PUTUS ASA
Usia kandunganku sudah memasuki bulan ke tujuh. Tidak lama lagi aku akan melahirkan. Belum selembar perlengkapan bayi pun yang kami persiapkan. Sudah pernah aku membicarakan masalah ini kepada Fahri, tapi ia malah membentakku. Kali ini kembali kuberanikan diri untuk merayunya. Aku duduk di pinggir ranjang sambil memperhatikan ia yang sedang berpakaian.
"Bang, tinggal beberapa bulan lagi aku akan melahirkan. Kapan kita berbelanja perlengkapan bayi?" tanyaku.
"Aku sudah meminta Mama untuk membelikan," jawabnya cuek.
"Kenapa Abang harus merepotkan Mama?"
"Mama lebih tau apa yang bayi perlukan, seharusnya kamu berterima kasih."
"Ya, tapi aku kan juga mau ikut belanja."
"Kamu mana mengerti."
"Sudah jauh-jauh hari aku tanya, tapi tidak ada respon. Tiba-tiba Mama pula yang beli." Aku berusaha untuk protes.
"Kamu mau protes? tanya Fahri emosi.
"Bukan protes, hanya mau diberi kesempatan. Aku juga punya selera untuk bayiku."
"Persetan! Tau apa kamu tentang selera. Perempuan kuno!"
Dia menendang pintu lemari hingga bergeser dari engselnya. Aku terkejut dan refleks menutup wajah dengan bantal, kemudian terdengar suara pintu kamar dibanting keras.
Fahri memang sangat pelit. Jangankan memberi uang bulanan untukku, membelikan perlengkapan bayi kami pun ia masih mengandalkan Mamanya. Hingga beberapa hari setelah itu, Mama datang membawa berbagai macam perlengkapan bayi. Ia memintaku untuk membongkar semua barang yang ia bawa dan meminta untuk dikomentari.
"Bagaimana Ray? Bagus semua, kan yang Mama pilih?"
Aku hanya mengangguk dan memaksa tersenyum. Berusaha untuk bersikap sopan terhadap Mama, yang sudah bersusah payah membantu membelikan segala perlengkapan.
"Kenapa senyum saja, Sayang. Kasih komentar, dong. Kamu, kan pintar. Di kampus juga terkenal pintar, masa kasih komentar pujian ke Mama saja tidak bisa."
Fahri ikut berbicara. Meskipun ia memakai embel-embel sayang, tapi aku merasa ada makna lain di dalam kalimatnya.
"Terima kasih, Ma, sudah bersusah payah. Padahal aku bisa juga pergi sendiri tanpa harus merepotkan Mama."
Sengaja aku berkata seperti itu, agar Mama tahu jika aku bukan istri pemalas atau kuno seperti kata anaknya.
"Oya? Fahri bilang kamu banyak tugas kuliah. Sayang juga kalau kamu yang pergi, belanja itu lama bisa seharian. Kasihan Fahri kalau pulang-pulang belum ada makanan di meja. Lagi pula kamu sudah hamil besar begitu mana bisa ikut belanja."
Tak lama setelah mengantarkan semua barang ke rumah, akhirnya Mama pamit untuk segera pulang. Tinggallah aku sendiri membereskan semua barang-barang bayi yang masih berantakan. Punggung dan badanku terasa sakit semua. Kulirik Fahri yang hanya sibuk memainkan ponsel. Tidak sedikitpun menawarkan diri untuk membantu.
Selama kami menikah, dia memang menyebut jika dirinya adalah raja dalam rumah tangga, segala kebutuhannya akulah yang memenuhi. Layaknya seorang raja, aku ibarat dayang-dayang yang siap dalam segala waktu dan bidang melayaninya.
"Bang, aku boleh minta tolong?"
"Hmm"
"Pinggangku sakit, tolong pijit sebentar, ya."
"Mari sini."
Ada angin apa ini? Kenapa dia bersikap baik. Aku pun beranjak mendekat meninggalkan tumpukan baju bayi yang berserakan.
"Di mana sakit?" tanya Fahri.
"Di sini," jawabku sambil menyentuh pinggang yang sakit.
"Buka bajumu! Biar bisa kuoleskan minyak."
Aku pun menuruti perintahnya tanpa banyak bertanya. Setelah mengoleskan minyak, dia mulai memijit punggung, tapi bukan di tempat yang terasa sakit tadi, melainkan ke mana yang ia suka. Merabai seluruh tubuh.
Aku yang sudah paham ke mana maksud rabaan tersebut, langsung angkat bicara, "Bang, bisa kita tidak sekarang? Aku minta maaf. Tapi aku benar-benar tidak sanggup. Tenaga terkuras habis seharian, perutku juga keram di tambah lagi badan sakit semua." Aku berusaha menepis tangannya yang sedang meremas pahaku.
Fahri akan memperlakukanku dengan baik, jika ia ingin menyalurkan hasrat birahinya. Dia akan bersikap lembut dalam bercinta, tetapi tidak suka bila aku membantah atau menolaknya, seperti sekarang ini. Ia menghentikan tangannya dan melihat kearahku. Mata kami saling beradu. Dengan wajah mengeras ia menatap kemudian mencekik leherku.
"A-m-m-p-p-p-u-u-n." Suaraku tercekat di kerongkongan.
Aku tidak bisa menutupi tubuhku yang setengah telanjang. Fahri menduduki kedua pahaku sementara cekikan di leher sudah agak mengendor. Ia menyeringai senang.
"Lepaskan aku Fahri. Istighfar!"
"Kau istriku, jadi aku berhak atas dirimu."
"Tapi bukan dengan cara seperti ini. Kau menyakitiku."
"Bisakah mulutmu diam sebentar?"
Fahri mengambil kantong kresek dan menyumbat mulutku. Aku harus melawan, benar kata Mila, Fahri makin semena-mena. Kumuntahkan plastik yang menyumbat mulut. Aku mencakar muka Fahri. Ia kaget dan melayangkan tamparan.
"Tolooong! Toloong!"
Dengan cepat Fahri kembali mencekikku.
"B--u-n-u-h a-k-u F-a-h--r-i." Aku terkulai tak berdaya.
"Jangan pernah berani melawanku, iblis!"
Aku memejamkan mata. Tenagaku terkuras. Aku tidak bisa berbuat apa-apa.
'Allah jika aku mati malam ini, ampunilah segala dosaku.'
"Kamu begitu menggairahkan, Rayhana. Apalagi dengan kondisi hamil seperti ini."
Ia mulai mengelus perutku yang tak tertutup sehelai benang pun.
"Maafkan Abi, Sayang. Abi harus bersikap seperti ini terhadap Umi, karena Umi bandel, tidak mau mendengarkan Abi. Nanti kamu dukung Abi, ya, jangan mau sama Umi."
Terdengar sayup-sayup suara adzan Ashar di mesjid. Tidak terlihat tanda-tanda jika Fahri akan beranjak dari atas tubuhku. Dengan kondisi tangan yang terikat ke besi-besi pinggir ranjang, aku menangis sesenggukan. Dia mengikatku setelah tadi aku melawan. Fahri bagaikan seorang pemerkosa yang sedang menjamah korbannya. Ia tak menghiraukan kondisiku yang sedang hamil. Bahkan dengan tega menindih sehingga aku berteriak kesakitan.
"Fahri .... Hentikan! Biadab!"
Ia tidak peduli. Keganasannya semakin menjadi-jadi. Tindihan tubuh tegapnya membuat aku tak berkutik. Badanku remuk redam, bagai tak bertulang. Berkali-kali aku menendang tapi tak cukup mampu untuk menghentikan gerakannya.
"Hentikan Fahri. Aku bisa mati. Ingat aku sedang hamil. Hentikaaan!"
Fahri bak kerasukan setan menggerayangi seluruh tubuhku. Menarik, memaksa agar dahaga nafsunya terpuaskan sore itu. Setelah hajatnya selesai, wajahnya terlihat semringah. Kepuasannya tersalurkan sudah, kemudian baru ia membuka ikatan tanganku.
"Jangan membantah, Sayang. Jika tidak ingin seperti tadi." Penulis itu bebannya banyak. Mereka harus mikir tulisan bagus lagi menarik, belum juga status personal branding yang harus mereka pikul. Salah2 malah ditinggal pembaca. Jarang ada yang ngaku dan berani menunjukkan sisi liar mereka. Karena apa? Mereka sering mengkhawatirkan personal branding. Takut dicap ini itu dsb. senyum bertengger di bibirnya.
Aku frustasi, berteriak-teriak di kamar, sedangkan Fahri keluar setelah berpakaian, entah kemana. Bahkan ia belum membersihkan diri. Kuraih selimut untuk menutupi seluruh tubuh. Aku meraung hingga tak ada lagi suara. Ada rasa sakit dan perih yang tertinggal. Aku memukul perut yang tampak membesar.
"Keluar kau! Keluar! Aku tidak ingin mengandung anak manusia setengah setan itu, keluaaar!!"
Tangisku makin menjadi. Terasa tendangan kecil dari dalam perutku. Semakin tangisanku pecah, tendangannya pun semakin sering kurasa.
"Aku akan mengeluarkan bayi ini."
Tidak ada lagi rasa takut dalam diri. Aku beranjak ke kamar mandi dan melihat sekeliling, apa yang bisa kugunakan untuk menggugurkan kandungan. Walau usia kehamilanku sudah memasuki bulan ketujuh, tapi aku yakin untuk tetap menggugurkannya. Aku tidak ingin melahirkan bayi Fahri. Jika bayi ini tidak keluar, biarkan saja kami mati bersama.
Aku melihat cairan pembersih lantai teronggok di sudut kamar mandi. Setelah membuka tutupnya, aku berencana untuk menenggak cairan tersebut. Kuambil botol berwarna hijau tua itu dan kuarahkan ke mulut.
"Hentikan!"
Tiba-tiba ada suara yang mengagetkank, sehingga botol yang sedang kupegang terjatuh menyentuh lantai.
'Fahri...'
Kenapa dia datang sekarang, sebelum aku berhasi meminumnya.
"Mau apa kau, Prempuan Sial? Mau bunuh diri?"
"Bukan urusanmu!"
"Sudah pintar. ya. Kalau mau mati, aku akan memudahkannya. Tapi tidak sekarang, nanti setelah bayiku lahir."
Aku diam dan tak acuh. Air mata sudah menganak sungai sejak tadi tiada henti.
"Jika memang tidak mencintaiku, untuk apa kau pertahankan rumah tangga ini? Untuk apa kau pertahankan aku tetap di sini? Lepaskan aku! Ceraikan aku!"
Emosiku sudah tidak terkontrol. Rasa lelah telah menguasai diri. Mencabik-cabik jiwa yang sedang merana.
"Oke. Kita akan bercerai. Akan aku sampaikan langsung di depan orang tuamu," jawab Fahri. Kemudian ia masuk ke kamar mandi dan mengunci pintu dari dalam.
Rabb, ampuni aku yang sudah berusaha untuk bunuh diri, perbuatan yang sangat tidak Kau sukai. Telah terbersit niat untuk menggugurkan amanah dari-Mu ini. Ampuni hamba Ya Allah. Aku bersimpuh di kakiku sendiri. Menyesali apa yang telah kulakukan tadi. Setan sedang berusaha untuk menjerumuskanku.
Aku harus menghubungi Mila. Dia akan membantuku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro