BERMUKA DUA
“Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.” [An-Nahl : 96]
***
Ponsel Fahri berdering saat kami sedang membereskan barang-barang yang akan dibawa ke tempat tinggal baru.,
“Assalamu’alaikum, Ma.” Fahri mengucap salam. Ternyata Mama yang menelepon.
“Wa’alaikumsalam, Sayang.” Jawab Mama dari seberang. Fahri sengaja menghidupkan pengeras suara di ponselnya.
“Kamu sehat, Nak? Bagaimana istrimu?
“Sehat, Ma.”
“Pintar masak tidak Ray-nya?” Terdengar suara Mama tertawa di sana.
“Tidak terlalu juga, Ma. Dia manja, maklum belum dewasa.”
Apa? Dia mengatakan aku manja? Apa tidak salah.
“Biasa kalau pengantin baru bermanja-manja, Sayang.” Mama kembali tertawa. Tapi aku malah merasa tidak ada yang lucu.
“Kami mau pindah, Ma. Ini sedang membereskan barang.”
“O... Ya, Sayang. Dari dulu Mama kan sudah bilang sebaiknya pindah saja. Biar istrimu tidak manja dan bisa mengurus rumah tangga, tanpa campur tangan orang lain. Nanti kabari Mama, ya, kalau kalian sudah di rumah kontrakan baru. Kalau istrimu macam-macam kabari Mama juga.”
“Oke, Ma”
Astaghfirullah.
Aku tidak pernah berbuat yang macam-macam. Fahrilah yang selalu berulah. Yang manja itu sebenarnya bukan aku, melainkan dia. Egois dan keras kepala, hanya ingin didengar tapi tidak pernah mendengar.
“Kamu dengar Ray, apa yang Mamaku katakan tadi?”
“Aku dengar.”
“Kalau kamu memang mendengar, sekarang coba ulangi.” Kata Fahri sambil menghampiriku.
“Aku tidak boleh macam-macam, jika aku banyak tingkah maka laporkan ke Mama.” Jawabku ketus.
“Anak pintar!” Dia mengelus kepalaku yang tertutup jilbab. Sembari tersenyum ia duduk disampingku.
“Aku selalu mengingatkanmu, jika kau mendengarkan aku, maka kau akan aman. Itu saja, Sayang.”
Dalam jarak yang dekat begini, bukan debaran cinta yang kurasakan. Akan tetapi ada rasa benci yang sedikit demi sedikit mulai tertanam di dalam hati. Dari hari ke hari sirna sudah kekagumanku terhadap Fahri. Tidak seperti dulu, aku sangat memujanya, tetapi kini semua rasa itu terbang entah kemana.
“Ya, Bang," jawabku singkat.
Kukuatkan hati agar bisa bertahan dalam kurun waktu yang aku tidak bisa ditentukan. Aku takut jika Allah murka karena menjadi istri dan tidak bersyukur. Lalu dengan semua yang telah kualami, apakah aku tidak menyiksa diri? Menyerahkan tubuh ini bulat-bulat kepada manusia seperti Fahri.
Berikan aku sebaik-baik jalan keluar Mu, Allah.
***
Tiga hari kemudian, tepatnya hari Minggu, sambil menunggu truk angkut barang tiba, Ayah mengajak kami duduk di teras depan. Jam masih menunjukkan pukul sembilan pagi. Kami duduk bersama sambil menunggu teh hangat yang sedang Ibu siapkan.
“Fahri, jaga Rayhana baik-bak ya, Nak. Dia masih muda, mungkin belum terlalu paham bagaimana cara untuk mengurus suami. Ajari serta bimbing ia untuk menjadi istri yang shalehah bersamamu.” Ibu berkata sambil meletakkan beberapa cangkir teh ke atas meja.
“Kami menyekolahkannya dengan susah payah, Nak. Dukung ia untuk meraih mimpinya. Kenapa dulu Ayah menerima pinanganmu? Jawabannya adalah, karena Ayah bisa bercerita kepada orang-orang bahwa menantu Ayah adalah orang hebat lagi cerdas. Dialah yang akan mendampingi Rayhana putri Ayah satu-satunya.” Ayah juga ikut bersuara.
Aku tidak sanggup menahan air mata. Sesak di dada yang sejak tadi kutahan akhirnya melebur juga, menciptakan bulir-bulir air yang kini membasahi kedua belah pipi. Perlahan aku menyapu air mata menggunakan ujung jilbab. Fahri hanya terdiam menunduk, tak menjawab sepatah kata pun.
“Sudah, kenapa menangis? Bukannya senang bisa ikut suami, hidup bersama-sama membangun rumah tangga bahagia, kok malah nangis.” Ayah menjewer lembut telingaku yang tersembunyi di balik penutup kepala yang kugunakan.
Ibu tersenyum melihat kami. Fahri, si laki-laki bengis itu juga menampakkan senyum manisnya dengan deretan gigi yang berbaris rapi. Melihat tingkahnya seperti itu, maka tidak akan ada yang tahu jika ia adalah seorang suami berdarah dingin.
Setelah berpamitan kami pun bersiap menuju rumah kontrakan. Ada rasa was-was di hati memikirkan nasibku selanjutnya. Masihkah bisa hidup atau akan mati sia-sia di tangan suami sendiri.
Jarak yang kami tempuh tidak terlalu jauh karena Fahri mencarikan rumah di daerah yang lokasinya dekat dengan kampus. Walaupun perjalan dari rumah orang tuaku kesini tidak jauh namun cukup membuat badan remuk dan pinggang sakit, karena duduk di dalam mobil pengangkut barang. Fahri tidak mencarikan mobil yang lain, hemat uang, begitu katanya.
Setiba di rumah kontrakan, hari sudah hampir sore dan kami belum makan siang. Tadi Ibu sudah menyarankan untuk berangkat setelah mengisi perut terlebih dahulu, tapi Fahri mengajak cepat. Sekarang aku kelaparan, makanan belum ada, dibeli pun tidak.
“Bang, kita beli nasi bungkus saja, ya, untuk makan siang ini. Aku tidak sempat lagi masak. Perutku sudah lapar sejak tadi. Tidak ada lagi tenaga untuk membereskan barang-barang.”
Dia yang sedang membereskan letak televisi, melihat ke arahku.
"Kamu jangan manja, belum juga kerja sudah mengeluh ini dan itu. Pasang gas tadi dan masak! Beras yang orang tuamu kasih tadi mana?"
Lagi-lagi aku tak menjawab. Jenuh rasanya hidup bersama dia. Hampir empat bulan pernikahan, kadang timbul keinginan untuk menyerah saja. Jika dia memarahiku, maka aku akan memilih diam. Di saat seperti itulah seluruh tubuhku akan bergetar hebat, karena terkejut bercampur takut. Serba salah dibuatnya, aku diam dia marah, apalagi jika membantah, bisa-bisa galon air isi ulang terbang kearahku.
***
Hari berganti bulan, aku masih setia mendampingi Fahri dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Banyak aral melintang, duri dan ilalang. Lelah kuberbenah, tapi tak pernah ada pengakuan. Sekuat tenaga aku mencoba untuk bertahan, tidak ingin mengecewakan kedua orangtua. Apalagi membuat mereka sedih dengan derita rumah tanggaku. Disisi lain aku malu menghadapi pertanyaan masyarakat yang nanti pasti memojokkan diriku.
Andai pun aku menjelaskan, mana mungkin mereka percaya. Mreka hanya mengenal Fahri dari luarnya saja. Fahri yang santun, ramah dengan segala kebaikan lainnya, tapi dibalik itu semua, dia adalah seekor serigala yang siap menerkam mangsa di mana pun berada.
Usia pernikahan yang masih sangat muda, bukanlah manisnya madu yang kurasa, melainkan pahitnya empedu yang menyiksa. Hingga akhirnya di bulan keempat pernikahan, aku jatuh sakit. Jika sebelumnya aku bisa melawan rasa sakit, tapi tidak untuk kali ini. Kekuatanku terkuras, tenagaku habis tak bersisa. Aku sendirian di rumah sedangkan Fahri belum pulang mengajar.
Sejak pagi aku merasakan pusing yang amat sangat. Di saat sedang berwudhu untuk menunaikan shalat Dhuhur, tiba-tiba tubuhku ambruk ke lantai kamar mandi. Sebisa mungkin aku tetap berusaha untuk bangkit tapi setiap kali membuka mata maka mual dan muntah yang mendera.
"Kamu kenapa, Ray?"
Fahri datang tergopoh menolongku yang sudah kedinginan di kamar mandi. Ia terlihat panik dengan kondisiku. Masih mengenakan sepatu dan kemeja, ia menghampiriku.
"Tidak apa-apa, hanya pusing dan mual, baru saja muntah. Tadi aku mau wudhu, tapi tiba-tiba saja jatuh " Aku menceritakan sebab kenapa terjatuh di sana.
"Ya Allah, jangan telpon Ibu, ya, kamu tidak perlu menceritakan kepada mereka."
Setelah meletakkan di atas ranjang dan membetulkan posisi tidurku, Fahri mengeluarkan ponsel dari saku bajunya.
"Ma, Ray tidak enak badan. Aku bawa ke klinik dulu."
"..."
Aku tidak bisa mendengar jawaban Mama, karena Fahri tidak mengaktifkan pengeras suara. Baru saja ia melarangku untuk menghubungi Ayah dan Ibu, malah dia sendiri yang menghubungi Mamanya. Setelah memutuskan panggilan telepon, Fahri pun memintaku untuk bersiap-siap.
"Berkemaslah, kita ke dokter sekarang, kamu harus diperiksa."
“Aku tidak sanggup bangun. Pusing.”
“Baiklah, aku akan mengganti bajumu.”
Aku tidak menjawab. Itu lebih baik kurasa dari pada nanti aku salah jawab dan akhirnya jadi petaka. Kadar perhatiannya sudah tertebak, dia sangat takut kalau aku sakit, karena jika sakit, maka tidak ada yang akan mengerjakan semua pekerjaan rumah.
Ia mengganti bajuku dengan telaten. Tidak nampak jika suamiku yang sekarang ini adalah suami yang kejam. Dengan perlahan ia memakaikanku baju terusan, kemudian mengambil jilbab kurung dan memasangnya di wajahku. Ada setitik embun yang membasahi jiwa yang kering selama ini. Andai saja kau selalu bersikap begini, Suamiku, pastilah rumah tangga kita menjadi bahagia saat ini. Hingga semua bidadari cemburu karena kau begitu menyayangiku. Tapi semuanya berbanding terbalik kebaikanmu tidak bisa kukecap. Jangankan di dunia nyata, di dalam mimpi pun aku tidak bisa merasakannya.
***
Kami tiba di rumah sakit setelah adzan Ashar. Setengah jam setelah mengantri, tibalah giliranku untuk masuk ke dalam. Ada seorang dokter yang sedang duduk di kursi, menanti kami dengan senyum yang tersungging di bibirnya. Setelah menceritakan segala keluhan, dokter pun mulai memeriksa. Tekanan darah yang rendah mengakibatkan pusing yang tak tertahankan.
“Sudah berapa lama Bapak dan Ibu menikah?” Tanya dokter tersebut.
Fahri melihat ke arahku kemudiab menjawab, “Sudah hampir empat bulan, Dok”
“Tapi belum hamil, ya," tanya dokter tersebut kembali.
“Belum, Dok.” Kini giliranku yang menjawab.
"Ibu sudah menstruasi bulan ini?"
Menstruasi? Aku saja tidak ingat.
"Saya tidak ingat, Dok. Sepertinya ada, tapi saya tidak yakin."
"Dari ciri-ciri yang ibu alami sekarang ini, sepertinya ibu sedang hamil. Sebaiknya dicek lebih lanjut ke dokter kandungan. Atau jika ibu bersedia, kami menyediakan testpack di sini. Untuk pengecekan tahap awal sebelum ke dokter kandungan," ujar dokter tersebut ramah.
Aku melihat ke arah Fahri, meminta ia untuk menjawab. Aku takut memberikan keputusan karena dia sudah pernah mewanti-wanti jika segala keputusan ada di tangannya.
"Kami ke dokter kandungan saja, Dok. Terima kasih banyak," balas Fahri tak kalah ramah ditambah senyum manis yang selalu ia sunggingkan. Begitulah Fahri, jika bersamaku ia terus saja bersikap kasar. Sebagai pasangan suami-istri, jarang sekali ia bersikap lemah lembut dan memanjakanku layaknya pasangan muda yang lain. Tetapi jika di luar saat berinteraksi dengan orang banyak, ia akan menjadi seorang yang sangat baik, perhatian dan ramah. Sungguh sifat yang sangat bertolak belakang.
"Baiklah jika begitu. Saya tidak memberikan resep apa pun. Nanti dokter kandungan saja yang memberikan resep untuk ibu Rayhanah"
"Baik. Dokter, sekali lagi terima kasih banyak."
Setelah berpamitan dan menyelesaikan urusan administrasi, kami pun bergegas ke dokter kandungan. Ada perasaan tak nyaman menyerang batinku. Bagaimana jika benar-benar hamil? Aku tidak bisa menerimanya. Rumah tangga kami tidak sehat. Bukan seperti rumah tangga orang kebanyakan yang memang telah menanti kehadiran bayi di tengah-tengah mereka. Tapi tidak denganku. Tidak bisa kubayangkan jika dia menyiksaku dalam keadaan hamil. Bila aku sanggup menahan sejauh ini, bagaimana dengan janin yang ada di dalam rahimku?
Kegelisahan dan bayang-bayang mengerikan terus saja melintas di otakku. Selama perjalanan menuju dokter kandungan, kami hanya saling diam. Tidak ada yang perlu dibahas menurutku. Jika ia ingin membahas sesuatu, biar dia saja yang memulainya.
***
Kami tiba sedikit lebih cepat, dari jadwal praktek dokter yang telah ditetapkan. Setelah dokter tiba tanpa harus menunggu antrean, kami dipersilakan masuk oleh seorang perawat yang berada di sana. Aku diminta untuk berbaring di atas ranjang kecil yang telah disediakan. Setelah melakukan beberapa pengecekan, kemudian asisten dokter tersebut membubuhi sesuatu ke atas perutku, rasanya dingin dan berbentuk seperti gel. Perawat tersebut mengangguk ke arah dokter, pertanda ia telah menyelesaikan tugasnya.
“Permisi, Bu. Saya periksa dulu, ya.” Dengan sopan dokter tersebut meminta izin untuk memriksaku.
"Selamat. Pak. Istri anda hamil. Dan usia kehamilannya sudah memasuki minggu kelima."
Dokter muda tersebut melihat kearah kami berdua sambil menggerak-gerakkan alat periksa di atas perutku.
"Nanti akan saya resepkan obat dan vitaminnya. Ibu banyak istirahat dan jangan terlalu banyak fikiran. Fisik dan psikis ibu harus benar-benar dijaga."
"Bai, Dok." Aku hanya tersenyum getir mendengar nasehat dokter tampan itu.
"Insya Allah, Dok. Ini adalah calon anak pertama kami. Kehadirannya sudah sangat di nanti-nanti." Fahri dengan mantap menjawab. Tanpa rasa sungkan, ia merangkulkan tangannya ke pinggangku. Sesekali ia membenarkan letak jilbab di wajahku.
Setelah menyelesaikan urusan di dokter kandungan, kami pun bersiap-siap untuk pulang. Selama perjalanan menuju rumah, aku ingin sekali memakan rujak yang dijual di pinggir jalan. Sepanjang jalan ke arah kontrakan, memang berjejer kios-kios penjual rujak. Rasa-rasanya, aku sedang mengunyah buah-buah segar yang bercampur dengan bumbu kacang tersebut. Rasa manis dan pedas yang pas di lidah, membuat air liurku berproduksi lebih banyak dari biasanya.
"Bang, boleh kita singgah sebentar beli rujak, aku selera." Kuberanikan diri untuk meminta.
"Kamu pikir bisa jajan sembarangan? Mau jadi apa anakku nanti?"
"Sekali ini saja, Bang. Aku betul-betul selera."
"Kamu punya telinga? Atau aku potong sekalian, biar kamu tidak bisa lagi mendengar?"
Aku menciut. Melonggarkan rangkulan dipinggang Fahri. Ancamannya sangat mengerikan. Perempuan mana yang bisa bertahan hingga sejauh ini dengan lelaki yang bisa dikatakan gila seperti Fahri? Aku terpaksa harus mendengarkannya, tidak boleh membantah jika tidak ingin disakiti.
"Satu lagi Rayhanah, kamu tidak boleh bermalas-malasan. Mengkambing hitamkan kehamilanmu itu untuk bisa tidur-tiduran saja! Kerjaan rumahmu tetap harus selesai! Penghasilanku tidak cukup banyak untuk menggaji pembantu."
Di balik tubuhnya yang tertutupi jaket dan helm, aku menangis. Menangisi nasibku yang seperti ini. Sampai kapan kesabaranku Engkau uji, Allah.
***
Memasuki bulan ketiga kehamilan. Aku sedang menyelasikan pekerjaan rumah didapur. Kurasakan kakiku keram, akibat terlalu lama berdiri ketika menjemur pakaian tadi pagi. Dari tadi aku sudah mengurutnya, tapi belum terasa kurang.
Hari ini adalah hari libur, Fahri tidak ke kampus seperti biasanya. Sedari tadi dia hanya sibuk dengan ponsel. Sengaja aku duduk di sampingnya sambil mengurut kaki yang sakit. Ingin melihat bagaimana respon Fahri terhadap kakiku. Hampir setengah jam. dia hanya diam terpaku. Matanya fokus menatap layar ponsel. Sepatah kata pun tidak keluar dari mulut lelaki itu. Tidak terlihat kekhawatiran atau sekadar menanyakan apa yang telah terjadi dengan diriku.
"Ambilkan aku air minum!"
Aku pura-pura tidak mendengar.
"Rayhana, minum!"
Dengan susah payah aku berusaha bangkit untuk melaksanakan perintahnya. Kondisi kaki yang keram disertai pusing dan mual membuat gerakanku melambat.
"Cepat!"
Ia membentakku sembari menghentakkan kakinya ke lantai. Tak lama, aku datang membawakan minum untuknya.
"Aku tidak mau air putih biasa, tapi air putih yang sudah dingin dari dalam kulkas."
Bagai kerbau yang dicucuk hidung, aku kembali berlalu perlahan menuju dapur, kemudian membawakan lagi gelas berisi air dingin permintaannya tadi. Fahri menenggak air tersebut lalu menyemprotkan ke atasku.
"Kamu memang tidak becus Rayhana. Ini gelas masih bau sabun cuci piring, tapi malah kau berikan untukku, ini aku kembalikan!!"
Fahri melemparkan gelas tersebut dan hampir mengenai kepalaku. Refleks aku menunduk menghindari lemparannya. Dia menyeringai dan beranjak ke dapur sambil berkata, "Pintar juga kamu mengelak, Ray."
Kutatap punggungnya yang berlalu melewatiku.
“Mau mu apa, Fahri? Kamu sudah sangat keterlaluan. Kamu itu sakit. Tidak normal. Ceraikan aku! Demi Allah, Fahri! Orang gila pun tidak akan sudi menikah denganmu, jika kelakuanmu seperti ini," ucapku berapi-api.
"Kamu akan menyesal bila berpisah dari ku, Ray. Aku cerdas, pintar, shaleh. Hanya saja, aku bodoh mau menikahimu dulu," teriaknya dari dapur seiring dengan suara benda yang dibanting ke lantai.
Tak tinggal diam, aku menghampirinya ke dapur. Kondisi dapur sudah tak beraturan dengan segala macam barang yang berhamburan ke lantai.
“Aku lelah hidup dengan mu Fahri. Lihatlah, ini semua perangaimu, seperti anak-anak bukan?” kataku sambil menunjuk ruangan yang berserakan.
“Diam kau tolol! Aku tidak butuh nasehatmu. Pergi dari sini! Tunggu saja hingga kau kuceraikan! Sial!
Fahri melemparkan botol aqua galon yang telah kosong ke arahku, tetapi tidak tepat sasaran, karena aku bersembunyi di balik dinding dapur.
Wanita mana yang akan terus bertahan jika selalu disakiti. Jiwa raga tersiksa akibat ulah suami. Kesabaran yang selama ini kubangun akhirnya terkikis juga. Aku bingung harus bagaimana, apakah harus memilih bertahan tapi tertekan atau berpisah, dan itu tentu tidaklah mudah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro