Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

MENCARI PERTOLONGAN

Selama kami pindah ke kontrakan, Fahri tidak pernah lagi memukul serta meninju wajahku. Mungkin dia takut jika ada orang lain melihat, karena bekas tangannya itu membekas. Kadang memerah bahkan lebam membiru. Pernah suatu hari sewaktu aku akan berangkat ke kampus, Bu Marni, tetangga kami terus memperhatikanku dari jarak yang dekat.

"Muka sama bibir kamu kenapa Nak?" tanyanya menyelidik.

Aku kaget, padahal sengaja menunduk agar tak terlalu kelihatan. Masker kain penutup wajah juga ada di dalam tas, tapi belum sempat kupakai karena terburu-buru mengikuti Fahri yang sudah berjalan ke depan. Belum sempat kujawab, Fahri langsung menyambar tanganku dan berujar sambil tersenyum ke arah Bu Marni, "Dia terjatuh kemarin malam, Bu. Aku tidak di rumah sewaktu kejadian, hanya dia sendiri dan Ray sempat pingsan. Saat aku pulang, Ray belum sadarkan diri."
"Ya Allah, besok-besok kalau Nak Fahri lembur kasih tau ibu saja, biar ibu menemani Ray di rumah, " ucap Bu Marni prihatin.
"Baik, Bu, terima kasih." Fahri buru-buru memutuskan percakapan dengan Bu Marni, padahal wanita bertubuh gemuk itu masih ingin mengobrol.
"Permisi, Bu"

Kami berlalu dari hadapan Bu Marni. Siap-siap menaiki sepeda motor yang sudah sedari tadi disiapkan oleh Fahri. Sejak kejadian tersebut, Fahri lebih berhati-hati mengincar bagaian tubuhku sebagai bulan-bulanannya. Jika sudah marah, aka ia akan menendang paha atau kaki sehingga saat muncul lebam, maka tidak akan terlihat.

Selama di kampus, Fahri terus mengawasiku. Aku tidak bisa ikut bergabung dengan teman-teman yang lain. Ia selalu berada di sisi, seperti mengintai setiap gerakan dan menjadi bayang-bayang hitam dalam hidupku. Dosen yang mengajarku pun heran melihat tingkah Fahri.

"Dijaga trus ya, Bro. Takut ditikung orang ya, Bidadarinya?" seru dosenku.
"Dia sedang hamil, Bro. Aku tidak mau istriku jatuh pingsan di kelas dan tidak ada yang menolong. Makanya aku berjaga-jaga di sini," ucap Fahri berbohong. Dia bersikap seolah peduli, padahal semua hanya imitasi.

Mereka adalah dua orang dosen muda yang saling melempar canda, tapi bagiku candaan yang keluar dari mulut Fahri bagaikan muntahan kucing semata. Setelah mata kuliahku selesai, ia mengajak keruangannya. Mila yang sejak tadi ingin mendekatiku, tetapi terus saja dihalangi oleh Fahri.

"Ray, aku mau bicara sebentar, kita nge teh yok."
"Maaf Mila, Ray harus ikut aku. Kami sedang ada urusan."
"Ray baik-baik saja, kan, Pak. Aku hubungi dia selalu, tapi tidak pernah terhubung."
"Alhamdulillah, dia baik-baik saja dan bahagia. Dia sekarang sedang mengandung anak dari buah cinta kami. Kamu bisa lihatkan?" tanya Fahri sambil tersenyum dan memelukku pundakku di depan Mila.
"Mil, maaf ya, aku harus ikut Bang Fahri, kami buru-buru." Aku juga terpaksa ikut berbohong. Kuperlihatkan senyum hambar kepadanya, semoga dia paham jika sahabatnya ini sedang tidak baik-baik saja.

Sembari berlalu, aku menjatuhkan secarik kertas di dekat kaki sahabatku itu. Mila tidak melihat kertas yang kujatuhkan itu. Ia masih memandang kecewa disebabkan penolakanku tadi. Aku segera memelototkan mata ke arah kakinya supaya ia paham jika aku sedang mengisyaratkan sesuatu. Mila tampak heran dan tidak mengerti. Aku kembali menunjuk menggunakan jari telunjuk sebelah kiri, sedangkan Fahri berdiri tepat di samping kanan dan masih memelukku. Aku tidak bisa berbuat banyak. Hanya berdoa semoga kertas yang kulempar tadi segera berada di tangan gadis berjilbab biru itu

Bisa saja jika aku berlari dan berteriak, mengatakan jika Fahri adalah seorang yang jahat. Reputasinya akan jatuh detik itu juga. Tapi aku tidak ingin bersikap seperti itu. Jika aku membalas dengan cara yang keji seperti itu, apa bedanya aku dengan dia? Allah pasti mempunyai sebuah rencana yang indah untukku nanti. Allah tidak tidur dan aku harus bersabar sedikit lagi.

Setiba di rumah, setelah menurunkanku, Fahri kembali berangkat ke kampus. Ada jadwal khutbah Jum'at di mesjid kampus. Dia didaulat untuk menjadi khatib khutbah. Aku mendengar teman Fahri tadi mengingatkannya sewaktu kami menuju parkiran.

"Kamu jangan berani kemana-mana, Ray. Jangan mencoba curang di belakangku. Sudah untung kau kuantar pulang," ancamnya. Kemudian sepeda motor matic itu pun berlalu dari halaman.

Fahri adalah sosok yang sangat disukai di lingkungan kampus. Bahkan semua orang yang mengenalnya menganggap jika ia adalah sosok yang ideal. Selain cerdas, pribadi yang santun adalah salah satu daya tarik lainnya. Semua orang akan terpesona dengan kalimat-kalimat petuah yang ia ucapkan.. Apa pun yang keluar dari mulut Fahri, menjadi madu untuk semua orang. Tapi tidak untukku. Meskipun usia pernikahan kami masih berjalan enam bulan, tapi aku sudah mengenalnya dengan sangat baik.

***

Setelah mengunci pintu depan, aku segera melangkah ke kamar. Mencari ponsel milikku yang disimpan oleh Fahri. Tadi malam aku melihat jika ia memasukkan ponsel tersebut kedalam laci bukunya.

Beberapa hari yang lalu, aku mencatat nomor telepon baru yang dibelikan oleh Fahri. Dia telah mengganti nomor telpon lamaku. Sudsh niat dari awal, jika kertas tersebut akan kuberikan kepada Mila. Baru saja tadi pagi rencana tersebut terwujud. Disebabkan sudah beberapa hari ini aku tidak ke kampus. Seharusnya sejak dari dalam ruangan tadi kertas itu kuberikan, tetapi karena kami sedang melaksanakan ujian final, aku takut andai nanti ketahuan maka dosen akan berfikir kalau kami saling bertukar jawaban.

Semuanya telah kupikirkan dengan matang. Tidak boleh gegabah jika tidak ingin hal yang lebih buruk kembali menimpa. Aku menunggu sambil menggenggam ponsel di tangan. Nyeri di perut sudah sejak kemarin kurasakan, tapi tak kuindahkan lagi. Selama hamil, aku memang tidak boleh kelelahan, tapi waktuku untuk beristirahat tidaklah cukup. Pikiranku kembali lagi ke kertas tadi, bagaimana jika Mila tidak mengambil kertas tersebut.

Rabbi, tolong aku.

Dengan perasan kacau tak karuan, bolak-balik aku melihat keluar jendela, bagaimana bila saja Fahri sudah pulang maka akan gagal semuanya. Tiga puluh menit berlalu, tidak juga ada tanda-tanda Mila akan menghubungiku. Kuletakkan kembali ponsel tersebut kedalam laci buku milik Fahri dan menutupnya. Ketika aku hendak beranjak pergi terdengar dering ponsel dari dalam laci. Buru-buru kutarik kembali laci buku tersebut. Sebuah panggilan masuk dari nomor baru. Aku menggeserkan tanda hijau ke samping dan terdengar suara seorang perempuan dari seberang.

"Assalamu'alaikum, Ray."
Itu suara Mila. Aku sangat mengenalnya. Mila menghubungiku. Allah, Engkau mendengar doaku.
"Wa'alaikumsalam, Mila." Aku menangis.

Terharu dan sedih bercampur menjadi satu. Aku butuh seseorang untuk berbagi. Diri ini sudah tidak sanggup lagi memikul segala beban seorang diri. Tidak mungkin aku mengadukan kepada Ayah dan Ibu, kodisi kesehatan Ayah jauh lebih penting.

"Ray, ada apa denganmu? Aku merasakan, kamu sedang tidak baik-baik saja."
"Mila, aku tidak punya waktu banyak untuk menceritakan semua. Sebentar lagi Fahri pulang dari mesjid. Aku tidak baik-baik saja. Banyak yang ingin aku ceritakan."
"Oke ... oke! Tapi masalahnya apa, Ray?"
"Aku akan ..."
Kalimatku terhenti. Kupasang telinga baik-baik. Ternyata, deru mesin motor milik Fahri sudah memasuki halaman. Aku langsung memutuskan panggilan dengan Mila dan cepat menghapus panggilan masuk. Sejurus kemudian ponsel itu kuletakkan kembali kedalam laci seperti semula. Aku berusaha untuk bersikap sewajarnya. Ah! Sial! Baru saja teringat, jika aku lupa mencatat nomor Mila.

"Ray, Kamu belum masak? Sengaja tadi kuantar pulang, biar di rumah ada makanan. Apa juga kerja mu dari tadi, hah?" Suara Fahri meninggi dari arah dapur.

Habislah sudah!

"Aku belum masak, Bang. Stok di kulkas sudah kosong." Kuhampiri ia yang sedang berdiri di pintu dapur.
"Alasan, terus saja berulah. Jangan kau pikir aku akan melepaskanmu! Kau akan tetap menjadi boneka hidupku, Rayhana."
Kemudian Fahri meraih pisau dapur yang berada di dekatnya dan menyodorkan kearahku.
"Mau apa kamu, Fahri."
Dia tidak menjawab dan terus maju mendekat ke arahku. Segaris kemudian ujung pisau itu menyentuh leherku.
"Fahri, hentikan. Aku akan melaporkan segala perbuatanmu ke Polisi." Ancamku.
"Sudah berani kamu ya, sudah punya taring ternyata."
Darah segar mulai mengalir akibat goresan yang dibuat oleh Fahri.
"Lapor, ayo lapor. Sekarang juga laporkan!" Sambungnya sambil terus memainkan pisau tersebut di leherku.
"To-long!"
Aku mencoba untuk berteriak, tapi belum sempat suara keluar, Fahri telah membekap mulutku. Segala macam cara kulakukan untuk membebaskan diri darinya. Tapi tetap tidak bisa. Dalam keadaan hamil pun, ia memperlakukanku sedemikan rupa. Lelaki macam apa itu? Tega menyakiti seorang calon ibu yang sedang mengandung janin anaknya.
***

Setelah kejadian siang kemarin, Fahri bersikap kembali seperti semula. Seolah-olah tidak ada masalah yang menimpa. Dia juga tidak curiga jika Mila pernah menghubungiku. Bersyukur Mila tidak menghubungi lagi setelah hari itu. Dia memang seorang sahabat yang bisa diandalkan. Nalurinya begitu kuat. Dia selalu ada untukku di mana pun dan kapan pun.

Fahri sedang bersiap-siap hendak ke kampus. Setelah menghabiskan sarapannya, lelaki itu pergi tanpa permisi. Yakin ia benar-benar telah pergi, dengan sigap aku mengunci pintu depan. Kemudian beralih ke kamar mengambil ponsel. Bagaimana caranya untuk menghubungi Mila kembali. Atau aku pergi saja ke kampus untuk menemuinya. Pikirianku berkecamuk. Semuanya harus dipersiapkan, tidak bisa instan. Karena jika ketahuan maka nyawaku menjadi taruhan. Fahri bukan seperti orang biasa, dia sanggup melakukan apa saja yang bahkan orang lain masih berfikir dulu untuk melakukannya. Tidak ada rasa belas kasihan dalam prinsip hidupnya.

Ponsel dalam genggamanku bergetar. Sengaja setelah menerima telpon dari Mila kemarin aku menonaktifkan nada dering seperti semula. Segera kugeser tombol hijau dan mendengar suara siapakah diseberang sana.
"Assalamu'alaikum, Ray. Kamu baik-baik saja?"
"Mila.."
"Aku melihat suamimu di kampus, jadi segera aku menghubungimu. Apa yang terjadi?"
"Fahri jahat Mil. Dia selalu menyiksaku."
"Apa?" Mila kaget.
"Oke, dimana kita jumpa?" Dia melanjutkan.
"Aku tidak berani keluar, takut ketahuan Fahri."
"Pak Fahri ada di kampus. Itu artinya aku ke rumahmu saja. Berikan alamat."
"Kamu bukannya ada jadwal kuliah hari ini?"
"Gampang, tinggal bolos!"
Setelah memberikan alamat, dia memutuskan sambungan telpon. Aku sangat membutuhkan Mila untuk saat ini. Dialah satu-satunya orang yang bisa kupercaya selain Ayah dan Ibu.

***

Aku tersedu di depan Mila. Sambil mengusap bahuku, Mila juga ikut menangis. Tercurahkan sudah segala pilu. Beban yang kupikul sendiri sangatlah berat.

"Kamu kenapa diam saja, Ray? Perbuatannya itu sudah sangat biadab," seru Mila emosi.
"Aku mencoba untuk bertahan. Berpikir dia akan berubah seiring waktu berjalan."
"Berubah? Kamu tidak salah, Ray? Selama menunggu dia berubah kamu akan mati disiksa. Dia itu sakit. Kamu harus ambil sikap. Berpisah dengannya adalah keputusan yang tepat." Nafas Mila naik turun. Matanya membulat. Ia terlihat sangat kesal.
"Tidak Mil. Aku tidak akan berpisah dengan Fahri. Aku akan menjadi seperti yang ia minta. Istri yang patuh dan tidak melawan."
"Kamu akan mati, Ray. Open your eyes! Lihat siapa dia, layak untuk dipertahankan atau tidak. Oh, come on, Rayhana. You are smart! Jangan mau dibodoh-bodohi oleh Fahri."

Mila mengoncang-goncangkan bahuku. Aku terdiam mendengar kalimat Mila. Apakah aku ini memang bodoh atau mencoba untuk menjadi istri yang taat, meski pun ia selalu mendhalimiku? Tapi bukan perpisahan yang kuharapkan. Aku ingin mempertahankan rumah tanggaku sekuat yang aku bisa. Agar anak kami nanti mempunyai orang tua yang utuh.

"Aku tidak bodoh, Mil. Kamu ingat perjuangan Asiah, istri Fir'aun? Bagaimana ia disiksa karena tidak mendengar perintah Fir'aun? Fahri bukanlah apa-apa, walau aku juga tidak sanggup menahan siksaannya."
"Bukan apa-apa menurutmu? Setelah ia membakar, menusuk dan menyiksamu selama ini? Dalam kondisi hamil seperti ini dia masih tega menyakiti istrinya. Suami macam apa itu? Apa ia layak untuk diperjuangkan, Ray?"
"Aku hanya ingin mempertahankan rumah tangga kami, Mil. Hanya itu!"
"Hanya kamu yang berusaha untuk mempertahankan rumah tangga kalian, sedangkan suami gila mu itu tidak! Rumah tangga kalian sudah tidak sehat, Dear! Kamu tidak harus memperjuangkannya. Just left it and find the good one for you!" Mila sangat emosi.
"Begini, Mil. Aku menghubungimu karena ingin berbagi duka. Selama ini aku menyimpannya sendiri. Tidak mungkin aku mengadukan kepada orang tuaku. Kamu tau, kan, kalau Ayah mempunyai riwayat penyakit jantung." Aku kembali terisak. Mila mencoba menenangkanku.
"Maafkan aku, Ray. Aku tidak bermaksud menambah beban di hatimu. Hanya aku tidak senang melihat kamu seperti ini. Kamu pintar, masih muda, masih banyak mimpi yang harus kamu kejar. Jika suamimu seperti itu, kamu tidak bisa mempertahankannya. Dia sudah dhalim!"
"Apa aku salah jika mencoba untuk berusaha? Untuk beberapa waktu ke depan." Aku menatap Mila, memohon pengertiannya. Mila hanya menarik nafas dalam-dalam dan melihat ke arahku.
"Aku selalu ada untukmu. Apapun yang terjadi selalu hubungi aku. Aku akan menyetujui segala keputusanmu."
Kami saling berpelukan dan menangis.
"Cukup hanya dirimu yang tau, kamu janji, Mil?"
"Insya Allah."

Akhirnya aku meminta Mila untuk segera pulang, karena tidak lama lagi Fahri akan datang. Jadwalnya mengajar sudah selesai. Setelah Mila berpamitan, aku segera beranjak ke dapur. Jangan sampai ketika Fahri pulang belum ada makanan yang tersedia di meja. Aku memasak dengan semangat, ada sedikit perasaan lega yang terasa. Semua yang kualami bersama Fahri memang menyakitkan. Tapi aku masih baik-baik saja. Lama-kelamaan aku telah terbiasa dengan semua itu. Allah masih melindungi. Karena disebalik kisah yang Allah berikan, pasti ada hikmah di dalamnya. Aku hanya sedang berusaha agar rumah tangga ini baik-baik saja dan Fahri segera menyadari kesalahannya.

Allah.
Aku memohon kepadamu, lembutkanlah hati suamiku. Jadikanlah ia seorang yang penyayang yang selalu menyayangiku. Menjadi imam yang baik dalam rumah tangga kami. Suami yang mengajakku ke syurga-Mu. Bukan sebaliknya. Aku mendabakan seorang suami yang selalu membimbingku untuk dekat dengan-Mu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro