Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

MENCARI JALAN KELUAR

"Bertakwalah kepada Allah dalam memperlakukan para wanita, karena kalian telah mengambil mereka (sebagai istri) dengan perjanjian Allah dan menghalalkan hubungan suami istri dengan kalimat Allah."
(HR. Muslim)

***

Mila kembali datang ke rumah, setelah aku menghubunginya diam-diam. Ada perasaan lega setelah menceritakan semua yang kualami kemarin sore. Gadis berkaca mata itu terlihat begitu emosi.

"Setelah hampir mati, apa lagi yang harus dipertahankan, Ray?"

Pertanyaan Mila terasa menohok. Apa yang harus dipertahankan jika bukan rumah tanggaku. Bagaimana nasib anakku kelak? Masih bayi sudah tidak merasakan kehadiran ayahnya. Namun, jika hanya aku sendiri yang berusaha untuk menyelamatkan bahtera ini agar tidak tenggelam, itu sangat mustahil.

"Aku tidak tau, Mil," jawabku sambil mengusap air mata.

"Lihatlah kondisimu. Tidak ada lagi Rayhana yang cantik dan periang. Tubuhmu penuh lebam. Wajahmu sendu dan kurus. Kamu malah lebih terlihat seperti busung lapar dari pada hamil." Napas Mila naik turun menahankan amarah.

Sebesar itukah efek dari perlakuan Fahri terhadap diriku? Bagaimana jika Ayah dan Ibu melihat kondisiku sekarang? Mereka pasti akan tersakiti. Aku takut Ayah tidak bisa menerima semua ini.

"Mil, apa yang harus aku lakukan sekarang?"

"Pisah, Ray. Pisah!"

" Tidak semudah itu. Aku akan melahirkan."

"Jika aku diposisimu, dari dulu sudah minta pisah. Bukan untuk suami seperti dia kamu harus bertahan, Sayang."

Mila memelukku. Kulepaskan semua lelah di bahunya.

"Allah masih sayang sama kamu, masih diberi kesempatan untuk hidup walau disiksa trus sama lelaki bejat itu. Tolong hargai kesempatan yang Allah berikan. Keluar dari terowongan gelap ini, Ray. Ini bukanlah sebuah rumah tangga, melainkan kuburan yang liang kuburnya sedang digali oleh Fahri untuk kamu."

Aku bergidik mendengar kalimat Mila. Ada benarnya juga apa yang ia katakan.

"Kuliahmu terbengkalai, nilaimu anjlok. Dan sekarang kamu mengambil cuti. Untuk berapa lama? Sampai kapan, hah?" lanjut Mila.

"Bagaimana jika aku menunggu setelah bayi ini lahir, baru aku akan menggugat ke pengadilan?"

"Kelamaan, Ray. Bisa-bisa kamu sudah cacat dibuatnya atau hanya tinggal nama. Na'udzubillah."
"Astaghfirullah, Mila."

"Jangan lemah! Kamu jangan mau disiksa sama dia."

"Aku tidak lemah. Aku hanya tidak punya bukti apa-apa jika menceritakan ke orang tua. Apa lagi Mamanya pasti tidak akan mempercayai. Hanya bekas-bekas lebam ini saja. Tapi jika bukti lain tidak ada."

"Aku yakin orang tuamu pasti percaya, Ray. Kamu tidak butuh pengakuan dari tetangga atau orang lain untuk mempercayaimu. Yang kamu perlukan sekarang adalah bukti untuk memperkuat tuntutanmu nanti."

"Ya, aku tau itu, Mil"

"Nah, sekarang tugas kamu adalah mendokumentasikan semua bekas luka yang ada di tubuhmu. Diam-diam agar tidak ketahuan."

"Oke, I'll try it."

"Hmm .... Semenjak menikah dengan Fahri, kamu jadi lamban dalam berfikir. Mungkin karena kepalamu sudah sering terbentur ya."

Mila malah menertawaiku. Aku memukul lengannya. Ikut tertawa bersama Mila. Dia adalah sahabat terbaikku dari dulu.

"Sudah berapa bulan kamu tidak pernah senyum, Ray?"

Aku kembali memukulnya. Candaan gadis mungil itu kembali membuatku tertawa. Memang benar, bahkan aku tidak teringat lagi kapan terakhir kali tersenyum setelah menikah. Kehidupan rumah tangga yang begitu mencekam ditambah dengan sifat Fahri yang menakutkan membuat kondisiku juga ikut muram.

"Ray, apa kamu mau jika aku ajak konsultasi ke psikolog. Mungkin ada solusi untuk rumah tangga kalian. Selama ini kalian belum pernah ke psikolog, kan?"

"Belum, tapi apa mungkin Fahri mau. Sedangkan dia saja sangat menutupi sifat aslinya dari orang luar."

"Kamu tidak perlu mengajak dia. Cukup kamu sendiri dulu yang pergi. Ceritakan semua yang kamu alami dan minta solusi."

"Mana bisa aku keluar rumah, Mil. Aku takut jika ia pulang, tapi aku tidak di rumah. Pasti siksaan bertubi-tubi yang aku dapat."

"Bisa, nanti caranya kita pikirkan."

Setelah bercerita panjang lebar, aku sudah mendapatkan sedikit pencerahan dari Mila. Kenapa tidak terpikirkan olehku sebelumnya, apa benar kata Mila, jika aku menjadi lamban berfikir setelah menikah.

Akhirnya Mila berpamitan untuk pulang. Dia juga takut jika Fahri datang lebih cepat, maka rencana yang telah kami susun akan terbongkar.

***

"Assalamu'alaikum."

Tak lama setelah Mila pulang terdengar orang mengetuk pintu dan memberi salam.

"Ray, buka pintu, Nak. Ini Ayah sama Ibu."

Orang tuaku datang. Rasa gugup menjalari sekujur tubuh. Aku tidak boleh tampak bersedih, jika tidak ingin Ayah masuk ruang ICU kembali.

Ayah terkena gangguan serebrovaskular. Salah satu gangguan pada jantung yang mengakibatkan terjadinya hambatan dalam sirkulasi darah dari jantung ke otak. Menurut penjelasan dokter sewaktu Ayah dirawat dulu, jenis penyakit jantung ini sangat berbahaya, karena dapat menyebabkan stroke pada otak. Sehingga sebelum menikah dulu sekuat tenaga aku dan Ibu selalu membuat kondisi rumah menyenangkan, walau pun kadang ada masalah, tetapi selalu kami tutupi dari Ayah.

"Wa'alaikumsalam warahmatullah. Sebentar." Aku menjawab dengan suara keras dari dalam.

Sebelum keluar, terlebih dahulu aku berjilbab rapi dan menggunakan gamis panjang agar lebam-lebam di sekujur lengan dan paha tidak terlihat. Tidak lupa juga aku mengoleskan foundation untuk menutupi kantung mata yang kian menghitam. Serta lip balm agar tidak terlihat bibir yang pucat.

"Ibu, Ayah!" Aku menutupi kemurungan dengan memberikan senyuman untuk keduanya. Mereka tidak boleh tahu masalah rumah tanggaku, setidaknya untuk saat ini.

"Ya ampun. Ray. Ibu kangen. Beberapa kali Ayahmu menelpon ke ponsel Fahri, katanya kamu sehat-sehat saja. Apa kamu begitu sibuk ya, Nak, hingga tidak sempat ngobrol sama Ibu dan Ayah?"

Astaghfirullah. Lagi-lagi Fahri. Dia tidak pernah memberitahuku jika Ayah pernah menelepon.

"Oo ...! Begini, Bu, emm ... ya, aku sibuk ke kampus terus. Mungkin sewaktu Ayah menelepon, aku sedang tidak di rumah." Aku gelagapan di dalam kebohongan.

"Ponselmu ke mana, Ray?" Suara berat Ayah membuatku gugup.

"Rusak, Yah, sudah diperbaiki tapi belum diambil. Tidak sempat-sempat."

Tidak ingin muncul pertanyaan-pertanyaan lain dari mulut Ayah, aku langsung menarik lengan Ibu ke dalam. Meletakkan barang bawaan mereka dan meminta keduanya  beristirahat di ruang tamu sambil mengobrol melepas rindu.

"Ayah dan Ibu sengaja tidak memberitahu kalian jika kami akan datang. Hampir setahun kalian pindah, baru sekarang kami sempat menjenguk."

"Tidak apa-apa, Yah, aku pun tidak pernah pulang. Bang Fahri selalu sibuk di kampus, jadi tidak sempat mengantarkan. Beliau tidak mengizinkan jika naik angkutan umum."

"Ya, tidak apa-apa, Nak. Yang penting dengar apa kata suamimu, patuh kepada suami, tidak macam-macam."

"Ya, Bu. Insya Allah."

Mataku memanas mendengar nasehat Ibu. Ingin sekali aku memeluk dan mencurahkan segala beban kepadanya. Mengadu semua cerita yang kualami selama hidup bersama Fahri. Namun, aku tidak bisa. Ayah dan Ibu tidak boleh tahu. Aku tidak ingin membebankan mereka. Berita ini terlalu sakit untuk mereka.

"Kamu kurusan, Ray. Orang hamil memang seperti itu. Dulu, sewaktu Ibu mengandung kamu juga begitu. Badan kurus, muka hitam, banyak flek. Biasanya nanti setelah melahirkan berubah, kok."

Aku hanya tersenyum mendengar cerita Ibu. Membuatkan minuman untuk mereka, tertawa bersama, sedikit melupakan masalah yang sedang mendera. Rindu yang kian membuncah antara orang tua dan anak perempuan mereka. Aku bisa menyimpan duka seorang diri, tak ingin berbagi, setidaknya tidak untuk saat ini. Hanya kepada Allah aku memohon perlindungan siang dan malam dari bayang-bayang suami yang menakutkan.

Fahri belum juga tiba hingga Ayah dan Ibu kembali menumpangi sebuah angkutan umum untuk pulang.

"Sampaikan kepada Fahri, jika kami datang berkunjung," ucap Ayah sambil membelai pucuk kepalaku.

"Baik, Yah."

"Jaga dirimu baik-baik ya, Nak. Berdoalah selalu kepada Allah agar diberi perlindungan dari orang-orang yang ingin menyakitimu."

Pesan Ibu begitu mengenai hatiku. Ibu seperti bisa membaca isi pikiran. Mungkin inilah yang dikatakan ikatan batin antara orang tua dan anak, tidak bisa dipisahkan. Aku memeluk Ibu dan menyalami Ayah. Dua orang yang sangat kucintai lebih dari diriku sendiri. Orang yang selama ini berjuang menghidupiku. Siang dan malam Ayah dan Ibu bekerja hanya untuk masa depanku.

Ayah hanya seorang buruh bangunan, sedangkan Ibu, seorang pembantu upahan. Pergi pagi pulang petang, bekerja di rumah orang.

'Ibu, aku akan segera kembali, menjenguk Ibu dan Ayah di rumah. Tidak lama lagi.'

Ayah dan Ibu menaiki angkutan umum yang sudah berdiri di depan rumah sejak tadi. Mereka pun pamit  pulang. Setelah angkutan yang mereka tumpangi tak terlihat lagi, aku beranjak ke dalam. Air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya tumpah ruah. Sesak di dada seakan-akan dihimpit oleh batu besar. Susah bernapas.

Aku menutup wajah dengan bantal agar tangisanku tidak terdengar. Ujian seperti apa lagi yang akan Allah berikan untukku? Diri ini tidak mampu, Rabbi. Sudah cukup Kau uji selama ini.

***

Fahri belum juga pulang, tidak seperti biasa. Sudah berulang kali aku mencoba menghubungi ponselnya, tapi tidak ada jawaban. Jam menunjukkan pukul delapan malam. Aku baru saja selesai shalat Isya. Tak lupa setelah itu berdoa agar Allah selalu melindungiku juga Fahri di luar sana. Bagaimanapun juga perlakuannya, aku tidak boleh mendoakan keburukan untuk suamiku sendiri.

Beberapa menit kemudian, dari depan terdengar suara ketukan di pintu.

"Assalamu'alaikum!"

"Assalamu'alaikum!"

Suara salam terdengar bersahutan. Kubuka pintu kamar, dengan kondisi masih menggunakan mukena, aku berjalan mendekati pintu depan.

"Wa'alaikumsalam. Siapa di luar?" Aku bertanya terlebih dahulu sebelum membuka pintu.

"Bu, ini kami bawa Pak Fahri. Tadi beliau jatuh, sepertinya kecelakaan tunggal!" teriak mereka dari luar.

Apa!! Fahri kecelakaan? Segera aku memutar kunci dan membukakan pintu. Nampak dua orang laki-laki muda yang memapah tubuh Fahri.

"Lemas ini, Bu. Pak Fahri jatuh dari motor di simpang dekat kampus. Cuma kami tadi yang lewat di sana. Dari jauh lihat Bapak sudah tumbang sama motornya."

"Innalillahi! Tolong bawa ke dalam, ya, Dek. Ke  kamar." tegasku.

Mereka berdua membawa Fahri yang terlihat sangat lemah. Sempat kulihat wajahnya begitu pucat. Aku pun mengikuti kedua pemuda itu ke kamar.

"Sudah ya, Bu. Kami permisi. O ya, sepeda motornya kami masukkan juga, Bu? Ada lecet-lecet sedikit."

"Boleh, Dek, boleh. Terima kasih banyak, ya. Kalian mahasiswanya Bapak, kan?"

"Ya, Bu."

Setelah selesai memasukkan sepeda motor milik  Fahri, mereka pun pamit pulang. Tinggallah aku berdua dengan suamiku di rumah. Kuperhatikan wajah lelaki yang sedang memejamkan mata itu. Aku mendekat dan duduk di tepi ranjang. Perlahan kubuka sepatu yang masih menempel di kakinya. Kemudian menyalin pakaian dan menggantikan dengan yang bersih. Fahri diam saja, tidak ada protes seperti biasa. Tangan kekar yang biasanya ia gunakan untuk menyiksaku, kuelus perlahan. Kembali kutatap wajahnya, aku merindui ada senyuman untukku di sana. Mata yang tidak pernah memelototiku serta mulut yang tidak pernah berkata kasar terhadapku. Air mataku mengalir perlahan. Aku mencium pipinya. Ciuman pertama yang kulakukan sejak kami menikah. Biasanya aku tak berani mendekat kecuali jika ia yang menginginkanku.

Ia menggeliat, mungkin terganggu dengan kehadiranku. Nampak beberapa lecet di siku dan lengannya. Dengan hati-hati aku membersihkan agar tak menimbulkan rasa sakit. Tidak ada yang menghubungi Mama. Karena setelah kejadian yang lalu, ia membuat pasword berlapis untuk ponselnya. Sedangkan aku tidak mempunyai nomor teleponn Mama.

"Bang, aku telepon Mama?"

Hening. Tak ada jawaban.

"Bang, apa boleh aku hubungi Mama?"

"Tidak usah."

Dalam keadaan sakit pun dia masih bisa bersikap ketus.

"Abang kenapa tadi jatuh. Lelah, ya?"
"Jangan banyak tanya, Ray. Ambilkan aku minum!" Suaranya lemah tapi tetap ada kesan memerintah.

Aku bergegas ke dapur, setelah itu kembali membawa gelas berisi air putih tersebut ke kamar.

"Dudukkan aku!"

Aku melakukan apa yang ia minta tanpa berkomentar apa-apa. Jauh sudah harapan ingin bisa bermanja atau saling bertukar cerita. Dengan susah payah aku mendudukkan dan menyandarkan kepalanya ke bantal yang terlebih dahulu telah kususun di pinggir ranjang.

"Abang pucat sekali. Kita ke dokter saja, ya."

"Tidak usah, nanti juga sembuh."

"Di bagian mana Abang rasakan sakit?"

"Seluruh tubuh. Pijiti aku!"

Aku memijit lengannya dengan perlahan. Kemudian beralih ke kaki, kaki yang biasanya menendangku. Terekam semua kejadian dengan nyata di pikiran, trauma yang berkepanjangan, membuat aku jadi hilang rasa percaya diri dan terus dihantui ketakutan.

***

"Ray! Ray! Bangun. Bantu aku. Tubuhku sakit semua. Cepaat!"
Aku tersentak terbangun. Ternyata semalam aku tertidur saat sedang memijiti Fahri. Masih setengah sadar aku berusaha berdiri untuk menolong Fahri.

"Tulang punggungku sakit. Mataku berkunang-kunang," keluh Fahri.

"Kita ke dokter saja, Bang. Biar abang cepat ditangani."

"Tidak. Aku mau di sini saja!"

Aku tidak lagi memaksa. Perlahan-lahan sudah memepelajari karakternya, karena jika salah, maka aku juga yang merasakan siksaan. Setelah menyuapi sarapan, aku permisi untuk keluar sebentar. Alasan untuk membeli keperluan dapur yang stok-nya sudah kosong. Biasanya Fahri yang akan membeli semua. Karena dia tidak pernah memberikan uang belanja kepadaku, tapi sekarang kondisinya sedang tidak memungkinkan untuk pergi, sehingga aku pun menjadikan ini sebagai kesempatan untuk bisa keluar rumah.

Entah angin dari mana ia mengizinkanku untuk keluar. Namun, dengan syarat aku pergi tidak lama.

"Aku saja yang menelepon Mama untuk ke sini. Kamu pergilah, belikan pesananku," ucapnya masih dengan nada memerintah. Tak peduli dengan sikapnya, aku malah bersyukur dalam hati dan bergegas pergi.

Tidak jauh dari rumah, aku menghubungi Mila agar segera menjemput. Jangan sampai ada orang lain yang melihat saat aku sedang berdiri di sana, bisa-bisa akan diadukan pada Fahri.

"Mil, aku sudah di tempat, ya. Kamu segera ke sini, jangan buat aku menunggu lama. Waktuku hanya  dua jam."

Sebelum pergi tadi, diam-diam aku menyempatkan meraih ponsel. Agar bisa menghubungi Mila. Aku harus bertindak,  demi rumah tangga dan calon bayi di rahimku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro