Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1.2 Malam Pertama Hambar

Malam pertama.

Salma merasakan tangannya begitu dingin, ketika ia tengah terduduk seorang diri di kamarnya setelah sesi pernikahan yang melelahkan telah diselesaikan. Kini, ia sudah sah menjadi istri dari Ezariel Viradantara.

Bahkan, hanya sekadar mengingat hal sederhana itu, pipi Salma langsung terasa hangat. Ia menunduk dalam, padahal tidak ada yang melihatnya. Ia membawa telapak tangannya yang lembap dan dingin menyentuh wajah, menyalurkan dan berbagi suhu.

Setelah sedikit bisa mengendalikan perasaannya yang menggebu, Salma menarik napas panjang, diiringi embusan berat. Ia tersenyum sendu dengan pandangan kosong ke depan, mengingat betapa baiknya Allah terhadap dirinya saat ini.

Salma masih ingat dengan baik, ketika ibunya memberikan foto Zariel pertama kali. Hal yang langsung Salma temukan dari pria itu adalah wibawa dan kedewasaannya. Dalam balutan kemeja navy serta dasi hitam, pakaian itu sama sekali tidak bisa menyembunyikan dengan baik susunan otot keras di lengan dan dadanya, menunjukkan betapa disiplin Zariel dalam urusan kesehatan. Ia juga pekerja keras dan bertanggung jawab terhadap segala tugas yang ia terima. Salma mengetahuinya dari rekan kantor Zariel tanpa sepengetahuan suaminya, sehingga ia yakin itu adalah informasi konkret.

Sekali lagi, Salma menarik napas panjang.

Tidak pernah menyangka, bahwa sosok pria sempurna sejenis Ezariel Viradantara mau menerima seorang Salma Fitri Handikusuma. Dalam berbagai aspek, Salma hanya gadis rata-rata. Ia memang serba bisa, tetapi secukupnya saja. Terutama dalam segi fisik, di mana Salma menemukan bahwa rekan kantor Zariel banyak yang lebih cantik dan sempurna dibandingkan dirinya.

Namun, sang suami tetap menerima perjodohan ini. Bahkan dari pengakuan ibunya, Zariel langsung setuju setelah mendapatkan sodoran foto Salma pertama kali.

Salma masih setengah percaya dengan takdirnya yang mulus ini. Ia menunduk dalam, dengan senyum yang kembali mengembang dan sulit untuk diredakan.

Namun, semakin lama perempuan itu terduduk, punggung, leher, dan kakinya yang pegal meronta ingin mendapatkan jatah istirahat. Bahkan, kelopak mata Salma mulai sulit untuk bertahan terbuka.

Perempuan itu melirik sendu pada pintu yang belum dibuka sejak ia masuk ke sini. Ia celingak-celinguk menunggu kedatangan suaminya yang tidak kunjung masuk. Ketika melirik jam dinding, Salma mengerutkan kening tidak nyaman.

Sudah hampir jam sebelas malam.

Sontak, sebuah pertanyaan secara otomatis terbesit dalam pikirannya, ke mana Zariel?

Didorong oleh rasa penasaran, Salma meninggalkan tempatnya duduk entah berapa jam itu. Ia memperbaiki letak jilbab instan yang menutupi kepalanya sebelum keluar dari ruangan. Sebab, walau ia sekarang berada di rumah sendiri, beberapa anggota keluarga jauhnya masih ada di sini, tinggal semalam lagi sebelum pulang besok.

Suasana terasa sangat sepi ketika Salma baru saja keluar. Ia dengan langkah ragu, mulai menyusuri lorong dari kamarnya, menuju tangga penghubung ke lantai dasar. Ia terus berjalan tanpa mengenakan alas kaki, sembari mengedarkan pandangan ke sekitar demi mencari sosok suaminya.

Namun, tidak kunjung ditemukan.

Salma sejujurnya merasa malu jika harus bertanya. Sebab, dirinya akan terasa sangat ... agresif .... jika melakukan hal itu. Namun, dihadapkan oleh perasaan bingung bercampur penasaran, Salma akhirnya kalah dan memilih untuk mencegat salah satu sepupunya.

“Mbak, lihat Mas Zariel, nggak?” tanya Salma dengan suara ragu bercampur malu. Ia mencoba bertahan, sampai perempuan di depannya tersenyum geli.

“Cie ... yang nggak sabaran malam pertama, cie ....”

Salma langsung memasang wajah cemberut, dan melepaskan penahannya pada sang sepupu. Merasa bahwa usahanya ini bukan hanya sia-sia, tetapi berakhir memalukan.

“Nggak tahu, Sal. Coba tanya ke yang lain aja, Sal, mana tau ....”

“Mana tau?” Salma menjadi kebingungan dengan kalimat terakhir sepupunya yang sengaja digantung.

“Mana tau dikasih tutorial malam pertama sama yang lain.” Sepupu Salma tertawa puas. “Noh, sama Mbak Desi. Udah pro max dalam urusan—“

Salma secara spontan memukul bahu sepupunya itu sehingga tidak melanjutkan ucapan sembrononya. Namun meski sudah berhenti berbicara, tawa dan senyuman si sepupu tetap saja mengejek.

Sehingga Salma memilih putar balik, kembali ke kamar. Ia sudah kapok bertanya pada keluarganya, sehingga Salma hanya punya satu pilihan: terus menunggu di kamar.

Entah berapa lama. Perempuan itu tidak tahu pasti. Tahu-tahu, ia sudah berbaring telentang di atas tempat tidur, dan mencapai alam mimpi yang memutar kilas balik pertemuan perdananya dengan Zariel.

Di sela-sela mimpi indah itu, Salma dibangunkan oleh perasaan sesak dan berat di tubuhnya. Ia membuka mata untuk mengecek sekitar, dan mendapati sosok lain tepat di atasnya. Ia sontak melotot, karena mengetahui sosok itu adalah seorang pria, dan secara spontan mendorongnya dengan sangat kasar menggunakan segenap tenaga yang ada. Sehingga sosok itu langsung berpindah posisi ke sisi ranjang yang kosong.

Ketika sosok itu menoleh pada Salma dengan wajah penuh amarah, Salma langsung membekap mulutnya dengan telapak tangan.

“Mas Zariel?” Salma bergumam syok. “M—maaf, Mas, aku ... kaget. Aku kira ... orang lain. Maaf ... maaf.” Salma dengan sangat gugup terus mengucapkan maaf secara membabi-buta, bahkan sedikit membungkuk sebagai bentuk penyesalannya.

Zariel menghela napas berat, lalu meredupkan ekspresi marah dalam wajahnya. Secara ragu, Salma juga perlahan melirik suaminya, dan sedikit tenang karena Zariel terlihat lebih bersahabat sekarang.

“Salah saya juga karena tidak bangunkan kamu lebih dulu,” kata Zariel, yang dengan samar diangguki oleh Salma. “Kamu masih mengantuk?”

Salma kebingungan menjawab. Ia menggigit bibir bawahnya dengan kuat untuk mengurangi gugup, tetapi berakhir gagal. Ia dengan ragu menggeleng pelan sebagai jawaban. Entah karena efek terkejut atau karena ini malam pertama, Salma mendadak saja kehilangan rasa kantuknya sekarang.

“Jadi, kamu siap kalau kita mulai sekarang, ‘kan?” tanya Zariel, dengan datar. Tidak ada bisikan lembut atau bernada berat. Pria itu bertanya seolah sedang bernegosiasi dengan rekan bisnisnya, bukan dengan istri yang akan pertama kali ia sentuh.

Salma mencoba bersikap biasa, dan memberikan anggukan kecil sebagai jawaban. Ia meremas jemarinya yang gugup di atas pangkuan, ketika Zariel bergeser mengikis jarak di antara mereka.

“Aturannya: rileks, supaya kamu tidak kesakitan. Kalau masih merasa sakit, kamu bisa beritahu saya, supaya saya lebih pelan, oke.” Zariel mengatakan itu setelah ia mengangkat dagu sang istri dengan jemarinya.

Salma menipiskan bibir dan berusaha mengalihkan pandangan dari wajah sang suami, karena gugupnya luar biasa. Ia memberikan anggukan kecil, yang hampir tidak terlihat andai Zariel tidak merasakan pergerakannya.

Zariel menghapus semua jarak di antara mereka dengan kepala sedikit miring ke samping ketika mempertemukan bibir mereka. Ia menyertakan gerakan lembut di sana, membuat Salma secara spontan berubah tegang dengan tangan mengepal kuat di atas pangkuan.

Perempuan itu terkejut dengan sensasinya. Kenyal, lembut, dan ....

Salma belum mencerna dengan baik perasaannya ketika Zariel mulai mengarahkan ciumannya ke rahang dan lehernya. Bahkan, hanya beberapa kali menempelkan bibir di sana, Zariel sudah menjelajahi tubuh Salma yang lain dengan sangat terburu-buru.

“M—Mas ....” Salma berusaha berbicara, untuk mengemukakan pendapatnya. Ia tidak mendengarkan balasan dari suaminya, tetapi menyadari Zariel mengurangi kadar agresifnya, ia melanjutkan ucapan. “Nggak ... sholat dulu, Mas? Atau ... doa?”

Setelah bertanya demikian, Salma menggigit bibir bawahnya dengan kuat, menahan gugup. Ia semakin merasa segan, ketika Zariel meninggalkan dadanya demi menyamakan posisi wajah mereka.

“Tidak.” Zariel menjawab datar. “Saya bisa hilang nafsu duluan.” Ia kembali mengecup bibir Salma dengan lembut.

Pria itu kembali asyik dengan kegiatannya, sementara pandangan malu-malu Salma mulai berubah nanar. Secara perlahan, debar kuat dalam jantungnya mulai mereda kembali normal. Bahkan, tangannya sudah kembali rileks, bahkan termasuk lemas dan pasrah ketika Zariel menggerakkannya untuk kepentingan sendiri: melepaskan kain dari tubuh sang istri.

Salma tidak melawan sama sekali ketika ia dibaringkan di atas tempat tidur. Ia tetap diam ketika Zariel begitu sibuk dengan tubuhnya, sampai ... Salma memejam kuat dengan ringis kesakitan saat status gadisnya direnggut.

Namun, tidak mengikuti aturan yang sudah disampaikan oleh Zariel, Salma tetap diam sembari melipat bibir ke dalam. Meredam sakitnya yang hampir tidak pernah berkurang sampai suaminya mendongak penuh kepuasan beberapa puluh menit kemudian.

Zariel menjatuhkan seluruh beban tubuhnya ke Salma selama beberapa detik, sekadar mempertemukan kulit lengket mereka, serta memamerkan deru napasnya yang berat. Setelah itu, ia berguling untuk pindah ke sisi ranjang yang kosong. Membelakangi Salma, dan tidak lama kemudian suara dengkurannya sudah terdengar.

Pria itu sudah tertidur, sementara Salma hanya mengerjap tidak percaya.

Ini malam pertamanya?

Perempuan itu menarik selimut yang juga dipakai suaminya untuk menutup tubuh sendiri sampai batas leher. Ia balas membelakangi Zariel sembari meringkuk rapat.

Ditemani rasa sakit dan nyeri di kewanitaan, Salma mencerna sensasi mengganjal di hatinya.

Malam pertama yang ia bayangkan begitu romantis, panas, dan menggairahkan ... berakhir hambar.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro