Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 6b

Zea menatap toko swalayan yang ramai dari tempatnya duduk. Banyak orang berlalu lalang dan menurutnya itu tempat cocok untuk melakukan keinginannya.

“Kamu sudah siap?” tanya Alexander.

Menghela napas panjang Zea mengangguk. “Iya, siap.”

“Mau berapa lama di sana?”

“Entahlah, beberapa jam mungkin sampai hari gelap. Bagaimana penampilanku?” tanya Zea pada suaminya.

Sejujurnya, Alexander sama sekali tidak mengenali wanita lusuh di sampingnya. Seorang make up artis, mengubah penampilan Zea jadi wanita lusuh dan kotor. Baju yang dipakainya pun compang camping, dengan wig gimbal. Tidak ada yang mengenali, kalau si lusuh ini adalah Zea.

“Sempurna. Bawa senjata yang aku bilang?”

Zea mengangguk. “Semprotan merica.”

“Ponsel?”

“Ada di saku celana.”

“Ada apa-apa, telepon akua tau Stefan. Aku akan meminta orang mengawasimu dari jauh.”

“Oke. Bisakah kamu menurunkan aku di tempat yang sepi? Biar aku jalan kaki kemari.”

Alexander mengangguk, meminta sopir membawa mobil ke arah jembatan. Di bawah pohon tertutup oleh beberapa gerobak sampah, Zea turun. Setelah mobil berlalu, ia mengoleskan minyak beraroma busuk yang ia dapat dari pelayan. Berusaha menahan mual karena tubuhnya yang bau, ia menyeberangi jalan dan melangkah tertatih menuju supermarket.

Ia melihat bagaimana reaksi orang-orang saat berpapasan dengannya. Sebagian mengernyit, menutup hidung, banyak yang menghindar, seolah ia menularkan penyakit. Zea menahan diri untuk tidak marah, saat seorang laki-laki membentaknya hanya karena tanpa sengaja lengannya menyenggol bocah yang sedang digandengnya.

“Pa, dia bau bangkai.” Tunjuk seorang anak perempuan sambil menutup hidung saat dirinya lewat.

“Makanya, kamu mandi biar nggak bau kayak dia,” jawab sang papa.

Tiba di halaman parkir, Zea melangkah ke pinggir, takut dengan penjaga yang akan mengusirnya. Ia mencari tempat di dekat pintu masuk dan duduk di lantai. Membiarkan orang-orang melewatinya, sementara ia hanya duduk diam mengamati keadaan.

Duduk dua jam, kebosanan melanda Zea tapi ia tetap diam di tempatnya. Perutnya keroncongan, menyandarkan tubuh pada pilar bangunan, ia tidak menyadari beberap orang melembar uang padanya.

“Eh, gembel! Bisa-bisanya lo ambil tempat gue.” Suara bentakan membuat Zea membuka mata Seorang wanita gemuk dengan anak bayi di gendongan menatapnya tajam.

“Aku nggak ngemis, Bu. Tenang aja,” jawab Zea.

“Itu apa?” Wanita itu menunjuk uang yang berserakan di depan Zea.

Dengan malas Zea meraup uang-uang itu dan menyerakan pada pengemis di depannya. “Ambil semua tapi tolong biarkan aku di sini. Kalau nanti dapat uang lagi, bisa kupastikan semua milikmu.”

“Jangan bohong!” bentak wanita itu.

Zea mengangkat tangan. “Nggak akan.”

Setelah wanita pengemis itu pergi, masalah Zea tak berhenti. Seorang laki-laki sengaja menginjak kakinya karenan marah. Kekasih laki-laki itu hampir jatuh karena terpeleset bajunya. Ia diusir paksa oleh petugas keamanan dengan menggunakan sedikit kekerasan. Pukul delapan malam, ia memutuskan pulang dengan perut perih menahan lapar.

Keesokan harinya, ia kembali datang dengan tubuh lemas karena sengaja tidak memakan apa pun dari kemarin malam. Ia membiarkan cacing di perutnya berdemo, sementara orang berlalu lalang dan menatap sinis padanya. Seperti kemarin, kali ini ia mendapatkan banyak uang dan memberikan pada ibu pengemis.

Seorang petugas keamanan kembali mengusirnya. Ia menolak pergi dan karena membandel, diseret menuju pos penjagaan.

“Udah gue bilang, lo nggak boleh lagi ngemis di situ. Masih aja, bandel!” Zea menjerit saat bahunya dipukul. “Mau gue bikin kapok lo!”

Ia menggeleng gemetar. “Pak, tolong saya. Hanya cari makan.”

“Cari makan? Di waruung! Bukan di depan supermarket.”

Seorang penjaga bertubuh gempal menghampiri Zea. Bola matanya yang kecil menyipit dan tangannya yang berlemak, terulur ke arah wajahnya. Zea berkelit tapi tidak cukup cepat dan saat dagunya diangkat, matanya bertatapan dengan laki-laki itu.

“Wow, baru tahu aku ada pengemis manis begini.”

“Coba lihat?” ucap penjaga lain.

Zea berusaha menutupi wajahnya tapi mereka mencengkeram kuat dan dengan kurang ajar mengelus pipinya. “Wow, lumayan buat diajak senang-senang. Jangan lupa dimandiin dulu. Biar nggak bau!”

Tawa mereka yang mesum dan penuh penghinaan membuat Zea bergidik ngeri. Ia menggunakan kesempatan untuk kabur saat seseorang datang dan membuka pintu. Dengan napas tersengal, ia sengaja duduk di samping ibu pengemis, tidak memedulikan tatapan tanya wanita itu.

Setiap hari, Zea hanya memakan satu buah apel sebelum pergi. Ia sengaja membiarkan perutnya kelaparan. Untuk penampilan juga tidak seburuk awal menyamar. Ia membiarkan rambut aslinya kusut, tetap menggunakan sapuan make up untuk membuat wajahnya terlihat kotor, tapi tidak lagi menggunkan minyak beraroma busuk.

Perlakuan berbeda ia dapatkan dari para laki-laki dan perempuan di sekitar supermarket. Para pengamen, penjaga, pemulung, bahkan beberapa preman berusaha untuk mengajaknya pergi, ia menolak.

Beberapa wanita, yang merupakan pasangan dari pengamen maupun pemulung, tidak segan memaki dan memukulnya karena menganggap dirinya merebut pasangan mereka.

“Jangan main-main sama gue, sundal! Lo perek nggak tahu malu, berani-beraninya godain laki gue!” Wanita itu memukul wajahnya dan Zea meringis menahan perih. Tanpa kata ia bangkit dan menjambak rambut wanita itu.

“Aaargh! Dasar, wanita sialan!”

Pada akhirnya Zea yang kalah, tergeletak di tanah dengan tubuh penuh memar. Beberapa wanita mengeroyoknya dan tidak ada yang berniat melerai. Semua beranggap, ia layak mati hanya karena para laki-laki menyukainya.

“Kamu meneruskan niatmu? Kembali ke tempat itu lagi?” tanya Alexander berang. Ia menatap wajah dan tubuh Zea yang penuh luka-luka.

Zea mengangguk pelan. “Iya, beberapa hari lagi. Paling nggak setelah dua Minggu aku bisa lebih tahu.”

Alexander terdiam, sementara Zea mematung di sampingnya. Mereka berdua dalam kendaraan pulang. Ia tahu, apa yang dilakukan gadis itu semata-mata untuk mendalami peran. Entah kenapa ia tidak suka karena menurutnya sudah membahayakan nyawa. Ia pernah menawarkan pengawalan pada Zea dan gadis itu menolak.

“Tiga hari lagi dan setelah itu selesai,” ucap Alexander.

Zea seketika mengangguk. “Iya, siip.”

“Kenapa kamu kelihatan makin kurus?”

Berikutnya ia mendengar suara perut Zea dan gadis itu meringis.

“Kita makan!”

“Nggak bisa, aku harus pulang baca naskah.”

“Kamu lapar!”

“Nggak, itu hanya perutku demo.”

Sia-sia Alexander mengajak makan, Zea tetap menolak. Begitu tiba di rumah, gadis itu mengunci diri di kamar gelap yang memang disediakan untuk Latihan. Tidak ada yang tahu apa yang dilakukannya selama di dalam dan  Zea baru keluar keesokan sore. Seperti biasa, hanya makan buah apel. Berat badan Zea turun nyaris tiga kilo dalam seminggu, dengan kulit yang terlihat kasar dan tidak terawat. Meski begitu, tidak mengurangi kecantikannya dan membuat banyak laki-laki di area supermarket suka padanya. Meskipun ia memakai pakaian compang camping dan rambut kotor.

Di malam terakhir penyamarannya, sesuatu terjadi. Zea sedang ker toilet saat dtarik paksa beberapa laki-laki menuju lorong supermarket. Ia menjerit, berteriak, tapi mereka terlalu kuat. Beberapa orang bahkan bersorak, tidak ada yang berniat menolongnya. Air mata kekalutan mengalir di pipi Zea.

“Toloong! Tolong akuuu!”

“Sia-sia kamu teriak, orang-orang di sini mengira kamu gila.” Seorang laki-laki berbisik dengan tangan menariknya. “Mereka tidak akan peduli, karena kami mengatakan akan membawamu ke dinas sosial.”

“Hahaha. Terima saja, enak kok,” timpal yang lain.

Zea meronta, berusaha melepaskan diri meski pun tubuhnya lemas sekali. Di ujung lorong, mendekati gudang ia masih memutar otak mencari cara selamatkan diri. Pada akhirnya, ia memilih untuk melemaskan diri, pura-pura pingsan. Saat peganga para laki-laki itu mengendur, ia merangkak dan berlari ke arah pintu.

“Binal! Jangan kamu lo!”

“Kejar diaa!”

Zea terpental saat menubruk sesosok tubuh. Ia terkesiap saat sepasang tangan menariknya berdiri. Ada Alexander, Stefan, dan beberapa laki-laki di belakang mereka.

“Kamu nggak apa-apa?” tanya Alexander.

Zea mengangguk dengan tubuh gemetar. “Iya, aku baik saja.”

“Hei, serahkan gadis itu! Dia gila!” teriak salah satu pengamen.

“Kalian semua nggak usah ikut campur, biar kami yang urus gadis gila itu!” Salah seorang petugas keamana berteriak takt ahu malu.

Alexander merengkuh Zea dalam pelukan, menatap mereka semua. “Begitu? Kalian mau apa kalau dia kubawa pulang?” desisnya marah. Tanpa banyak kata, Alexander memberi kode pada Stefan. Ia merangkul Zea dan membawanya ke mobil. Tak lama terdengar suara orang berkelahi dan para preman, pengamen, serta laki-laki yang dengan niat tak senonoh, melolong kesakitan. Tidak ada yang berani menolong mereka, karena takut dengan Stefan yang memukul seperti layaknya petarung tangguh.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro