Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab. 5

Kejadian dengan Renata membuat Reynand sedikit lebih berhati-hati soal cewek. Reynand tidak pernah peduli dengan gosip di sekelilingnya, tetapi dia tidak suka bila orang-orang mengatakan dia merebut pacar orang.

"Pantang buat gue merebut pacar orang. Cewek banyak, Bro. Elo nggak harus naksir cewek orang lain biar bisa punya pacar."

Itu yang selalu Reynand katakan pada teman-temannya. Makanya dia sangat kesal dengan masalah Renata. Dia berusaha keras untuk menghindar dari cewek itu. Namun, sepertinya penolakan Reynand tidak membuat Renata patah semangat. Nyaris setiap hari dia menelepon, SMS atau mencarinya di kantin. Sikap Renata yang posesif membuatnya sebal. Lucunya, kesebalan Reynand adalah hiburan bagi teman-temannya.

"Upz, Miss Universe datang." Begitu ucapan Topan tiap kali melihat Renata muncul dan artinya itu waktu untuk Reynand menghilang dari pandangan.

"Hai, Kalian Semua. Ada ngelihat Reynand, nggak?" Renata tersenyum manis menghampiri mereka yang tengah asyik nongkrong di kantin.

"Nggak, Manis. Sepertinya Reynand nggak masuk hari ini." Dedy menjawab sambil mengedipkan sebelah mata ke arah Renata.

"Oh gitu. Salam ya kalau kalian bertemu dia."

"Siap, Manis."

Dengan langkah gemulai Renata meninggalkan mereka. Setelahnya Roki mengetuk papan yang memisahkan meja mereka dengan dapur. Reynand muncul dari balik papan dengan muka kesal.

"Mau sampai kapan lu menghindar terus?" Roki bertanya pada Reynand yang duduk di sampingnya. Dia menyambar mangkuk berisi soto dan mulai makan dengan lahap.

"Gue udah nolak dia sekasar gue mampu, tapi tetap aja itu cewek nyariin gue terus. Nomor ponsel dia udah gue blok juga." Reynand menjawab di sela kegiatannya mengunyah.

"Gue ada usul gimana caranya nolak dia." Dedy berkata sambil menyeringai.

"Gimana?" Anjas kelihatan tertarik.

"Elu kejar cewek lain, Bro. Biar dia tahu elu udah nggak naksir dia."

"Ah, gila lu. Masalah baru itu mah." Anjas menyela, tidak setuju dengan pendapat Dedy.

"Masalah baru gimana? Kalau Reynand punya cewek lain otomatis Renata akan berhenti ngejar. Masa iya Reynand ada cewek lain dia nggak nyerah juga?"

Semua terdiam mendengar usul Dedy. Sekilas terdengar masuk akal. Reynand termenung. Menghabiskan sotonya, mengelap mulut dengan tisu dan berkata perlahan, "Usul lu bagus. Gue akan coba."

"Yes!" Dedy mengepalkan tangan memberi semangat. Roki dan Topan mengedikkan bahu tidak peduli. Anjas mendecak lidah tidak setuju.

"Ada ide, cewek mana yang harus gue deketi?"

"Elu jangan cari cewek yang terlalu populer, Bro. Jenis mereka pasti sudah punya pacar. Cari yang biasa aja tapi nggak jelek juga. Yang penting bisa buat diajak jalan." Dedy terus memberi usulan karena merasa pendapatnya diterima.

"Elu ngomongin cewek udah kayak ngomongin baju. Mereka punya perasaan, tauk." Anjas melempar gulungan tisu ke arah kepala Dedy. Tidak habis pikir dengan isi otak Dedy.

"Ya udah, ada ide?" Reynand memandang berkeliling ke arah teman-temannya. "Kali ini gue nggak akan main-main, promise. Cariin cewek sederhana yang nggak banyak tingkah dan nggak populer."

"Ehm, Ana gimana?" Roki mengusulkan.

"Siapa Ana?" Reynand bertanya heran.

"Ketua klub voli. Orangnya tinggi, kuat, rajin olahraga."

"Oh dia. Gue nggak setuju. Terlalu laki-laki cewek itu. Bisa-bisa dia ngajak ribut semua cewek yang melirik Reynand." Anjas berargumen.

"Jadi siapa?"tanya Dedy.

"Cindy." Topan yang sepanjang perdebatan hanya diam, tiba-tiba memberi usulan. Keempat temannya menoleh.

"Cindy yang mana?" Reynand bertanya. Topan tidak menjawab, mengedikkan kepala ke arah serombongan cewek yang berjalan melewati mereka. Reynand memperhatikan cewek-cewek itu memegang alat musik. Ada biola, gitar, dan banyak jenis lagi.

"Yang megang gitar, itu Cindy. Anggota klub musik. Anaknya manis. Menurut kabar yang gue dengar, dia naksir lo." Topan menjelaskan dengan suara pelan.

Reynand memperhatikan gadis yang dimaksud. Tidak terlalu tinggi, langsing, dan mempunyai wajah tirus yang menarik meski tidak bisa dikatakan sangat cantik. Gadis-gadis itu berjalan sambil melirik ke arah mereka duduk. Reynand terus memperhatikan Cindy yang rombongannya tertahan tepat di hadapan mereka oleh kereta dorong berisi piring-piring kotor.

"Oke, kenalin gue sama dia, Topan." Reynand setuju.

Kelompok mereka menyeringai puas. Akhirnya terbebas juga dari cerewetnya Renata. Sebelum pergi, Cindy sempat mengerling ke arah Reynand. Mata mereka bersirobok dan Cindy memalingkan wajahnya yang memerah.

"Dari dulu urusan cinta-cintaan elu ama cewek selalu bikin kita pusing." Anjas menggerutu.

"Bukan salah gue terlahir ganteng, Bro. Salah kalian yang tercipta biasa-biasa aja." Reynand menimpali dengan cuek, membuat teman-temannya geram. Tanpa banyak kata meninggalkan Reynand sendiri untuk membayar makanan mereka.

"Woi, bayar dulu, woi!" Teriakan Reynand tak dihiraukan mereka.

***

Kantor terasa sunyi saat sore hari. Eleanor terus berkutat dengan pekerjaannya. Menghitung, menandai, dan membuat laporan di komputer. Sesekali berbicara serius di telepon untuk mengonfirmasi jadwal dengan klien. Juwita yang duduk tidak jauh dari meja Eleanor juga sibuk menyusun dokumen. Akhir bulan pak direktur akan keluar negeri untuk ekspansi perusahaan. Dan mereka berdua dituntut menyiapkan dokumen perusahaan yang diperlukan secepatnya.

"Kak, apa Pak Direktur akan pergi sendirian?"

"Nggak. Dengan Kepala Manager Pak Jaya juga beberapa staf lain." Eleanor menjawab tanpa menolehkan kepala dari atas keyboard.

"Kenapa Kakak nggak ikut? Bukannya Kakak yang tahu seluk-beluk dokumen dan semuanya?"

"Sudah kuserahkan sama Tomi, staf Pak Jaya. Dia bisa menghubungiku kapan pun saat memerlukan sesuatu. Aku nggak bisa ikut karena ada beberapa pertemuan harus dihadiri."

"Oh, gitu." Juwita akhirnya paham.

"Kenapa banyak tanya? Bilang saja kamu ingin oleh-oleh kalau aku ke luar negeri, 'kan?" Eleanor memandang ke arah Juwita yang menyeringai lucu.

"Ih ketahuan, hihihi."

"Minta langsung saja pada Pak Direktur."

"Yah setelah itu langsung ditendang." Juwita memutar bola matanya, Eleanor tertawa lirih. Tiba-tiba ponsel-nya berbunyi. Dia memeriksa nomor yang tertera di layar dan mengangkatnya.

"Hallo, selamat sore."

"Sore, Eleanor. Apa kabar?" Suara laki-laki yang dalam dan sopan terdengar dari ujung telepon.

"Pak Ferdinand, kabar baik. Ada yang bisa saya bantu?"

"Ah, selalu to the point, Eleanor."

"Bapak terlalu menyanjung." Eleanor menjawab sopan.

"Bagaimana kalau kita bertemu malam ini? Ada beberapa perubahan yang akan kukatakan. Dan aku menginginkan persetujuanmu sebelum kucetak."

"Apa tidak bisa diutarakan di telepon?" Eleanor mengerutkan kening.

"Tidak, karena ada banyak." Jawaban tegas Ferdinand membuat Eleanor menghela napas. Dia kurang suka rapat di luar dan hanya berdua dengan laki-laki, tetapi demi pekerjaan harus dilakukan.

"Baiklah, malam ini jam tujuh di kafe M?"

"Good, perfect. See you tonight. Bye, Eleanor."

"Bye." Eleanor menutup ponsel dan memutar badannya menghadap Juwita. "Juwita, malam ini kamu ada acara?"

"Nggak, Kak. Ada apa?"

"Bagus. Aku traktir makan malam sekalian ketemu klien."

"Yes, tentu saja mau."

"Cepat selesaikan pekerjaanmu. Jam setengah enam kita meluncur." Eleanor melanjutkan pekerjaannya.

Juwita terlihat berseri-seri dan berkata yes dalam hati. Sudah lama dia ingin ikut pertemuan dengan klien. Menurutnya itu sesuatu yang bagus dan penting. Dia bekerja sudah hampir setahun di perusahaan ini. Selama menjadi asisten Eleanor dia merasa sangat menyukai pekerjaannya. Eleanor adalah atasan juga teman yang baik yang selalu bisa membimbingnya. Di bawah asuhan Eleanor, kemampuannya dalam bekerja berkembang sangat pesat. Dan akhirnya tiba waktunya mereka memberikan kesempatan untuk ikut meeting dengan klien. Juwita merasa bahagia.

***

Malam ini di rumah akan ada acara makan malam keluarga. Kakek akan ke Eropa tepatnya Italia untuk beberapa lama. Sebelum pergi, Kakek mengumpulkan seluruh anak dan cucunya. Rencana kepergian kali ini adalah untuk mengurus sesuatu yang sangat penting. Sepertinya pembukaan cabang dengan investor besar.

Pasti bakalan berisik. Para om dan tante itu akan banyak bicara. Membosankan. Reynand menggerutu dalam hati. Jujur jika boleh memilih dia tidak akan ikut acara makan malam keluarga. Namun kakek akan marah besar, dan dia tidak ingin kakek marah.

"Eh, mau ke mana? Masih sore gini mau pulang?" Dedy heran melihat Reynand merapikan tas dan perlengkapan sekolah. Hari ini tidak ada jadwal latihan band jadi mereka menghabiskan waktu di kelas untuk nongkrong dan mengerjakan PR. Lebih tepatnya terpaksa mengerjakan tugas daripada kena masalah.

"Ada acara malam ini di rumah. Tante dan om gue akan datang semua buat makan malam." Reynand menyahut dengan malas.

"Elu yakin mau hadir?" Anjas melihat Reynand yang kurang antusias.

"Harus. Kakek bisa marah kalau gue nggak ada." Reynand mengedikkan bahu. Setelah barangnya rapi, dia berjalan menuju pintu keluar. Teman-temannya berpandangan melihat dia keluar tanpa gairah.

"Pasti ada perang malam ini." Roki berkata pelan.

"Selalu seperti itu dan besoknya pasti ada yang dihajar sama Reynand." Anjas menggelengkan kepala.

Sepanjang jalan menuju rumah, pikiran Reynand mengembara, sama sekali tidak fokus pada ramainya jalanan. Makan malam keluarga selalu menjadi hal yang tidak menyenangkan untuknya. Di acara itu segala dosa dan aibnya akan ditelanjangi, diumbar dan dicaci maki. "Damn!"

Di halaman rumah sudah ada dua mobil terparkir. Mobil kakeknya juga sudah ada. Reynand memperhatikan deretan mobil mewah yang ada di garasi rumahnya. Membawa motornya melewati lorong samping halaman menuju parkiran motor.

Sedikit berlama-lama di sana, melepas helm dan jaketnya, menyampirkan ke dinding garasi. Setelahnya membuka pintu kecil yang langsung menuju dapur.

Aroma masakan yang wangi menggiurkan menguar dari dapur. Bibi Sarni terlihat sibuk memasak ditemani beberapa koki yang sepertinya didatangkan khusus dari restoran untuk acara malam ini. Reynand melepas sepatu dan berjalan berjingkat menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Dari dalam kamarnya suara tawa mereka terdengar nyaring. Reynand masuk kamar mandi untuk menyegarkan badan. Selesai berganti baju terdengar ketukan di pintu.

"Kak Rey, ini Ferina. Aku boleh masuk?" Suara anak perempuan melengking menembus pintu kamar.

"Iya, masuk aja." Pintu didorong terbuka, tampak seorang anak perempuan cantik berumur dua belas tahun dengan pakaian modis yang terdiri atas gaun indah berwarna pink dan rambut yang ditata dengan gaya. Anak itu berjalan pelan memasuki kamar. Begitu melihat Reynand tengah berdiri di depan cermin menyisir rambut, ia langsung menubruknya dan memeluk dari belakang.

"Kak Rey, Erin kangen banget. Katanya Kak Rey mau ngajak Erin jalan-jalan, mana? Ditunggu-tunggu nggak ada kabar sama sekali." Anak perempuan itu menyemburkan banyak kata yang hanya diangguki oleh Reynand.

"Iya nanti. Kakak masih sibuk."

"Sibuk apa? Pacaran? Ferina yakin Kakak pasti gonta-ganti pacar terus. Iya, 'kan? Udah berapa kali dalam bulan ini?"

Reynand menggelengkan kepala tidak percaya dirinya dimarahi oleh anak kecil.

"Kamu anak kecil mau tahu aja urusan orang." Reynand berbalik dan melepas rangkulan anak itu di pinggangnya. Ferina cemberut menatap Reynand. Dia selalu menyukai kakak sepupunya ini. Cool. Hanya itu kata yang cocok untuk menggambarkannya.

"Wah, kamu seperti princess malam ini. Udah dua belas tahun, ya? Sebentar lagi masuk SMP." Reynand menjawil pipinya dan berjalan menuju meja untuk meletakan sisir, memakai antingnya kembali.

"Iyalah, aku udah besar sekarang." Gadis kecil itu bergaya di depannya, membuatnya tersenyum. Mata yang bulat besar menatapnya dengan gaya anggun congkak untuk ukuran anak baru besar. Menggelengkan kepalanya Reynand mengandeng tangan Ferina untuk membawanya turun.

"Jangan terlalu cepat besar, nanti Kakak jadi tua. Aku lebih suka kalau tetap muda dan ganteng. Jadi kamu terus saja jadi anak kecil, ya?" Kata-kata Reynand membuat Ferina cemberut.

"Muda dan ganteng? Maksudnya biar banyak yang naksir?"

"Nah termasuk itu, hahaha." Reynand tertawa melihat wajah sepupu kecilnya cemberut tidak senang. Gadis kecil ini selalu menyukainya dan dia juga menyukai Ferina yang centil dan kekanak-kanakan. "Sudah, jangan cemberut. Dua minggu lagi Kakak selesai ujian. Kakak akan bawa kamu makan es krim. Deal?" Mendadak wajah Ferina kembali ceria.

"Beneran?"

"Iya." Reynand mengangguk untuk meyakinkan. Mereka berdua berjalan bersisian memasuki ruang makan. Di sana sudah hadir semua anggota keluarga lainnya.

"Wah ... ini dia tuan muda yang selalu datang terlambat." Suara tantenya menegur dengan halus, membuat Reynand melengoskan wajahnya tidak suka.

"Yanara." Suara teguran pelan membuat tantenya tertawa.

"Apa salahku bicara begitu? Dia memang selalu datang terlambat."

"Sudahlah, yang penting dia ada sekarang. Gimana kabarmu, Rey?" Om Yosi menegurnya, entah untuk membelanya atau agar tampak baik di hadapan kakek. Reynand tidak peduli. Dia hanya ingin duduk makan dan selesai melewati neraka ini.

"Baik, Om."

"Gimana dengan sekolahmu? Apa nilai-nilaimu ada kemajuan?"

"Nggak, biasa saja." Reynand menjawab pelan, mengambil minuman dan meneguknya.

"Oh ya? Kamu harus banyak belajar dari Farid. Nilainya sangat bagus." Om Yosi menepuk punggung anak laki-lakinya yang duduk tepat di sebelahnya dengan bangga. Reynand memperhatikan Farid Kakak Ferina dalam-dalam. Sepupunya itu seumuran dengannya, tetapi mereka jarang sekali bicara. Farid adalah jenis orang yang dijauhi oleh Reynand dan kawan-kawannya. Pendiam, berkacamata, dan selalu sibuk belajar.

"Tapi Kak Reynand lebih keren dari Kak Farid yang membosankan." Ferina menyahut lantang untuk membela Reynand.

"Ferina, bisa kamu bilang begitu sama Kakakmu?" Tante Melina, ibu Ferina dan Farid tampak marah. Wajah cantiknya yang angkuh mendelik marah pada anak perempuannya.

"Hahaha! Keren saja nggak cukup kalau nggak bisa belajar." Suara Tante Yanara bagaikan pisau tajam di kuping Reynand. Ia menghela napas mengambil salad di depannya dan mulai mengunyah. Bukan karena lapar, tetapi sekadar untuk melakukan sesuatu. Reynand memperhatikan Adam anak Tante Yanara terlihat duduk makan dengan diam tak peduli mamanya, di sampingnya ayah Adam. Om Gilbert yang merupakan warga negara asing, sebenarnya orang yang asyik. Hanya saja begitu mendengar apa kata istrinya.

"Apa semua sudah berkumpul?" Kakek datang memasuki ruang makan, langsung duduk di ujung meja makan. "Bagus, kalau sudah ada semua. Bisa kita mulai makannya sekarang? Malam ini sengaja Kakek masak kesukaan cucu-cucu Kakek semua."

Dari dalam dapur para pelayan menghidangkan berbagai makanan, spageti, rendang daging juga udang besar-besar yang disajikan di atas piring besar. Reynand makan yang hanya terjangkau oleh tangannya. Ferina yang duduk di sampingnya sibuk menambahkan makanan di piring Reynand. Memperhatikan tingkah Ferina membuat mamanya geregetan, tetapi tidak bisa apa-apa karena Kakek memperhatikan.

"Ayah, apakah persiapan sudah selesai semua? Dokumen yang akan dibawa ke Italia?" Yosi bertanya pada ayahnya Pak Dirga.

"Sudah, ada Eleanor yang mengurus."

"Apa Ayah begitu percaya pada sekretaris kecil itu?" Yanara menjawab dengan nada tidak suka.

"Sekretaris itu bernama Eleanor dan ya, ayah percaya seratus persen padanya. Rasanya hal ini tidak perlu kita perdebatkan lagi."

Yanara masih tidak puas dengan jawaban ayahnya, tetapi menutup mulut setelah melihat kode yang diberikan kakaknya untuk tidak membantah.

Mendengar nama Eleanor disebut, pikiran Reynand tertuju pada wanita cantik dengan sikap angkuh yang sudah dua kali ia temui.

"Ferina, kamu tidak makan udangnya, Sayang?" Pak Dirga menawarkan udang pada cucu perempuannya.

"Iya Kakek, tunggu. Erin masih sibuk." Pak Dirga tersenyum melihat tingkah cucu perempuannya yang lebih sibuk memberikan makanan pada Reynand daripada makan untuk dirinya sendiri.

"Adam? Bagaimana sekolahmu? Apakah lancar?"

Adam seorang anak laki-laki bertampang kurus, tetapi ganteng. Dikarenakan darah campuran dengan ayahnya yang seorang bule Belanda.

"Baik, Kek. Adam dapat juara dua di kelas."

Yanara terlihat bangga dengan anak laki-lakinya. Matanya sinis melirik pada Reynand yang tengah asyik makan udang yang dikupaskan Ferina untuknya. Bersikap seakan-akan tidak ada di ruang makan itu.

"Farid juga nilainya bagus, Ayah. Tahun ini dapat peringkat tiga di seluruh sekolah untuk satu tingkatan dengannya."

"Wah, cucu Kakek memang hebat semua. Dan bagaimana denganmu, Ferina? Dapat juara berapa kamu?" Kakek bertanya pada cucu perempuan satu-satunya yang sangat dia sayangi.

"Oh, Ferina dapat ranking lumayan, Kakek. Nggak buruklah, cuma buat Ferina yang penting itu bukan nilai di sekolah tapi kepribadian."

"Wah, maksudnya bagaimana?" Kakek bertanya tertarik. Ayah Ferina memandang putrinya tajam agar tidak mengatakan hal yang macam-macam.

"Maksudnya, nilai tinggi tapi kalau kepribadian nggak bagus, nggak ada teman yang suka, buat apa? Ferina lebih suka jadi seperti Kak Rey, nilai standar tapi idol." pungkas Ferina. Membuat ayahnya terbatuk karena kaget dan Reynand tertawa kecil. Kakek tertawa keras.

"Luar biasa. Memang kepribadian itu penting."

Ferina tersenyum dan meneruskan pekerjaannya mengupas udang untuk Reynand.

"Ferina, mau sampai kapan kamu mengupas udang?" Tante Melina membentak Ferina tidak sabar.

"Bentar lagi, Ma. Kak Rey belum banyak makan."

"Udah cukup. Kakak udah kenyang. Kamu makan untuk dirimu sendiri." Reynand berusaha menghentikan Ferina untuk menyuapinya.

"Seharusnya dari tadi. Jadi kamu tidak menyusahkan anak kecil." Melina menghardik marah.

"Sudahlah, Melina. Ferina sendiri yang menginginkan. Masalah kecil kamu besar-besarkan." Kakek menegur pelan. Reynand yang mulai kehilangan selera makan, merapikan piringnya dan mengambil gelas minum. Di sebelahnya Ferina mulai meletakkan buah-buahan di piring kecil di hadapan Reynand.

"Sudah, Erin. Kakak bisa sendiri." Reynand memegang tangan Ferina untuk menghentikannya. Ferina mengangguk senang.

"Jadi, di Italia Ayah mau berapa lama?" Yosi bertanya sambil memperhatikan putri semata wayangnya yang terus menempel pada Reynand.

"Entahlah. Bisa jadi seminggu atau sebulan, tergantung situasi."

"Trus Reynand gimana? Tinggal dengan siapa dia nanti?" Yanara berkata sambil mengedikkan wajahnya ke arah Reynand.

"Rey bisa hidup sendiri, Tante."

Jawaban dari Reynand dibalas dengan dengkusan tak percaya.."Bisa sendiri? Untuk membuat masalah dan mengacau maksudnya?"

"Yanara!" Suara Pak Dirga tajam mengingatkan.

"Kenapa Ayah membelanya? Bukannya memang sudah sifatnya pengacau, persis seperti mamanya."

Klang!

Suara sendok jatuh mengagetkan semua orang yang tengah asyik menyantap makanan. Reynand berdiri dengan amarah berkobar di wajahnya.

"Tolong Tante jaga kata-kata. Jangan bawa Mama saya dalam setiap masalah." Suara Reynand bergetar menahan kesal.

"Apa masalahnya? Memang Mamamu biang onar!" Yanara menyahut dengan ketus.

"Yanara, stop! Reynand, duduk lagi dan tenang." Suara kakek berusaha meredakan situasi. Namun, rasa kesal sudah telanjur berkobar di dada Reynand.

"Sudahlah, Yanara. Bagaimanapun dia anak Kakak kita." Yosi berusaha menenangkan adiknya.

"Memang Yuwan papanya adalah Kakakku, tapi Mamanya bukan. Dan sepertinya dia lebih banyak mirip Mamanya."

Tidak lagi mampu menahan diri, Reynand menggebrak meja makan, membuat semua terlonjak kaget. Setelahnya dengan terburu-buru meninggalkan ruangan menuju tempat parkir.

"Reynand, mau ke mana kamu?" Suara kakek tak mampu menghentikan langkah Reynand. Mengambil kunci motor, memakai jaket dan helm. Memacu motornya meninggalkan rumah besar yang membuatnya sesak karena marah. Suara Ferina memanggilnya samar-samar terdengar di antara deru suara mesin. Selalu saja mereka menganggapku pecundang, dan menganggap mereka lebih hebat daripada aku.

Dalam kemarahan dan kesedihan, Reynand memacu motornya kencang menembus jalanan.

**

Di KBM Aplikasi sudah ending.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro