Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 7b

“Pak, saya sudah menerima telepon dari Ernest.”

Alexander mengangkat wajah dari atas dokumen, menatap Stefan yang berdiri di dekat pintu. “Berarti, Zea sudah memutuskan kontraknya dengan laki-laki itu?”

Stefan mengangguk. “Sudah. Ernest tidak terima tentu saja dan berniat menggugat.”

“Lalu, apa yang kamu bilang padanya?”

“Tidak banyak. Saya menawarkan kompensasi untuk pembatalan kontrak yang jumlahnya, cukup untuk membuat dia tergiur. Kalau dia tidak menerimanya, saya memastikan kantor agencynya akan tutup minggu depan.”

“Bagus, orang seperti dia memang perlu untuk diancam! Dasar sampah! Kita akan persempit ruang geraknya mulai sekarang. Kamu awasi!”

Stefan mengangguk. “Baik, Pak.”

Setelah asistennya pergi, Alexander meraih ponsel, berniat menelepon Zea. Entah kenapa, perasaan untuk mendengar kabar gadis itu mulai menguasainya. Mereka serumah belum genap dua bulan, tapi ia merasa mulai terobesi dengan Zea. Mengutuk sikapnya sendiri yang mulai aneh, Alexander meletakkan kembali ponsel ke meja dan kembali menyibukkan diri. Terobsesi pada wanita bukanlah sifatnya, dan ia tidak akan membiarkan perasaan itu tumbuh.

“Hallo, Alex.”

Alexander mengangkat wajah, dan bersiap memaki karena ada orang masuk ke ruangannya tanpan permisi. Ia mengatupkan mulut, saat melihat seorang wanita berambut merah dan bergelombang hingga ke bahu, mendekat dan menyapa. Bibir wanita itu dipoles lipstick merah tebal, yang anehnya justru membuatnya makin terlihat menarik. Anastasia, model kenamaan yang lebih banyak berkecimpung di luar negeri, kini ada di hadapannya.

“Belum lupa tawaranku untuk selingkuh’kan Alex?” ucap wanita itu tanpa malu dengan bibir menyunggingkan senyum.

Alexander tidak bergeming, tetap duduk di tempatnya. Ia menatap Anastasia dan tidak merasa heran karena wanita itu mendadak ada di depannya. Tanpa mengabari kalau ingin datang, Anastasia muncul seolah-olah dialah pemilik ruangan ini.

“Rupanya, sopan santunmu belum membaik,” ucap Alexander tanpa senyum di wajah. “Masih seperti dulu. Gadis kaya yang merasa seolah punya segalanya.”

Melangkah gemulai, Anastasia bergerak mendekat dan duduk di atas meja, tepat di samping Alexander. Tanganya terulur untuk mengelus lembut pundak Alexander yang terlihat kaku.

“Kamu masih sangat mengenalku, Alex. Sudah berapa lama kita tidak bertemu? Dua tahun? Selama itu, kamu sama sekali tidak menghubungiku. Lalu, mendadak dikabarkan sudah menikah. Apa yang terjadi padamu, Sayang?”

Alexander menepis tangan Anastasia dari bahunya. “Bukankah pernikahan hak setiap orang yang punya pasangan?”

“Memang, tapi terlalu mendadak, Honey. Tanpa ada kabar kedekatan kalian. Tahu-tahu, kamu menikahi artis kelas dua itu. Kenapa dia, kenapa bukan artis lain seperti Ramona, atau siapa itu model terkenal saat ini, Azalea. Biar pun mereka berdua tetap di bawahku secara kualitas, paling nggak sedikit lebih baik dari istrimu itu.”

Alexander menghela napas panjang, kepalanya pusing mendengar banyak ucapan dari mulut Anastasia. Mereka dulu sepasang kekasih yang saling mencinta, sampai akhirnya di satu titik Alexander sadar kalau hubungan mereka toxic dan tidak dapat lagi dipertahankan.

Saat itu, Anastasia setuju berpisah tanpa bantahan. Meski setelah itu, dia menyebarkan rumor perselingkuhan Alexander, dan membuat berita tentang putusnya mereka mendominasi tayangan gosip di internet dan televisi. Alexander masih ingat, bagaimana penampilan Anastasia saat diwawancara, bersikap seolah menjadi wanita yang tersakiti dan menarik banyak simpati publik. Saat itu, ia mengabaikannya dan sampai kini pun masih.

“Kamu mau apa, Anastasia. Bukankah setelah merusak namaku, kamu setuju untuk tidak lagi datang menemuiku?”

Anastasia tersenyum, jarinya yang berkutek merah muda lembut dengan kuku palsu yang runcing, berniat untuk membelai wajah Alexander tapi laki-laki itu menepiskannya. Tersenyum kecil, Anastasia menegakkan tubuh, mengamati wajah tampan mantan kekasihnya.

“Setelah mendengar kabar kamu menikah, aku mendapati satu kenyataan yang menarik. Mau tahu apa?”

Alexander menggeleng. “Sorry, aku tidak berminat untuk bergosip denganmu. Silakan keluar!” Ia menunjuk pintu.

“Aih-aih, jangan sombong, Alex. Padahal, aku sudah menurunkan ego dan harga diri dan jauh-jauh datang ke sini. Kamu tahu demi apa?”

“Aku tidak peduli.”

“Ck, demi kamu Alex. Karena aku baru menyadari satu hal, akan sangat menggairahkan kalau kita bisa kembali bersama, dan bermain di belakang punggung istrimu.”

Alexander bangkit dari kursi dan menjauh. Ia berdiri di dekat jendela dan menatap Anastasia dengan pandangan jijik yang tidak ditutupi. Tidak percaya kalau wanita anggun yang pernah ia kenal, berubah jadi begitu aneh dengan pemikiran yang gila.

“Terlalu lama di luar negeri membuat pikiranmu terganggu, Anastasi. Aku tidak peduli, asalkan kamu tidak mengganggu kehidupanku.”

Anastasia menelengkan kepala, berdiri dan dengan sengaja membua bagian atas kancing bajunya hingga menunjukkan dadanya yang dibalut bra berenda. Ia berkacak pinggang di depan Alexander.  “Tubuhku masih sama seperti dulu, Alex. Masih sexy dan menggairahkan bukan? Itulah kenapa kamu nggak berani mendekatiku. Well, nggak masalah. Itu justru menarik Alex.  Aku tidak peduli dengan penghinaanmu. Sekali aku menginginkan sesuatu, pasti kudapatkan. Sekarang, yang aku mau adalah kembali denganmu. Bersiaplah, Honey.”

Tertawa keras, Anastasia mengancingkan kembali gaunnya dan melangkah gemulai meninggalkan Alexander. Hari ini, ia sudah mengatakan apa yang perlu dikatakan, dan melihat wajah kaget Alexander adalah sesuatu yang menyenangkan untuknya.

Sepeninggal Anastasia, Alexander mengumpulkan semua pegawai, terutama yang bertugas di meja resepsionis. Ia memberi perintah, dilarang memasukkan tamu tanpa izin darinya, terutama Anastasia. Ia akan memecat siapa pun, yang berani melanggar perintahnya. Demi menghilangkan rasa kesal, Alexander menenggelamkan diri dalam pekerjaan hingga pukul delapan malam.

Ia pulang, dan sampai di rumah pukul 09.30 malam. Matanya menyipit, saat melihat dari jendela kalau lampu ruang tamu mendadak padam. Bergegas masuk, ia memanggil pelayan dan mengernyit saat lampu menyala dengan terang benderang.

“Selamat datang, Tuan Alex!”

Alexander terpaku di tempatnya berdiri, menatap Zea dan dua pelayan dalam balutan seragam cheerleader. Mereka bertiga, bersorak dengan pom-pom di tangan. Zea bahkan menari dan meliukkan tubunya. Berbeda dengan dua pelayan dalam balutan celana dan kaos, Zea terlihat berbeda dengan kostum merah. Rok di atas dengkul dengan atasan ketat tanpa lengan, serta pendek hingga menampakkan pusar. Alexanander menahan napas.

Saat Zea bergerak mendekat, ia memberi tanda pada dua pelayan untuk pergi dan meninggalkannya hanya berdua dengan istrinya yang kini menari mengelilinginya.

“Yoo! Tuan Alexander. Anda harus semangat!” teriak Zea melemparkan pom pom ke udara dan menangkapnya kembali. “Semangat! Semangat!”

“Aku bisa melemparkanmu ke atas kalau mau.” Alexander menawarkan diri.

Zea tertawa. “Benarkah? Aku berat.”

“Mudah itu.” Alexander membuka jas dan melemparkannya ke atas karpet. Ia menggulung kemeja dan meminta Zea mendekat. “Ayo, sini.”

Zea menggigit bibir, memiringkan wajah. “Lebih bagus kalau ada musik,” ucapnya.

“Tentu, gampang itu.” Alexander berjalan mendekati meja televisi dan menyetelnya. Tak lama, musik RnB menggema di ruang tamu dan ia memetik tangan. “Begini? Asyik bukan?”

Mau tidak mau Zea tertawa, mulai menggoyangkan tubuh mengikuti irama musik. Ia menggerakkan pom pom di tangan ke tubuh Alexander dengan menggoda. Menikmati ekpresi terkejut laki-laki itu. Saat musik menghentak, Alexander memegang pinggangnya dan tanpa kata, meleparkannya ke atas dan menangkapnya kembali. Zea dibuat kaget olehnya.

“Wow, keren sekali, Paak.”

“Lagi?” tanya Alexander,

“Iya, sekali lagi.”

Alexander mengulang gerakannya dan kali ini, setelah menangkap tubuh Zea, ia membaringkan gadis itu di atas jasnya yang tergeletak di lantai.

“Pak, apa-apaan ini?” Zea berusaha bangkit tapi tangan Alexander menekan lengannya.

“Pelatih ingin memberikan pelatihan khusus pada ketua cheerleader,” bisik Alexander sebelum menurunkan bibirnya untuk melahap bibir Zea dalam ciuman yang panas.

Zea mengeluh dalam hati, membiarkan bibirnya dilumat sementara pikirannya tertuju pada tangan Alexander yang kini menggerayangi pahanya. Ia tidak habis pikir, sikap Alexander berubah drastis hanya karena ia memakai kostum.

“Pak, ini di ruang tamu,” desah Zea di antara ciuman mereka.

“Aku yakin tidak ada pelayan yang mengintip, atau mereka akan celaka. Lagi pula, ini bukan pertama kalinya kita bercumbu di ruang tamu.”

“Ta-tapi, aah.”

Zea tak kuasa untuk mendesah, saat mulut Alexander kembali melumat bibirnya. Tangannya kini terulur untuk merangkul leher suaminya dan keduanya berciuman dengan penuh gairah, tidak memedulikan tempat.

Bibir Alexander meninggalkan bibir Zea dan bergerak turun ke leher, dan lengan yang tidak tertutup. Ia bisa mendengar Zea memekik saat tangannya menyelusup masuk dari bawah pakaian menuju dada gadis itu.

Alexander mengangkat tubuh Zea dan mendudukan di pangkuan. Dalam sekali sentak atasan gadis itu membuka dan menunjukkan dada mulus berbalut bra.

“Aku terobsesi dengan dada ini, saat melihatmu memakai kostum bunny,” bisik Alexander. “Terlihat begitu molek dan menggiurkan. Saat tahu, kalau Ernest yang menyuruhmu, ingin rasanya kubunuh laki-laki itu.”

“Paak ….” Zea menatap Alexander dengan pandangan berkabut. Merasa klaget denga napa yang baru saja didengarnya. Ia menggelinjang saat jemari Alexander memasuki bra dan meremas lembut dadanya. Hal yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, membuat rasa panas menjalari tubuh.

“Padat dan lembut, Zea. Kamu mengagumkan.” Lagi-lagi Alexander berucap merayu dengan jemari mengelus dan membelai dada Zea. Ia tidak dapat menahan diri untuk terus meremas, dan akhirnya membuka kait bra hingga terlepas. Tidak memberi kesempatan pada Zea untuk menolak, ia menggantikan jemarinya dengan mulut.

“Ah, Pak. Tolonglah.”

Zea mendesah keras, merasakan mulut Alexander mengisap putingnya. Anehnya, meski merasa takut tapi tubuhnya mendamba secara bersamaan. Ia membiarkan laki-laki itu berpesta pora dengan dadanya, sementara ia sendiri terseret gairah yang tidak dimengerti.

Keduanya terus mencumbu, dan kembali berciuman dengan panas. Hingga terdengar dering ponsel. Alexander berusaha mengabaikannya tapi tidak dengan Zea. Gadis itu melepaskan ciuman mereka dan mendorong Alexander menjauh.

“Pak, ada telepon.”

“Persetan!” bisik Alexander dengan tangan meremas lembut dada Zea.

“Pak, ada telepon!” Zea membentak dan sekuat tenaga melepaskan diri dari pelukan Alexander. Ia berdiri, memakai kembali bra dan atasanya, sementara Alexander mengambil ponsel yang tergeletak di atas karpet. Tanpa sadar, Alexander menghela napas saat melihat nama orang yang meneleponnya. Dengan enggan ia mengangkatnya.

“Iya, Kek.”

“Kamu masih menganggap aku kakekmu! Bisa-bisanya kamu menikah tanpa memberitahuku! Anak kurang ajar!”

Berbagai makian diterima Alexander dengan tenang dari sang penelepon yang ternyata adalah kakeknya. Ia mendengar tanpa bantahan hingga amarah sang kakek mereda. Sementara Zea berdiri bingung tak jauh dari tempatnya.

Zea tertegun, menatap Alexander yang terduduk kaku menerima telepon. Ia tidak tahu, siapa yang bicara tapi dilihat dari sikap suaminya, sepertinya orang penting. Ia menunggu, hingga Alexander selesai menelepon. Tanpa kata, keduanya berpandangan. Alexander bangkit dari karpet, dan mengelus rambut Zea.

“Good job, Zea. Kostum yang menarik.”

Hilang sudah sikap laki-laki yang penuh gairah dengan belaian yang memabukkan, Alexander meninggalkan Zea sendirian, dan berlalu dengan sikap dingin tak peduli.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro