Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10 | Siapa pun tahu kalau aku sedang senang

Tidak ada yang tidak tersenyum di halaman rumah mungil nan asri ini. Faisal yang untuk pertama kalinya tampak kembali bersama Teh Denia setelah rencana perpisahan mereka, tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Jangankan Faisal suaminya, aku saja yang melihat Teh Denia sekarang gemas sekali.

Jika biasanya Teh Denia tampak seperti wanita karier dengan blazer dan sepatu hak 7cm yang kian mempercantik kaki jenjangnya, kini memakai dress sebatas betis lengkap dengan sepatu kets. Rambutnya yang biasa terurai itu juga tak menyembunyikan pipinya yang semakin berisi. Wajahnya masih saja cemberut setelah berdebat dengan Faisal yang tidak jujur soal kedatanganku, jauh sekali dari apa yang dikatakannya kalau mereka akan ke dokter kandungan kenalannya.

"Lusa ke dokternya, udah janjian," kata Faisal seraya memakai sepatunya. "Kalau aku bilang Ganis mau ke sini kan ada aja alasannya. Nanti, aku bisa sendiri, ini, itu. Ya kan, Nis?"

Sedikit ragu, aku menganggukinya seraya melirik Teh Denia yang melangkah balik dari mobil mereka sambil membawa payung.

"Isshhhhh Mami cantik banget!" godaku yang membuat Teh Denia berdecak.

Tidak sampai dua pekan dari terakhir kami bertemu, banyak sekali perubahannya. Seperti melihat orang yang sama sekali berbeda.

"Tuh kan, cantik tahu pakai setelan gitu!" Faisal menimpali. "Mau pada di sini dulu atau langsung berangkat?"

Aku melirik Teh Denia dan jam pada ponselku. "Ini kamu baru berangkat kerja?"

"Tadinya nggak akan berangkat. Tapi ini biasa, ada orang pusat. Isunya bakalan handle manajemen Mal yang baru, di Semarang."

"Terus ngambil orang kantor buat di sana, gitu?" tanyaku, masih cukup update dengan segala informasi dari perusaan tempat kerja lamaku itu.

"Iya, rencananya Sita balik cuti melahirkan nanti bakalan ditugasin ke sana. Nah ini yang mau dirapatin."

"Lah?" Setelah bertahun-tahun meninggalkan kantor, masih saja ada hal yang sulit kuterima meski tidak ada pengaruhnya juga untukku. "Terus anaknya gimana?"

"Duh, Nis, panjanglah ceritanya. Nanti aja kapan-kapan," pungkas Faisal terburu-buru menuju mobilnya. "Kabarin aja ya entar?"

Seperginya Faisal, tinggal aku berdua dengan Teh Denia yang dari tadi tidak bersuara. Keberadaanku di rumahnya sekarang bukanlah atas permintaannya ataupun karena kami sudah berjanjian sebelumnya. Tapi Faisal yang memintaku untuk menemani Teh Denia mencari pakaian yang aman digunakannya untuk masa-masa kehamilan. Katanya, sekalian kami mencairkan hubungan kami kembali yang canggung saat terakhir bertemu.

"Aku bawa ke butik kenalanku aja ya?" tanyaku lebih dulu saat Teh Denia mengunci pintu rumahnya. Meski semalam setelah Faisal menelepon aku langsung mencaritahu butik milik Laras, tetap saja aku perlu menanyakannya. Khawatir kalau ia tidak menyukainya, mengingat biasanya kami hanya akan menghabiskan waktu di Mal sekalipun tujuannya untuk membeli baju.

Mendapati Teh Denia yang tidak menjawab pertanyaanku, aku kembali berkata, "Faisal bilang bakalan ada acara tasyakuran juga, kan? Sekalian cari di sana bajunya."

Teh Denia melirikku sungkan. Melihatnya begitu, aku yang semakin gemas dibuatnya. Kapan lagi perempuan anti-romantis yang jarang sekali menunjukkan kehangatan dan kasih sayang bisa seberserah ini padaku?

"Gimana?" tanyaku lagi seraya berdiri, berkaca pada jendela yang memantulkan bayanganku dari kepala hingga sebatas perut. Sedikit mundur, aku memindai penampilanku keseluruhannya, berputar, memastikannya dari setiap sisi.

"Kamu kok mau aja disuruh Faisal?" tanya Teh Denia tahu-tahu membenarkan bagian bawah belakang kerudungku yang terlipat. Aku sedikit menoleh ke belakang, memastikan lagi penampilanku lalu berjalan ke luar.

"Kenapa? Enggak mau?" tanyaku balik.

Tidak menjawabnya, Teh Denia mengikuti langkahku. Sekali lagi ia memeriksa pagar yang sudah digemboknya, memastikan kalau sudah benar terkunci.

Jika Faisal melakukan ini sebagai suami yang ingin membuat Teh Denia sang istri berdamai dengan hal buruk yang pernah dilakukannya, aku lebih ingin melihat perubahannya. Bukan soal perubahan Teh Denia, tapi bagaimana aku memandangnya juga, apa yang bisa kuambil dari sana.

Sejauh ini, dengan tetap berteman dengan mereka-walaupun awalnya sulit-aku dibuat kagum pada diriku sendiri yang bisa melewati itu. Tidak tahu bagaimana jadinya kalau aku tidak lagi bertemu mereka. Mungkin saja waktu kelam itu akan terus menghantuiku. Tapi ini jauh lebih baik dari segala kemungkinan yang terlintas di benakku. Bertemu dengan merekalah yang membuatku sampai sini. Karena mereka, aku punya sesuatu yang membuatku bangga atas diriku sendiri.

"Lagi senang ya?" tanya Teh Denia tiba-tiba begitu masuk ke mobil.

Refleks aku bercermin pada kaca spion dan mendapati bagaimana raut wajahku. Tidak senyum, tidak berseri-seri juga. Hanya saja, itu tampak menyenangkan. Seperti sangat bersahabat, dengan keramahan dan menyebalkan yang punya persentase seimbang. Ya ... rona wajah itu kembali.

"Susah nggak cerita, senang apalagi," sindir Teh Denia seraya memasang sabuk pengaman.

Aku sedikit ragu menceritakan apa yang sedang kualami belakangan ini. Siapa pun tahu kalau aku sedang senang. Ibuk yang tahu darimana kesenangan itu berasal tetap saja menggodaku meski ujungnya tetap mengingatkan agar aku baik-baik berhubungan dengan Mirza dan bilang kalau aku sudah dewasa di mana bukan waktunya lagi perlu diawasi begitu jauhnya. Aku yang menjalani, dan aku juga yang pastinya lebih mengerti.

"Bukannya gitu ...."

"Lagi dekat sama siapa?"

Pertanyaan itu refleks memunculkan senyumku sampai menularkannya pada Teh Denia.

Tidak banyak yang aku ceritakan, aku hanya bilang kalau beberapa waktu lalu aku memakai baju yang diberikannya untuk ke acara keluarganya. Tidak menginterupsiku, Teh Denia hanya menanyakan hal-hal dasar tentangnya. Dari mana aku kenal Mirza, sudah berapa lama, bagaimana hubungan kami. Itu saja.

"Nis ...." Teh Denia menatapku lembut. "I'm happy for you."

Ucapan Teh Denia seperti memelukku. Hangat, sendu dan menenangkan.

"Belum sejauh itu, sih, Teh."

"Ya, tapi kan artinya kamu masih ada suka-sukaan gitu sama cowok. Masih mau menjalin hubungan," tutur Teh Denia sebelum menyuap permennya dan menawarkannya padaku.

Meski kesannya cuek dan tidak tahu banyak, Teh Denia juga orang yang ingin sekali aku beralih, melanjutkan hidup dengan aku yang seperti biasanya walaupun tidak mudah. Teh Denia termasuk orang lain yang tidak terkait dengan keluargaku, namun sangat mengerti kondisiku dan apa yang aku perlukan. Saat Faisal berniatan untuk mengenalkan seseorang padaku saat kuliah S2-ku baru selesai, Teh Denia yang menahannya sebelum aku menolaknya. Saat itu aku berterimakasih banyak padanya dengan berkata, "Aku nggak mikirin itu. Di bayanganku enggak ada lagi hal kayak gitu." Tidak seperti Faisal yang menegur ucapanku, Teh Denia jauh lebih mengertiku.

Setelahnya, Faisal juga jadi tidak pernah merecokiku itu lagi soal itu. Entah apa yang sudah dikatakan Teh Denia padanya. Mereka tidak memaksa, tidak menodongku dengan berbagai macam penghiburan. Bersama Teh Denia, Faisal membiarkanku pergi melanjutkan hidup lalu menyambutku pulang seakan-akan aku tidak kehilangan kehidupan lamaku. Sesimpel mengajakku makan di luar, mengobrol banyak hal atau mengajakku belanja seperti sekarang. Hanya itu.

"Mudah-mudahan jadi ya, Nis ...."

Mungkin ini efek pertemuan terakhir kami kemarin atau karena kehamilannya. Teh Denia yang melembut seperti ini membuatku haru, sungkan untuk tertawa atau meledeknya sekalipun. Faisal benar, sikapnya selama ini padaku adalah bentuk pertahanan dirinya, berlagak semua baik-baik saja, mengabaikan hal kelam yang sudah kami lewati dengan tetap berada di sisiku.

"Ya ... mudah-mudahan. Aku nggak berharap banyak, sih, Teh."

"Tapi tetap dijalanin, kan? Tetap diusahain?" tanya Teh Denia kian serius. "Sekarang yang penting itu dulu, Nis."

Benar, itu yang terpenting sekarang. Dengan aku yang masih ingin menjalin hubungan dengan seorang lelaki, memikirkan hari kemudian, merencanakan masa depan dengan orang lain.

Setelah cukup lama terjebak di jalan yang mengantarkan kami dari lampu merah ke lampu merah, akhirnya kami tiba di pelataran parkir pusat perbelanjaan. Tidak sulit menemukan butik Laras karena area tersebut baru saja dibenahi, membuat beberapa kios belum kembali terisi. Teh Denia yang cukup 'trauma' aku supiri, dengan sigap menurunkan kaca, memastikan aku parkir dengan benar.

"Hadeh tukang parkir adanya pas mau keluar doang!" keluh Teh Denia yang aku tertawai.

Sama-sama kami melangkah ke Butik yang kelihatannya juga masih dalam tahap berbenah. Seorang pramuniaga tampak sedang memasang spanduk, dibantu pramuniaga lainnya yang memegang tangga. Lewat pintu kaca yang tertutup, aku tidak melihat Laras sama sekali. Hanya ada beberapa pramuniaga yang merapikan pajangan baju dan kerudung.

"Gede juga tempatnya, ya, Nis," kata Teh Denia. "Aduh malu nggak kerudungan tapi mainnya ke sini."

Aku juga tidak tahu kalau butik yang Laras maksud adalah semacam toko busana muslim seperti ini.

"Enggak apa-apa, kali aja keterusan," candaku sambil mengajaknya masuk.

"Oh, itu yang by design-nya," lanjut Teh Denia, menarikku ke sisi lain toko.

Tidak seperti bangunan di sebelahnya, toko yang ditunjuk Teh Denia sedikit lebih kecil. Pakaian yang dipajang pun kelihatannya lebih mewah. Dari luar aku bisa melihat beberapa mesin, gulungan kain yang tersusun tak begitu rapi, juga Laras yang tampak sibuk mengukur sambil berbincang dengan perempuan yang sepertinya pelanggannya.

"Kenalan kamu yang itu?" tanya Teh Denia.

"Iya. Lagi ada klien juga. Perlu janjian gitu nggak sih?" tanyaku ragu, sedikit mengintip ke dalam lewat pintu kaca yang bersih.

"Yang gini biasanya masuk aja buat tanya-tanya dulu. Enggak apa-apa," kata Teh Denia yakin, semangat menarikku.

Belum sempat masuk, kami berpapasan dengan seorang Pramuniaga di toko pertama yang hampir kami masuki tadi. Perempuan itu mempersilakanku masuk dan berbicara sebentar pada salah seorang di dalam sana sebelum akhirnya meletakkan amplop yang dibawanya ke atas meja.

Hawa dingin langsung menyentuh kulitku. Bau kain yang bercampur dengan pengharum ruangan aroma green-tea pun menguar di inderaku. Sedikit alunan musik klasik yang memberi kesan mewah pada butik membuat kami lebih nyaman di sana. Seorang asisten lainnya mempersilakan kami duduk di sofa yang semula ditempati perempuan paruh baya yang tampak kerepotan mengajak cucunya hingga akhirnya meninggalkannya dan menyuruhnya untuk baik-baik menunggu sekaligus menitipkannya pada seorang asisten yang berdiri di balik meja.

"Ya Allah ...." Teh Denia menggeleng-geleng mengusap perutnya melihat anak lelaki itu berlari ke sana kemari, mengabsen setiap pakaian yang tergantung sampai membuat patungnya goyah. Perempuan yang tadi menyambut kami dari balik meja pun sampai harus keluar dari tempatnya untuk mengawasi si anak.

"Laras!" panggilku begitu melihat perempuan ber-dress cokelat itu mengambil salah satu gulungan kain.

"Rengganis! Bentar ya?" katanya terburu-buru kembali ke mejanya.

Sambil menunggu, aku memainkan ponselku lagi sementara Teh Denia mengamati kain demi kain dengan khidmatnya. Sesekali aku meliriknya, memperhatikan arah langkahnya. Sampai kemudian Teh Denia berhenti di depan patung berbalut dress abu-abu kecokelatan, aku tahu pasti kalau ia menyukai pakaian itu sampai berbincang-bincang dengan asisten yang mengawaninya. Sedikit tertarik, aku bermaksud menghampirinya sampai sadar kalau hanya aku yang kini mengawasi anak kecil tadi. Begitu melihat keberadaannya yang kini tengah memanjat ke meja reservasi yang tidak begitu tinggi, aku segera menurunkan anak itu. Tidak ada waktu untuk melihat sekeliling yang sibuk, apalagi ke luar yang tidak menampakkan satu orang pun.

"Ih, kamu ngapain? Dimarahin nenek kamu loh nanti!" Aku sedikit menahan kesal, tak kuasa melihat apa yang sudah dikerjakannya.

Pengadilan Agama Kota Bandung

Mataku membelalak. Antara karena melihat tulisan pada amplop yang juga ikut dicoret-coret anak itu, juga penuhnya meja dengan kertas-kertas sobekan.

"Intan, aduh!" Laras cepat-cepat melewatiku, seakan lupa dengan klien yang diantarkannya ke luar.

"Aduh, maaf. Adek ngapain, Nak ...." ucap Nenek itu lembut, membawa sang cucu keluar tanpa kata-kata.

Kini tinggal aku dan perempuan bernama Intan itu yang menyaksikan Laras dengan kekesalannya yang tertahan. Berbeda dengan Intan yang tampak was-was melihat Laras selagi membereskan kekacauan yang diperbuat anak itu, aku memperhatikan Laras sepenuhnya. Perempuan itu melirikku sekilas sebelum akhirnya memasukkan amplop yang sudah telanjur kulihat itu ke dalam laci.

"Maaf, Nis. Lumayan lagi repot," katanya seraya keluar dari meja. "Kamu cari apa? Mau buat apa?" tanyanya, dengan mudah mengembalikan raut wajah ramah dan bersahabatnya.

"Ah, itu teman saya, lagi lihat-lihat. Kebetulan mau cari baju buat acara pengajian, jadi saya bawa ke sini aja. Kayaknya udah ada yang dia taksir," jelasku lengkap, kembali mencari Teh Denia yang kini tidak lagi dalam jangkauan pandanganku. "Kalau di pajangan gitu berarti belum ada yang ambil, kan?"

"Oh, teman kamu yang lagi hamil itu ya? Kayaknya udah diurus sama asisten saya," jelas Laras. "Tadi dia udah tanya-tanya juga."

Aku mengangguk-angguk, mulai menjelajahi pakaian yang sedari tadi hanya kulihat dari tempat duduk. Laras juga menemaniku sambil menerangkan beberapa pakaian yang membuatku berdiri lebih lama memperhatikan detailnya.

"Nis, soal yang tadi ... jangan sampai Mirza tahu ya?"

Pertanyaan yang kedengarannya seperti pernyataan itu memalingkan perhatianku dari outer transparan yang membalut patung pakaian berbahan kayu. Sekilas kulihat perempuan itu yang kini melihatku penuh dengan tatapan memohon sekaligus cemas.

"Yang tadi?" tanyaku, memastikan kalau apa yang dimaksudnya sama dengan sesuatu yang aku tangkap.

Laras menarik napasnya dalam-dalam, membawaku ke jajaran koleksi pakaian lainnya. "Nanti juga kamu tahu," katanya yang membuatku kian heran.

Sungguh, jawaban Laras sekarang seperti menunjukkan bagaimana sesungguhnya perempuan itu. Perubahan raut wajah, cara bicaranya sampai pada sikapnya padaku, adalah sesuatu yang bisa dengan mudah aku tebak. Mengingat lagi bagaimana Mirza enggan bertemu dengannya, tidak bisa biasa saja bahkan setelah sekian lama tidak lagi bersama-sama, kesoktahuan dalam diriku mengatakan kalau Laras tidak sesantai itu soal hubungan mereka sekarang.

"Enggak tahu apa yang bakalan saya tahu nanti, tapi, saya sama Mirza cuma bakalan lihat ke depan aja," kataku yakin dengan apa yang sudah aku dan Mirza bicarakan. "Kita udah sepakat soal itu."

"Jadi Mirza udah bilang?" tanya Laras sedikit tak percaya. "Ah ... syukurlah," katanya yang tidak kedengaran begitu.

"Ada waktunya saya mau tahu gimana kalian dulu. Tapi, baik saya maupun Mirza, kita sama-sama udah janji buat nggak ngungkit itu. Dia udah jujur di awal, udah cerita apa yang perlu saya tahu, itu lebih baik buat ke depannya."

Lama-lama rasanya sambutan Laras tidak begitu baik. Entah mungkin saja karena dia masih menyukai Mirza, juga karena hubungan mereka yang tidak berujung baik, atau bagaimana Mirza padanya kini. Ah, akhirnya aku juga mengalami ini. Bertemu seseorang yang pernah menjalani hubungan dengan orang yang kini menjalin hubungan denganku. Tapi yang terpenting adalah bahwa aku bukan dalam posisi yang salah. Aku menjalin hubungan dengan Mirza karena ia yang lebih dulu datang dan pelan-pelan berusaha, sampai aku berkeinginan juga untuk mengusahakannya. Tidak ada yang salah denganku sekarang, pun hubungan kami.

"Mirza bilang juga soal dia lagi dirawat?" tanya Laras seperti menjatuhkan bom pada lautan kepercayaan diriku. "Mirza rutin konsultasi selepas saya tinggal."

Kali ini aku menahan diri untuk tidak menjambaknya, tak peduli kalau kerudungnya rusak sampai menunjukkan rambutnya. Bagaimana bisa perempuan yang kelihatannya anggun itu mengatakan hal tersebut dengan begitu mudahnya? Segala pertanyaan dan keraguan tentangnya tadi berganti dengan kewajaran yang kupikir memang pantas didapatkannya. Ingin rasanya memuntahkan semua pendapatku, mencecar segala yang dikatakannya. Tapi beruntung, Teh Denia memanggilku lebih dulu dari ruang ganti.

"Saya baru tahu kalau berbangga diri sama kesalahan yang udah diperbuat itu bentuk pertahanan diri," jelasku sebelum pergi. "Satu lagi, makasih udah kasih tahu saya."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro