1 | Kepergiannya yang mengubah kami
Bagaimana gambaran seorang anak tunggal yang terlahir dari orang tua berpendidikan, lengkap dengan kematangan finansial dan pemahaman agama yang baik? Benar, sempurna. Dari mereka, aku mendapatkan paras yang acapkali membuatku tersenyum dan bersyukur tiap kali bercermin di pagi hari, fisik yang mencukupi untuk melamar ke berbagai macam lembaga, kemauan untuk belajar, ambisi untuk berkembang. Tidak ada beban sedikit pun untuk memilih apa saja yang aku inginkan. Menjalankan apa yang aku mau dengan doa dan restu orang tua, bahkan dengan sedikit usaha yang seringkali kuanggap sebagai keberuntungan ketika aku berhasil meraihnya.
Kedengarannya mudah, begitu pula menjabarkannya. Tak terhitung bagaimana aku beranggapan kalau aku kurang sekali mensyukuri segala nikmat tersebut. Tapi namanya manusia, tentu saja tidak semudah itu. Menjadi anak satu-satunya yang hidup berdasarkan pilihan sendiri megantarkanku pada kesulitan lain yang juga jauh dari bayanganku. Keributan kakak beradik yang kiranya tidak akan kurasakan, kualami dengan Lembayung, adik sepupuku yang amat sangat dekat denganku.
Setelah sekian lama, Lembayung tiba-tiba menghubungiku setelah biasanya aku yang selalu menghubunginya. Dia tiba-tiba menekan bel pintu tempat tinggalku setelah terakhir kali pergi usai perdebatan kami yang tidak berakhir baik. Dan dia yang memalingkan muka dariku, balik badan dengan seluruh kekesalannya, kini duduk di hadapanku tanpa suara.
Menit ke menit berlalu, selain televisi, masih tidak ada yang bersuara di antara kami. Setelah cukup lama aku meninggalkannya untuk membersihkan diri, menyiapkan makanan, sampai kini makananku tinggal setengah mangkuk, Lembayung masih juga belum bicara. Aku dengan makananku, dan dia dengan pikirannya, mengolah kata-kata, mempertimbangkan apa yang akan dikatakannya. Duduknya tegak sempurna sementara kepalanya sedikit menunduk, sesekali menghela napasnya, melihat sekeliling apartemen. Ternyata, langit cerah di jam 11 pun tidak mampu memberikan kehangatan pada kami setelah dua tahun lamanya.
"Dompet Ayung hilang waktu demo," katanya ragu-ragu.
Aku belum buka suara, masih memperhatikannya dalam diam sambil menyendokkan suapan terakhir makananku. Matanya tidak tertuju melihatku meski wajahnya menghadap padaku sepenuhnya.
"Ke sini juga nebeng teman yang bawa mobil."
Aku menyelesaikan makanku, perlahan meminum air mineral, membersihkan mulut dengan tisu, lalu menegakkan dudukku dengan tatapan lurus padanya sambil melepaskan handuk yang menggulung rambut basahku.
"Ayung mau pinjam uang," katanya pelan sekali meski kali ini matanya tegas melihatku. "Nanti Ayung ganti-" Lembayung mengalihkan pandangannya dariku, sejenak berpikir.
Dia tiba-tiba meminta bantuanku setelah terakhir kali perhatianku ditolaknya mentah-mentah.
"-pas balik dari Bandung."
Pasti anak itu tidak berani bilang pada Sam setelah kakaknya tersebut mengeluarkan banyak biaya untuk pengobatan istrinya yang baru mengalami keguguran. Meminta pada ayah atau bundanya pun hanya akan menambah masalahnya setelah sejak awal tidak dapat banyak dukungan untuk kuliah jauh dari rumah, ditambah lagi dengan larangan mengikuti organisasi di kampus yang hanya memakan waktunya lebih banyak.
"Ngapain ikutan demo?"
Lembayung menghela napas, ekspresi yang tidak pernah aku dapati darinya sebelumnya. Pertama kalinya setelah dua puluh tahun lamanya menjadi kakak beradik sepupu.
Sebenarnya aku kasihan padanya. Aku bisa mengerti dengan pilihannya untuk menyibukkan diri alih-alih rajin pulang, menghubungi orang tua. Tapi bagaimanapun, kekhawatiran tetap menyelimutiku. Sedikit saja mengetahui kalau Lembayung anggota aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa pun aku langsung terbayangkan bagaimana dulu Kak Ajun sibuk di kampus. Ditambah lagi sekarang, di musim demo mahasiswa, menolak dan menuntut kebijakan pemerintah, aku tidak bisa membayangkannya lebih jauh.
"Kalau Mbak nggak mau bantu, ya udah."
Tidak ada Lembayung yang memohon, meminta padaku dengan gerik lucunya yang mau tak mau meluluhkan hatiku. "Ckk ...." Apa seorang adik ketika semakin dewasa akan jadi lebih menyebalkan seperti ini? "Ya udah," jawabku dengan mudahnya.
Aku dan Lembayung sama-sama keras dengan keputusan kami. Kalau saja dunia tidak membuat hidup kami terbalik, aku akan memberikannya langsung tanpa banyak bicara. Mungkin juga Lembayung dengan mudah akan bercerita tanpa perlu aku bertanya. Ya, dunia mengubah kami. Lebih tepatnya, kepergian orang yang kami kasihi sangat banyak mengubah kami.
Di usia dua puluhanku, dengan segala yang dianugerahkan kepadaku, tidak pernah terbayangkan kalau hidupku seperti sekarang. Seperti cantiknya sajian ala carte di atas piring, jadi berantakan tak beraturan begitu ditumpahkan ke kotak bekal sebab aku harus segera pergi.
Bagiku sekarang, Lembayung adalah secuil salad yang memberi rasa asing pada makananku setelah sebelumnya jadi bagian favoritku. Sejak awal kepergian Kak Ajun, baik aku maupun Lembayung sama-sama ingin biasa saja. Tetap menjadi kami yang biasa layaknya kakak beradik walaupun kami bukan saudara kandung. Perlahan tapi pasti, kami menjauh satu sama lain lewat berbagai macam masalah dan perdebatan yang mungkin saja tidak akan terjadi kalau Kak Ajun masih ada. Mungkin dia akan melerai kami, mungkin dia akan mengingatkan aku yang seharusnya dewasa menghadapinya, mungkin juga dia akan menasihati Lembayung untuk bersikap baik. Tapi masalah-masalah yang membuat kami bertengkar pun tidak akan pernah ada kalau Kak Ajun masih ada di sisi kami.
Melihat Lembayung yang sibuk dengan ponselnya, kemudian bangkit berdiri, aku tidak bisa lagi tetap pada egoku. Harus ada yang mengalah. Bagaimanapun, walaupun ini masalahnya, aku tidak bisa diam saja.
"Berapa?"
"Enggak jadi," jawabnya dingin.
"Yung ...."
Lembayung tidak menjawabnya, pergi terburu-buru meski ucapan salam tidak dilewatkannya. Aku hanya bisa mendengar suara pintu yang ditutup kasar, juga bunyi tanda pintu telah terkunci.
Harusnya aku mengalah padanya, harusnya aku bisa lebih mengertinya. Hubungan kami memang seburuk itu. Tidak ada lagi aku yang akan menghubunginya, mengomentari unggahan media sosialnya ataupun menyuruhnya untuk berkunjung ke tempatku di saat libur. Juga, tidak ada lagi Lembayung yang meminta bantuanku, mengajakku jalan-jalan, bertanya banyak hal tentang perkuliahan, kegemaran hingga pekerjaan yang aku lakoni. Aku dan Lembayung yang sama-sama tidak pernah membawa-bawa urusan keluarga ke dalam obrolan kami, benar-benar tidak pernah mengobrol lagi. Bertemu di saat harus, bicara di saat perlu. Itu saja.
Kucoba menghubunginya, namun anak itu tidak menjawab teleponku. Apa dia sudah makan? Bagaimana dia pulang? Mendadak kecemasan yang sudah lama tidak menghinggapiku, kini memelukku.
Glad, Ayung ada telepon gak?
Terkirim. Sebenarnya, ini bukan waktu yang baik untuk menghubungi Gladia yang pastinya masih perlu untuk beristirahat setelah mengalami keguguran untuk kedua kalinya. Tapi pada siapa lagi aku bisa bertanya? Membicarakannya dengan Sam hanya akan memperpanjang masalah.
Gladia
Enggak ada
Kenapa mbak?
Rengganis A. Satya
Nanya aja
Katanya mau ke sini
Eh, tolong jangan bilang Sam ya
Gladia
Siap mbak
Kalau ada apa-apa kabari aja
Rengganis A. Satya
Oke
Lekas sembuh ya, Glad!
Gladia
Aamiin
Makasih mbak
Huuuu pengen ketemu
Rengganis A. Satya
Hehe maaf ya
Lagi ada proyek
Kami sudah membicarakan ini saat grup obrolan keluarga diramaikan dengan kabar kalau Gladia keguguran. Aku langsung menghubunginya begitu membaca pesan tersebut. Dengan segala ketidaknyamananku, aku memberitahukannya kalau aku belum bisa pulang.
Belum begitu lama kami saling mengenal, Gladia adalah jembatan penghubung aku dan keluarga. Segala kabar aku ketahui darinya, termasuk soal Uwak Nurul yang mulai sakit-sakitan. Gladia juga serba tahu soal apa yang aku alami, apa yang sudah aku lalui. Tentu saja Sam yang memberitahunya. Ribut-ribut aku dan Sam pun dia yang menengahi. Di saat semua orang seperti musuhku, menjadi yang paling ingin aku hindari, Gladia yang paling memahami dan selalu ingin kutemui. Benar kata orang, adakalanya orang lain yang lebih mengerti daripada keluarga sendiri.
Panggilan dari Pak Wisnu mengalihkan perhatianku. Refleks kulihat jam yang sudah menunjukkan pukul dua belas.
"Nis, jadi ketemu Pak Mirza?"
Kukira dia lupa. Bukan, kuharap dia benar-benar lupa. "Belum, Pak. Saya masih di rumah."
"Oh, jangan lupa, ya, Nis. Tolong sampaikan salam saya."
Aku mengiyakannya saja, termasuk ucapannya yang lain, mengingatkan agar aku baik-baik saja bertemu dengan Pak Mirza, klien yang menggunakan jasa perusahaan kami untuk pelatihan karyawannya. Niatnya baik, coba saja dulu. Titik. Hanya itu, dan selalu itu. Ini sudah ketiga kalinya Pak Wisnu mendekatkan aku dengan pria dari berbagai kalangan.
Jam makan siang, di mal yang tidak jauh dari kantor. Meski sedikit malas, aku tetap mempersiapkan diri. Usai salat zuhur, aku memilih-milih setelan yang cukup santai. Kemeja putih dengan luaran sweter biru toska, serta rok plisket cokelat susu dan kerudung krem motif dedaunan.
Setidakinginnya aku dikenalkan seperti ini, aku sendiri juga tidak akan mempermalukan diri, khususnya Pak Wisnu yang sudah seperti orangtuaku sendiri selama di Jakarta ini. Pak Wisnu yang dulunya dosen pembimbingku, membuka perusahaan kecil dengan mempercayakan aku sebagai salah satu mahasiswi yang diajaknya bekerjasama. Pekerjaan di perusahaan kami tidak tetap. Tergantung ada atau tidak adanya proyek. Sekarang ini kami sedang mempersiapkan proyek pelatihan untuk perusahaan start-up di Bandung yang tentunya akan membuatku pulang juga akhirnya.
Di sela-sela pertukaran pesanku dengan Gladia, tahu-tahu aku sudah tiba di depan mal tujuanku. Usai memastikan kalau aku sudah membayarnya, aku pun turun seraya memeriksa pesan lain dari Pak Mirza yang mengatakan kalau dia masih di jalan. Tidak masalah. Aku bisa berkeliling-keliling dulu sekalian melepas penat. Namun, belum juga aku memasuki lobi, Pak Mirza yang baru turun dari mobilnya memanggilku. Pria itu menyerahkan mobilnya pada petugas valet kemudian menghampiriku. Penampilannya tidak seperti yang aku jumpai saat di kantor. Pak Mirza memakai kemeja dengan luaran sweter navy serta celana cokelat susu.
"Ini kita nggak janjian, ya, Nis?"
Air mukaku tampaknya terlalu kentara. Memakai pakaian dengan warna senada dengan orang yang akan berkenalan lebih dekat denganmu tidaklah menyenangkan kalau kamu benar tidak tertarik pada orang tersebut.
"Iya, Pak," kataku singkat, berjalan bersisian bersamanya.
"Ehm ... Mirza saja, tidak usah pakai 'Pak'," katanya. "Kalau tidak keberatan."
Klise. Khas orang-orang yang ingin lebih dekat. Usianya memang tidak berbeda jauh denganku. Tapi, dengan semua yang sudah diraihnya, pun yang dijalaninya, bukan hal mudah untuk bisa santai. Apalagi penampakannya yang amat berwibawa jauh membuatku segan.
Selama kami berjalan, kusadari Mirza aktif bertanya. Sedikitnya aku tidak nyaman karena aku tidak bisa memberikan timbal balik. Menjawab ketika ditanya, itu saja. Bagusnya, dia tidak membuatku risih, pun dia tidak tampak menuntut. Benar, orang dewasa memang berbeda.
"Kamu udah makan?"
Aku menganggukinya. Kusadari kalau itu mungkin membuatnya berpikir aku enggan makan dengannya padahal sudah berjanjian untuk bertemu di jam makan siang.
"Uhm ... kalau gitu makan di tempat yang kamu bisa ngopi atau beli makanan ringan apa aja. Saya mau makan."
Menarik. Dia tidak membelokkan tujuan kami. Tetap pada rencananya. Aku pun iya-iya saja. Pria itu membawaku ke foodcourt mal. Pilihan cerdas. Di saat pria sebelumnya yang dikenalkan Pak Wisnu mengajakku ke restoran fine dining yang malah tidak membuatku nyaman, terlalu serius dan resmi.
Memilih-milih tempat duduk, secara mudah kami mendapatkan meja di luar. Mirza memesan makanan lebih dulu sementara aku menunggu. Tidak lama juga, Mirza kembali dengan makanannya lengkap dengan beberapa camilan yang juga dibawanya.
"Saya udah beli ini. Kamu mau pesan yang lain lagi nggak?" tanyanya masih berdiri setelah menyimpan makanannya.
Ah, aku bingung menyikapinya. Mirza yang kutahu memang menyenangkan untuk rekan-rekan kerjanya. Layaknya bos bos muda yang mudah dekat dengan karyawannya. Tidak peduli ini bentuk usahanya atau dia yang memang seperti ini, ketidaknyamanan melingkupiku, keengganan pun berbisik di telingaku.
"Saya mau ngopi, sih. Saya aja yang beli. Silakan makan duluan."
Tanpa bertanya soal pesanan Mirza, aku berlalu begitu saja. Beberapa langkah jauh dari meja kami, mataku terpejam begitu tiba di dalam, menunduk menghela napas. Kenapa masih saja seperti ini? Pelan-pelan kutarik napasku, berbalik kembali ke meja kami untuk menanyakan titipannya. Belum sampai ke area luar, langkahku terhenti. Mataku menangkap punggung Lembayung. Dia duduk di meja pinggir yang membuatnya menghadap langit. Kucoba menghubunginya, namun dia sekadar melihatnya, membiarkannya saja.
Selangkah dua langkah aku dekati, seorang lelaki yang menyusulku tiba-tiba saja duduk di dekatnya. Tampak Lembayung yang ber-tos ria dengan lelaki tersebut sementara tangan kirinya memegang benda yang kerap dikalungkan anak-anak muda. Dengan lihainya adik sepupuku itu menghisapnya, kemudian mengembuskan asapnya. Ingin sekali aku menarik benda tersebut dari belakang, tak peduli kalau dia akan tercekik karenanya. Hampir tiba langkahku di dekatnya, lelaki itu lebih dulu membuat Lembayung melepaskan benda tersebut, mengantonginya.
"Jangan sering-sering, Yung."
Langkahku terpaku. Hanya dengan membaca gerak mulutnya saja pikiranku berkelana. Apa lagi yang terjadi pada Lembayung, yang belum aku tahu? Bagaimana kehidupannya di luar? Dengan siapa dia bergaul? Apa yang dijalaninya sekarang? Bagaimana lingkungannya?
Lelaki yang tadi bersama Lembayung tiba-tiba saja berdiri di hadapanku, memecah pikiranku. Baik aku dan dia sama-sama tidak bersuara. Tidak ada salam, senyum terlebih sapa. Lelaki yang aku tahu, yang pernah diperkenalkan kepadaku.
"Jangan bilang Sam," katanya kemudian berlalu.
Segera aku berbalik menghampirinya, melangkah di dekatnya. "Kenapa?"
Lelaki itu masih dengan langkahnya yang mau tidak mau aku ikuti.
"Kalau kamu mau bantu Sam, enggak gini caranya, ya!"
Nada bicaraku yang naik, membuatnya berhenti. "Lo pikir cara lo udah bener buat bantu Sam?"
Deg. Entah apa yang sudah Lembayung ceritakan padanya tentangku, tentang kami. Terakhir kali, perdebatan besarku dan Lembayung terjadi karena dia terlalu menempel padanya. Kali ini apa aku harus meributkan ini lagi bahkan di saat hubungan kami tidak juga membaik?
"Apa pun itu, saya bukan bantuin Sam. Saya kakak sepupu dia. Ya wajar, lah!"
Lelaki itu tersenyum miring, menggeleng kecil kemudian membalikkan badan lagi.
"Taufan!"
"Lo mau ikut makan sama kita?" tanyanya enteng, amat sangat santai. Kurang ajar sekali.
Apa yang jadi pertimbangan Sam sehingga adik sepupuku itu mengenalkan lelaki ini padaku tepat di hari pernikahannya waktu itu? Sudah benar aku menolaknya sejak awal.
"Tolong jangan bilang Ayung kalau saya lihat dia," kataku kemudian berbalik pada tujuanku semula.[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro