Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

KONSULTASI

Novelnya bisa jadi beberapa bulan lagi baru terbit. Jika ingin bergabung ke grup pembelian kami, sila klik link WA ME di bawah ini jika teman-teman berminat.

https://wa.me/6282273110042?text=Saya%20tertarik%20dan%20mau%20order%20novel%20Suamiku%20Psikopat%20jika%20sudah%20masa%20PO

***

“Siapa yang belajar ilmu (agama) lantas ia tidak mengamalkannya, maka hanya kesombongan pada dirinya yang terus bertambah.” (Ibnu Mas'ud ra, disebutkan oleh Imam Adz Dzahabi)

***

Mila menjemputku di tempat yang telah kami janjikan sebelumnya.

"Aku harus cepat-cepat, Mil. Mama Fahri ada di rumah."

"Oke, keep calm, Dear!" seru sahabat baikku itu sambil memutar setir.

Rasa takut begitu menyergap. Bagaimana jika ada yang melihat kami kemudian melaporkan pada Fahri. Buru-buru aku menaikkan kaca mobil hingga tertutup rapat. Perasaan was-was tidak bisa ditutupi sejak tadi.

"Kita konsultasi sama Kak Mayang saja, ya. Dia temannya kakakku dulu sewaktu kuliah, jadi nanti tidak usah repot antre. Kita langsung saja temui dia, biar tidak buang-buang waktu," jelas Mila.

"Terserah. Aku ikut saja." jawabku sekadarnya.

"Kok loyo, sih. Semangat, dong."

"Aku teringat Fahri di rumah. Dia sedang sakit. Aku malah meninggalkannya.."

Pandanganku lurus ke depan. Membayangkan bagaimana Fahri bisa seorang diri sebelum Mama tiba di sana. Ia pasti akan kesusahan jika ingin minum atau makan. Bahkan sekadar bergerak ke kiri dan kanan pun butuh bantuan.

"Ray! Kamu tidak meninggalkan dia, kamu sedang mencari tau tentang kebenaran. Mencari tau dia itu sehat atau gila!" Mila berbicara setengah berteriak. Sepertinya gadis manis itu sudah sangat membenci Fahri.

"Ya.. Aku tau. Semoga Allah memudahkan semua. Bagaimana pun juga, Fahri masih suamiku. Aku masih istri sah dia. Sudah menjadi tugas dan kewajibanku untuk mengurus dan merawatnya."

Kulihat Mila memalingkan wajah. Dia tidak ingin mendengar kalimatku.

"Setelah konsultasi, kamu kabur aja, Ray! Jangan pulang lagi!" seru Mila kesal.

"Kamu gil, Mil!" Aku kaget setengah berteriak.

"Bukan aku yang gila tapi suamimu! Hatimu terbuat dari apa sih, Ray, Fahri sudah jahat, tapi masih peduli. Ini kesempatan besar untuk kabur dari dia. Lari minta bantuan, ih! Gedek aku!"

"Aku manusia biasa. Wanita lemah yang butuh perhatian, manjaan dan kasih sayang dari suami. Jika dia bersikap begitu, itu urusannya dengan Allah. Aku hanya membantu sampai batas di mana aku akan menyerah dan tidak sanggup lagi."

"Tapi, kan, suami kamu cerdas, shaleh lagi. Kenapa kelakuannya lebih rendah dari orang yang tidak berilmu, ya?" tanya Mila perlahan.

"Banyak orang yang cerdas bahkan paham ilmu agama, tapi tidak mengamalkannya. Bisa jadi di hati seseorang itu sudah dipenuhi dengan rasa ujub dan riya."

Mila terlihat serius mendengarkan penjelasanku walau ia tetap fokus menyetir.

"Masih ada cinta untuknya, Ray?"

Sontak kuterdiam mendengar pertanyaan Mila. Rasa yang selama ini juga kucari-cari. Yang dulu ada di hati tapi sekarang telah pergi.

"Tidak. Semuanya telah menguap bersama air mataku yang terus tumpah ketika bersamanya."

Mila melirik ke arahku. Satu tangannya menepuk-nepuk bahuku. Kami menghentikan obrolan karena mobil Mila sudah memasuki area parkiran tempat praktek Kak Mayang. Tempat parkirnya tidak begitu luas, tetapi bersih dan rapi. Sudah ada beberapa mobil yang terparkir di sana. Aku dan Mila menyusuri koridor yang menghubungkan antara ruang administrasi dan ruang tunggu. Suasana nyaman begitu terasa. Ruangan yang didominasi dengan warna putih shabby itu terlihat sangat bernyawa, dengan penampilan yang begitu menawan.

Akhirnya kami menghentikan langkah di depan sebuah ruangan yang pintunya masih tertutup rapat. Aku membaca tulisan yang tertempel di depan pintu 'Sri Mayang Rahayu M.Psi, Psi.' Mila hendak membuka pintu tapi aku refleks menahannya.

"Aku takut, Mil."

"Apa yang ditakutkan?"

"Bagaimana jika Fahri tau dan dia meneror orang tuaku?"

"Tidak akan, ayo masuk!"

Mila menarik tanganku kedalam. Kedatangan kami disambut ramah oleh Kak Mayang. Perawakannya yang kecil dengan tinggi badan yang proporsional membuat ia terlihat menarik.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam. Silakan masuk." Ia tersenyum dan mempersilakan kami untuk duduk.

"Kak, saya Mila. Adiknya Kak Ratih. Ini teman saya, Rayhana." Mila memperkenalkan kami berdua.

"Ya, kita pernah bertemu dulu, kan, sewaktu saya masih kuliah. Ratih apa kabar?" Ia menjawab sambil menyalami aku dan Mila satu persatu.

"Kak Ratih baik-baik saja, Kak. Dia  titip salam."

***

Setelah berbasa-basi, Kak Mayang mulai masuk ke persoalan yang ingin kami konsultasikan. Dia memintaku untuk menceritakan tentang Fahri.. Ada kecanggungan yang kurasa, karena aku memang tidak pernah terbuka tentang masalah pribadi kepada orang lain. Mila menyikut lenganku.

"Sudah satu jam kamu keluar, tinggal satu jam lagi. Cepat ceritakan!" Mila berbicara setengah berbisik.

Aku melirik jam  di dinding ruangan. Mila benar, waktuku tidak lama lagi.

Setelah menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan, aku memulai cerita masalah rumah tanggaku kepada Kak Mayang. Tidak begitu detail, hanya garis besarnya saja. Aku rasa itu cukup untuk awal perjumpaan. Setelah selesai, Kak Mayang tersenyum dan mengelus pundakku.

"Sabar ya, Ray. Buah dari kesabaranmu selama ini sedang dipersiapkan oleh Allah. Setiap air mata yang tumpah karena perilaku suamimu telah tercatat di sana."

Aku menangis mendengarkan kata-kata Kak Mayang. Begitu banyak orang yang peduli padaku. Orang lain saja bisa menaruh iba, tapi kenapa tidak dengan Fahri.

"Jadi begini ya, Ray. Setelah mendengarkan cerita tadi. Saya menyimpulkan bahwa suamimu sepertinya mengidap perilaku yang menyimpang, ini jenisnya bisa dikatakan seperti gejala psikopati. Pengidapnya sering kali disebut orang gila tanpa gangguan mental atau sosiopat, karena perilakunya yang anti sosial dan merugikan orang-orang terdekatnya."

Kak Mayang menjeda sambil mengatur napas. Aku dan Mila mendengarkan secara seksama.

"Sebenarnya untuk mendiagnosa psikopat itu tidaklah mudah. Harus ada pencocokan kepribadian pasien dengan beberapa kriteria yang tentunya telah kami siapkan. Biasanya pencocokan ini dilakukan dengan cara mewawancara keluarga dan orang-orang terdekat pasien, pengaduan korban, atau pengamatan perilaku pasien dari waktu ke waktu." Kak Mayang kembali berhenti dan memperhatikan kami satu persatu.

"Apakah itu berarti pengidap psikopat tersebut gila, Kak?" Mila bertanya.

"Tidak, psikopat tidak sama dengan gila. Karena seorang psikopat sadar sepenuhnya atas apa yang ia lakukan. Bahkan seorang psikopat selalu membuat penyamaran yang rumit, memutar balikkan fakta, menebar fitnah dan kebohongan untuk mendapatkan kepuasan dan keuntungan bagi dirinya sendiri. Selebihnya seorang psikopat menjadi pribadi yang berpenampilan sempurna. Ia juga pandai bertutur kata, memesona, juga mempunyai daya tarik luar biasa dan menyenangkan."

Mendengarkan penjelasan dari Kak Mayang, ingatanku terbang ke masa saat kami belum menikah. Dulu dia begitu sempurna di mataku, daya tarik yang ia miliki membuat aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Saat itu aku yakin jika ia akan menjadi calon imam yang baik untukku.

"Penyebab pasti kenapa seseorang itu bisa mengarah ke psikopat tidak bisa di identifikasi secara pasti. Masih sekadar prediksi jika gangguan ini timbul karena pengaruh gen dan pengalaman traumatis masa kecil. Mengapa demikian? Karena psikopat biasanya tumbuh dari latar belakang keluarga yang tidak harmonis.

Yang paling mengerikan adalah seseorang yang terkena gangguan psikopati dikenal sebagai orang yang tidak memiliki hati nurani atau empati. Sehingga tindakan yang dilakukan dapat merugikan orang lain. Ia tidak akan merasa bersalah jika melakukan kesalahan. Sifatnya jarang menunjukkan emosi, terutama emosi sosial seperti rasa malu. Seringkali tidak bertanggung jawab atau justru menyalahkan orang lain atas kesalahan yang ia lakukan sendiri. Jika berbicara dengannya, kata-kata yang ia ucapkan terasa tidak tulus, contohnya seperti pujian dan lain-lain.

Seorang psikopat juga akan bertindak dengan spontan tanpa memikirkan perasaan pihak yang dirugikan dan merasa paling unggul. Kemudian memamerkan keunggulannya tersebut secara berlebihan. Ia tidak mengerti rasa takut, sehingga dia juga tak bisa melihat rasa takut dari wajah orang lain. Meski korbannya sudah membelalakkan mata dengan wajah ketakutan, mereka tidak akan tau jika korbannya sedang ketakutan."

Kak Mayang menjelaskan panjang lebar. Ilmu yang cukup bermanfaat bagiku dan Mila. Tapi apakah benar jika Fahri adalah seorang Psikopat? Apakah separah itu. Otakku masih tidak bisa menalar dengan baik, kejadian-kejadian yang telah kualami bersama Fahri berputar ulang di memoriku.

"Apa yang harus saya lakukan, Kak?" seruku putus asa.

"Untuk mengatasi tentunya diperlukan terapi. Tidak hanya dengan obat-obatan namun juga psikoterapi. Sebaiknya berkonsultasi terlebih dahulu dengan psikiater untuk mendapatkan penanganan yang optimal."

"Berapa persen pengidap psikopat itu bisa disembuhkan?" Mila ikut bertanya.

"Pada dasarnya, psikopat tidak bisa diterapi secara sempurna, tetapi hanya bisa terobservasi dan terdeteksi. Untuk tahap pengobatan dan rehabilitasi, psikopat saat ini baru dalam tahap pemahaman gejala. Terapi yang paling memungkinkan adalah seperti konseling. Namun melihat kerumitan dalam masalahnya, terapi psikopat bisa dikatakan sulit bahkan tidak mungkin. Karena seorang psikopat itu tidak merasa ada yang salah dengan dirinya, sehingga jika kita meminta ia datang teratur untuk terapi adalah hal yang mustahil."

Aku membenarkan letak duduk Perasaanku berkecamuk tak beraturan. Tidak ada yang perlu disesali, ini adalah takdir dari Tuhan.

"Yang terpenting adalah penanganan korban psikopat. Karena penanganan korban ini seringkali harus mengalami proses penyembuhan yang panjang dan sulit. Umumnya mereka jatuh dalam trauma yang mendalam. Jadi, tak perlu membuang waktu untuk mengubah Psikopat, sedangkan korbannya sendiri kita abaikan." sambung Kak Mayang lagi.

Aku memutuskan untuk mengakhiri konsultasi kami, karena mengingat waktuku di luar rumah tinggal sedikit lagi. Kami berpamitan tanpa menentukan kapan jadwal konsultasi selanjutnya. Karena tidak mudah bagiku untuk bisa keluar rumah. Setelah berpamitan, kami hendak segera pergi, tapi Kak Mayang menghalangi kemudian memelukku.

"Saya mendoakan kamu dan bayimu baik-baik saja. Segeralah ambil sikap! Jangan siksa dirimu. Kamu tidak akan berdosa jika harus bercerai dengannya."

"Terima kasih banyak, Kak." Aku menangis terharu.

***
Mila mengantarkanku ke tempat semula kami berjumpa, kemudian ia melanjutkan perjalanan ke kampus karena ada yang harus diselesaikan. Aku harus bergegas pulang, Fahri pasti sudah kesal menunggu. Sesampainya di pintu pagar aku merasa seperti melupakan sesuatu.

"Ya Allah, belanjaan belum terbeli. Bagaimana dengan pesanan Fahri?" gumamku pelan.

Aku tidak sanggup memikirkan lagi, maju kena mundur pun kena. Akkhirnya aku memutuskan untuk tetap maju, walau apa pun yang akan kuterima  nanti.

“Allah, lindungi aku dan janin ini."

Bersambung

Next Part👇

https://www.facebook.com/groups/KomunitasBisaMenulis/permalink/2485051294890080/

---

Terima kasih sudah berkenan singgah dan meluangkan waktu untuk membaca cerbungku. Ini sengaja REPOST versi sudah diedit. Sambil menunggu novelnya terbit, mari kita refresh sekelak ingatan pembaca tentang Fahri dan Rayhana. Banyak pembaharuan di versi novel dan saya hadirkan di sini. Selamat membaca!

Salam kenal untuk semuanya.

Jangan lupa tinggalkan like dan coment, ya.

🙏🙏🙏

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro