Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PERNIKAHAN

Hari itu bak raja dan ratu sehari, aku dan Fahri menjadi primadona di atas pelaminan. Semua mata tertuju kepada kami. Ramai sekali tamu undangan yang datang, apalagi mahasiswa dari kampus, berbondong-bondong ingin menyaksikan Sang Dosen pujaan yang telah memiliki permaisuri.

Fahri, dosen sekaligus suamiku terlihat sangat berwibawa mengenakan baju adat tersebut. Ia tersenyum ke arahku membuat jantung berdebar tak karuan. Ketika jemari kami saling bersentuhan, ia mulai meremasnya dan menautkan. Getar-getar cinta terasa semakin tumbuh mekar bak kuntum yang tersiram hujan.

“Kamu cantik sekali, Ray.” Dia berucap sambil memandangku. Fahri sedikitpun tak mengedipkan matanya, membuat dadaku menggelepar.
“Bapak juga tampan," balasku malu-malu.
“Kok masih menyebutku bapak, aku kan sudah suamimu!" Suara Fahri terdengar berbeda, dia terlihat kesal dan menarik jemarinya dari sela-sela jemariku.
‘Duh, salah ucap jadinya,' batinku.

Aku salah tingkah karena sikap Fahri. Ia seperti bocah yang merajuk disebabkan tak dapat jatah permen. Untuk mentralkan suasana, aku mencoba tersenyum ke arah tamu undangan, mereka sudah mengantri untuk bersalaman dengan kami. Malu, kan, jika ketahuan kedua mempelai sedang diam-diaman.

“Kamu sudah membuat kami iri, Rayhana. Betapa sempurna hidupmu," bisik seorang mahasiswi sambil memelukku. Dia adalah kakak tingkatku dikampus.
“Terimakasih, Kak," ucapku sambil tersenyum dan membalas menyalami. Kemudian ia berlalu, memberikan kesempatan kepada yang lain yang ingin bersalaman juga.
“Ray, aku selalu siap menjadi penasehatmu seperti sebelum kau menikah. Bahuku selalu ada untukmu. Jika kau ada masalah, jadikanlah aku tempat kau berkeluh kesah.” Mila juga ikut menyalamiku. Dia adalah sahabat terbaik yang kumiliki. Tidak ada satu masalah pun yang kututup darinya. Mila selalu ada dalam suka dan duka. Aku pun memeluknya erat.

“Insya Allah. Doakan agar pernikahan kami diridhai oleh Allah.”

Hingga sore hari, tamu masih saja ramai berdatangan. Ayah, Ibu dan Mama serta keluarga yang lain masih melayani mereka, sedangkan aku dan Fahri telah beristirahat di kamar. Duduk di pelaminan dan memakai pakaian adat dengan segala pernak-pernik adalah salah satu pekerjaan melelahkan yang pernah kurasa. Duduk dan berdiri di sana dalam waktu ber jam-jam bukanlah hal yang mengasyikkan. Kepalaku terasa pusing karena mahkota sunting yang kukenakan terlalu berat. Aku memilih berbaring melepas penat, sedangkan Fahri setelah mengganti baju ia keluar kamar berbaur dengan tamu undangan.

Sisa dari sebuah pesta adalah kondisi rumah yang berantakan dan kelelahan yang tiada tara. Bisa saja sebenarnya jika kami mengadakan pesta di gedung seperti orang-orang. Tapi mengingat biaya yang mahal, mana mungkin Ayah dan Ibu sanggup untuk menyewa. Ditambah lagi untuk pengeluaran catering dan lain sebagainya.

Hari sudah malam, terlihat beberapa tetangga sedang membersihkan sisa-sisa sampah yang berserakan di bawah tenda teratak yang belum di buka. Fahri baru saja pulang dari mesjid, tadi berpamitan untuk berjama’ah di sana. Ketika ia membuka pintu kamar, aku baru saja selesai berdo’a dan bersegera merapikan perlengkapan shalat yang tadi kugunakan.

Senyum semringah kuperlihatkan, saat menyambut dan menyalaminya. Fahri yang masih berdiri di pintu pun masuk ke kamar. Setelah menutup pintu, ia membalikkan badan dan menatapku dengan seksama. Tidak ada senyum yang terukir dibibirnya, hanya memperhatikan mulai dari kaki hingga pucuk kepala. Aku  hanya menggunakan baju tidur dan tidak menutup kepala, dipandang sedemikan rupa membuat salah tingkah.

“Kita makan dulu ya, Bang.” Sengaja kualihkan perhatiannya. Merasa kikuk karena terus diperhatikan, aku berkilah dengan dalih akan mempersiapkan makan malam.
“Hmm, boleh," serunya.

Aku segera beranjak menuju dapur untuk mempersiapkan makan malam. Rumah telah sepi . Ayah dan Ibu pun sepertinya telah di kamar, beristirahat setelah lelah seharian.

Kami menikmati makan malam dalam keadaan saling diam. Tidak ada yang saling bicara, hanya dentingan sendok yang melengking karena terantuk piring. Setelah selesai membereskan meja makan, kami duduk sebentar sambil menonton televisi. Tak sanggup berlama-lama, rasa kantuk menyerang. Aku pun mengajak Fahri masuk ke kamar.

“Ray, temanmu itu nama nya Mila, ya?” Ia membuka percakapan di atas ranjang.
“Ya, Bang, kenapa?”
“Tidak ada. O, ya, kau lebih cantik seperti ini, Ray. Aku suka!” Pandangannya lekat menatapku. Aku yang belum terbiasa dengan kondisi seperti ini malah menjadi malu. Jemari Fahri mulai membelai rambutku, perlahan menyentuh pipi dan mengelus dengan lembut. Aku hanya menikmatinya, tidak membalas juga tidak menolak. Kami saling diam menikmati penuh debar.

Fahri belum berhenti sampai di situ, ia memainkan jemarinya di bibirku. Perlahan wajahnya mendekat dan siap melumat. Mataku pun menutup rapat. Bukan karena menikmati, tetapi malu jika harus melihatnya. Nafas yang menderu hangat berembus di wajahku. Jarak kami yang cukup dekat membuat pikiran tidak bisa berpikir dengan normal. Lelaki yang kucintai sejak pertama kali mendengar kisahnya dulu, kini ia berada di depan tepat di hadapan, sedang menyentuhku dalam cinta yang halal.

Fahri menangkupkan kedua tangannya di pipiku. Mengecupnya dengan teramat lembut. Kemudian perlahan tangan kanannya berpindah ke ubun-ubun dan mulai merapal doa. Jantungku serasa berpindah dari tempatnya, berdebar tidak sesuai dengan ritme yang biasa. Perlakuan begitu manis yang kudapatkan, membuat aku menyerahkan diri seutuhnya. Untuk dia, cinta pertamaku.

Ketika kedua makhluk yang saling mencintai bersatu karena Allah dalam kehalalan, maka gagallah rencana setan untuk menjerumuskan keduanya. Tapi bukan berarti setan akan berhenti sampai disitu saja, karena dia akan terus menggoda tanpa mengenal lelah.

“Ray, kau begitu menggairahkan," ucap Fahri setelah kami menyelesaikan puncaknya kenikmatan.
“Aku suka, teruslah begitu, memanjakanku dalam setiap pelukanmu.”
Aku hanya tersenyum malu mendengar kalimat yang ia lontarkan.
“Sudah, Bang, jangan dibahas lagi. Aku malu.”

Kututup mulutnya menggunakan telapak tangan. Ia membalas dengan melingkarkan tangannya di pinggangku.
“Boleh aku minta lagi?” ujarnya sambil tersenyum nakal.
Aku meninju perutnya pelan, tetapi Fahri malah tertawa dan menggendong tubuhku ke kamar mandi.

Dua insan yang sedang dimabuk kepayang kembali melanjutkan aktifitas malam pertama kami. Tak peduli rasa dingin yang menggigit maupun air yang membasahi tubuh, kami terus bergumul dengan pujaan tercinta di dalam kasih dan ridha Tuhan. Saling menyentuh menularkan kasih sayang, saling berbisik memberikan kepuasan.

Kami tidak sadar jika jam sudah menunjukkan pukul dua pagi. Berjam-jam kami telah menghabiskan waktu untuk kehangatan malam pengantin. Aku terus terbayang saat ia ingin memiliku seutuhnya. Sentuhan yang lembut membuat aku terpana. Ibarat candu aku juga menginginkannya.

***

Usai shalat Shubuh berjama’ah  aku menyetrika baju yang telah dipilih Fahri untuk dikenakan ke kampus. Tidak lama, hanya selembar baju kemeja dan celana panjang. Baju yang sebenarnya telah disetrika itu kembali kusut karena terhimpit di dalam tas. Sebelum pesta kemarin, Fahri hanya membawa beberapa lembar pakaian saja, kami berencana akan mengambil semua barang Fahri ke rumah Mama hari ini sepulang dari kampus nanti.

Setelah setrikaan selesai, aku menyangkutkan kemeja Fahri digantungan, kemudian mempersiapkan perlengkapan kuliahku untuk hari ini.

“Ray, kesini sebentar.”
“Kenapa, Bang? Aku sedang mempersiapkan bahan kuliah.” Jawabku tanpa bergerak dari depan meja.
“Kau tidak dengar Ray?” Suara Fahri meninggi. Aku terkejut dan segera beranjak ke tempat Fahri berdiri.
“Ada apa, Bang?”
“Ada apa katamu? Ini coba lihat hasil dari pekerjaanmu!”

Ia mengangkat baju yang tadi telah kusetrika. Ada sedikit noda berwarna coklat di lengannya. Mungkin noda itu melekat sewaktu aku setrika tadi. Bisa saja aku ceroboh karena tidak melihat baik-baik alas setrikaan yang kugunakan bersih atau tidak.

“Minta maaf, Bang. Dilipat saja ujung lengan bajunya, nodanya pasti tidak nampak lagi.” Aku berusaha memberi saran.

‘BUUGHH’

Tanpa diduga sebuah tinju mendarat tepat di pipiku. Membuat wajah berpaling dan bibir terasa perih.

“Aww, sakit, Bang!” Aku meringis kesakitan.
“Makanya, kerja pakai mata, jangan melamun! Atau sekalian saja matamu ku congkel, hah!”

Badanku menggigil ketakutan. Tidak pernah aku diperlakukan seperti itu oleh orang lain. Baik itu Ayahku sendiri tidak pernah memukul. Akan tetapi dia, orang yang baru saja kukenal dan baru saja hati ini terisi dengan rasa cinta yang penuh untuknya, dengan mudah sekali melayangkan pukulan untukku. Itu pun hanya karena kesalahan kecil yang tidak kusengaja.

Orang yang baru saja memadu kasih denganku. Telah kuserahkan seluruh diri ini utuh kepadanya. Apakah kesalahanku begitu fatal hingga ia tega memperlakukanku seperti itu? Dengan suara bergetar, aku masih mencoba memberikan pilihan kemeja yang lain untuknya. Walau pipiku terasa kaku akibat tinju yang ia layangkan, tetapi aku tetap berusaha untuk melayani dengan baik. Tidak ingin bertengkar di hari kedua pernikahan kami. Pernikahan yang baru dilaksanakan kurang lebih dua puluh empat jam yang lalu kini berurai air mata.

“Diam! Tidak perlu menasehatiku!"
Dia berlalu menuju lemari, sejurus kemudian mengambil pakaian lain yang telah kususun rapi di sana. Aku hanya menunduk tidak ingin menatap Fahri.

“Tau kau! Aku paling benci melihat perempuan pelawan apalagi pembangkang. Tak tau diri! Jika kau masih bicara dan melawan, kau akan kuceraikan!”
“Bang! Hati-hati kalau bicara. Baru saja dua hari kita menikah, tapi sifat aslimu sudah terlihat. Beginikah sifat seorang dosen ternama di sebuah universitas yang tak kalah terkenal juga?”
“Berani kau, Ray? Berani?” tantang Fahri sambil memelototkan kedua  matanya.
“Maaf, Bang, aku tidak ingin bertengkar. Ini masih pagi.”

Hatiku terlanjur sakit dengan perbuatannya. Orang yang kukira baik ternyata hanya luarnya saja, sedangkan di dalam penuh belatung yang sedang mencari mangsa. Seorang yang bagus ilmu agamanya, tetapi dengan mudah memukul istri hanya karena kesalahan yang tidak ia sengaja.

Ia melenggang ke kampus tanpa mengajakku pergi bersama. Aku tidak boleh menangis, jika tidak ingin Ibu mengetahui kalau kami sedang mempunyai masalah.

“Bu, aku berangkat, ya. Assalamu’alaikum.” Aku pamit buru-buru agar Ibu tidak menanyakan berbagai pertanyaan yang lain. Tetapi terlambat, karena Ibu sudah berdiri di samping tempatku memakai sepatu.
“Suamimu mana? Kenapa tidak pergi sama-sama?”
“Bang Fahri buru-buru, Bu. Aku harus singgah di tempat foto kopi terlebih dahulu," jawabku mengarang alasan.

Pernikahan bukanlah sekedar untuk melepas hawa nafsu semata. Melainkan untuk saling melengkapi bersama pasangan kita. Mengisi hatinya dengan segala kebaikan, juga untuk menambah kedekatan dengan Sang Pemilik Cinta. Hewan saja bisa saling mengasihi dengan pasangannya. Konon lagi kita manusia yang diberi kesempurnaan akal, fikiran serta rasa. Bersikap baiklah terhadap pasangan, jika tidak ingin lebih rendah dari binatang.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro