Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2.1 Ancaman Ibu Mertua

Alarm otomatis yang sudah tersetel di kepala menjadi alasan Salma terbangun subuh. Matanya mengerja, demi menyesuaikan mata dengan cahaya sekitar sembari mengumpulkan sisa-sisa kesadaran.

Hal pertama yang Salma cari adalah jam digital, yang ternyata sudah menunjukkan pukul lima pagi.

Perempuan itu masih merasakan pegal dan nyeri di seluruh tubuh setelah acara pernikahan kemarin. Namun, demi melaksanakan sholat subuh, ia memaksakan diri untuk mengambil posisi duduk. Salma masih menguap malas, ketika mencoba merenggangkan tubuh.

Di saat itulah, ia merasakan sengatan dingin yang menusuk kulit. Ketika menunduk, Salma langsung melotot sempurna saat menemukan kondisinya yang topless. Selimut tebal yang berkumpul di pinggangnya segera ditarik sampai leher, sementara pipinya sudah merona sempurna.

Tanpa diminta, ingatan semalam kembali muncul dalam benaknya. Membuat Salma menunduk sempurna karena malu yang ia rasa.

Ini hari pertamanya sebagai seorang istri, dan fakta itu yang mendorongnya untuk menoleh sekadar melirik sang suami saat ini. Namun, Salma sama sekali tidak menemukan siapapun di sampingnya kecuali pakaiannya sendiri.

Salma sempat berpikir bahwa dirinya mungkin sekadar bermimpi semalam, tapi fakta bahwa ia sudah melepaskan pakaian membuatnya yakin bahwa Zariel memang datang ke sini semalam.

Perempuan itu bahkan kebingungan sekarang, akibat kedatangan Zariel di saat Salma sedang tertidur lelap, lalu sekarang ... pergi sebelum istrinya bangun.

Meski sudah menjalani taaruf selama hampir dua bulan, Salma nyatanya belum tahu kebiasaan malam suaminya. Ia mungkin harus menanyakan hal ini lebih lanjut, agar bisa memahami Zariel dengan baik.

Sebelum itu, Salma mengenakan pakaian luarnya sekadar untuk menutup tubuh, kemudian mengerahkan seluruh kekuatannya untuk turun dari tempat tidur.

Setelah kedua kaki memijak di lantai dingin, Salma berdiri dengan rasa pegal di kedua betisnya setelah beberapa jam menyalami tamu undangan. Tambahan menyiksa lainnya ketika ia baru melangkah, nyeri sakit ia rasakan di antara kedua pahanya. Membuat Salma harus menggigit bibir bawah setiap mengambil langkah menuju kamar mandi.

Belasan menit dihabiskan oleh Salma untuk membersihkan dirinya, sekaligus berwudu untuk sholat subuh. Setelahnya, ia keluar dari kamar mandi dengan kimono handuk membalut tubuhnya.

Salma berjalan menuju lemari, memilih pakaian yang digunakan hari ini. Gamis berwarna krem ia tarik dari sana, bersama dengan jilbab warna senada serta sepaket pakaian dalam untuk dikenakan.

Setelahnya, ia mengambil mukena untuk dikenakan, beserta sajadah untuk dihamparkan. Shalat subuh ia laksanakan dengan khusyuk, walau sesekali menahan kantuk yang kembali menyerang.

Beberapa menit kemudian, Salma sudah salam ke kanan dan ke kiri. Ia segera membekap mulut yang terbuka lebar karena terus menguap. Niatnya untuk berdoa serta membaca beberapa ayat Alquran terpaksa dibatalkan. Ia hanya bersujud dengan posisi wajah menyamping, kemudian terlelap dalam tidurnya.

Perempuan itu merasa baru memejam beberapa menit ketika merasakan guncangan ringan di bahunya. Ia susah payah mengangkat kedua kelopak mata yang begitu berat untuk dibuka. Secara samar, bayangan seorang pria di depannya mulai terlihat.

"Bangun, Salma. Nanti lanjut tidur di rumah. Sekarang, siap-siap. Kita juga akan pergi setelah sepupu-sepupu dan keluarga kamu pulang."

Salma mengangguk setengah sadar. Ia mengubah posisi menjadi duduk ketika pandangannya yang buram mengikuti pergerakan suaminya. Mata sayu Salma langsung berubah melotot ketika Zariel dalam posisi membelakanginya, begitu santai melepaskan pakaian yang ia kenakan.

Sontak, Salma memalingkan wajah ke arah lain dengan pipi bersemu merah. Ia menggigit bibir bawahnya demi mencegah senyumnya terbit.

Namun, sebuah rasa penasaran memancing Salma untuk melirik ragu pada suaminya yang sudah mengenakan kaus hitam polos untuk menutupi tubuhnya.

"Mas dari mana?" tanya Salma. Ia sudah berhasil mengendalikan diri sendiri. "Terus, mau ke mana?"

"Dari masjid, sholat subuh. Tadi kamu sudah saya bangunkan, tapi susah, jadi saya tinggal," jawab Zariel, kemudian menoleh pada istrinya. "Sekarang, mau lari bentar di halaman rumah, sementara kamu siap-siap ya? Pokoknya setelah sepupu kamu pulang, kita juga pergi, biar kamu bisa istirahat sekaligus siapin barang kamu di rumah. Besok, saya sudah harus masuk kerja."

"Buru-buru banget, Mas?" Salma bertanya keheranan. "Nggak dapat jatah libur? Kita kan mau ...." Bulan madu. Salma ingin melanjutkan seperti itu, tetapi dirinya tersendat akibat rasa malu. Bisa-bisa, suaminya berpikir bahwa Salma terlalu agresif sebagai seorang istri.

"Ada, tapi saya masih belum mau pakai. Pernikahan sudah selesai, mau tunggu apa lagi? Besok Senin, jadi ya harus masuk kerja."

Salma menunduk lagi, kali ini bercampur rasa kecewa.

*

Saat baru tiba di rumah mewah milik suaminya, Salma disambut dengan jamuan besar buatan ibu mertuanya.

"Mama harusnya nggak perlu repot-repot," kata Zariel saat memasuki area ruang makan. "Kita cuman bertiga, nggak bakalan habis kalau sebanyak ini."

"Ini juga penyambutan buat kedatangan Regal. Harusnya tadi sudah sampai, tapi nggak tau kenapa, belum muncul-muncul juga," jawab ibu Zariel—Laras.

Sontak, pergerakan Zariel hendak duduk di kursi terhenti seketika dengan sebelah alisnya yang terangkat.

"Setelah absen di acara pernikahan saya, dia baru mau pulang sekarang? Kenapa? Uangnya habis lagi?" tanya Zariel dengan nada sinis, kemudian lanjut duduk di samping Salma yang hanya diam menyimak obrolan keluarga suaminya.

"Nggak boleh gitu sama adik sendiri, Zar. Kan kamu denger sendiri, dia sibuk kemarin, jadi baru sempet pulang sekarang. Kamu bukannya sambut dan seneng adikmu pulang, malah masam gini mukanya."

"Kalau dia pulang cuman buat nyusahin Mama, saya nggak bakalan pernah bisa seneng," balas Zariel dengan lebih tegas.

Ketika Zariel ingin mengambil piring, Salma bergerak lebih cepat untuk melayani suaminya. Memicu senyum Laras untuk terbit melihat kebaikan istrinya.

"Kalian kapan bulan madu?" tanya Laras, yang berhasil membuat Salma tersenyum malu.

"Nanti saya cari tanggal yang liburnya panjang, Ma," jawab Zariel. "Untuk sekarang, belum bisa. Soalnya ada proyek besar yang harus diurus. Lagian, bulan madu juga buat apa, kalau di rumah saja sudah lebih dari cukup."

"Zariel ...." Kini Laras memanggil putranya dengan suara lembut. "Kamu sekarang punya istri. Kamu harus bertanggung jawab atas segala hal dalam diri istri kamu: kebutuhannya, keperluannya, keinginannya, kebahagiaannya, dan kenyamanannya. Mama minta kamu supaya nikah cepet, biar kamu rajin pulang ke rumah. Jangan mentingin kerjaan sampai lupa pulang, Zar. Istri kamu harus diperhatiin dengan baik."

"Ma, Salma bukan anak kecil yang harus diperhatiin segitunya. Dia bisa urus diri sendiri kali, Ma."

Jawaban Zariel sempat membuat jemari Salma melemah dalam memegang piring hingga hampir jatuh. Beruntung, perempuan itu dengan sigap menahannya agar hal buruk tersebut tidak terjadi.

Laras yang menyadari perubahan sikap menantunya, menghela napas panjang. Jenuh dengan sikap putranya sendiri.

"Kamu kerja standar aja, Zar. Nggak perlu yang ekstra, karena alhamdulillah kita sudah punya rumah dan keperluan kita sudah tercukupi. Sekarang waktunya kamu fokus buat bangun keluarga sakinah sama istrimu. Sambil pikirin juga buat hadirkan anak di keluarga kita, biar kamu makin betah di rumah." Nasehat panjang Laras sama sekali tidak diindahkan putranya yang hanya mengambil makanan dari Salma tanpa mengatakan apa pun. "Kalau kamu masih kayak gini terus dan nggak ada tanggung jawabnya sama perasaan istri kamu, nanti bakalan ada seseorang yang bikin istri kamu nyaman di luaran sana. Jangan sampe kamu nyesal setelah istri kamu pergi."

Bersamaan dengan selesainya peringatan dari Laras, ketukan di pintu utama terdengar bersamaan dengan seruan seseorang untuk membukakan pintu.

"Regal sudah sampai."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro