Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

SIKSAAN

"Allah menguji kita dengan sesuatu yang kita cintai, jadi jangan berlebihan dalam mencintai, agar bersedih pun tidak berlebihan"

***

Aku melangkah gontai menuju rumah. Sudah terbayangkan bagaimana Fahri nanti akan menyerang. Tapi apakah dia berani menyiksaku di depan Mama. Atau Mama juga akan ikut menyakitiku, seperti kata Kak Mayang tadi, bahwa salah satu penyebab psikopat adalah karena faktor masa lalu. Apa mungkin Mama juga begitu? Innalillah.

Aku bergidik membayangkannya. Tak berapa lama. Sebelum menyentuh gagang pintu, aku pun menghentikan langkah. Memeras otak memikirkan alasan apa yang akan disampaikan nanti kepada Fahri dan Mama.

"Assalamu'alaikum."

Tidak terdengar sahutan dari dalam.

"Assalamu'alaikum."

Aku mengulang salam dengan volume suara yang makin besar. Tetap sepi tak ada jawaban.
"Kemana Mama dan Fahri," gumamku pelan.

Aku mencoba memutar gagang pintu.
Kreekk!!

Pintu terbuka. Ternyata tidak terkunci.

"Kamu sudah pulang, Sayang. Mana belanjaanmu tadi. Ada pesananku?"

Aku dikagetkan oleh suara Fahri yang ternyata sudah duduk di kursi tamu. Dengan tertatih ia menghampiriku. Wajahnya masih pucat seperti kemarin malam, tetapi sudah lebih kuat.  Aku merasa ada kejanggalan dengan perlakuannya.

"Mmm itu Bang mmm ..., belanjaannya jatuh. Jatuh tadi di jalan. Aku tidak memungutnya lagi karena sudah hancur berantakan tergiling mobil yang lewat."

Tangannya yang sedari tadi telah merangkulku berubah menjadi himpitan, membuat  susah bernapas.

"Oo, begitukah,? Ya sudah tidak apa-apa. Besok minta tolong Mama saja untuk membelikan lagi. Kamu dari mana saja tadi?"

Nada suaranya masih lembut, tetapi pelukannya masih sama, erat dan membuat aku jengah.

"Aku tadi ..."

"Lho, sudah pulang, Nak?"

Jawabanku terputus begitu melihat siapa yang berdiri tepat di hadapan.
"Ayah ...! Kapan Ayah datang. Ibu mana?"

Aku terkejut begitu melihat Ayah ada di sana. Segera kulepaskan diri dari pelukan Fahri dan menghambur ke dalam pelukan Ayah. Mungkin inilah penyebab kenapa sikap Fahri berubah menjadi hangat. Setelah menyalami Ayah, aku mengajaknya untuk duduk di kursi.

"Ibumu sedang di dapur. Menyiapkan makan siang, Ray. Suamimu sedang tidak sehat, tapi kamu tidak mengabari kami."

"Kami tidak ingin merepotkan, Yah." Fahri berseru.

"Kalau terjadi apa-apa dengan kamu bagaimana Fahri? Di rumah ditinggal sendiri." Ayah masih megkhawatirkan menantunya.

"Tadi aku mengira jika Mama yang akan datang, Yah," timpalku.

"Ya, Mamamu tadi yang menghubungi kami, mengatakan jika suamimu sedang tidak sehat. Dia tidak bisa datang karena ada urusan di kantor. Kami berencana akan menginap di sini untuk beberapa malam ke depan. Sampai kondisimu sembuh benar." Ayah melihat ke arah Fahri.

Aku mengembuskan napas lega. Setidaknya bisa bernapas tenang untuk beberapa hari ke depan.

***

Sorenya di kamar mandi aku sedang membasahi tubuh.. Bersyukur Fahri tidak menyiksaku hari ini karena kesalahan yang kuperbuat pagi tadi. Di karenakan Ayah dan Ibu ada di rumah. Aku mengingat-ingat konsultasi kami pagi tadi dengan Kak Mayang. Apa yang harus kulakukan untuk menghadapi Fahri? Apakah Ayah dan Ibu harus ikut serta dalam masalah rumah tanggaku? Ah! Jika terllau banyak pikiran, perutku akan keram. Rasa mual pun akan menjalar keseluruh tubuh. Seakan-akan, bayiku pun berontak ketika aku mengingat Abinya.

Tak lama kemudian terdengar pintu kamar mandi diketuk dari luar.

"Buka pintu, Ray!" Suara Fahri setengah berteriak. Aku mempercepat membersihkan seluruh tubuh.

"Ray. Buka!"

"Sebentar, Bang."

"Kamu dengar tidak. Buka jiika tidak ingin kudobrak." Suaranya begitu besar. Aku takut Ayah dan Ibu mendengar. Perlahan kubuka kunci dan nampak ia telah bertelanjang dada di depan pintu kamar mandi.

"Abang mau mandi? Kenapa teriak-teriak?" tanyaku pelan. Ada kengerian yang terbayang mengingat penjelasan Kak Mayang pagi tadi.

"Aku ingin bersamamu, Sayang."

Dia mendekat ingin memelukku. Refleks, kugeser tubuh yang sudah terbalut dengan handuk, agar sedikit menjauh dari Fahri.

"Kenapa? Menolak?" tanyanya ketus.

"Aku belum shalat Ashar." Aku menjawab baik-baik.

"Ayolah! Ini kesempatan, Ray! Aku Rindu!"

Ia memaksa untuk memelukku. Ada rasa jijik yang terasa setiap kali ia menyebutkan kata rindu atau cinta. Apalagi jika ia mengajakku untuk memadu kasih, rasa-rasa diri ini hanya sebagai pelampiasan napsu semata.

Fahri masuk kekamar mandi dan memelukku. Ia menutup pintu kamar mandi menggunakan kak. Kemudian tangan kanannya memutar kunci.

"Bang, tolong bersikap baik. Aku sedang hamil."

"Aku sudah baik, Ray. Percalah. Aku lah yang terbaik!" Fahri bersikeras.

"Kamu mau apa?" tanyaku lantang.

"Aku ingin dirimu. Turuti aku!" Fahri menempelkan tubuhku ke dinding. Deru napasnya bereembus kasar di wajahku.

"Minggir,Fahri!  Perutku sakit! Jangan ditekan!"

"Layani aku, Ray!" Dia melepas paksa handukku. Dengan segenap tenaga kutarik ujung handuk yang telah ia genggam.

"Tolong jangan buat aku berteriak!"

"Teriaklah! Teriaak!" Suaranya menggelegar di telingaku.

"Jika kau ingin dilayani dengan baik, maka bersikap baiklah kepadaku!"

Secara spontan aku membelalakkan mata kearah Fahri. Lelaki beringas itu tertawa keras sambil mengelus pipiku. Tak berapa lama ia mundur beberapa langkah dan hendak menghujamkan tinjunya kearah wajahku. Dengan gerakan cepat aku menunduk dengan posisi jongkok. Sehingga kepalan tangannya menghantam dinding kamar mandi.

"Sial!"

Wajahnya menegang menahan nyeri di buku-buku jemarinya yang memerah. Aku berusaha memutar kunci ingin lari keluar., tapi Fahri kembali menarikku.

"Jangan lari, Jalang!" Rambutku seakan terlepas dari tengkorak kepala. Tarikannya begitu kuat.

"Ayaaahh ..., Ibuu! Toloong."

"Diam, Iblis! Aku akan membunuhmu beserta bayi itu!"

Aku tidak peduli lagi. Kondisiku sudah sampai di titik terlemah. Tapi aku akan berusaha sekuat tenaga untuk lari dari lelaki gila ini. Bayi di dalam kandungan harus selamat.

"Tolong, Ayah, tolong!" Sepertinya teriakanku tidak berguna, karena Fahri telah membekap mulutku.

"Aku bilang di ... arggghh!" Fahri berteriak. Telapak tangannya yang menutup mulutku telah kugigit dengan sempurna.

"Lepaskan, Rayhana!"

Teriakan Fahri bagai angin lalu. Aku mengumpulkan segenap keberanian untuk melawannya. Apa pun yang akan terjadi nanti, aku sudah siap menghadapi.

"Bangsat kau, Rayhana!"

Dengan kekuatannya yang di atas rata-rata kekuatanku, Fahri menghentakkan tangannya. Dengan sekali hentakan yang cukup keras, tangan lelaki gila itu sudah terlepas dari gigitanku. Bagai orang yang sedang kerasukan, Fahri melancarkan pukulan bertubi-tubi. Kandungan yang sudah hampir cukup bulan itu babak belur dibuatnya. Hantaman demi hantaman tarasa mematahkan seluruh tulang. Tidak cukup dengan tendangan, ia malah melibasku menggunakan ikat pinggang. Aku tidak tau dari mana ia mendapatkannya. Cambukannya terus menerus mendarat di punggungku. Mencoba berlari, ia kembali menahan. Dengan kondisi perut yang sudah membesar, aku berusaha lari dengan susah payah. Napasku tertahan seiring sakit yang kurasakan.

"Aku sakit. Tapi kau keluar tanpa seizinku kemarin." Dalam setengah sadar aku mencoba memaknai ucapannya.

"Aku sudah curiga, kau bukan hendak berbelanja. Ternyata kecurigaanku benar." Ia melanjutkan kalimatnya.

Busshh
Busshh
Busshh
Fahri tidak menghentikan libasannya. Tubuhku yang tak tertutup oleh sehelai benang lagi pun menjadi bulan-bulanan Fahri. Ia begitu menikmati setiap ayunan ikat pinggang di tubuhku.

"Kemana kalian kemarin tanpa sepengetahuanku? Hah! Betina tidak tau diri. Sudah kuberi makan malah melunjak."

Dari mana dia tau jika aku pergi bersama Mila. Siapa yang memberitahukannya?

"Jawab! Jangan diam! Kemana kau kemarin!"

"Bukan urusanmu! Lepaskan aku! Ceraikan aku!"

Fahri menarik tanganku dan menghadapkan tubuhku ke dinding. Sudah terbaca gelagatnya, aku sudah pahm betul perangai lelaki itu. Ia ingin menendangku. Sebelum Fahri sempat melakukan aksinya, kubalikkan tubuh agar terhindar dari terjangannya. Namun, sayang, aku terlambat.

Bughh!!!

Kaki Fahri tepat mendarat di perutku. Allah! Nyeri sekali! Langit-langit kamar mandi terasa berputar. Langit kamar mandi seakan runtuh seketika. Sayup-sayup terdengar suara teriakan Fahri memanggil namaku. Ia mengangkat tubuh yang telah luruh kelantai. Sakit yang kurasakan di perut bagaikan hantaman palu besar yang membuat isinya tumpah ruah. Sekujur tubuh menggigil tak tertahankan. Rasa dingin menusuk ulu hati.

Tubuhku remuk redam. Aku merasakan saat Fahri mengangkatku keatas tempat tidur. Ia menguncang dengan kuat, memintaku untuk membuka mata.

Di luar kamar terdengar panggilan bersahut-sahutan dari Ayah dan Ibu.

"Ray ...!"

"Fahri ...!"

"Buka pintu ...!"

"Apa yang terjadi?"

"Buka ...!"

Gedoran demi gedoran bertalu di telinga. Napasku sesak dan aku tidak bisa membuka mata. Kurasakan ada sesuatu yang mengalir dari bagian bawah dan membasahi pahaku, dingin dan berbau amis. Allah. Apakah Kau akan mencabut nyawaku?

“Ya Allah, darah. Rayhana, bangun!” Terdengar suara Fahri di dekat telinga

Selamatkan aku dan janinku, Ya Allah. Tidak ada daya upaya melainkan dengan segala pertolongan-MU.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro