Bab 9a
“Zea, aku akan bercerita sedikit tentang keluargaku. Meski aku yakin kamu sudah banyak mendengar dari Stefan.”
Perkataan Alexander membuat Zea menoleh. “Apa Stefan mengatakan sesuatu padamu?”
Alexander melayangkan pandangan pada istrinya, dan beralih ke jendela luar. “Tidak. Dia hanya bilang kamu riset. Itu saja.”
“Itu karena aku tidak tahu apa-apa tentang keluargamu.”
“Karena memang aku sembunyikan. Tidak banyak orang tahu siapa mereka. Setiap kali ada yang curiga dan mengangkat ke media, maka tanteku yang baik hati dan tidak sombong itu akan membungkam media dengan sejumlah uang.”
Kekagetan terlihat di wajah Zea. “Kenapa?”
“Karena aku dianggap bukan bagian dari keluarga itu, bisa dikatakan kelahiranku tidak diingkan karena bukan dari pernikahan resmi. Biarpun orang tuaku sudah meninggal, mereka tetap tidak bisa menerimaku.”
“Bukankah itu menyakitkan?” tanya Zea dengan nada iba, menatap pada suaminya. Ia bisa merasakan, kalau Alexander menyimpan luka karena sebagai anak tidak diinginkan.
“Dulu, waktu aku masih menggeluti dunia hiburan, tekanan yang datang lebih besar dari sekarang. Tanteku menggunakan segala cara untuk menghentikan karirku. Itulah yang membuatku bertekat, untuk punya perusahaan sendiri demi menghentikan tekanan mereka.”
“Kini sudah membaik?”
“Bisa dikatakan tidak. Karena mereka justru berusaha menghancurkan usahaku. Kamu tahu kenapa?”
Zea menggeleng. “Para sepupuku, yang tidak mengakuiku itu, takut kalau aku akan mendapatkan warisan dari Kakek. Sungguh, dunia penuh intrik.”
Penuturan Alexander membuat Zea pusing. Hidup sebagai orang kaya dan pengusaha ternyata tidak semudah yang ia kira. Tadinya ia kira, menjadi orang terkenal dan banyak harta seperti Alexander maka hidup bahagia, karena mampu membeli dan mendapatkan semua yang diinginkan. Kenyataannya, tidak seperti itu. Menghela napas, Zea berusaha meredakan rasa gugup saat kendaraan melambat dan masuk ke sebuah komplek perumahan mewah. Mereka berhenti di depan ruman besar dengan halaman sangat luas.
“Kamu siap?” tanya Alexander saat mereka turun dari mobil.
“Yeah, tentu,” jawab Zea.
“Mari, kita tipu mereka dengan acting kita.”
Ajakan Alexander membuat Zea menahan tawa. Keduanya melangkah bergandengan memasuki area pesta yang dibuat dengan konsep out door. Ada banyak buket karangan bunga, dan lampu ditata indah di halaman menuju ruangan besar yang sepertinya adalah ballroom milik keluarga. Zea tak habis pikir, di sebuah rumah ada ballroom khusus mengadakan pesta. Menandakan betapa besar rumahnya.
“Lihat, itu Tante, Om, dan salah satu sepupuku.” Alexander menunjuk pasangan suami istri dan anak laki-laki mereka. “Sepupuku yang lain sedang bersama kakek, itu di sudut.”
Zea menatap pemuda tampan, yang sepertinya ia kenal sedang mendorong kursi roda di mana ada kakek tua duduk di atasnya. Alexander mengajaknya menemui sang kakek lebih dulu.
“Kek, apa kabar?”
Kerumunan menyibak, si kakek menatap bergantian pada Alexander dan Zea lalu mendengkus keras. “Masih menganggap aku kakekmu?”
“Kalau Kakek bicara ketus begitu, tandanya sehat,” ucap Alexander santai. “Tekanan darah dan gula darah normal berarti.”
“Anak kurang ajar!” desis si kakek. “Siapa dia? Pacarmu atau istrimu?”
“Zea Aureli, istriku.”
Pengakuan Alexander membuat Zea berdebar. Ia maju selangkah dan membungkuk di depan si kakek. “Apa kabar, Kek?”
Si kakek hanya terdiam, mengamati penampilan Zea dari atas ke bawah. Dari belakang, pemuda tampan yang semula memegang kursi roda kini maju dan mengulurkan tangan pada Zea.
“Hai, Zea. Kenalkan aku Romi.”
Zea menelengkan kepala lalu tersenyum. “Hai, Romi.”
“Ayo, aku kenalkan pada keluargaku.”
Zea kebingungan saat ditarik Romi menuju tempat orang tuanya. Sementara Alexander membiarkanya. Laki-laki itu kini mendekati sang kakek dan berjongkok di depannya.
“Apa Kakek ngambek?”
“Hah, kamu pikir aku anak-anak?”
“Mungkin saja karena tidak aku undang ke pernikahan?”
“Bukankah itu keterlaluan, Alex.”
Alexander tersenyum. “Mungkin, seandainya Kakek tahu apa isi hatiku. Tolong bayangkan seandainya Tante tahu aku akan menikah dan mengundangnya, bisa dipastikan akan ada huru hara yang membuat pernikahan itu gagal.”
“Kamu berprasangka buruk pada keluargamu.”
“Keluarga yang tidak pernah menginginkanku. Kakek tahu kenyatan itu.”
Melihat kakeknya terdiam dengan wajah terpukul dan sedih, Alexander sadar ucapannya sudah berlebihan. Ia bangkit, meraih bagian belakang kursi roda dan mendorong perlahan. “Bagaimana kabar, Kakek?”
“Memangnya kamu peduli?”
“Aku peduli kalau diizinkan. Mau makan, minum, atau main catur?”
“Jangan mengalihkan perhatian, Alex!”
“Kakek masih marah? Silakan! Teruskan saja, aku dengar tanpa bantahan.”
Keduanya terus mengobrol dan Alexander mendorong kursi roda menjauh dari keramain. Ia ingin menikmati momen hanya berdua dengan sang kakek. Ia tidak tahu di mana Zea, tapi yakin kalau gadis itu akan membaur dengan baik.
“Ma, Pa, ini Zea Aureli. Istri Alexander.” Romi mengenalkan Zea pada keluarganya dan tanggapan mereka membuat orang takut.
Zea menahan diri untuk tidak bergidik, saat mereka menatap dan menilainya secara terang-terangan. Ia tahu, dirinya sedang diuji dan tidak akan mundur sekarang. Ia adalah seorang artis, dan sedang memakai topeng sebagai istri Alexander. Ia tidak akan membiarkan dirinya gemetar karena takut. Perannya sekarang lebih penting dari apapun.
“Selamat malam, Om, Tante, dan ini siapa?” tanyanya pada Romi, menunjuk pemuda yang lebih tua beberapa tahun dari Romi.
“Kakakku, Angga.”
Zea mengangguk. “Hallo, Angga.”
Tidak ada tanggapan, mereka semua terdiam dan menatapnya tanpa kata. Zea tersenyum, membungkuk sekali lagi.
“Terima kasih atas sambutannya yang sangat sopan. Maaf, saya mau cari suami dulu.”
“Eh, Zea. Mau ke mana?”
“Romii! Memalukan kamu!”
Zea bisa mendengar perdebatan di belakangnya. Tak sadar ia mengusap lengan untuk menghilangkan dingin. Bukan karena hawa tapi karena sambutan mereka yang seperti membekukan tulang. Ia celingak celinguk mencari Alexander dan mendapati matanya tertuju pada seorang wanita cantik yang baru datang diapit tiga laki-laki tampan. Ia mengenali para laki-laki itu sebagai mantan anggota grup band Alexander, tapi ia tidak tahu siapa wanitanya. Rombongan itu menarik perhatian karena penampilan mereka yang rupawan. Ia tersentak saat dari belakang ada orang menyambar lengannya.
“Siapkan dirimu, kita hadapi serangan kedua,” bisik Alexander yang entah datang dari mana.
“Mereka datang,” ucap Zea saat melihat keempat orang itu kini menghampiri. “Wow, langkahnya pun rapi seperti model.”
“Ckckck. Lihat siapa ini? Seorang laki-laki yang telah melupakan teman-temannya.” Yang menyapa adalah laki-laki berambut pirang pendek. “Bahkan menikah pun tidak mengundang kami?”
Alexander tersenyum. “Bukankah kalian sedang tour, mana berani aku mengganggu. Apa kabar Dixon?”
“Tetap saja itu nggak sopan, Bro.” Kali ini yang berucap laki-laki lebih pendek dengan rambut dua warna, merah dan hitam yang ditata sangat estetik. “Apakah kamu nggak lagi ingat kami?”
“Rauf, senang mendengar suaramu.”
Laki-laki paling tampan di antara mereka dengan rambut hitam dan agak panjang, mengulurkan tangan pada Zea. “Aku Sakha, kamu pasti istri Alexander.”
Zea mengangguk. “Hallo, Sakha. Nggak percaya bisa melihat kalian di sini. Wow, akyu ngefans sama kalian. Lagu kalian bagus-bagus sekali.”
Pujian beruntun dan tulus dari Zea membuat mereka bertiga ternganga lalu tersenyum. “Wah, istri Alex ternyata cantik dan imut,” puji Dixon.
“Selera Alexander nggak pernah mengecewakan,” timpal Rauf.
“Ehm ….” Anastasia yang sedari tadi terdiam, menatap Zea tajam. Ia melangkah gemulai, hingga kini berada di depan Zea dan menyapa dengan senyum yang dibuat-buat. “Aku mantan pacar Alexander. Wanita yang pernah bercinta dengannya hingga bersimbah keringat, Anastasia.”
“Wow!”
“Anastasia!”
“Ckckck!”
Perkenalan yang dilontarkan Anastasia dengan sangat berani dan blak-blakan membuat orang-orang yang mendengarnya kaget. Alexander bahkan membentak marah. Sementara Zea hanya menatap tanpa kata, pada wanita bergaun biru yang kini menatapnya angkuh dengan senyum kemenangan tersungging. Ia tahu, sedang dipermainkan dan tidak akan kalah sebelum berjuang.
Tersenyum manis, Zea menyambut uluran tangan Anastasia. “Halo, aku Zea. Istri sah Alexander Gera. Oh, kamu Anastasia? Wanita yang dicampakkan suamiku? Kenapa, ya? Apa mungkin karena permainanmu kurang panas di ranjang atau suamiku merasa kamu tidak layak dijadikan istri?”
“Wow!”
“Serangan balik yang luar biasa!”
Perkataan Zea membuat Anastasia melotot, sementara Alexander memegang dahi. Tiga teman lainnya hanya tertawa. Seolah-olah sapaan Zea dan Anastasia yang saling serang adalah drama lucu yang bagus untuk dinikmati.
“Percaya diri sekali kamu,” desis Anastasia.
Zea mengangkat dagu. “Oh jelaas! Mungkin saja kamu cinta pertama suamiku atau apalah itu. Tapi sekarang, akulah dunianya. Iya’kan, Sayang?” Ia sengaja mengaitkan tangan pada lengan suaminya.
Alexander tersenyum, merangkul Zea dan berbisik mesra. “Tentu saja, kamu duniaku sekarang. Ayo, kita ambil minum.”
Berpamitan pada teman-temannya, Alexander merangkul Zea dan meninggalkan mereka.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro