Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 6


Sepulang dari bandara, Eleanor mendapati adiknya demam tinggi. Dengan cemas dia mengamati sang adik yang terbaring di ranjang, wajah pucat dan sepertinya menahan rasa sakit. Dengan hati-hati mengelap wajah adiknya menggunakan handuk. Kelumpuhan yang diderita adiknya membuat anak laki-laki yang dulunya sehat, tampan menjadi anak yang murung dan tidak bersemangat.

Pintu kamar terbuka dan masuklah mamanya.

"Elea, kamu bisa istirahat sekarang. Biar Mama yang menjaga."

Eleanor tersenyum sambil mengangguk, dan bangkit dari ranjang adiknya.

"Elea akan tidur siang sebentar, Ma. Panas banget tadi di luar. Kalau kondisi Andro tidak membaik kita bawa ke rumah sakit nanti."

"Iya. Mama akan pantau terus."

Syukurlah, setelah beberapa jam keadaan Aleandro membaik, membuat Eleanor bisa bernapas lega. Tanpa kehadiran direktur di kantor, pekerjaannya akan semakin bertambah banyak dan menuntut konsentrasi tinggi. Jika adiknya sakit, maka Eleanor tidak akan bisa bekerja maksimal.

"Kak, apakah adikmu baik-baik saja?" Juwita bertanya pada Eleanor yang tengah minum teh di sela istirahat siang.

"Iya, sudah jauh lebih baik. Sepertinya tulangnya ada yang bermasalah lagi. Nanti akan kita cek ke dokter." Jawaban Eleanor membuat Juwita mengangguk. Tiba-tiba pintu ruangan mereka terbuka dan masuklah seorang wanita cantik dengan rambut tertata rapi, berpakaian kuning keemasan yang terlihat mewah dan mahal. Dari wajahnya terpancar keangkuhan yang seakan-akan ingin memperlihatkan bahwa dia orang kaya.

"Oh ... jadi begini yang kalian lakukan saat papaku sedang tidak ada di tempat?" Suara yang dingin membuat Juwita terlonjak. Buru-buru menegakkan tubuh dan membungkuk hormat.

"Selamat siang, Bu Yanara." Sambutan Juwita hanya dibalas dengan dengkusan oleh Yanara. Matanya memandang Eleanor yang tersenyum ke arahnya, mengangguk kecil dan meneruskan minum teh.

"Apa kamu tidak tahu sekarang waktunya bekerja dan bukan minum teh?" Suaranya tajam menusuk ke arah Eleanor.

"Dan jika Ibu mau memperhatikan sedikit saja keadaan, Ibu akan tahu ini waktunya istirahat." Eleanor membalas dengan suara pelan dan tetap tersenyum ke arah Yanara.

"Kamu sudah berani membantahku, ya." Yanara mendesis.

"Tidak, hanya mengungkapkan kenyataan."

"Jangan kamu kira karena papaku menyukaimu maka kamu bebas berbuat seenak sendiri di perusahaan ini." Mata Yanara berkilat penuh kebencian.

"Dan maaf tidak ada maksud saya untuk menguasai apa pun di sini. Karena saya hanya sekretaris biasa, Ibu." Eleanor masih menjawab dengan nada pelan.

"Sekretaris biasa? Hahaha! Kamu pikir aku percaya? Aku lebih percaya gosip yang menyatakan bahwa kamu telah memikat hati papaku." Ucapan Yanara telah melampaui batas kesabaran Eleanor. Dengan sengaja dia membanting cangkir teh yang menimbulkan suara keras. Membuat Juwita memandangnya ngeri, takut terjadi sesuatu. Yanara sedikit terlonjak kaget.

"Ibu, tega sekali Anda merendahkan Pak Dirga yang terhormat. Dan sangat disayangkan direktur bisa mempunya anak perempuan dengan pikiran kotor seperti Anda." Eleanor berkata ketus dan berdiri dari kursinya.

"Kamu, berani-beraninya bicara tidak sopan padaku." Yanara melangkah mendekati Eleanor.

"Ibu yang memulai lebih dulu, dan sebaiknya tolong tinggalkan kantor karena kami masih banyak pekerjaan yang belum diselesaikan."

"Kamu berani mengusirku?! Dari kantor papaku sendiri?!" Yanara berkata histeris, merasa terintimidasi dengan sosok Eleanor yang cantik, tangguh, dan lebih tinggi darinya.

"Iya, saya berani. Kecuali Ibu mau Pak Direktur yang menyuruh Anda keluar. Saya bisa telepon beliau saat ini juga." Eleanor mengancam dengan tenang. Yanara merasa darahnya mendidih, melangkah keluar dan membanting pintu di belakangnya. Membuat Juwita yang gemetaran semakin ketakutan.

"Kak, apa kamu nggak takut ada masalah?" Juwita bertanya sambil berjalan duduk kembali ke kursinya. Memandang Eleanor yang sekarang duduk menghadap komputer.

"Nggak ada yang perlu ditakutkan. Kita nggak bersalah, kok. Sudah, lanjutkan pekerjaanmu." Eleanor menjawab dengan cuek, sementara hatinya menjerit pedih.Setiap orang menuduhku sebagai simpanan Pak Dirga, apa mereka tidak melihat bahwa aku meraih semuanya dengan kerja keras?

Tidak membiarkan rasa sakit hati lama-lama bercokol di hatinya, Eleanor melanjutkan pekerjaan yang tertunda.

***

Tanpa kehadiran kakeknya, rumah yang besar ini menjadi semakin sepi. Reynand sama sekali tidak menyukainya. Kakek memang cerewet, tetapi dia juga seorang teman yang baik untuk diajak ngobrol. Reynand berbaring di sofa ruang tamu, mengamati rumah yang sunyi. Malam belum begitu larut, tetapi dia merasakan kesepian menusuk hati. Ponsel yang dia letakkan di meja bergetar. Dengan malas meraih dan membukanya. Mengernyit saat melihat nama Anjas tertera di sana.

"Hallo." Reynand menjawab pelan.

"Rey, elu di rumah?"

"Iya, kenapa?"

"Bisa bantu gue nggak?"

"Ada apa?"

"Gue nggak sengaja nabrak orang dan sekarang ada di rumah sakit. Tolongin gue selesaikan masalah ini."

Reynand bangkit dari tempatnya berbaring. "Rumah sakit mana?"

"Cempaka."

"Elu tunggu. Gue jalan sekarang." Reynand buru-buru menutup ponsel-nya, menyambar jaket yang tersampir di pinggiran sofa dan setengah berlari mengambil motor.

Sesampainya di rumah sakit, Reynand langsung menuju ke kamar yang ditunjuk oleh Anjas. Setelah melewati lorong panjang dengan dinding putih dan perawat berlalu-lalang Reynand tiba di kamar yang dimaksud. Melongokkan kepala ke dalam, melihat Anjas duduk di kursi dengan tangan diperban. Reynand berjalan sambil mengamati. Seorang gadis manis terbaring di ranjang dengan infus terpasang di tangannya. Perban dan kapas menutupi luka-luka di sekujur tubuh juga wajahnya yang lumayan jelita. Reynand mendekati Anjas dan menepuk pelan pundaknya.

"Eh Rey, sudah datang?" Anjas menoleh kaget.

"Gimana keadaan dia?" Reynand menunjuk gadis yang terbaring di ranjang.

"Sudah membaik." Anjas menjawab dengan letih, kembali memandang gadis yang terbaring di hadapannya.

"Sudah telepon keluarganya?"

Anjas menggeleng.

"Justru itu, Bro. Cewek ini nggak bawa identitas apa pun."

"Hah, jadi?"

"Entahlah. Nunggu dia siuman mau nggak mau." Anjas mengangkat bahunya pasrah. Reynand mengambil kursi kosong dan duduk di samping Anjas.

"Gimana kejadiannya?"

"Gue juga nggak paham, Bro. Jalanan sepi jadi gue bawanya lumayan kenceng. Mendadak cewek ini muncul sambil lari entah dari mana dan bum! Ketabraklah dia." Anjas menjelaskan dengan raut muka bingung. Reynand mengangguk.

"Tenang. Kita tunggu dia sadar. Mudah-mudah cepat." Dan mereka berdua duduk di sana menunggu si gadis siuman. Perawat datang silih berganti untuk memeriksa keadaan gadis ini.

"Apa lu bisa nginep di sini nemenin gue?" Anjas bertanya pada Reynand yang tengah asyik mengutak-atik game di ponsel.

"Bisa. Kakek lagi ke Italia. Rumah sepi."

Anjas mengangguk.

Menjelang pagi sekitar jam empat, Reynand yang tertidur dengan kepala terkulai di pinggiran kursi mendadak kaget ketika Anjas mengguncang bahunya.

"Rey, dia sudah sadar."

Reynand terduduk dan melihat gadis itu terbuka matanya, dengan dokter jaga tengah memeriksa. Setelah memastikan dia benar-benar sadar, dokter memberinya suntikan. Dan mengecek apakah ada keretakan di kepala bagian belakang. Ternyata hasilnya baik-baik saja.

"Siapa namamu?" Anjas bertanya pelan pada gadis itu setelah dokter dan suster meninggalkan mereka bertiga.

"Monica."

Anjas mengangguk. Reynand hanya diam mengamati tak bersuara.

"Di mana tempat tinggalmu?"

"Kompleks Kuningan, Jakarta Selatan." Monica menjawab pertanyaan Anjas dengan pelan. Matanya terpaku pada wajah Anjas yang luar biasa cantik nyaris seperti perempuan.

"Oke, besok kamu telepon keluargamu biar mereka tahu keadaanmu."

Monica menggeleng.

"Kenapa?" Anjas bertanya heran.

"Mereka tidak akan peduli."

"Mereka keluargamu, tentu akan dan harus peduli." Anjas bertanya menekan, tetapi Monica terus-menerus menggeleng dan menitikkan air mata.

Reynand menepuk bahu Anjas, memberi tanda untuk berhenti menanyai. "Dia baru sadar, masih belum pulih benar. Biarkan dia istirahat. Ayo kita keluar ngopi."

Anjas mengangguk dan pergi keluar dengan Reynand meninggalkan Monica sendiri.

"Menurutmu apa yang salah sama dia, Rey?" Anjas masih tidak mengerti dengan keadaan Monica, berusaha terus mendiskusikan masalah ini dengan Reynand saat mereka berjalan bersisian menuju warung kopi.

"Entahlah. Elu tunggu aja, Bro. Mungkin setelah beberapa hari dia akan pulih dan sadar lagi."

Anjas menarik napas panjang dan tidak bicara lagi. Warung tempat mereka minum kopi tidak ramai dikarenakan waktu yang masih terlalu dini.

"Elu tetap di rumah sakit aja. Entar gue minta surat izin sakit dari dokter jaga."

"Oke."

Selesai minum kopi, Reynand mengantar Anjas ke kamarnya. Sebelum pergi dia sempatkan menengok Monica. Gadis itu tertidur kembali dengan pulas. Pulang ke rumah, Reynand mengganti bajunya dengan seragam dan berangkat sekolah.

**

Braaak!

Bammm!

Suara berisik dari samping meja kerjanya membuat Eleanor terlonjak. Memalingkan wajahnya, dia melihat Juwita datang dengan wajah cemberut. Meletakkan setumpuk dokumen di lengannya, nyaris membantingnya di meja. Wajah Juwita yang manis terlihat geram.

"Ada apa?"

"Aku sebal!" Juwita duduk, menumpuk dokumen dan mulai menyalakan komputer.

"Aku tahu kamu sebel, tapi ada masalah apa?" Eleanor memperhatikan Juwita yang masih memasang wajah cemberut.

"Itu loh si Nona Besar, datang pagi-pagi saat orang sedang sibuk. Bilang ingin memeriksa jadwal minggu kemarin. Aku bawain ke sana dengan susah payah. Kakak tahu dia bilang apa?"

Eleanor mengangkat sebelah alisnya, bila ditilik dari sifat anak Pak Dirga pasti terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan. "Dia bilang apa?"

Juwita berdiri dari tempat duduknya, berkacak pinggang dan mulai bicara menirukan gaya anak bosnya.

"Huh! Jadi cuma ini yang kalian lakukan selama papaku tidak ada? Lalu kenapa hanya dokumen ini yang kamu bawa? Aku minta semua hasil dari deal-deal pertermuan yang terjadi sebelum dan setelah papaku pergi." Juwita kembali menghempaskan tubuhnya ke kursi.

"Kamu bilang apa?" Eleanor bertanya dengan tenang.

"Aku bilang, aku hanya bagian dokumentasi. Untuk hal-hal yang lebih penting dirimu yang tangani. Dia langsung meledak marah."

"Oh ya, gimana?"

Mendengar pertanyaan Eleanor, Juwita memegang dokumen di tangannya dan membantingnya ke meja. "Apa-apa sekretaris kecil itu berkuasa! Dia hanya sekretaris bukan siapa-siapa, tapi menguasai semuanya. Kamu juga bodoh amat jadi pegawai bergantung sama dia!"

Eleanor mendengkus mendengar kata-kata Juwita. "Kamu jawab apa dia ngamuk gitu?"

"Aku bilang, dari dulu Pak Dirga selalu percaya pada Kakak. Jadi tidak ada masalah kalau semua dokumen dipegang Kakak. Dan lagi pula aku masih belum mahir mengurus hal yang besar. Dia tambah geram."

"Hahaha!" Eleanor tertawa terbahak-bahak.

"Kenapa Kakak malah tertawa, sih? Aku sedang kesal juga."

Eleanor masih terus tertawa. "Aduh Juwita, nasibmu apes. Bukan aku yang dicari malah kamu."

Selesai tertawa, Eleanor berdiri mengambil air di gelas dan duduk kembali. "Lagian tadi aku ke mana ya, pas dia cari kamu?"

"Kakak di lantai bawah."

"Oh ya. Lain kali kalau yang dia tanyakan kamu nggak ngerti, suruh dia tanya aku langsung."

"Udah, Kak. Malah tambah marah dia." Juwita masih merasa kesal.

Eleanor tersenyum menyemangati Juwita. "Sabar, oke? Kamu akan berhadapan dengannya lebih sering kelak. Anggap aja ini latihan."

Juwita mengangguk.."Dia tanya juga soal pertemuan kita dengan Ferdinand."

"Oh ya?" Eleanor surprise dengan apa yang didengarnya. "Tahu dari mana dia?"

"Entahlah, Kak. Aku bilang aku hanya mendengar dan makan aja. Selebihnya kalian yang lebih banyak membuat kesepakatan. Tambah mengomel dia."

"Hahaha." Eleanor kembali tertawa.

"Kakak mah gitu, orang sengsara diketawain."

"Ya udah, maaf. Nanti aku traktir es kopi di kantin, ya? Untuk mengobati luka hatimu."

Juwita langsung cerah mendengar tawaran Eleanor. "Serius, ya?"

"Yuup, boleh dua gelas kalau kamu sanggup." Eleanor mengangguk setuju.

"Nggak, ah. Hari ini segelas besok segelas." Juwita bicara dengan wajah gembira dan mata bersinar.

"Dasar, nggak mau rugi!" Eleanor melempar gulungan kertas ke arah Juwita yang disambut dengan gelak tawa.

Jadi mereka memata-matai kami, harus lebih hati-hati. Eleanor kembali melanjutkan pekerjaan. Sementara pikirannya mengembara ke arah anak perempuan Pak Dirga, Yanara.

**

Sepulang sekolah Reynand bersama kawan lainnya menuju rumah sakit untuk menjenguk Anjas. Mereka masih memakai seragam sekolah, tas di punggung dan terlihat sangar karena datang bergerombol. Menuju kamar Anjas, mereka tidak menemukannya. Reynand mengajak mereka semua ke kamar Monica. Dan melihat Anjas duduk di samping ranjang Monica dengan wajah sendu tengah berbicara pelan. Mereka berdua mendongak ketika melihat siapa yang datang.

"Elu kenapa, Bro?" Dedy menepuk punggung Anjas. Sementara yang lain berdiri berkeliling di ranjang Monica. Sementara itu wajah Monica terperangah melihat para cowok keren menjenguknya.

"Nggak tahu, lagi khilaf." Anjas menjawab dengan pelan, mengacak-acak rambutnya. Reynand memandang Monica yang terbaring di ranjang, menatapnya lurus-lurus.

"Kamu udah siuman, harusnya udah ingat keluargamu, 'kan?" Dia bertanya pada Monica dengan hati-hati. Mendengar pertanyaan Reynand, mereka semua langsung fokus ke arah Monica, melihat wajah gadis itu perlahan-lahan memucat.

"Rey, nanti aja." Anjas memohon pada Reynand.

"Nggak bisa. Dia harus mulai mengingat." Reynand menggelengkan kepala dengan tegas. "Udah nyaris 24 jam. Keluarganya bisa saja bikin laporan kehilangan ke polisi, dan gue jamin elu pasti dapat masalah."

Mendengar omongan Reynand, Anjas mengangguk paham.

"Hallo, Cantik. Kamu harus cepet ingat siapa keluargamu. Kalau nggak, Abang yang ganteng ini akan dapat masalah." Dedy berkata pada Monica dan mengedipkan sebelah mata.

"Nanti Monica akan coba, Kak." Akhirnya dia menjawab dengan suara merdunya. Matanya yang besar memandang Reynand dengan penuh pemujaan.

"Bagus. Udah makan dan minum obat?" Reynand kembali bertanya padanya. Dan dijawab dengan anggukan lemah.

"Gadis cantik yang pintar." Pujian dari Reynand membuat wajahnya yang pucat memunculkan semburat merah di pipi. Topan dan Roki saling berpandangan lalu mendengkus.

"Kami tinggal sebentar ya, kamu istirahat." Anjas berkata pelan. Monica mengangguk, dan mereka berlima meninggalkannya terbaring sendirian.

Suasana rumah sakit mulai sepi karena jam kunjung sudah hampir habis. Mereka menuju kantin rumah sakit untuk makan siang. Kantin rumah sakit terletak di bagian bawah rumah sakit. Melewati lorong menurun menuju tempat parkiran motor, mereka tiba di sana. Di dalam kantin tidak banyak orang. Reynand menunjuk tempat di pojokan. Memesan nasi rames dari warung nasi sederhana di depan mereka dan mulai makan dengan lahap.

"Monica itu cakep, Bro." Dedy berkata sambil melahap tumis kangkung di piringnya.

"Trus?" Anjas bertanya tak peduli.

"Yah, pacarin aja."

Plak!

"Aduh!"

Plak!

"Aduuuh! Gila elu berdua ngeplak pala gue!" Dedy berdiri mengusap kepalanya yang baru saja dikeplak oleh teman-temannya.

"Biar elu ngomong nggak ngasal aja, lihat keadaan lagi gimana." Topan mengambil piring Dedy dan melahap bakwan jagung yang tersisa.

"Wei, itu punya gue!" Dedy kesal dan duduk lagi di tempatnya.

"Lain kali ngomong pakai otak, kalau gini terus bisa habis itu mulut ditonjok orang." Reynand bicara pelan ke arah Dedy yang cemberut.

"Iyeee gue tahu. Cuma ngasih saran."

"Saran edan." Roki menggelengkan kepala.

"Udah, diemin aja dia. Jadi gue harus gimana kalau itu cewek nggak inget keluarganya?" Anjas bertanya.

"Gue bingung juga. Tapi kalau sampai besok nggak inget juga, kita lapor polisi. Biar polisi menyisir daerah sekitar elu nabrak dia."

"Kalau gara-gara ini gue jadi tersangka gimana?" Anjas bertanya khawatir.

"Elu emang tersangka tabrak lari. Cuma yang dibilang Rey benar. Besok dia nggak inget, kita lapor polisi. Lebih baik mengakui daripada kena masalah kemudian hari." Dedy menyarankan dengan cerdas.

"Tumben lu nyambung." Roki menjawab pelan.

"Tumben otak elu berfungsi." Topan menimpali

"Berisik elu berdua!" Dedy menjawab kesal.

"Udah, ribut kayak cewek aja. Kita pulang dulu sekarang. Anjas tetap temani dia, besok lihat gimana perkembangan itu cewek." Reynand bicara sambil berdiri, menuju kasir untuk bayar makanan yang dia pesan. Balik lagi dan merasa heran lihat mereka masih duduk aja. "Kalian nggak bayar?" Dia bertanya.

"Yeee, kirain elu bayarin kita, Bro."

"Apa untungnya buat gue bayarin elu makan?" Reynand menjawab sambil mengambil tasnya dan berjalan menuju pintu.

"Dasar pelit!" Mereka bersungut-sungut, tetapi tetap membayar makanan yang dipesan.

"Kakek elu kaya raya, perusahaan besar, masa' iya elu nggak mau sering-sering traktir kita?" Dedy masih tidak puas dengan sikap Reynand.

"Yang kaya Kakek gue, bukan gue." Reynand menjawab tidak peduli. Sampai di kamar Monica mereka melihat bahwa suster telah memandikannya. Terlihat lebih segar dan manis. Matanya berbinar saat melihat Reynand datang.

"Monica, cepat sembuh, ya. Kami pulang, besok datang lagi." Dedy berkata penuh senyum pada Monica yang matanya masih tertuju pada Reynand.

"Iya Kak, makasih kunjungannya." Monica menyahut sambil menganggukkan kepala. Rambutnya yang hitam sebahu tergerai indah. Baju pasien yang dia kenakan tidak mampu menyembunyikan fakta bahwa dia gadis yang cantik.

"Gue ngerasa ada yang aneh sama cewek itu." Topan bicara dengan suaranya yang dalam ketika mereka beriringan di lorong rumah sakit.

"Aneh gimana, Bro? Cantik begitu." Dedy tidak mengerti.

"Entahlah. Menurut lu gimana?" Topan mengedikkan kepala ke arah Reynand yang berjalan di sampingnya.

"Aneh emang. Makanya dia harus ingat segera. Menurut gue cara dia amnesia terlalu lebay." Kata-kata Reynand membuat semua yang mendengar termenung.

**

PO cerita ini, silakan yang berminat ke nomor WA : 085811788865

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro