Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 10

Eleanor tiba di rumah menjelang tengah malam. Hujan deras mengakibatkan kemacetan parah. Berjalan terseok karena khawatir dan baju yang basah, dia langsung menerobos menuju kamar adiknya. Membuka pintu dia melihat papa dan mama tengah duduk di samping adiknya yang terbaring lemah.

“Ma, gimana Andro?”

“Masih demam. Tadi agak turun tapi sepertinya belum melegakan.” Mama sibuk mengompres kepala Andro.

Eleanor mendekat dan memegang tangan adiknya. “Panas sekali. Kita bawa ke rumah sakit sekarang, Ma.”

“Tapi kamu baru datang.”

“Nggak apa-apa, aku ganti baju dulu.” Eleanor buru-buru masuk kamarnya, mengganti setelannya dengan celana jin dan kaus. Mengeringkan rambut yang basah lalu menguncirnya. Mengamati wajahnya yang bengkak, Eleanor menahan desahan napas. Perih, merah, dan terasa sakit. Setelah dirasa cukup rapi, dia kembali ke kamar Aleandro.

“Papa nggak usah ikut. Lagi kumat, 'kan?”

“Iya. Maaf ya, Elea.” Papa terlihat kesakitan memegangi pinggang.

“Nggak apa-apa, Elea bisa sendiri.” Dibantu mamanya, Eleanor memindahkan Aleandro dari ranjang ke dalam mobil. Membaringkan dengan nyaman di kursi depan, memasang seat belt.

“Hati-hati, jalanan licin. Kamu yakin Mama nggak perlu ikut?”

“Mama di rumah aja jaga Papa. Eleanor besok izin jadi Mama tenang.” Eleanor mencium tangan mamanya, masuk ke mobil dan mulai menyetir menuju rumah sakit.

Sepanjang jalan dia khawatir dengan keadaan adiknya yang lemah dan terus-menerus berkeringat. Untunglah berangsur malam jalanan tidak lagi macet. Tiga puluh menit kemudian mereka sudah sampai di rumah sakit. Malam ini Eleanor begadang sampai pagi menunggu adiknya opname.

“Mbak, sudah dapat kamar?” tanya seorang suster.

“Sudah. Lantai dua, Suster.”

“Tolong urus administrasinya. Kita bawa pasien ke kamar segera.”

“Baik. Adik saya pasien Dokter Andi, Sus.”

Suster mengangguk tanda mengerti.

Menjelang pagi Aleandro sudah berbaring tenang di ranjang pasien. Eleanor masih merasa khawatir karena demam adiknya belum juga turun.

“Suster, gimana ini? Adik saya belum turun juga panasnya.” Dia bertanya khawatir pada suster jaga malam yang memeriksa.

“Sebentar lagi Dokter Andi akan memeriksa. Nanti tanya langsung ke beliau, ya.”

Eleanor mengangguk pasrah. Tak lama dokter yang dimaksud datang bersama dua dokter pendamping dan tiga orang suster.

“Selamat pagi, Eleanor. Nggak tidur semalaman?”
“Pagi, Dok.”

Dokter Andi adalah seorang lelaki kurus tinggi berumur empat puluhan, memakai kacamata dan punya senyum paling ramah di antara semua dokter.

“Dari semalam dia panas, Dokter.” Eleanor melihat adiknya yang tengah diperiksa oleh dokter dengan cemas.

“Iya, sepertinya ada yang infeksi. Nanti kami adakan pemeriksaan menyeluruh. Test darah, x-ray dan semuanya. Kami akan atur hari ini.” Dokter memberi instruksi pada suster yang mengikutinya. “Jangan khawatir. Kami akan cari tahu, Eleanor.”

“Iya Dokter, terima kasih.” Eleanor tersenyum pada rombongan dokter yang sekarang menuju pasien di sebelah. Mengelap wajah Andro yang berkeringat dengan handuk, setelahnya dia duduk di samping ranjang mencoba untuk tertidur sejenak.

[Hari ini aku tidak kerja, Juwita. Sudah resign. Surat pengunduran diri akan aku ajukan ke Pak Dirga besok.]

Setelah mengirim SMS pada Juwita, Eleanor mematikan suara di ponselnya. Dari banyaknya getaran yang terasa di meja, dia tahu Juwita panik. Sekarang yang terpenting adalah adikku.
Dan Eleanor terkulai di samping ranjang adiknya. Kelelahan.

***

Reynand terbangun dengan kaget. Suara ketukan di pintu membangunkan tidurnya yang gelisah. Kehujanan tadi malam membuat kepalanya pusing dan badan demam.

“Mas. Mas Rey. Bangun Mas, ada tamu.” Bi Tini terus mengetuk tidak sabar.

“Iya, Bi. Rey udah bangun.” Dengan malas menggeliatkan tubuh, Reynand bangkit dan merasa menggigil. ”Sial, gue flu!” Membuka pintu dan melihat bibi terlihat khawatir. “Siapa yang datang?”

“Eh, itu Mas. Polisi.”

“Siapa? Polisi?”

“Iya, katanya mau cari Mas Rey.”

“Suruh tunggu bentar, saya turun.”

Bi Tini mengangguk, meninggalkan Reynand yang tidak mengerti. Ke kamar mandi, cuci muka, mengganti baju dan siap turun. Di ruang tamu dilihatnya ada empat orang polisi menunggu. Mereka berseragam lengkap dan kelihatan sangat galak. Reynand masuk ke ruang tamu dan menyapa mereka.

“Selamat pagi, Bapak-bapak semua. Saya Reynand. Ada yang bisa saya bantu?”

Salah satu dari keempat polisi itu bangkit untuk menyalaminya. “Reynand, kami dari polres akan membawa Anda pergi bersama kami.”

Reynand bagai disambar petir mendengar perkataan polisi di depannya. “Pergi ke mana? Kantor polisi? Tapi salah saya apa?” Dia bertanya bingung.

Salah seorang polisi yang masih muda bangkit dan mendekati Reynand.

“Saudara dilaporkan oleh seorang gadis bernama Monica atas tuduhan pelecehan seksual dan juga tindak penganiayaan atas Saudara Guntara.”

“Tapi, tapi saya tidak melakukannya.” Reynand mulai panik. Polisi mengeluarkan foto dari dalam tas dan memperlihatkan pada Reynand.

“Benarkah ini semua Anda yang melakukan?”
Reynand mengamati foto di mana terlihat Gun dengan wajah memar.

“Memang Pak, semalam. Tapi itu untuk membela diri.”

“Kita selesaikan di kantor polisi kalau begitu. Silakan ikut kami.”

Reynand pasrah digiring menuju mobil polisi. Sebelum masuk mobil dia melihat Bi Tini memandangnya khawatir.

“Nggak usah khawatir, Bi. Jangan telepon Kakek dan bikin dia tambah khawatir juga.“

Bi Tini hanya mengangguk. Reynand masuk mobil dan meminta izin menelepon. Dia menghubungi Anjas, menerangkan sedikit pada temannya yang kaget. Setelah berjanji akan bertemu di kantor polisi, Reynand menutup ponselnya. Memandang keluar jendela dari tempat duduknya di belakang, Reynand mendesah. Dia merasa kepalanya pusing, badannya demam, dan pilek membuatnya susah bernapas. Ya Tuhan, ada masalah apa ini? Mengenal gadis itu seperti mimpi buruk. Kakek pasti akan sangat marah kalau tahu masalah ini dan para om tante akan tertawa gembira mencela.
Sepanjang jalan menuju kantor polisi Reynand tenggelam dalam pikirannya.

***

Eleanor merasakan pundaknya ditepuk pelan. Dengan kaget dia terjaga dan melihat seorang suster tersenyum manis.

“Mbak bisa menunggu di luar? Saya mau mandikan pasien.”

Eleanor mengangguk dan berdiri dari kursi. Tangannya memegang dahi Andro yang masih tertidur. Adiknya semalaman merintih kesakitan. Sampai akhirnya suster datang memberi suntikan yang membuat demamnya turun.

“Saya mau ke kafe dulu beli kopi, Suster.”

“Silakan.”

Setelah membenahi penampilannya di kaca kamar mandi, Eleanor berjalan menuju kafe. Pagi itu tidak banyak orang berlalu-lalang di lorong rumah sakit. Hanya beberapa keluarga pasien. Terbiasa bangun pagi untuk bekerja membuat Eleanor bingung ketika nyaris tidak melakukan apa-apa. Sejenak memikirkan Juwita dan kepanikan yang melandanya. Saat mengantre untuk membeli kopi Eleanor memeriksa ponsel dan menemukan ada dua puluh miscall dari Juwita, sepuluh pesan juga dari Juwita. Kasihan dia. Aku akan meneleponnya nanti.

“Mbak, bisa tolong ke ruangan dokter? Dan mbak bawa catatan ini. Dokter ingin menyampaikan sesuatu.” Seorang suster jaga menyapanya di pintu masuk kamar pasien.

Eleanor mengangguk, berbalik langkah menuju ruang dokter di lantai atas. Ada seorang suster jaga di depan ruang dokter. “Pagi, Suster. Saya ingin ketemu dokter.” Eleanor menyerahkan catatan yang dibawa pada suster dengan wajah gemuk ramah di depannya.

“Oh, pasien Aleandro. Silakan masuk. Dokter sudah menunggu.”

Eleanor mengucapkan terima kasih dan menuju ruangan dokter yang tertutup. Membuka pintu dan mendapati sang dokter duduk di balik meja.

“Eleanor, silakan duduk. Sudah sarapan?"

“Sudah, Dokter. Gimana adik saya?”

Dokter membuka catatan yang dibawa Eleanor, memeriksa sebentar. Matanya masih mengamati hasil medis di tangan.

“Elea, sepertinya keadaan Andro memburuk.”

“Ya Tuhan ....” Suara Eleanor bergetar.

“Ada beberapa infeksi di dalam pembuluh darahnya. Itu yang membuatnya demam terus-menerus. Kurangnya keinginan dari Andro untuk sembuh juga berpengaruh. Jalan satu-satunya dia harus operasi dan pasang pen di tulang belakang untuk menopang tubuhnya. Juga demi menghambat penyebaran infeksi.”

“Jadi gimana, Dokter?” Eleanor menggeser duduknya lebih dekat ke arah meja dan memperhatikan hasil medis.

“Dia harus operasi dalam waktu dekat. Kalau tidak, akan sangat berbahaya untuknya, Eleanor.” Pernyataan dari dokter seperti menghantam hati Eleanor, merasa kalut dan khawatir.

“Seberapa kemungkinanan dia tertolong kalau melakukan operasi itu?”

“Ehm, sekitar 50 persen. Kedengarannya memang kecil tapi harus dicoba.”

"Baik, Dokter. Beri saya waktu untuk persiapan biaya."

Dokter mengangguk mengerti. “Jangan lama-lama. Kasihan adikmu.”

Eleanor mengangguk, menjabat tangan dokter dan berjalan keluar ruangan dengan langkah gontai. “Gimana ini? Pasti butuh biaya banyak. Mobilku masih cicilan, nggak mungkin dijual. Apa harus menggadaikan rumah?”

Eleanor bermain dengan pikirannya hingga tidak sadar air mata menetes di pipi.

“Eleanor, dari ruang dokter, ya? Apa katanya?”

Mama dan papa datang menjenguk Andro, dan di atas ranjang Andro bangun tetapi tergolek sangat lemah dan pucat.

“Iya, nanti mau ada pemeriksaan lanjutan. Hai Andro, gimana keadaanmu? Masih demam?” Dia mendekati ranjang dan memeriksa suhu tubuh adiknya. “Jagoan harus cepat sembuh. Jangan lama-lama terkapar, ya?” Dan hatinya ikut senang melihat senyum adiknya terkembang.

“Kak, Andro pingin makan yang lain bisa? Makanan rumah sakit nggak enak.”

Eleanor tersenyum dan mengangguk. ”Tentu, nanti Kakak beliin.”

Eleanor memberi kode pada orang tuanya agar keluar mengikutinya. Bertiga mereka duduk di bangku taman yang sepi. Eleanor menundukkan wajahnya terlihat pusing. Papa dan mama memandang khawatir.

“Ada apa, Elea? Bicaralah.” Mama bertanya hati-hati.

“Ma, Andro harus operasi.”

“Apa?”

“Ya Allah.” Papa memucat. “Apa sakit Andro sekarang berbahaya?”

“Iya, Pa. Infeksi tulang belakang. Harus operasi kalau tidak akan mengancam keselamatan Andro.”
Mama mulai terisak lirih. Eleanor mendekat ke arah mama dan merangkul. “Kita akan berusaha, Ma. Jangan takut. Mobil Elea memang belum bisa dijual tapi rumah bisa kita gadaikan, bukan?”

“Iya, kita gadaikan rumah demi Andro. Papa akan tawarkan pada bank nanti begitu Papa pulang. Kamu tanya saja perkiraan biaya kurang lebih berapa, kita akan usahakan.”

“Iya, Pa. Eleanor ada tabungan sedikit. Nanti bisa untuk tambah-tambah biaya.”

Mama menahan tangis. Menghapus air mata dan mereka bertiga mulai menyusun rencana untuk mendapatkan uang demi operasi Aleandro.

**
Versi terbit tersedia di google playbook

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro