Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CINTA PADA PANDANGAN PERTAMA

Bersabarlah, pulangkan segala masalah kepada Sang Pemberi masalah agar hati tidak gundah dan pikiran tidak lelah.

***

Namaku Rayhana, seorang gadis sederhana yang baru saja menamatkan pendidikan SMA. Berperawakan sedang dengan tinggi dan berat badan yang proporsional.

Mendaftar di salah satu universitas ternama, serta memilih jurusan yang sudah kuimpikan sejak duduk di bangku sekolah menengah utama, membuat aku harus giat belajar agar bisa meraih beasiswa untuk empat tahun ke depan. Sama sekali tidak ingin membebani orang tua yang memang bukan orang berada. Niat mereka bisa adalah menyekolahkanku setinggi-tingginya. Sebagai anak tunggal--tiga orang adikku telah meninggal sejak kecil--Ayah dan ibu menggantung harapan yang besar di pundakku.

Layaknya kampus-kampus yang lain, universitas kami juga sedang menggelar acara penerimaan mahasiswa baru. Hari ini adalah hari terakhir, dan acara yang sedang berlangsung adalah pengenalan kampus. Seluruh panitia mengajak kami berkeliling untuj melihat-lihat seluruh bangunan serta kegiatan apa saja yang ada di sana. Juga memperkenalkan seluruh dosen kepada kami. Rasanya menarik, menginjak bangku perkuliahan, bertemu dengan orang yang berbeda dan dengan pemikiran yang sudah lebih dewasa tentunya.

Sudah satu minggu kami mengikuti masa orientasi kampus. Menurut informasi yang tertera di papan pengumuman bahwa jadwal belajar akan dilaksanakan setelah tiga hari ke depan.

Setelah ospek ditutup, seluruh mahasiswa diperintahkan untuk melihat mata kuliah dan memilih sendiri dosen pengajarnya. Kami berbondong-bondong menuju ke ruangan akademik. Di sana telah tersedia puluhan kursi panitia yang berfungsi sebagai tempat konsultasi mata kuliah secara online. Para panitialah yang akan mengurus kartu rencana studi mahasiswa dan akan mencocokkan dengan jam dosen yang mereka inginkan.

Beberapa jam kemudian tibalah giliranku. Setelah memilih beberapa jadwal mata kuliah, masih ada beberapa mata kuliah lagi yang harus kusetujui. Aku membaca urutan nama dosen yang tertera di layar komputer dengan seksama. Mataku membulat ketika membaca nama seorang dosen yang selama masa orientasi selalu didengung-dengungkan oleh kakak-kakak panitia. Sepertinya dosen tersebut memang sangat dikagumi seantero kampus, buktinya, jangankan para dosen, hampir seluruh mahasiswa pun begitu fasih menghapal tentangnya.

Ia adalah seorang dosen muda yang akan kembali mengajar tahun ini, setelah dua tahun terakhir menghabiskan masa study-nya untuk meraih gelar Tesol di negeri kanguru. Menurut dikisahkan oleh para senior selama masa orientasi, dosen tersebut tidaklah tampan, tetapi banyak mahasiswi di sana menaruh perhatian kepadanya. Seorang yang religius dengan pemahaman agama yang bagus, sikapnya yang santun serta ramah membuat sosok tersebut digilai seantero kampus.

Ia bernama Fahri Al Fatan. Dosen mata kuliah bahasa inggris tersebut ternyata juga mengajar di ruanganku. Seorang dosen yang cerdas dan berpendidikan tinggi serta masih single. Sangatlah mungkin jika semua menggantung harap kepadanya, ingin menjadi teman hidup selama-lama.

“Dik, bagaimana? Apakah setuju jika Pak Fahri dosennya? Atau ingin memilih dosen lain?” Lamunanku buyar ketika seorang ibu di depanku berbicara. Aku segera mengangguk pertanda menyetujui untuk ikut kelas bersama sang dosen impian.

Selang beberapa hari, tibalah hari di mana jadwal Pak Dosen mengajar di ruanganku. Rasa penasaran yang menderu membuat aku bersemangat mengikuti materi yang ia ajarkan. Tidak ada yang istimewa sebenarnya, karena ia memperlakukan seluruh mahasiswa sama rata. Namun, aku telah kagum sejak awal melihatnya.

Minggu ke minggu rasa kagum berubah menjadi cinta. Apakah benar ini dinamakan cinta atau hanya rasa mengagumi yang berlebihan kadarnya? Tiap kali melihat ia tersenyum, terasa debaran aneh di dalam dada. Padahal senyum itu bukan hanya untukku saja, tapi apa mau dikata, aku bagaikan anak SMA yang sedang dimabuk asmara.

Jujur saja, aku memang belum pernah jatuh cinta sebelumnya. Dulu sekali sewaktu di sekolah menengah pertama, ada seorang remaja tanggung yang menyatakan cinta. Teman-teman sekelasku memanggilnya Fauzan. Ia adalah seorang siswa kelas tiga SMA yang sekolahnya berseberangan dengan sekolahku. Aku yang dulu masih suka berpakaian tidak sopan di luar sekolah telah membuat ia linglung. Dia berkata jujur jika menyukaiku karena aku seksi. Seringkali ia menunggui di perempatan jalan bersama teman-temannya, hanya untuk menggangguku sepulang sekolah.

Kemudian karena merasa takut, akhirnya aku memberanikan diri menceritakan kepada ibu tentang kejadian tersebut. Mulai saat itu Ibu menyuruhku untuk mengenakan jilbab, baik itu ke sekolah maupun bermain di luar rumah. Aku yang tidak terbiasa dengan pakaian tertutup mulai berontak. Aku tidak mau berpakaian yang menurutku seperti karung berjalan. Untuk apa Tuhan memberikan tubuh yang indah jika bukan untuk diperlihatkan.

Hingga pada suatu hari aku dihadang oleh Fauzan, dan ia berusaha untuk menyentuh bagian intim milikku. Fauzan menyeringai dan hampir bertindak brutal karena sudah tidak tahan lagi untuk segera melakukan tindakan asusila terhadapku. Aku yang sudah sangat ketakutan berusaha untuk berlari darinya. Dengan langkah terseok-seok melewati gang sempit, sembari berteriak meminta tolong. Hingga akhirnya aku sadar jika sudah berlari terlalu jauh, kemudian melihat kebelakang dan tidak terlihat lagi laki-laki SMA tersebut di sana. Aku bersyukur karena Allah telah melindungiku. Sejak hari itu aku memutuskan untuk menutup aurat dengan benar agar tak ada lagi mata laki-laki yang melihat ke arahku dengan binal. Ibu dan Ayah juga memindahkan sekolahku, serta menjual rumah lama kami, kemudian membeli rumah baru di daerah kami tinggal sekarang.

***

Semester pertama menjadi seorang mahasiswa kulalui dengan baik. Indeks prestasi yang memuaskan membuat aku bahagia, termasuk Ayah dan Ibu juga ikut bangga. Semester kedua pun demikian, malahan nilai-nilaiku meningkat dari semester sebelumnya.

Sebagai seorang mahasiswa baru, jika meraih nilai tinggi di kampus maka ia akan menjadi bintang, pusat perhatian dan akan dikenal oleh seluruh dosen serta teman-teman mahasiswa lainnya.

Dari situlah awal cerita cintaku. Sepertinya tidak lagi bertepuk sebelah tangan karena Fahri, sang dosen impian mulai sering memberikan perhatian. Jika saja ada keperluan yang harus diselesaikan untuk mata kuliah yang ia pegang, pasti akulah orang pertama yang akan dipanggil untuk menghadap keruangannya. Sehingga dari hari ke hari kami semakin dekat. Pembicaraan pun sudah lebih luas tidak lagi sebatas kampus dan pendidikan melainkan merambah ke masalah pribadi dan keluarga.

“Aku sedang mencari pendamping hidup, Rayhana," ucapnya suatu hari saat kami sedang bersama di dalam sebuah ruangan. Saat itu ia memintaku untuk membantu memeriksa tugas mahasiswa. Aku terdiam tidak tahu harus menjawab apa. Dia terus menatapku seolah menginginkan sebuah jawaban, tapi aku  menyibukkan diri dalam gulungan kertas milik para mahasiswa.

“Kenapa diam?”

“Aku harus jawab apa, Pak?”

“Apa kamu tidak ingin menjodohkanku dengan seseorang?”

“Bapak serius?” Aku berdebar tak karuan.

“Ya, atau kamu tidak perlu mencari, karena gadis di depanku saja sudah sangat sempurna.”

Dia tersenyum ke arahku, tanpa sengaja mata kami saling bertemu, tapi segera kualihkan, karena aku tak ingin larut dalam perasaan yang belum pada waktunya. Walaupun sering bersama tapi aku saling menjaga, tidak pernah saling menatap atau pun terjadi kontak fisik antara satu dan yang lain. Di saat berbicara pun posisi kami agak berjarak darinya. Aku tidak mau jika ia mengetahui perasaan yang kupendam selama ini, dan aku tidak mau menjadi buruk di mata teman-teman yang lain, karena selalu bersama-sama dengan lawan jenis, sedangkan aku adalah seorang muslimah yang selalu mengajak mereka untuk tidak ber-khalwat.

“Usiaku sudah 31 tahun, Alhamdulillah aku sudah mapan tapi belum ada seseorang yang bisa mengisi hatiku.” Di lain waktu ia kembali mencurahkan perasaannya.

“Bapak minta di-ta’arufkan saja, seperti pembicaraan kita beberapa hari yang lalu," ujarku.

“Maksudku dulu belum ada yang mengisi hati, tapi sekarang belahan jiwaku sudah ada di sini.” Dia berkata sambil menunjuk dada sebelah kanannya dengan jari telunjuk.

“Tulang rusukku telah kutemui, semoga juga dia mau menerimaku.”

“Pasti dia adalah orang yang beruntung di persunting Bapak.” Ada rasa janggal dalam ucapanku.

Setiap hari aku merasakan jika Fahri adalah seorang yang sangat romantis. Dia bisa menghargai dan menjaga perasaan wanita dengan baik. Betapa beruntungnya siapapun kelak yang akan menjadi istrinya. Aku saja yang hanya sebatas mahasiswinya dapat merasakan betapa sosok Fahri itu sangat sempurna, paket komplit yang Tuhan turunkan ke dunia.

Satu minggu kemudian, setelah melewati pembicaraan beberapa hari yang lalu, aku dan Fahri tidak berjumpa lagi. Ia juga tidak mengajar karena sedang mengikuti workshop di luar kota. Ada rasa lain di dalam hati, seperti sepi karena tak ada kabar berita. Biasanya kami selalu bertegur sapa, tiada hari yang kulewati tanpa kehadirannya. Mau menghubungi tetap saja tidak etis kurasa, bagaimana pun juga dia adalah seorang guru bagiku dan aku harus bersikap sopan dan menaruh hormat.

Aku ber-istighfar berulang kali memohon ampun kepada Allah atas perasaan yang seharusnya tidak boleh begini. ‘Ray, hati-hati, jangan sampai zina hati!’ Aku membatin.

Malam harinya seperti biasa tugasku adalah menata makanan yang telah disiapkan oleh ibu di atas meja makan. Setelah selesai, kuraih ponsel yang sejak tadi terus berdering. Aku kaget melihat nama yang tertera di layar ponsel, ‘Pak Fahri’. Ada kabar berita apa malam-malam menghubungiku.

“Assalamu’alaikum warahmatullah.” Aku memberi salam.

“Wa’alaikumsalam warahmatullah," jawab suara di seberang.

“Ada yang bisa saya bantu Pak?" Aku berusaha bersikap formal.

“Maukah kau menikah denganku, Rayhana?” ucap Fahri lugas.

Aku mencubit paha sendiri. Sakit yang kurasa menandakan jika ini adalah nyata dan tidak sedang bermimpi. Dia langsung melamar tanpa basa-basi. Dosen yang selama ini kukagumi dan selalu tersebut dalam tiap sujud panjang agar ia menjadi pendamping hidu, ternyata Allah mengabulkan, kini ia telah meminangku untuk menjadi istrinya.

“Orang tuaku lebih berhak atas jawaban tersebut, Pak. Temuilah mereka.” Dengan perasaan campur aduk, antara tak percaya dan bahagia aku menjawab pertanyaannya.

“Insya Allah aku akan menemui orang tuamu setelah acara ini selesai. Wassalamu’alaikum calon istriku," ujar Fahri menggoda.

“Wa’alaikumsalam warahmatullah," jawabku pelan.

Setelah menutup sambungan telepon,  aku pun melonjak kegirangan. Bagaikan anak-anak yang mendapatkan mainan baru, menari-nari di ruang tamu sambil tak lupa menyunggingkan senyum bahagia di bibir. Rasanya tak sabar lagi menunggu ia datang untuk meminang dan menentukan hari pernikahan.

Orang yang kucintai dalam diam, yang kusebut namanya hanya didepan Allah, kini ingin melamarku. Kebahagiaan apalagi yang Allah turunkan hari ini. Aku tidak pernah ingin berpacaran, tiba-tiba dilamar oleh pangeran impian. Pangeran yang sempurna walau tidak menunggang kuda.

***

Satu bulan kemudian, setelah melaksanakan proses lamaran, hanya selang beberapa hari aku dan Fahri langsung melaksanakan ijab qabul.

Di hari pernikahan kami, Fahri mengenakan setelan berwarna putih tulang serta kain songket berwarna krim. Membuat ia terlihat sangat tampan, ditambah peci yang juga berwarna krim bertengger di kepalanya, menampilkan keeleganan lain yang ia miliki.

“Ananda Fahri Al Fathan Bin Taufik Shamad, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Rayhana Annisa binti Abdullah Umar dengan maskawin berupa emas 15 gram, tunai.” Ayah mengucapkan ijab kepada Fahri.

Dengan lantang Fahri menjawabnya, “Saya terima nikah dan kawinnya Rayhana Annisa binti Abdullah Umar dengan maskawin  yang tersebut tunai.”

“Bagaimana saksi?”

“Sah”

“Sah”

“Sah”

“Alhamdulillah”

Pernikahan yang kuimpikan telah terlaksana. Sekarang aku telah menjadi istri dari seorang dosen ternama. Ayah dan Ibu pun begitu bahagia melepaskan anak gadis mereka kepada orang yang bisa dipercaya.

“Jadilah istri yang baik bagi suamimu, Nak.” Nasehat Ibu di saat aku mencium takzim punggung tangannya. Saat memeluk wanita paruh baya itu, air mata haru tumpah ruah membasahi pipi, tapi Ibu hanya tersenyum dan menyapunya menggunakan tissue.

“Tidak perlu menangis, di sanalah surgamu sekarang. Tanggungjawab Ayah dan Ibu telah lepas untukmu. Sekarang kau menjadi milik suamimu seutuhnya. Ikuti dia, dengarkan kata-katanya, selama itu tidak menyimpang dari ajaran Allah maka kau wajib menuruti. Jadilah pakaian yang baik bagi suamimu, Rayhana.”

Ibu adalah sosok wanita yang kuat. Ia selalu setia mendampingi Ayah dalam suka dan duka. Tidak pernah mengeluh dengan kondisi yang ia terima. Setiap saat ucapan syukur yang keluar dari mulutnya. Kuingin seperti Ibu, menjadi istri yang shalehah untuk suami dan seorang ibu yang baik kelak untuk anak-anakku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro