Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

KEMATIAN

Berlapang dadalah. Apapun yang terjadi pada diri dan hidupmu pasti ada pelajaran yang bisa kita petik. Berserahlah kepada-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa-apa yang tidak kita ketahui.

***

Telingaku menangkap suara-suara kepanikan dari Fahri. Aku merasakan sprei tempat tubuhku dibaringkan menjadi begitu lembab dan dingin.. Meskipun kurasakan ada kain yang diselimutkan untuk menutupi tubuh, tapi tidak bisa menghilangkan rasa dingin yang sejak tadi menjalar.

"Fahri, buka pintu!" teriak Ayah dari luar kamar.  Meskipun mataku masih kututup rapat,  tapi aku mengenali tiap suara yang terdengar. Tak lama kemudian terdengar suara kunci diputar.

"Raaay!" pekik Ibu.

Suara langkah kaki yang menggebu terasa terus mendekat, kemudian menghambur memelukku sambil menangis.

"Apa yang terjadi Fahri? Kalian bertengkar?" tanya Ayah dengan tinggi.

"Tidak, kami hanya sedikit berdebat."

"Kenapa dia pingsan dan tubuhnya lebam-lebam. Kau menyiksa anakku? Kurang ajar"

Plaak!

Aku memaksa membuka mata yang terasa berat.  Samar-samar mataku menangkap sosok Fahri meringis sambil memegang pipi kanannya. Di depan Fahri,  nampak Ayah yang memegang dada sebelah kirinya. Gurat kesakitan terlihat nyata.  Napasnya naik turun karena menahan emosi yang tidak bisa lagi dielakkan.

Ibu yang duduk di dekatku kaget. Ia memaksakan tersenyum di sela air mata yang terus mengalir.

“Jangan dipaksa, Nak, istirahatlah.” bisik Ibu.

“Bu, sepertinya ada darah yang keluar. Sejak tadi kurasakan.” Aku berucap terbata dan sangat lemah. Suaraku hampir tidak terdengar.

Ibu kaget. Wajahnya berubah. Dengan sigap Ibu langsung menarik selimut yang menutupi tubuhku. Ia terkesiap melihat alas tempat tidur yang sudah berubah warna.

"Pak, Rayhana pendarahan. Banyak sekali darahnya keluar," teriak Ibu panik.

"Cepat kau telepon ambulan. Anakku  sekarat!"

Tanpa menunggu lama Fahri langsung menelepon ambulan. Wajahnya tertekuk. Entah itu hanya akting yang ia perlihatkan atau sungguh-sungguh karena menyesal. Berkali-kali Fahri melirik ke arahku yang terkulai lemah tak berdaya. Mata kami saling bertemu. Aku menatapnya sendu, meskipun samar.

Ayah yang sedang dalam keadaan sakit masih sempat untuk melampiaskan amarahnya terhadap Fahri.

"Jika terjadi apa-apa dengan anakku. Kau lah orang pertama yang harus bertanggungjawab!"

"Aku tidak bersalah. Anak kalianlah yang tidak tau diri. Hari ini juga aku menceraikannya!" Fahri menjawab dengan ketus.

Ayah dan Ibu kaget melihat sikap Fahri.

"Demi Allah aku menyesal telah menikahkan kau dengan anakku, Fahri."

Fahri tak menghiraukan kedua orang tuaku yang seharusnya ia hormati. Lelaki itu mengambil kunci sepeda motor yang tergantung di dinding dekat ranjang tempat aku berbaring, kemudian ia keluar kamar.

Tidak lama kemudian terdengar sirine ambulan memasuki pekarangan rumah. Aku terkulai lemah. Para petugas segera mengangkat tubuhku fan meletekkan ke atas tempat tidur dorong. Mereka terburu-buru membawaku ke ambulan. Isak tangis Ayah dan Ibu memenuhi telingaku. Sejak tadi mereka tak henti menangis. Tanpa menunggu lama, keduan orang tuaku pun  ikut naik ke dalam mobil ambulan.

Jarak ke rumah sakit tidak membutuhkan waktu lama. Jalanan yang tidak begitu ramai. Membuat mobil ambulan melaju kencang. Kurasakan tubuhku semakin kedinginan dan tak berdaya. Berbagai doa kurapalkan dalam hati. Memohon keselamatan untukku dan janin di dalam rahim. Meskipun darah tak kunjung henti, aku tetap yakin jika bayi ini masih bisa ditolong. Fahri benar-benar biadab! Dia lebih hina dari seekor binatang yang tidak diberi akal dan pikiran oleh Tuhan.

Hanya membutuhkan waktu beberapa meni menurut perkiraanku, kami tiba di rumah sakit. Para perawat segera melarikanku ke ruangan unit gawat darurat. Tidak lama, dokter yang ada di sana menyarankan hal lain. Ia terlihat berbicara serius dengan Ayah dan Ibu. Sayup-sayup terdengar jika dokter memintaku untuk segera dioperasi. Innalillah.

Air mata mengalir tak tertahankan. Terpukul? Ya, itu lah yang kurasakan. Demikian berat ujian yang Tuhan berikan. Ampuni aku, ya Allah. Ampuni. Mungkin saja ini semua akibat dosa masa lalu yang kuperbuat. Sehingga Engkau menegurku seperti ini. Atau saja ini adalah sebuah ujian dari-Mu , Tuhan. Layakkah aku diuji seberat ini? Sanggupkah aku melewati semua derita, o Allah. Untuk mencapai tingkatan iman selanjutnya, tak tanggung-tanggung ujian rumah tangga yang Kau limpahkan.

Tubuh ini tak lagi mampu menangung sakit yang amat sangat. Hati ini juga nyeri tak tertahankan. Entah bagaimana bentuknya sekarang. Fahri telah menghancurkannya bertubi-tubi tak terperi. Lelah kususun demi setitik cinta untuknya. Namun, kepingan itu tak bisa lagi bersatu bagaimana pun caraku menatanya.

Memikirkan nasib janin yang ada di dalam perut. Kekuatanku terus berkurang, perut sakit tak karuan. Tak henti hati ini mengagungkan keesaan-Nya. Memohon ampun untuk segala dosa. Hingga kesadaranku terus berkurang.

***

Beberapa saat kemudian aku telah sadar. Tubuhku agak sedikit kaku, tidak enak. Perasaan mual dan ingin muntah. Mata berkunang serta pusing yang mendera. Pasti disebabkan oleh obat bius saat operasi berlangsung tadi pikirku.

Sepertinya aku sedang berada di ruangan steril. Ruang yang biasanya digunakan untuk pasien yang baru saja selesai dioperasi sebelum dibawa ke kamar rawatan. Kulihat dua orang perawat berjalan ke arahku, sambil tersenyum ia mengatakan jika operasinya berjalan lancar dan aku akan dipindahkan ke dalam ruangan rawat inap. Aku hanya mengangguk menggunakan isyarat mata. Tidak berani terlalu banyak bergerak.

Setiba di ruangan sudah ada Ayah, Ibu juga seorang dokter yang menanti di sana. Dua perawat memindahkanku ke tempat tidur. Setelah membereskan selang infus dan semuanya, mereka pergi meninggalkan ruangan. Sedangkan dokter yang menanganiku masih berada di sana.

"Pak, Bu, Operasi telah selesai. Pasien sudah melewati masa kritisnya. Sebaiknya biarkan ia beristirahat terlebih dahulu, jangan diganggu. Dia perlu istirahat yang cukup!" seru dokter tersebut sambil melihat kearahku.

“Alhamdulillah. Terima kasih banyak, Dokter. Tapi bagaimana dengan bayinya?" tanya Ayah antusias.

"Mohon maaf, bayinya tidak bisa diselamatkan. Bayi meninggal di dalam kandungan. Usia kandungan pasien adalah 8 bulan 2 minggu. Menurut analisa kami, sepertinya pasien sering mengalami kekerasan fisik. Kami melihat banyak sekali memar di tubuhnya. Di saat kami melakukan pemeriksaan sebelum operasi tadi, denyut jantung bayi juga sangat lemah serta plasenta sudah lepas dari dinding rahim." Dokter tersebut menjelaskan.

"Apakah itu karena penyiksaan tadi, Dok? lanjut Ayah.

"Tidak menutup kemungkinan. Kami juga melihat memar yang besar di perut si pasien. Jika Bapak dan Ibu menginginkan hasil yang lebih konkrit, saya akan membantu agar pasien divisum."

Ayah dan Ibu menyetujui saran sang dokter. Setelah menjelaskan apa saja yang harus Ayah lengkapi untuk persyaratan visum beberapa hari lagi, dokter tersebut pamit diri.

"Baiklah kalau begitu, saya permisi dulu. Ingat pesan saya, pasien tidak boleh diganggu terlebih dahulu. Biarkan ia beristirahat untuk memulihkan kondisinya."

"Baik Dok, baik. Terimakasih banyak," sahut Ibu dan Ayah hampir bersamaan. Kemudian dokter tersebut berlalu keluar.

Ayah dan Ibu menangis. Kesedihan tergurat nyata di wajah mereka., Ibu duduk di pinggir ranjang, sedangkan Ayah duduk di kursi dekat jendela. Tangan kirinya memegang dada. Ia bernapas tersengal-sengal. Sepertinya jantung ayah kumat lagi.

“Fahri memang iblis!” Suara Ayah terdengar bergetar menahan amarah.

Aku dan Ibu tidak menjawab. Aku takut jika banyak berucap. Tugas kami adalah menenangkan Ayah. Agar ia baik-baik saja.

"Bu, aku haus," lirihku.

Ibu bergegas mengambil air minum. Setelah menghabiskan minum yang Ibu berikan, aku meringis merasakan nyeri di bagian perut. Ibu datang memeluk dan duduk di sampingku. Aku menangis sendu di dalam pelukan wanita penyayang itu.

"Apa yang kamu rasa, Nak?" tanya Ibu sambil mengelus pucuk kepalaku. Aku tidak bisa menjawab, hanya sedu yang semakin menjadi.

"Sudah-sudah, jangan menangis. Kata dokter kamu harus banyak istirahat. Tidak boleh banyak pikiran." Ibu akhirnya menenangkan. Ia memaksakan senyum dalam kegetiran.
“Bayiku yang jadi korban, Bu." Tangisku pecah.

"Kamu yang sabar. Bayimu sudah tenang di sana," seru Ayah sambil ikut mengelus rambutku yang tidak tertutup jilbab. Ibu bergegas menggeserkan kursi untuk Ayah. Lelaki paruh baya itu tidak boleh lelah.

"Mana Bang Fahri, Yah?" Aku kembali bertanya, tidak nampak wajah Fahri di dalam ruangan kecil ini.

"Ray, kamu sebaiknya istirahat dulu. Kondisimu masih belum stabil. Dokter melarang kami untuk membuatmu lelah. Jadi cukup makan makananmu dan istirahat. Ayah dan Ibu akan menunggui di sini sampai kapan pun."

Aku menarik napas berat. Ada sesuatu yang mengganjal sebelum menceritakan semuanl yang telah terjadi kepada Ayah dan Ibu.

Akhirnya aku mendengar nasehat Ibu. Menenangkan diri lebih baik daripada mengenang hal buruk dari perlakuan Fahri. Aku memejamkan mata mencoba untuk.tidur sejenak. Namun, ketukan di pintu membuat mata terpaksa kembali terbuka.

"Assalamu'alaikum." Seseorang memberi salam di pintu kamar ruanganku.

"Rayhana, ini Mama, Sayang."

Ayah dan Ibu saling berpandangan. Kemudian melihat ke arahku yang masih terbaring.

"Buka, Bu," perintah Ayah.
Ibu bangkit dari kursi menuju pintu.

"Silakan masuk, Bu Nia" Ibu mempersilakan Mama untuk masuk.

Tanpa berkata-kata, tiba-tiba Mama memeluk Ibu dan menangis tersedu.

"Bu, maafkan anak saya atas segala perlakuannya terhadap Rayhana. Dia sudah berlaku jahat selama ini dan kita tidak tau. Lebih kurang satu tahun usia pernikahan mereka, tapi Rayhana begitu jeli menyembunyikan semua permasalahannya sendiri dengan sangat baik. Padahal saya lumayan sering berkunjung ke kontrakan mereka, selalu terlihat baik-baik saja. Ternyata mereka sedang bermain drama," ucap Mama sambil menangis tersedu.

Setelah melepaskan pelukannya dengan Ibu, Mama kemudian menghampiriku. Duduk di tepi ranjang dan mengelus jemariku.

"Apakah dia sering menyiksamu, Nak?" Mama bertanya padaku.

Kali ini aku tidak akan diam lagi.. Akibat ulah lelaki kasar itu, bayi kami ikut menjadi korban.

"Dari awal menikah ia telah menyiksaku."

Tidak ada kekagetan di wajah Mama. Pandangannya bertumpu padaku. Mata kami saling bertemu. Sedang Ayah dan Ibu duduk di belakang Mama, memperhatikan kami dengan seksama.

"Kenapa kamu diam dan tidak bercerita?"
"Aku hanya berharap ia berubah, Ma. Karena jika kuceritakan pada Ayah dan Ibu, aku sangat yakin mereka berdua akan meminta kami untuk berpisah. Sedangkan bukan itu yang kuinginkan. Ketika seseorang membangun rumah tangga, pasti ia ingin untuk berdampingan selamanya. Namun, seiring berjalan waktu, Fahri tidak berhenti, malah makin menjadi-jadi. Kejadian ini adalah puncak penyiksaannya kepadaku, Ma," jelasku pelan. Ada rasa sesak di rongga dada setiap kali mengingat kejadian yang saban hari menimpa.

"Ray. Sengaja Mama berkali-kali datang ke rumah untuk melihat kondisi rumah tangga kalian. Yang nampak kalian baik-baik saja. Kamu pun tidak pernah menceritakan apa-apa tentang Fahri."

"Satu tahun pernikahan kami, tidak pernah kurasakan kebahagiaan. Aku hidup bagaikan di kuburan, sepi dan mencekam. Ditambah lagi sikap dan sifat Fahri yang seperti itu, salah sedikit saja, jika ia tidak berkenan maka tamparan dan tendanganlah yang mengambil peran."

Ayah dan Ibu yang duduk tepat di depanku saling berpegangan. Mereka tampak terkejut.. Pasti satu orang pun  tidak menyangka jika Fahri seperti itu. Karena penampilan luarnya menunjukkan jika ia adalah sosok yang sangat sempurna.

Setelah semuanya kutumpahkan, ada rasa lapang yang terasa. Batu besar yang selama ini menindih dada, telah berhasil kupindahkan. Walau belum terlalu jauh bergeser, tapi sudah memberikan cukup ruang agar aku bisa menghirup udara dengan bebas.

"Fahri mengikut Papa nya." Mama menarik napas sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Dulu aku juga sepertimu, Nak. Menikah dengan Papa Fahri adalah sebuah kebahagian yang aku idam-idamkan. Ternyata setelah kami menikah, dia bukanlah pangeran tampan berhati mulia,  melainkan iblis yang menyiksaku kapan pun ia suka.
Berkali-kali Mama sudah kabur, tetapi dia selalu berhasil menemukan. Bagai punya seribu mata, lelaki itu  selalu tau di mana Mama berada. Jangan tanya jika ia telah menemukanku, maka siksaan demi siksaan yang akan Mama terima.

Di usia pernikahan yang masih seumur jagung, Mama pun hamil. Karena kondisi Mama yang sangat lemah pada waktu itu, Mama tidak bisa mengurus diri sendiri akibat bawaan hamil, maka orang tuaku membawa Mama untuk pulang terlebih dahulu. Papa Fahri hanya datang sesekali menjenguk. Dia tidak bisa melarang, karena orang tua Mama memaksa. Jika dia terlalu keras, maka akan ketahuan.

Setelah melahirkan, Mama kembali lagi kerumah Papa. Mama juga berpikiran sepertimu, berpikir jika Mama bisa merubah sifatnya. Ditambah lagi dengan kehadiran seorang bayi mungil di tengah-tengah kami, Mama mengira jika semua penyiksaan akan berakhir. Namun, Mama salah, Nak. Dia juga semakin menjadi. Hingga Fahri berusia delapan tahun, Mama masih saja bertahan. Fahri kecil sudah sering melihat kekerasan di depan matanya. Mama sudah berusaha untuk berpisah, tapi ia mengancam akan membunuh Fahri jika Mama berani macam-macam.

Betahun-tahun Mama bertahan. Siksaan demi siksaan terus mendera. Berkali-kali Mama ingin dibunuhnya, tapi Allah masih menolong. Rencananya selalu gagal. Akhirnya Mama bertindak. Melaporkan kepada polisi apa yang Mama alami. Karena Mama tidak punya bukti yang kuat, ditambah lagi Papa Fahri adalah seorang yang sangat pintar bicara sehingga berakhir dengan cara didamaikan oleh pihak kepolisian.

Di saat Fahri berusia sepuluh tahun, Mama kembali melarikan diri keluar daerah. Tidak tau harus kemana lagi karena kedua orang tua Mama sudah meninggal. Setiap bulan kami harus pindah kontrakan karena Papa Fahri hampir selalu bisa menemukan. Dia tidak akan melepaskan korbannya.

Di sebuah daerah, Mama bertemu dengan seorang teman. Ia menyarankan Mama untuk bertemu psikolog. Pada akhirnya ialah yang membantu Mama bisa bebas seperti sekarang ini.

Fahri kecil selalu melihat setiap kejadian di antara kami. Ia sudah terbiasa dengan hal-hal seperti itu. Sehingga ketika dewasa, ingatan itu menguasainya. Dia sudah mati rasa. Kasihan sekali Fahri. Dia adalah korban juga dulunya. Ia selalu melihat kekerasan di dalam rumah tangga kami sehingga tercetak di ingatannya segala perilaku Papanya tersebut."

Mama tidak lagi menangis. Ia telihat begitu tegar. Tatapannya lembut melihatku.

"Jadi Mama sudah tau sejak dulu jika Fahri seperti itu?" tanyaku penasaran.

"Tidak. Mama tidak tau. Setelah kejadian kalian ini akhirnya Mama menebak. Jika karena penyebab lain tidak ada. Setelah berpisah dengan Papanya, Mama tidak pernah membahas hal ini dengan Fahri. Mama menganggap jika ia sudah paham. Mungkin itu kesalahan Mama."

Mama telah menceritakan sebuah kejadian yang selama ini ia tutup-tutupi. Masa lalu yang kelam dan sudah dikubur dalam-dalam. Pastinya wanita berwajah oval itu ridak ingin mengingatnya lagi. Berharap semua itu akan berlalu, tetapi malah terulang dari buah hatinya sendiri. Anak yang selama ini sangat ia banggakan, ternyata adalah seorang pesakit mental.

Ibu yang sejak tadi duduk di sisi Ayah, beranjak mendekati Mama dan memeluknya. Memberikan dukungan dan kekuatan agar semuanya baik baik saja.

"Maafkan Ray, Ma, jika aku memilih untuk mundur. Aku tidak sanggup lagi hidup bersama Fahri," tegasku pelan, tapi cukup jelas.

"Jika memang seperti itu perlakuannya kepadamu, seharusnya sejak dulu kamu sudah pergi, Nak. Tidak bertahan hingga sejauh ini."

"Aku tidak ingin menyerah awalnya, Ma. Berusaha untuk mempertahankan rumah tangga. Namun, sekarang aku berada di titik terlemah. Aku angkat tangan. Menyerah."

"Apa pun keputusanmu, kami para orang tua akan mendukungnya. Walaupun Fahri adalah anak Mama, tapi Mama tidak akan membelanya jika ia seperti itu. Mama malu pada Ayah dan Ibumu, juga kepada mu, Ray. Betapa mulianya hatimu, Nak."

Kami saling berpelukan. Dua wanita beda generasi, kini saling berbagi cerita. Dengan pengalaman hidup yang sama, menghadapi suami pengidap penyakit mental. Meskipun itu anaknya, tetapi Mama mendukungku untuk berpisah. Wanita yang dulunya kusangka seorang yang tidak baik. Ternyata salah. Aku telah salah sangka. Kupikir ia selalu memata-matai kehidupan rumah tangga kami. Terlalu jauh mencampuri dan sangat memanjakan anaknya. Malah sekarang baru kuketahui jika Mama ingin memantauku agar tidak terluka. Aku yang telalu naif, salah sangka. Maafkan aku, Ma.

Di saat kami sedang asyik bercerita terdengar suara pintu kamar terbuka.

Kreek!

"Fahri," ucapku lirih.

Semua mata tertuju ke satu titik.

Mata kami saling bertemu, tapi aku segera mengelaknya. Aku tahu jika ia sedang mencari cara agar tidak menjadi seorang yang bersalah. Setelah apa yang ia lakukan masih bisakah dia berakting jika ia adalah si penderita?

Dasar psikopat gila.





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro