AIR MATA
Tiga bulan sudah usia pernikahan kami. Pernikahan yang jauh dari kata bahagia. Fahri adalah sosok yang lain, bukan seperti sosok yang pernah kukenal sebelum menikah. Di kampus ia adalah seorang yang sangat dihormati. Kepribadiannya yang santun membuat semua orang menaruh hati. Tidak hanya mahasiswa di kampus atau pun temannya sesama dosen, tetangga-tetangga kami saja juga sangat menyukainya. Bacaan qur’an yang bagus, sering menjadi imam shalat dan segala nilai plus lainnya. Tetapi tingkah dan perilakunya terhadapku tidak mencerminkan jika ia adalah seorang suami yang shaleh.
Kata-kata kasar sudah menjadi makananku sehari-hari. Siksaan apalagi, dari pagi hingga malam, sedikit saja salah langsung kena tendang. Aku tidak pernah melawan segala perintahnya, selalu mendengar apa yang ia minta, akan tetapi dia seolah-olah memang selalu mencari-cari sebab agar bisa menghukumku sesukanya.
[Assalamu’alaikum, Ray. Kuliah hari ini?]
Sambil meletakkan kain kompresan di pipi kanan yang bengkak dan lebam, aku membaca pesan whatsap yang dikirim oleh Mila.
[Tidak, Mil. Sedang tidak enak badan, nih] Aku membalas pesannya disertai emot sedih.
[Kamu kenapa sedih? Pak Fahri jahat?]
Mila menebak dengan tepat. Apakah aku harus menceritakan masalah rumah tanggaku kepadanya? Apa aku tidak bisa bersabar sedikit lagi atas sikap Fahri atau harus segera mencari cara untuk melepas diri?
[Bukan, aku hanya sedang kelelahan] Kali ini aku mengganti dengan emot senyum.
[Kamu kenapa sih, are you okay, Dear?] Balas Mila penasaran.
Belum sempat membalas pesan sebelumnya, tapi ia sudah mengirimkan pesan yang lain.
[Atau kamu hamil, ya? Wah, keren juga nih Pak Fahri, langsung jadi]
Mood-ku langsung menguap setiap mereka membahas masalah kehamilan. Bukan aku tidak mau hamil, tapi mengingat sikap Fahri yang begitu kasar, rasa takut muncul jika ia juga bersikap semena-mena terhadap anak kami nanti.
[Belum, Mil] Balasku.
Tidak ada lagi balasan dari Mila, mungkin saja ia sedang mendengar dosen memaparkan pelajaran di dalam ruangan.
Kondisi rumah sepi, Ayah dan Ibu telah pergi sejak pagi tadi. Ada rasa bosan di rumah tanpa ada aktifitas yang bisa kukerjakan. Hanya menghabiskan waktu di depan televisi atau berbaring di kamar. Biasanya Ibu atau Ayah pulang, aku akan menghindar ke kamar karena tidak ingin terlihat kondisi wajah yang penuh lebam. Jika Ibu memanggi, hanya sahutan dari kamar yang kuperdengarkan.
Setelah menikah, aku seperti membuat jarak dengan kedua orang tua. Tidak bisa leluasa seperti dulu bercanda atau sekedar duduk menonton televisi bersama. Fahri tidak mengizinkan apabila terlalu banyak mengobrol dengan mereka berdua tanpa alasan yang jelas.
“Jangan banyak bertanya, cukup dengarkan apa kataku, maka kau akan aman.” Begitu jawabnya saat aku bertanya.
Dulu saja, sebelum kami menikah, di saat dia telah melamarku, rasa bahagia memenuhi relung hati dengan segala bentuk pujian yang ia beri.
“Kau adalah tulang rusukku yang telah kutemukan. Hanya kau yang bisa membahagiakanku, Rayhana” Ucapnya pada suatu hari.
Cinta yang begitu sempurna ia perlihatkan, begitu apik ia menutup sifat asli yang ia miliki. Andai saja aku tau sebelumnya, maka pernikahan ini tidak akan pernah terjadi. Saat itu, aku merasa sebagai wanita yang sangat beruntung. Diperistrikan oleh lelaki shaleh yang cerdas lagi baik pekertinya. Kini, apa yang kualami tidaklah sama lagi. Hari-hari yang dulu penuh warna, kini menjadi muram tak berbentuk. Aku bukanlah putri yang dinikahi oleh pangeran, bukan juga cinderella yang bisa hidup bahagia setelah pernikahannya. Aku bahkan tidak lebih berharga dari seorang upik abu baginya. Pembantu saja digaji karena lelah mengurus majikan, sedangkan aku? Jangankan uang bulanan, melainkan makian dan siksaan yang kuterima.
Fahri tiba di rumah agak telat. Dengan terburu aku membuka pintu kamar untuk menyambutnya di ruang depan. Karena jika lambat sedikit saja, maka ia akan memakiku lagi. Setelah meraih tas laptop yang ia jinjing, aku mencoba memberanikan diri untuk menyalami dan mencium tangannya. Itu tetap kulakukan, walau sesakit apapun perasaanku karena tidak ingin menjadi istri yang tidak baik untuknya. Dia tersenyum dan membalas dengan membelai pucuk kepalaku. Beginilah Fahri, semudah itu melupakan apa yang telah ia lakukan.
“Kamu kuliah tadi?” Ia bertanya.
“Tidak .... Aku tidak enak badan.”
“Oh ...!"
Hanya begitu saja dan ia berlalu ke kamar. Meraih ponsel dari saku kemudian merebahkan badan di tempat tidur. Aku yang sedari tadi mengikuti dari belakang hanya diam saja. Sambil meletakkan tas laptop di atas meja rias, aku sedikit melirik ke arahnya yang sedang sibuk dengan ponsel. Senyum Fahri merekah sambil melihat ponsel dalam genggaman. Aku berusaha untuk mendekat dan duduk di tepi ranjang. Dengan segera Fahri memadamkan lampu layar ponselnya, bermaksud aku tidak boleh melihat apa yang sedang ia kerjakan. Aku pun menarik nafas panjang di sampingnya.
“Kamu kenapa?” Suara beratnya memecah keheningan.
“Bang, boleh aku menyampaikan sesuatu?” tanyaku pelan.
“Hmm ...." Dia menjawab sambil memejamkan mata, sebelah lengannya ditumpukan ke atas kening.
“Bagaimana kalau kita mengontrak rumah saja, tidak enak juga tinggal di sini terus.”
“Orang tuamu keberatan? Tiap bulan uang belanja lancar, kan?
Memang fahri memberikan uang belanja tiap bulan, tetapi hanya cukup untuk membeli lauk dan sayur selama beberapa hari. Setelah itu ia tidak mau tahu lagi, apakah uang masih ada atau tidak. Gajinya yang lumayan besar hanya dipegangnya sendiri, tidak sepeser pun ia berikan untukku. Jika sering aku meminta, dia menyuruhku untuk bekerja. Saat aku minta bekerja, ia malah marah-marah dan mengataiku istri tak tau diri.
“Bukan begitu, Bang.” Aku menekan suara agar tak terdengar keluar kamar.
Walau jarak kamar kami dengan kamar Ibu agak berselang, tapi aku tetap harus berhati-hati, tidak mau jika mereka mendengarkan perdebatan kami.
“Jadi apa?” Fahri mulai emosi, nada suaranya sudah meninggi.
“Aku tidak mau jika Ayah dan Ibu suatu saat mendengar kita selalu berselisih paham.”
“Kita bertengkar juga karena kesalahanmu, anak mereka. Dan mereka sebagai orang tua seharusnya tau diri, jika mereka tidak becus mendidik anak!"
DEGG!!
Sakit sekali! Kata-kata yang sangat tidak pantas ia keluarkan sebagai seorang imam rumah tangga dan menantu dari orang tuaku. Apalagi ia adalah seorang pendidik yang ilmu agamanya juga bagus. Bisa diterima jika aku saja yang dicaci, jangan Ayah dan Ibu. Dua orang yang telah membesarkanku dengan susah payah.
Ingin melawannya, tapi selalu kutepis. Aku tidak mau Ayah jatuh sakit hanya karena pertengkaran kami. Biarlah aku menghadapinya sendiri. Terpaksa untuk bersabar adalah jalan satu-satunya agar masalah tidak berbuntut panjang.
“Aku hanya memberi saran, Bang. Jika itu baik menurut Abang, jika tidak, aku minta maaf," ucapku pilu.
“Kamu itu selalu membuat tingkah, ini akibat terlalu dimanja, akhirnya menjadi-jadi.”
“Salahku apa sih, Bang? Aku hanya memberi saran, jika Abang terima syukur Alhamdulillah.” Aku membantah, tidak terima disebut manja. Karena aku tidak melakukan kesalahan melainkan memberi saran kepadanya.
“Berapa kali kukatakan kalau aku tidak suka perempuan pembangkang. Minta sewa rumah? Kurang senang orangbtuamu jika aku di sini? Jika bukan karena aku, orang tuamu yang miskin itu tidak bisa makan enak setiap hari. Cuma buruh bangunan, berapalah upahnya per hari.”
Emosiku naik ke ubun-ubun. Dia kembali mengulang menghina Ayah dan Ibu. Hal yang sangat kupantangkan adalah ketika orang tuaku dibawa-bawa ke dalam masalah rumah tangga kami.
“Jaga mulutmu! Orang tuaku tidak tau apa-apa tentang masalah ini. Jika kami orang miskin kenapa rupanya? Tidak cukup uang belanja yang kau berikan setiap bulan, malahan kau yang selalu menumpang makan dari hasil jerih payah orang tuaku.”
Akhirnya, kalimat yang kutahan-tahan sejak tadi keluar juga. Aku tahu konsekuensi yang akan kuterima jika melawannya.
“Berani kau?” Ia bangkit dari tempat tidur dan menantangku.
“Ingat Fahri! Dulu kau yang memintaku untuk menikah denganmu. Bukan aku atau pun kedua orang tuaku. Demi Allah! Aku menyesal telah menerimamu menjadi suamiku.”
Sedikit bergidik membayangkan apa yang akan terjadi, tapi aku puas karena telah membalas ucapannya. Tanpa kusadari tangannya sudah mencekik leherku. Gerakannya begitu cepat, sehingga aku tidak bisa menghindar dari serangan Fahri. Bagai kesetanan ia tak peduli saat aku meronta-ronta memohon untuk dilepaskan.
“Mati kau bangsat!!”
Aku tak berdaya melawan Fahri, tubuhnya lebih besar dari tubuhku. Dengan nafas tersengal, aku merapalkan doa di dalam hati, memohon pertolongan Allah dari perlakuan bejat Fahri.
Setelah puas menyiksa dan aku pun terkulai lemas dalam genggamannya, Fahri melemparku ke lantai. Tubuh yang tak lagi bertenaga, dengan sempurna mendarat mencium lantai. Tulang belulang terasa remuk redam. Tidak tersirat rasa belas kasihan sedikitpun di matanya untukku. Tidak pula berusaha untuk menolongku yang sudah terbaring di lantai. Malahan sekali lagi ia mendaratkan sebuah tendangan kearahku. Air mata telah menganak sungai, tidak berani lagi melawan bahkan berteriak meminta pertolongan.
“Bagaimana rasanya? Masih berani melawan?” tanya Fahri sinis.
Ia mendekat dan mengangkat wajahku yang telah basah oleh keringat bercampur air mata.
“Jika saja kau melaporkan ke orang tuamu, maka jangan salahkan aku jika kalian semua kusekap dalam satu ruangan! Cuih!!" Setelah meludah, ia pun berlalu.
Pernikahan seperti apa ini Rabbi. Bukan pernikahan seperti ini yang kuinginkan. Aku tidak meminta rumah yang megah dan harta melimpah, melainkan suami yang baik serta pengertian terhadapku. Menyayangiku serta kedua orang tua. Menghormati Ayah dan Ibuku layaknya seperti menyayangi orang tuanya sendiri.
Lelah tiga bulan ini bagai tiga tahun mendera. Sampai kapan aku akan bertahan terus seperti ini. Apakah stok sabarku bisa terus bertambah setiap hari atau akan terkuras habis tanpa terisi kembali?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro