Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12 | He fell first, I fall harder, He falling hardest

Semoga ini tidak salah. Tidak buruk juga. Bermodal informasi yang kudapat dari data pribadi Mirza di kantor, aku memutuskan untuk mendatangi rumahnya.

Sesampainya kemarin aku langsung membereskan apartemenku, memisah-misahkan mana bawaanku untuk di kantor, untukku sendiri dan untuk Mirza. Sepulang dari makam Kak Ajun, aku dan Ibuk pergi ke pusat oleh-oleh. Dengan Ibuk sendiri yang mengingatkanku untuk melebihkannya juga untuk Mirza, kupastikan hubunganku dengannya bukan sesuatu yang perlu dicemaskan. Bapak dan Ibuk yang menerimanya, tidak mendesak, tidak banyak bicara, tidak menyulitkan, itu sudah lebih dari cukup bagiku.

Tanpa menghubungi Mirza, berkali-kali aku memastikan kalau komplek perumahan yang aku masuki sesuai dengan alamatnya. Banyak rumah yang tampak baru dibangun, namun banyak juga yang masih dengan model bangunan lama. Memperhatikan orang-orang yang tampak baru pulang bersepeda, lari pagi, bahkan bercengkrama di halaman rumah, komplek perumahan ini tidak jauh dengan tempat tinggalku yang masih dihuni oleh penduduk asli.

Hitam, putih, hijau dan cokelat. Mirza sekali. Mobilnya yang terparkir di depan, membuatku yakin kalau benar itu tempat tinggalnya. Entah apa yang akan kudapati di dalam sana nanti. Mungkin itu rumah yang semua perabotnya tertata rapi atau berantakan. Mungkin juga itu kosong, sebab Mirza jarang sekali di rumah. Atau ... itu rumah seperti biasanya rumah peninggalan keluarga. Bisa jadi tempat ini yang jadi satu-satunya saksi kalau dia punya orang tua, menjadi seorang anak, tumbuh dewasa dalam kesendirian.

Tok ... tok ... tok

Ketukan pada kaca di sebelahku, membuyarkan lamunanku. Aku langsung menurunkan kaca mobil dan mendapati Mirza yang menunjukkan plastik makanan. Aroma daging, bawang dan paprika langsung menguar memanjakan penciumanku. "Udah makan?" tanyanya sambil turun dari sepedanya dan membuka helmnya.

"Mirza ...?"

"Saya cuma beli satu, sih. Mana tahu kan kamu mau ke sini? Berdua aja, cukup kok. Saya ada makanan lain juga di dalam. Itu pun kalau kamu mau."

Mendengarnya seperti ini padaku yang tak mengabarinya setelah meminta waktu untuk berpikir dulu, aku tak bisa menahan senyum haruku. Kali ini tidak ada aku yang tidak enakan atau takut tidak akan bisa membalasnya. Aku justru senang dengan Mirza yang tetap seperti biasanya. Siapa peduli kalau nanti dia akan bertanya apa yang sudah aku alami sampai-sampai memintanya untuk membiarkanku sendiri dulu? Sambutan Mirza yang seperti inilah yang aku butuhkan. Bahwa dia baik-baik saja, itu sudah cukup.

"Hei...." Mirza melambaikan tangannya di depan mukaku, mengembalikanku ke bumi. "Bingung ya?" tanyanya dengan kening mengernyit. "Kalau ragu buat masuk, tungguin di sini. Saya bersih-bersih dulu. Atau mau nunggu di teras?"

Sudah berbulan-bulan dekat dengannya, tapi masih saja aku terkagum dengan banyak opsi yang diberikan Mirza dalam setiap hal yang kami diskusikan. Terlalu jauh untuk menganggap kalau Mirza memahamiku, tahu apa yang aku inginkan. Tapi adakalanya aku berpikir, apa Mirza tidak punya keinginan sendiri?

"Menurut kamu gimana?" tanyaku seraya turun kemudian membuka pintu belakang mobil. "Saya mending di sini, nunggu di teras atau enggak seharusnya ragu buat masuk berhubung saya udah di sini?"

"Uhm ...." Mirza melirik ke pagar rumahnya yang menjulang. "Mungkin baiknya kamu duduk di teras aja."

"Oke," jawabku tanpa pertimbangan. "Ini kemarin saya beli Pisang Sale sama Bagelen. Ada Bolen juga," kataku, mengeluarkannya satu persatu. "Ibuk bikin kentang kering juga. Kamu nggak ada alergi, kan? Ini pakai kelapa sama ebi, soalnya. Kalau pedes dimakan, kan?"

Mirza yang tak menjawab rentetan pertanyaanku, tercengang mendapati semua yang memenuhi tanganku. Tak kusangka juga kalau bawaanku untuk Mirza akan tetap sebanyak ini meski telah memisahkannya. Menyadari aku yang hanya memperhatikannya, tawa kecilnya terurai sementara tangannya beralih mengambil semua bawaanku dan membiarkan sepedanya tergeletak begitu saja.

"Makasih ya," kata Mirza menuju pagar rumahnya. "Tolong bilang makasih juga sama Ibuk."

Masih dengan sedikit keraguan, aku mengikuti langkahnya, tak lupa mengambil makanan bawaannya yang digantung di stang sepeda.

"Kodenya 235711," kata Mirza setelah memindai sidik jarinya.

"Hah?" tanyaku yang masih sempat berpikir kenapa Mirza mau segamblang ini memberitahuku kombinasi angka kunci pagarnya. "Berapa tadi?"

Mirza terkekeh kecil. "Lima bilangan prima pertama," jawabnya.

"Oh...." Aku langsung menekan kombinasi angka yang berhasil membuka pagar tersebut.

Mirza masuk lebih dulu, meletakkan semua bawaannya di meja teras. Dia mempersilakanku masuk sementara dirinya kembali keluar mengambil sepedanya.

"Duduk aja, Nis," ucap Mirza begitu melihatku yang masih berdiri di tempatku semula dengan pandangan mengedar ke sekeliling halaman rumah yang jauh berbeda dari penampakan luarnya. Di luar tampak sekali modern dengan pagar menjulang yang hanya menampakkan sedikit atap rumah. Namun begitu di dalam, suara aliran air dari kolam ikan dan rerumputan yang dilengkapi dengan banyak tanaman membuat rumahnya terasa sejuk.

"Di luar kelihatannya tertutup banget. Pas masuk, meja kerja kamu aja saya bisa lihat," kataku, melihat ke dalam rumah lewat kaca yang mendominasi bagian depan bangunan.

Mirza yang selesai memasukkan sepedanya ke samping rumah, melihat ke arah pandangku. "Itu sengaja di sana biar enggak lihat dinding," ungkapnya.

Pernyataan Mirza menarik perhatianku. "Bukannya kalau lihat ke luar bakalan jadi nggak fokus kerja?"

"Saya lebih suka kayak gitu. Lihat dinding malah kasih energi negatif, boro-boro bikin fokus," tuturnya. "Suara jangkrik, cuitan burung, aliran air atau angin sekalipun, enggak semengganggu suara manusia."

"Dimengerti," tukasku, tak ingin memperpanjangnya. "Bisa ya kamu ada waktu ngurusin semuanya."

Perkataanku menghentikan Mirza yang hendak membuka pintu rumahnya. Tidak langsung menjawabnya, Mirza tampak menimbangnya sebelum akhirnya duduk di kursi lainnya di teras. "Nis," panggilnya, semakin membuat perhatianku berpusat penuh padanya. "Kamu pasti tahu kalau ada orang-orang yang akhirnya melukis, merajut, menjahit, menggambar, memancing, atau apa pun itu buat mengisi waktunya."

Aku mengangguk pelan, sedikit takut kalau apa yang kudengar dari Laras tempo hari benar adanya sesuai perkiraanku. Sejauh apa sakit yang dialaminya?

"Saya milih buat berkebun, ngurus kolam ikan, semua yang saya butuhin secara keseluruhan," lanjut Mirza. "Yang nggak cuma bikin saya tenang, fokus dan sibuk. Tapi juga menyehatkan raga sama pikiran saya."

"Mirza ...."

Mirza tersenyum, kembali menuju pintu rumahnya. "Ada yang perlu saya kasih tahu juga nanti. Kamu beneran nggak apa-apa di sini?"

Kebingungan kembali melandaku. Harusnya ketika aku memutuskan untuk sampai di sini, aku juga sudah siap dengan apa yang akan aku hadapi. Menunggunya di luar atau ikut ke dalam dengan rasa penasaranku yang semakin bergejolak setelah Mirza bilang ada yang ingin diceritakannya.

"Kalau kamu ke sini hari Jumat, kamu bakalan ketemu Bibi yang bantu beres-beres rumah. Lain waktu kalau kamu nggak sibuk, kamu bisa datang," jelasnya. "Sebentar ya?" katanya, kali ini benar-benar masuk ke rumahnya dan tak lama kembali dengan jus apel dan setoples kukis. "Enggak akan sampai satu jam. Kalau kamu mau masuk, kodenya-"

"Tiga bilangan prima kedua?" tanyaku asal.

"Bukan. Urutan huruf konsonan nama saya," ucapnya datar namun membuatku tertawa. "Kenapa?" tanyanya.

"Lucu aja," kataku, sedikit melirik ke dalam begitu pintu sudah terbuka. "MRZ berarti, ya?" tanyaku sembari menghitung masing-masing urutan ketiga huruf tersebut.

"Yap!" jawabnya. "Gampang kan?"

"Kalau gampang ya kamu nggak akan pakai itu, lah!" kataku seraya meneguk jus apel yang sudah tidak begitu dingin. "Lagian nggak akan masuk juga."

"Ada waktunya," kata Mirza, sengaja menunggu reaksiku setelah ucapannya. "Ada waktunya, kan?" katanya lagi sambil mengalungkan handuknya yang dijemur dekat pintu masuk, meminta verifikasiku. "Kalau kamu mau."

Kalimat terakhir yang selalu diucapkannya padaku menunjukkan bagaimana hati-hatinya Mirza dalam hubungan kami. Segala keputusan yang diambilnya, langkahnya, apa yang akan dilakukannya, meski sudah memikirkannya, yakin, dalam hubungan kami Mirza tidak pernah melakukannya searah.

"Kalau saya nggak mau, gimana?"

"Pas udah sejauh ini?" tanyanya, tak menurunkan kepercayaan dirinya. "Uhm ... saya nggak pernah mikir usaha saya yang kurang. Tapi kalau emang nggak mau, itu di luar kendali saya."

Aku memperhatikan Mirza yang kelihatannya tidak masalah dengan pertanyaanku. Tidak ada kerendahdirian dari jawabannya, pun pesimis yang tidak pernah ada dalam kamusnya sejauh aku mengenalnya.

"Jadi, Jumat kapan baiknya saya ke sini?" tanyaku, lagi-lagi menghentikan langkahnya. "Enggak apa-apa ya, emangnya?"

Mirza mengatupkan mulutnya, mengangguk. "Kalau kamu mau—bukan, kalau kamu bersedia."

Koreksi Mirza atas kalimat yang sering diucapkannya, tak menahanku untuk bertanya, "Bedanya apa?"

"Mau itu datangnya cuma dari kamu. Kalau bersedia, selain itu datangnya dari kamu, tapi ada andil saya di dalamnya yang lebih dulu meminta, dalam tanda kutip tidak memaksa," jelas Mirza, untuk ke sekian kalinya membuatku berpikir. Apa yang sudah dilaluinya sampai ia tiba di sini? Apa yang membuatnya seperti ini? Kenapa bisa dia sehati-hati ini?

Dari tempat dudukku, bisa kulihat ke mana arah langkah Mirza. Dia menunduk sejenak sebelum akhirnya hilang dari pandanganku. Robot vacuum yang sepertinya dinyalakannya tadi pun mulai bekerja. Sambil memperhatikan ke mana perginya alat itu, dengan bebas mataku menelusuri sudut demi sudut ruangan yang dibiarkan tanpa sekat. Selain area kerjanya yang juga dihiasi dengan rak berisi buku, mainan dan plakat, aku juga bisa melihat dapurnya, televisi yang lengkap dengan speaker active, ada juga pemutar piringan hitam. Ya, Mirza amat sangat apik dan tertata. Seperti bukan hanya soal pekerjaannya, tapi segalanya tampak sangat baik entah dalam standar apa pun aku mengukurnya.

Tidak ada foto dan jam dinding. Itu hal lain yang mencuri perhatianku. Dinding bercat putih gading itu benar-benar kosong tanpa pajangan. Bahkan AC pun tidak dibiarkannya tampak di pandangan. Sekali saja melihat penampakan isi rumahnya yang seperti ini, bagiku terasa hangat dan sepi sekaligus. Entahlah, hanya perasaanku saja tanpa dasar ilmu pengetahuan.

Seperti yang dikatakannya, tak lama Mirza pun muncul dengan kaos putih dan celana training panjang. Sebelum membuka salah satu pintu yang kuduga kamarnya, lelaki itu menoleh melihatku sambil menggosok-gosokkan handuk pada rambut basahnya. Tanpa suara, Mirza menunjukkan makanan yang dibawanya tadi, kemudian menunjuk microwave-nya sambil mengacungkan jempol. Setelah memasukkannya, ia bertanya, "Mau ngopi nggak?"

Tak menjawabnya, aku justru tak bisa menahan senyumku dan menularkannya pada Mirza. Bagaimanapun aku bertambah usia, juga sedewasa apa lelaki yang bersamaku, hal-hal seperti ini akan selalu terasa manis.

Beberapa saat menunggu, Mirza keluar dengan secangkir kopi yang tadi ditawarkannya beserta sandwich yang sudah dibagi dua. Dia menggeser gelas jus apel yang sisa setengah, juga kukis yang sama sekali tidak kumakan.

"Kamu nggak ngopi?" tanyaku karena Mirza hanya membawa segelas air mineral.

"Sebentar." Mirza kembali ke dalam, lalu muncul dengan membawa tas kerjanya. Sembari duduk, dia membukanya, mengambil sesuatu dan menujukkannya padaku. "Saya harus makan obat," katanya sambil mengulum bibirnya. Lelaki itu menarik napasnya dalam-dalam, kemudian berkata, "Saya masih harus konsumsi obat, Nis. Ini udah lebih sedikit daripada pertama kali saya berobat."

"Ini ...?" Aku menahan perkiraanku, dan mendapati Mirza mengangguk santai meski belum tahu apa yang akan kukatakan.

"Saya masih rutin konsultasi. Kabar baiknya, saya nggak pernah konsumsi obat tidur lagi setelah cerita ke kamu. Respons kamu atas itu, gimana kamu lihat saya setelahnya, itu lebih dari cukup," jelas Mirza. "Yah, saya pernah sampai separah itu, Nis."

Keingintahuan dan rasa penasaran yang selama ini menyelimutiku usai mendengar perkataan Laras, kini berganti iba. Aku tidak suka perasaan seperti ini sebab aku pun tidak pernah suka tiap kali menerimanya meski hanya lewat pandangan yang diarahkan padaku. Dan, aku ingin menarik harapan yang pernah kutuliskan di buku; bahwa aku ingin menjadi sesuatu yang membuatnya merasa beruntung, menyembuhkannya sebagai bentuk usahaku.

"Mirza...." Aku menunduk, mengusap mataku yang mulai berair. Tidak boleh seperti ini. "Itu karena usaha kamu juga," kataku meluruskan, tidak ingin kalau akhirnya dia berpikir aku yang jadi penyebabnya. "Karena doa kamu juga."

"Makasih ya? Buat semuanya, sampai sejauh ini," katanya, memalingkan wajahnya dariku. "Apa kata saya tadi masih berlaku kok. Kalau kamu mau, kalau kamu bersedia, kalau kamu berkenan."

Aku masih memperhatikan Mirza yang kali ini menikmati roti lapisnya. Sesekali ia melihatku, menyuruhku makan juga.

"Kalau nggak mau, biar saya habisin," candanya sebelum menyuapkan bagian tengah yang dipenuhi isian.

Dengan senang hati aku menggeser piringku, memberikannya pada Mirza yang menggesernya balik padaku.

"Bentar lagi juga waktunya makan siang. Saya mau nyobain masakan Ibuk," kata Mirza sambil menepuk-nepuk tangannya, juga menoleh ke belakang, mematut bayangan dirinya di kaca jendela.

"Mirza...."

"Heum?" Mirza meluruskan duduknya lagi, melihatku seksama, menunggu lanjutan ucapanku. "Kenapa?"

Aku memikirkan kalimat apa yang bisa dengan baik menyampaikan maksudku padanya, namun yang tidak akan membuatnya tersinggung atau merasa dikasihani. "Kalau kamu bersedia-"

"Bersedia!" jawabnya sebelum aku menyelesaikan ucapanku.

"Apa?" tanyaku tak menyembunyikan senyumku yang senang melihatnya seperti ini. Mirza yang sedang dalam mode di luar pekerjaan dan hanya bersamaku. Aku suka melihatnya sesantai ini, namun tetap terus terang dengan apa yang diinginkan dan dirasakannya.

"Apa pun, pokoknya bersedia," katanya, membuatku tertawa.

Mungkin benar kalau aku sudah dalam fase yang lebih dari sekadar menyukainya. Nyaman, aku sudah lebih dulu merasakannya sebelum menerimanya untuk lebih dekat denganku. Aman, sejak awal aku tahu pasti kalau Mirza bukan seseorang yang akan membuatku dalam bahaya, pun hingga sekarang aku mengetahui bagaimana kondisinya. Sampai aku bertemu Laras pun, mengetahui bagaimana sosoknya yang sebenarnya, aku tak merasa itu sebagai ancaman dan kendala. Aku hanya perlu menerima kalau keberadaannya ada di dalam hubungan kami.

"Setelah ini, gimana pun saya ke kamu, semoga kamu nggak nganggap itu efek dari kamu udah jujur sama saya soal apa yang udah kamu lewatin."

Mirza menarik napasnya dalam-dalam, perlahan mengangguk, menunggu lanjutan ucapanku.

"Boleh kalau saya temanin kamu konsultasi?" tanyaku, dengan harapan semoga Mirza tidak tersinggung. "Saya mau ada waktu buat makan siang sama kamu, sekali-kali pulang bareng, atau mendadak titipin masakan saya ke CS kantor kamu. Semoga kamu nggak berpikir kalau saya iba, kasihan, apa pun itu. Saya nggak mau ada salah paham soal itu di kemudian hari. Apa kata orang, gimana mereka lihat saya ke kamu dan sebaliknya, saya nggak mau kamu terpengaruh sama itu."

Tak menjawabnya, Mirza menopang dagu memperhatikanku.

"Kalau kamu bersedia," lanjutku canggung, tak bisa menebak apa yang Mirza pikirkan. "Kalau kamu nggak keberatan, kalau kamu mau."

Mirza tertawa dengan mulut terkatup. Baru kali ini aku melihat lesung pipinya. "I fell first, she falls harder, I falling hardest," katanya seketika membuatku menutup muka, malu. "Thank you."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro