Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 7


Sepulang kerja, Eleanor mampir ke rumah sakit untuk menebus obat Aleandro. Obat adiknya agak spesial, susah didapatkan. Memasuki parkiran yang penuh sesak, Eleanor memarkir mobilnya nyaris di ujung got. Untung masih ada. Kalau nggak, bisa parkir liar di luar.

Dia mematikan mesin mobil, mengunci pintu dan berjalan dengan anggun menuju rumah sakit. Eleanor tidak merasa dirinya cantik, tetapi tatapan dari para lelaki yang memandangnya terkadang membuat risih. Bahkan ada yang nekat sengaja mengajak kenalan, itu tidak bisa ditolerir.

Apotek sangat ramai oleh orang-orang yang ingin menebus obat. Setelah mengambil nomor antrean, Eleanor duduk di bangku. Membuka ponsel untuk mengecek pesan. Dan terpampang di sana foto dan pesan dari direkturnya tengah asyik makan malam di kamar hotel. Eleanor selalu rutin mengirim pesan untuk minum obat, juga jenis makanan yang bisa dimakan oleh Pak Dirga agar penyakitnya tidak kambuh.

"Nomor enam!" Perawat mengumumkan nomor antrean.

Eleanor melihat nomor yang dia pegang dan buru-buru datang ke konter. Ketika tiba di sana telah berdiri seorang pemuda yang memegang nomor antrean juga. Pemuda usia sekolah dengan wajah luar biasa tampan hingga nyaris cantik untuk ukuran laki-laki, dengan kulit putih dan mata bening.

"Maaf, ini antreanku." Eleanor berkata sambil menunjukkan kertas nomornya. Terlihat pemuda itu terpaku memandang Eleanor sebelum akhirnya tersadar ketika Eleanor berdeham.

"Oh maaf, tapi aku juga nomor enam." Dia menunjukan nomor antrean juga.

Eleanor melihatnya dan berkata pelan, "Sepertinya punyamu nomor sembilan."

Pemuda itu memperhatikan sekali lagi nomor antreannya, tetap yakin itu enam bukan sembilan.

"Enam, bukan sembilan. Jangan-jangan punya Kakak yang sembilan."

"Benarkah? Kalau begitu kamu duluan." Eleanor mengambil nomor antreannya kembali dan hendak berjalan duduk ketika pemuda itu menyelanya.

"Nggak, silakan duluan. Sepertinya Kakak buru-buru."

"Kamu yakin?" Eleanor bertanya sekali lagi pada pemuda dengan wajah cantik di hadapannya.

"Yuuup silakan Kakak duluan." Tanpa menunggu jawaban Eleanor, dia langsung kembali ke tempat tunggu. Eleanor mengucapkan terima kasih dan mulai menghitung uang untuk menebus obat. Setelah membayar dan menerima semua obat, Eleanor memandang pemuda yang duduk di barisan depan. Menganggukkan kepala dan pergi meninggalkan rumah sakit. Diiringi tatapan memuja dari pemuda itu yang tidak dia sadari.

Sampai rumah dia melihat adiknya tengah duduk di atas kursi roda di ruang tengah. Di tangannya ada komik terbuka. Pandangan dan konsentrasinya tercurah ke seluruh komik hingga tidak menyadari kedatangan kakaknya.

"Andro." Elea menyapa pelan dan adiknya mendongak.

"Iya, Kak. Baru pulang? Andro nggak denger suaranya."

"Itu karena kamu asyik sama komik. Gimana badanmu? Sudah nggak panas?"

Adiknya menggelengkan kepala. "Sudah membaik."

"Baguslah. Jangan tidur malam-malam, ya. Ini obatnya jangan lupa diminum. Kakak mau ke kamar dulu."

Andro menerima bungkusan obat dan melihat kakaknya terlihat lelah masuk ke kamar.

Di dalam kamar, Eleanor melepas baju kerja dan menggantinya dengan setelan rumah berupa terusan panjang batik. Menggulung rambut ikalnya ke atas dan menghapus riasan di wajah. Di dalam otaknya terus memikirkan sikap Yanara juga kesehatan adiknya. Sepertinya Andro sangat sakit, meski badannya tidak panas tapi mukanya pucat banget. Dan besok aku harus menemui Yanara agar dia berhenti memata-mataiku.

Dengan pikiran berkecamuk Eleanor mandi dan membaringkan tubuh di kasur. Mulai tertidur pulas, dia tidak bergerak ketika mamanya mengetuk kamar untuk mengajak makan malam. Terus pulas sampai pagi menjelang.

"Selamat pagi, Bu."

Eleanor tersenyum mendengar sapaan penjaga pintu. Pagi yang sibuk. Membawa setumpuk dokumen di tangan kiri, Eleanor sibuk menerima telepon. Hingga tidak menyadari sepasang mata mengawasi gerak-geriknya. Sampai di kantornya Eleanor melihat Juwita sudah datang. Meletakkan dokumen di meja Juwita dan menuju mejanya sendiri.

"Juwita, tugasmu hari ini terima telepon dan merapikan dokumen itu. Semua yang berkaitan dengan putra dan putri Direktur kita aku yang tangani."

"Beneran, Kak?" Juwita memandang Eleanor berseri-seri.

"Iya, hari ini aku sengaja membuat jadwal khusus di kantor." Eleanor menyalakan komputer dan duduk untuk mulai membereskan jadwal kerja. Menjelang siang telepon berbunyi dari caller id. Itu adalah ruangan direktur yang berarti salah satu anak Pak Dirga ada di sana. Eleanor memberi tanda agar dia yang mengangkatnya.

"Hallo, dengan Eleanor di sini. Ada yang bisa dibantu?"

"Ke mana Juwita?" Suara wanita yang ketus terdengar dari ujung telepon.

"Dia sedang sibuk, Ibu. Ada yang bisa dibantu?"

"Suruh dia datang sekarang, ada hal penting."

"Maaf tidak bisa, karena Juwita sedang mengerjakan laporan penting dari Pak Direktur. Bagaimana kalau saya saja yang ke sana?"

Terdengar nada mengomel tidak senang, tetapi akhirnya menyerah.

"Ya sudah, kamu kemari."

Eleanor tersenyum dan meletakkan telepon kembali. Mengacungkan dua jempol ke arah Juwita yang tengah harap-harap cemas menanti.

"Gimana, Kak?"

"Beres, aku yang ke sana."

"Yes!" Juwita mengepalkan kedua tangannya dengan senang. Eleanor bangkit dari duduknya dan mulai berjalan menuju pintu.

"Tunggu, Kak. Nggak bawa dokumen yang dia minta?" Juwita bertanya heran.

"Dokumen apa?"

"Ya nggak tahu, biasanya dia selalu memeriksa dokumen apa pun yang dibawakan."

Eleanor tersenyum dan berbisik, "Aman."

Menutup pelan pintu di belakangnya untuk menuju ruangan direktur. Sebenarnya ruangan Pak Dirga ada di belakang ruangan dia dan Juwita. Namun sering sekali keluarga Pak Dirga menggunakan ruangan yang lain yang lebih besar, terletak berseberangan dengan ruangan Eleanor. Asumsinya ruangan lebih besar jadi bisa digunakan untuk memanggil banyak orang sekaligus. Alasan yang terlalu mengada-ada menurut Eleanor mengingat mereka punya ruangan khusus untuk rapat. Sampai depan kantor, Eleanor mengetuk pelan.

"Masuk!"

Dia membuka pintu dan melihat Yanara duduk anggun di kursi tinggi di belakang meja. Yanara seorang wanita cantik berumur nyaris setengah abad. Dengan uang yang dimiliki, perawatan kecantikan di salon mahal juga pakaian yang dikenakan membuat wajahnya tampak lebih muda dari usianya. Dengan tubuh tinggi semampai dan rambut disanggul ke atas dia tampak sangar. Terlebih dengan memakai setelah kantor yang berupa blazer berwarna kuning emas serasi dengan roknya, memperlihatkan kesan anggun dan glamor.

"Mana dokumen yang aku minta?" Suaranya nyaring ketika melihat Eleanor datang dengan tangan kosong.

"Maaf, dokumen apa yang Ibu minta dari saya?"

"Dokumen apa, katamu? Semua dokumen mengenai transaksi dan pertemuan selama papaku tidak ada."

"Tapi tidak ada pertemuan apa pun selama Pak Direktur tidak ada dan mengenai dokumen transaksi itu bisa dilihat di dokumen yang saya email ke Pak Dirga. Beliau memegang semua dokumen perusahaan." Eleanor menjawab dengan hormat dan merendahkan suaranya.

"Apa katamu? Jadi kamu tidak mau memberikan dokumen transaksi padaku? Bagaimana pertemuanmu dengan sekretaris Pak Haris?"

Eleanor tersenyum manis sambil menjawab pertanyaan Yanara dengan sabar. "Hasil pertemuan adalah revisi perjanjian yang telah dibuat sebelumnya sewaktu Pak Dirga masih di sini. Dan sudah saya email ke beliau. Mohon konfirmasi ke Pak Direktur langsung."

Mendengar jawaban Eleanor, wajah Yanara menunjukan kegeraman.

"Maksudmu aku tidak berhak meminta secara langsung?"

"Oh tidak, Ibu berhak. Tapi mohon langsung ke Pak Dirga. Saya tidak ada kuasa untuk mengambil dokumen apa pun tanpa perintah beliau."

Brak!

Yanara sangat marah sampai menggebrak meja. "Berani-beraninya kamu mengabaikan perintahku. Apa kamu tidak mengerti siapa aku, Sekretaris Kecil?"

"Saya paham kedudukan saya, tapi perintah tetaplan perintah dan saya tidak berani menolak perintah atasan saya, Pak Dirga."

"Dasar kurang ajar! Pergi kamu dari sini dan panggil itu Juwita!"

"Maaf, Pak Dirga memberi intruksi agar seluruh urusan yang berkaitan dengan perusahaan dilimpahkan ke saya karena Juwita hanya seorang asisten." Eleanor mendengar Yanara mendesis. Namun dia tidak peduli, tetap melangkah keluar. Sebelum mencapai pintu, dia berbalik dan memandang ke arah Yanara yang marah. "Ah, ya. Satu lagi, Ibu. Saya sudah bilang ke Pak Dirga bahwa saya tidak suka dimata-matai. Mengenai tindak tanduk saya selama jam kerja itu semua atas perintah Pak Dirga. Jika sekali lagi saya dimata-matai maka saya akan mengundurkan diri dari pekerjaan saya."

"Apa? Kamu mengancamku?"

"Tidak berani, hanya menyampaikan bahwa saya tidak bisa bekerja dengan orang yang tidak mempercayai saya. Terima kasih." Tanpa menoleh lagi Eleanor menutup pintu di belakangnya. Terdengar suara-suara marah dari balik pintu.

**

Suara-suara bising di sekitarnya tidak mengganggu Reynand yang tengah asyik dengan gitar. Menggunakan headseat di kupingnya, mata setengah terpejam dan jarinya bergerak lincah di sepanjang senar gitar. Kepalanya menoleh ketika merasa seseorang menepuk punggungnya.

"Rey." Ada Anjas berdiri di hadapannya. Tampak sedikit cemas.

"Ada apa?"

"Itu ... Monica. Harus keluar dari rumah sakit hari ini. Tapi dia nggak mau pulang. Gimana?"

"What?"

"Iya. Gue bingung, Rey. Kayak gimana gue ngerayu, tetap aja dia nggak mau ngasih tahu di mana rumahnya." Anjas duduk di samping Reynand, menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Elu mau taruh mana kalau dia nggak mau pulang?" Reynand berdiri dari tempatnya, merapikan headset dan menaruh di dalam tas.

"Itu dia gue bingung."

"Jadi?"

"Ada ide sedikit gila, sih." Anjas tampak takut-takut sebelum bicara lebih lanjut. Reynand mengangkat alis.

"Apa?"

"Taruh rumah lu, Bro."

'What? Gila lu!" Reynand menyembur marah.

"Aduh, jangan marah dulu. Ini baru ide. Gue pikir karena Kakek elu nggak ada, bisa dia numpang bentar di sana." Anjas berusaha menjelaskan sambil meredam emosi Reynand.

"Kakek emang nggak ada di rumah, tapi Tante dan Om gue bisa setiap saat datang buat ngecek. Lagian waras nggak lu nyuruh cewek tinggal ama gue? Gila lu ya."

"Ya udah. Cuma saran. Jangan ngamuk Bro, peace-lah."

"Kenapa lu nggak taruh di kantor polisi aja?" Roki yang mendengar percakapan mereka menyarankan. "Daripada elu ngrepotin Reynand, mending taruh di kantor polisi. Biar mereka yang atasi."

"Nah, temen lu masih waras nih. Nggak kayak otak lu." Reynand menunjuk Roki yang tengah asyik berkutat dengan drum.

"Gue nggak tega, nangis mulu itu cewek. Sumpek gue kalau ada cewek nangis terus."

"Elu taruh di kosan aja beres, 'kan? Ada noh tempat sama Cindy."

"Wah, hebat! Minta nomor HP Cindy, biar gue hubung dia." Anjas bangkit dari duduknya dan berjalan cepat keluar garasi. "Akhirnya satu masalah selesai."

Roki dan Reynand hanya berpandangan, mengedikkan bahu dan melanjutkan aktivitas mereka yang tertunda.

Seminggu setelah kakek pergi, om dan tantenya terutama Yanara sangat sering ke rumah saat malam. Mereka bilang karena khawatir, tetapi Reynand tahu mereka tengah mencari kesalahannya. Satu saja dia berbuat salah maka habislah dia, mereka akan menggunakan kesalahan itu untuk mengulitinya hidup-hidup. Dan gue nggak mau hidup gue hancur cuma gara-gara cewek nggak jelas. Cindy ama gue udah baik-baik saja.

Reynand sibuk dengan pikirannya. Tidak beranjak dari tempat duduknya sampai sore menjelang. Malam ini dia harus di rumah on time karena omnya akan datang untuk makan malam bersama. Tidak ingin ada masalah Reynand bertekad pulang tepat waktu. Dia merasakan ponsel-nya bergetar, mengambil dari dalam sakunya dan melihat nama Cindy di sana. Enggan untuk bicara, Reynand menaruh ponsel kembali. Cindy baik, tapi bukan cewek yang gue impikan.

***

Hari ini meski sibuk, Eleanor bisa bernapas lega setelah pertengkaran di kantor Yanara waktu itu. Dia tidak lagi disibukkan dengan hal remeh-temeh urusan Yanara. Pun dengan Juwita, lebih bebas karena tidak lagi harus bolak-balik ke kantor Yanara. Dia akan datang bila memang ada hal penting.

"Juwita, besok sebelum ke kantor kamu bisa mampir ke kantor Pak Haris?"

"Apa? Ke kantor Ferdinan?" Juwita membelalakkan mata tidak percaya.

"Iya, ini dokumen yang sudah ditandatangani sama Pak Dirga. Aku banyak kerjaan, jadi kamu saja yang ke sana. Bisa?" Eleanor mengacungkan satu map dokumen di hadapan Juwita yang tersenyum senang.

"Tentu, Kak. Aku senang sekali."

Eleanor tersenyum melihat kegembiraan Juwita. "Oh, ternyata ada yang naksir Ferdinan, ya?"

"Ah, nggak kok."

Eleanor terkikik geli melihat wajah Juwita yang memerah. "Jangan dandan berlebihan, pakai celana jangan rok karena kantor mereka lumayan jauh dari rumahmu. Biar lebih praktis."

"Iya, Kak."

Eleanor merapikan dokumen di meja, mengamati dalam diam Juwita yang wajahnya berbinar gembira. Sepertinya sudah lama sekali aku nggak merasa jatuh cinta. Perasaan itu entah ke mana sekarang perginya. Enam tahun bukan waktu yang sebentar, tapi sepertinya baru terjadi kemarin.

Pikiran Eleanor mengembara ke masa lalu, tentang cinta pertama dan orang yang disukainya. Sekarang yang terpenting itu kerja dan Aleandro.

Pukul enam Eleanor mulai meninggalkan kantor. Dia terbiasa pulang agak terlambat untuk membereskan dokumen atau masalah esok hari. Kantor mulai sepi, banyak karyawan yang sudah pulang dari jam lima tadi. Memencet lift yang akan membawanya ke bawah dan menunggu bersama tiga orang lainnya di sana. Lift terbuka dan di dalam sudah ada beberapa orang. Eleanor melangkah masuk dan berdiri paling depan. Dia diam ketika samar-samar terdengar obrolan aneh di belakangnya.

"Aku jengkel sekali sama anak Pak Dirga."

"Siapa? Bu Yanara?"

"Iya, hari ini dia datang ke bagian keuangan. Meminta semua bon, kwitansi dan catatan penjualan juga pembelian selama setahun terakhir ini dikeluarkan."

"Masa?"

"Iya, mana aku harus ngitung pajak segala macam. Banyak pekerjaanku tertunda karena ini. Dan lagi ya, soal kecil aja dia bisa ngamuk, teriak-teriak ke kami."

"Wah, untung aku bukan bagian keuangan. Yang tabah, ya."

Lift terbuka, Eleaor melangkahkan kakinya keluar tanpa menoleh. Yanara, sepertinya mencoba untuk menjadi penting. Terserahlah.

Mampir sebentar ke supermarket, Eleanor membeli bahan makanan untuk keluarganya. Mendorong troli berkeliling dan berhenti di bagian buah dan sayuran. Menimbang, memilih yang akan dibeli, adiknya sangat suka ayam goreng ala katsu. Malam ini dia rencana akan membuat itu agar Andro lebih bersemangat. Sedang asyik memilih saus , sayup-sayup terdengar suara percakapan antara laki-laki dan perempuan dari rak di belakangnya.

"Kak, apa Monica harus tinggal sendiri?"

"Tentu, di sana ada teman Kakak. Cindy namanya."

"Apa Kak Reynand akan datang?"

"Jelas, Cindy itu pacar Reynand. Pastinya akan sering ke sana."

"Nggak asyik."

Dan terdengar suara merdu sang cowok tertawa menggoda. "Cie cie ... yang naksir Kak Rey."

Eleanor mendengar percakapan mereka dengan dahi mengernyit. Terlebih saat mereka menyebut nama Reynand. Namun, ia menepiskan rasa penasarannya karena di dunia ini tidak terhitung orang bernama Reynand.

Setelah mendapatkan saus yang dia mau, Eleanor mendorong troli sambil terus melihat barang-barang yang dipajang di rak. Saat berjalan dengan mata tetap tertuju pada rak di sampingnya, Eleanor tidak melihat bahwa ada troli yang tiba-tiba datang dari arah samping. Tak ayal terjadi tabrakan ringan antara kedua troli. Mendongak untuk meminta maaf, Eleanor menatap sepasang anak SMU di depannya. Si gadis sangat cantik dengan rambut tergerai indah dengan cowok nyaris cantik yang pernah dilihat Eleanor di rumah sakit.

"Ah, Kakak. Kita bertemu lagi." Cowok itu tersenyum ke arah Eleanor.

"Hallo."

"Apa Kakak ada yang terluka?" Cowok itu terlihat memeriksa troli dan mengamati Eleanor yang berdiri diam. Eleanor tersenyum simpul, mengangkat kedua tangannya.

"Aku baik, terima kasih. Bisa tolong minggir sebentar? Aku mau lewat."

"Oh ya, Kak. Silakan!" Cowok itu terlihat gugup sambil menyilakan Eleanor lewat. Belum seberapa jauh dia berjalan terdengar panggilan dan cowok itu mendadak sudah berdiri di hadapannya dengan malu-malu mengulurkan tangan. "Kakak, apa boleh kita kenalan?"

"Boleh. Eleanor." Eleanor mengulurkan tangan kanannya. Cowok remaja di hadapannya tampak gembira menjabat tangannya.

"Aku Anjas, Kak Elea. Boleh memanggilmu begitu?"

"Boleh. Sampai jumpa, Anjas." Melepaskan tangan, Eleanor melanjutkan langkah menuju kasir.

"Cie cie ... naksir nih yeee."

"Hush! Berisik."

Percakapan mereka terdengar samar di telinga Eleanor. Dengan tinggi nyaris 170 cm, tubuh langsing tetapi bukan kurus kering, rambut ikal berombak dan bentuk mata yang kata orang-orang menyerupai mata kucing, Eleanor menyadari daya tariknya, tetapi enggan berhubungan dengan setiap orang yang iseng ingin berkenalan. Merepotkan.

Dan, kerepotannya datang dalam bentuk pemuda gondrong beranting satu yang terlihat santai duduk di atas motor. Mereka bertemu pandang, sebelum pemuda itu menyapanya.

"Heran gue, di mana-mana bisa lihat lo!"

Eleanor mendengkus. "Yang heran itu aku. Kenapa, sih, setiap tempat harus ada kamu."

"Hei, ini tempat umum!" teriak Reynand.

"Anak kecil juga tahu."

Sementara mereka bicara, terdengar suara guruh menggelegar di langit. Reynand mendongak dengan cemas. Dia menunggu Anjas dan Monica yang berbelanja. Dan merasa mereka berdua terlalu lama di dalam.

"Hujan, sebaiknya kamu pulang. Nanti masuk angin," ucap Eleanor setelah selesai memasukkan barang belanjaannya ke dalam mobil.

"Ciee, perhatiaan. Napa, naksir gue?"

Eleanor berdecak. "Mana sudi aku, apa enaknya sama anak kecil?"

Mendadak, Reynand meloncat dari motor dan mendekatinya. Senyum jahil keluar dari bibirnya. "Anak kecil kata lo? Kalau lo ingat, terakhir kali anak kecil ini bikin lo mengerang keenakan karena ciuman."

Ucapan Reynand dan mesum membuat wajah Eleanor memerah. "Dasar mesum!"

"Tapi, lo suka,'kan? Gimana, kita ulangi lagi ciuman kita?" Secara sengaja, Reynand mengulurkan tangan untuk mengelus rambut Eleanor. Dia tersenyum wanita itu mundur.

"Aku sibuk, nggak ada waktu main-main!" Membuka pintu, Eleanor mengenyakkan diri di kursi. Tanpa berpamitan, memacu kendaraannya menuju jalan raya. Meninggalkan Reynand yang berdiri mematung.

"Cewek aneh," gumam Reynand mengulum senyum. Dia meraba jaket dan melihat hapenya berbunyi. Sebuah pesan masuk dan membuatnya setengah berlari menuju motor.

**

Tersedia di google playbook 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro