kalinya aku melihat Mirza memakai kacamata. Lelaki itu tersenyum sambil menaikkan alis. Ah, jadi begini caranya setelah tahu bagaimana aku padanya?
"Malah senyum doang. Gimana?" tanya Mirza karena aku tak kunjung menjawabnya.
"Baru sekarang lihat kamu pakai kacamata," ungkapku, melihatnya yang juga tersenyum. "Cakep."
"Wah ...." Mirza tertawa kecil, kembali mematut dirinya di cermin. "Berarti lebih bagus pakai kacamata?"
"Heum ...." Aku melihatnya seksama. "Enggak juga. Kalau setelannya udah dari sananya pakai kacamata, jadinya malah biasa aja."
"Ah, iya juga." Mirza melepas kacamatanya lagi, hendak memasukkannya kembali ke dalam kotaknya.
"Ih, kenapa dilepas?!" tanyaku gemas, mengambil kotak dan kantongnya. "Pakai aja."
Mirza tertawa, menurutinya tanpa drama. Keluar dari optik, Mirza mengambil alih kantong berisi kotak kacamatanya. Sambil berjalan, dia bercerita, "Sebenarnya saya nggak begitu suka pakai kacamata. Kalau enggak perlu, enggak akan saya pakai. Benar-benar cuma dipakai di waktu perlu aja."
Cerita Mirza menghentikan langkahku, namun Mirza yang sepertinya tahu ketidakenakkanku, tak terusik dengan itu dan tetap dengan kacamata yang dipakainya.
"Kalau sepupu saya kemarin, kebalikannya. Di saat-saat nggak perlu pun dia tetap dengan kacamatanya. Dilepas kalau emang sekiranya perlu dilepas aja. Katanya, kalau dia pas lagi nggak pakai tuh kelihatannya jadi agak sipit, kayak koko-koko."
Aku mengingat-ingat sepupu yang dimaksudnya. "Yang kakak iparnya Taufan itu?" tanyaku yang langsung mendapat anggukan Mirza. "Tapi kacamatanya tuh support personanya dia banget. Dia mukanya emang pintar gitu ya? Kayaknya, siapa pun yang lihat dia bakalan langsung nebak kalau orangnya pintar."
"Iya, dia emang sepintar itu. Nilai akademisnya oke, di lapangan apalagi. Kami di bidang yang sama juga, jadi lumayan banyak ngobrol tiap ketemu."
Harusnya tidak ada perasaan semacam ini lagi. Tapi entah kenapa, meski telah membuka diri, aku tidak bisa mengimbangi Mirza yang seterbuka ini padaku. Harusnya aku juga bisa begitu. Tidak adil kalau hanya Mirza yang terus memberi sementara aku hanya menampungkan tangan tanpa melakukan apa-apa. Mungkin bagi Mirza menceritakan salah satu anggota keluarganya ini bukan hal besar, tapi kalau di posisiku, ini benar-benar serius.
"Enak ya punya sepupu yang sebaya dan satu bidang. Bisa sharing." Aku mengingat kedekatan mereka yang persis seperti perkataan Mirza walau hanya dengan sekali melihatnya langsung.
"Memangnya di keluarga kamu enggak ada yang kayak gitu?" tanya Mirza yang langsung membuatku ingat masa-masa dulu saat begitu dekat dengan Mbak Jani, juga Gladia yang belum lama ini masuk ke dalam keluarga kami, banyak berbagi denganku soal apa yang menyibukkannya.
"Ada. Tapi udah pada nikah," kataku bermaksud bercanda, tapi sedikit miris kedengarannya setelah terucapkan.
Mirza tertawa. "Jangan gitu! Itu tuh nggak begitu ngaruh, tahu, Nis," kata Mirza seperti menghiburku, mengajakku berhenti di outlet minuman dengan beberapa kursi di depannya. Menyuruhku duduk duluan, tak lama, Mirza pun ikut duduk dengan membawa serta buku menu dan kertas pesanan ke meja kami. "Saya emang jarang banget ketemu mereka," lanjutnya. "Tapi justru karena jarangnya itu yang bikin waktu ketemu kita jadi lebih berisi. Minim konflik, ngobrol yang penting-penting aja."
Ya ... kalau aku tidak sembrono, tidak berambisi untuk kelihatan baik-baik saja dengan tetap memunculkan diri, mungkin tidak akan begini. Kalau juga aku bisa ambil sikap dan mengalah dengan keadaan, menerima begitu saja apa yang aku dapatkan sepeninggal Kak Ajun. Kalau saja aku tidak tahu malu dan bisa tutup telinga, tidak terus merasa kalau banyak pandangan yang mengarah padaku.
"Mungkin tergantung kitanya juga...."
Ucapan pelanku membuat Mirza mengangkat kepalanya dari buku menu, kemudian berkata, "Tergantung siapa yang kita hadapi juga." Mirza membulatkan pesanannya pada kertas, kemudian menyerahkannya padaku. "Kalau nggak ada Ayi sama Yaya juga mungkin bakalan beda ceritanya."
"Hah?" Aku menegakkan kepala setelah menuliskan pesananku. Membiarkan sejenak aku yang kebingungan atas ceritanya, Mirza pergi mengembalikan buku menu dan kertas pesanan.
"Sepupu langsung saya itu cuma Laras," kata Mirza begitu kembali. "Kalau Ayi sama Yaya, itu sepupunya Laras dari bapaknya. Kalau saya dari ibunya. Ayah saya sama ibunya Laras, adik kakak," tutur Mirza, mengingatkanku akan garis hubunganku dengan Kak Ajun yang persis sama. "Berhubung ibu saya tinggal sendiri, satu-satunya pilihan saya cuma dengan tinggal sama keluarganya Laras. Yah, gitulah kenapa saya cukup dekat sama mereka."
Aku tak menimpalinya, terpikirkan bagaimana Mirza tumbuh selepas kepergian kedua orangtuanya. Berbeda sekali urgensinya denganku yang bisa dekat dengan Kak Ajun bukan karena ditinggalkan sendiri di dunia ini. Aku mengerti kenapa efeknya bisa sampai sebesar ini.
"Maaf...."
"Enggak dimaafin," candanya yang kutangkap dengan serius. Mirza pun sepertinya menyadarinya, sampai ia berkata, "Bercanda. Tapi kamu harus tahu juga soal itu."
Benar juga. Apa lagi isi obrolan kami kalau bukan hal-hal seperti ini? Tapi rasanya benar, hanya Mirza yang banyak memberitahukan soal dirinya. Mirza yang seakan mengerti dengan yang aku pikirkan, berkata, "Santai aja."
Meski itu bukan sekadar yang diucapkannya—karena Mirza benar-benar santai dan tidak menuntutku ini dan itu—tetap saja, aku kalah langkah dari Mirza.
"Kamu nanti ada yang mau dibeli dulu nggak?" tanya Mirza, memecah keheningan. "Mau ke mana, gitu?"
Belum menjawabnya, aku menyambut datangnya pesanan terlebih dahulu. Menggeser pesanan Mirza, kemudian menuangkan kecap pedas pada Cireng yang kupesan.
"Atau mau belanja bulanan juga? Kamu belum beli-beli kan balik dari Bandung kemarin?" tanya Mirza lagi.
"Mirza," panggilku, mengeluarkan buku catatan hitam yang akhirnya kubawa setelah pertimbangan panjang. Biarkan sekali lagi aku tidak menjawab pertanyaannya. "Kamu tahu nggak kenapa saya sering ngomel kalau kamu kaitin kesembuhan kamu sama saya?"
Mirza meletakkan minumannya kembali, mengambil buku yang kusodorkan padanya. "Death Note?" tanyanya dengan kening mengernyit.
"Jauh sebelum orang yang ngasih saya buku ini ninggalin saya, dia bilang, kalau enggak seharusnya kita bergantung sama manusia," lanjutku dengan penjelasanku. "Itu yang selama ini saya yakini."
"Iya ... maaf," kata Mirza, mengembalikan bukuku. "Maksud saya tuh bukan gitu."
Aku mengangguk, paham maksud Mirza yang berlaku santai soal sakitnya dengan cara-cara seperti itu.
"Saya dulu sebergantung itu sama dia," kataku, mengingat-ingat bagaimana hubunganku dengan Kak Ajun dulu. "Tapi kemudian dia bilang gitu."
"Terus kamu gimana setelah dia bilang gitu?" Mirza mengelap tangannya dengan tisu.
"Saya malah makin suka sama dia."
"Saya juga makin suka sama kamu," kata Mirza dengan senyum isengnya.
"Mirza...."
Mirza tertawa. "Makasih ya udah cerita," lanjutnya sambil membenarkan kacamatanya. "Makasih juga udah ingatin saya soal itu."
"Banyak yang belum kamu tahu," kataku, masih belum selesai.
"Tahu, Nis...." timpal Mirza begitu sabarnya. "Saya nunggu kamu cerita aja. Bukannya nggak mau tahu. Kita sama-sama tahu kalau yang kita lewatin kemarin itu nggak gampang. Bukan sesuatu yang sepele dan nggak berefek. Walaupun efeknya di kamu nggak begitu kelihatan kayak saya, bukan berarti mudah juga."
Meski baru sedikit yang aku ungkapkan, rasanya luar biasa menenangkan. Respons Mirza pun di luar bayanganku meski ini khas Mirza sekali. Santai tapi tetap serius, dengan perhatiannya yang penuh kepadaku.
Mirza kembali menarik buku catatan itu, dan bertanya apa boleh dia membukanya. "Tapi kamu udah nggak kenapa-napa, kan?" tanyanya, entah setelah membaca halaman yang mana meski sekilas dan cepat membuka lembaran lain. "Terus, kamu sama orang itu—"
"Orangnya udah meninggal."
"Ha?!" Kali ini Mirza yang terkejut dengan ceritaku. Sepertinya, lembaran yang dibukanya belum sampai sana, atau mungkin dia yang tidak membacanya penuh. Dan benar saja, pelan-pelan Mirza menutupnya, mengembalikannya.
"Seperginya dia, saya pernah ada di fase nggak mau dekat sama orang lain. Selain karena enggak mau bergantung, saya juga nggak bisa buat membuka diri. Saya selalu mikir, kalau saya udah membuka diri tapi kemudian orang itu pergi, gimana?" jelasku, membuat kilat mata Mirza kian meredup. "Sebaliknya juga, kalau orang itu yang membuka diri sama saya, gimana kalau saya yang pergi?"
"Nis...."
"Mungkin kamu udah nyadar dan nggak ambil pusing karena ngerti posisi saya. Tapi maaf kalau perasaan nggak nyaman saya soal keterbukaan kamu itu mengganggu kamu. Saya masih belajar buat ada di fase secukupnya dan seperlunya soal itu." Tak terasa mataku mulai berkaca-kaca. "Maaf kalau saya belum cukup dan abai sama semua yang menurut kamu perlu."
Mirza tak menimpalinya. Dia menungguku bicara lagi, memberi perhatian penuh tanpa melakukan apa-apa. Sekali lagi, aku tidak menemukan sesuatu yang akan membuatku tidak menyukainya.
"Makan dulu," kata Mirza, pelan sekali.
"Astaghfirullah...." Aku mengusap wajahku, menutupnya dengan sedikit menunduk. "Makasih Mirza," kataku seraya menegakkan kepala. "Maaf," ucapku sekali lagi.
Mirza menarik napasnya dalam-dalam, mengangguk pelan penuh pengertian. "Ini emang diperlukan, tapi ini udah lebih dari cukup. Makasih juga."
Yah, tidak ada yang lebih baik dari bersama-sama dengan orang yang juga pernah mengalami hal yang sama. Terlalu mudah untuk sekadar tahu, tidak mudah juga untuk sampai pada tahap mengerti. Sementara menerima, itu ada di tahap berbeda. Pengalaman adalah hal lain.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro