Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 6a

Kendaraan mewah warna hitam melaju cepat di jalan bebas hambatan. Suara mesinnya meraung di kegelapan malam, seakan berlomba dengan pengemudi lain untuk mencari tahu siapa yang tercepat. Di belakang kemudi, Alexander mendengarkan dengan cermat setiap ucapan Stefan. Mereka menganalisa semua kejadian yang menimpa klub.


“Akan ada penyelidikan lanjutan.”

“Kapan?”

“Minggu depan. Artis yang sedang koma belum tersadar sampai sekarang. Jadi, kita nggak bisa mengharapkan dia untuk membantu kita jadi saksi.”

Alexander menghela napas panjang. Bisnis di klub sedikit menurun gara-gara kasus itu. Banyak pertanyaan dari orang-orang tentang klub yang semula tidak pernah dipikirkan. Apakah klubnya terlibat prostitusi? Apakah ada penjualan obat terlarang. Sialnya, banyak polisi korup yang ikut memanfaatkan situasi yang dialaminya. Untunglah, ia bukan tipe orang yang mudah digertak. Mereka salah kalau bermain-main dengan Alexander Gera.

“Apa mereka masih mengincar, Zea?” tanya Alexander.

“Sepertinya masih. Tapi, sejauh ini kita bisa redam karena mereka tidak mungkin menyentuh Zea selama ada di rumah Anda, Pak. Tapi, entah bagaimana kalau di luar.”

“Kita tidak mungkin mengurung Zea selamanya.”

“Benar.”

“Kalau begitu aku akan cari cara.”

Kendaraan melambat saat keluar dari jalan tol dan kini melaju di jalanan kota yang masih terbilang padat di pukul sembilan malam. Karena urusannya sudah selesai malam ini, ia mengarahkan kendaraan langsung ke rumah. Di ujung jalan masuk, ada beberapa orang berkerumun. Dilihat dari penampilannya, sepertinya para pencari berita yang masih penasaran soal dirinya dan Zea. Mereka tidak akan mendapatkan apa pun, karena ia sudah menyegel pintu masuk yang mendekati rumahnya.

Hingga kini Alexander bahkan masih tidak percaya dengan keputusannya untuk menikah. Hal yang sama sekali tidak pernah terpikir olehnya. Jika bukan karena kejadian di klub, ia-tidak akan terjebak dalam situasi rumit seperti sekarang. Masalahnya, sampai sekarang ia tidak tahu siapa orang yang berniat jahat dengannya dan apa motifnya. Ia dibuat kesal dan frustrasi dengan kasus yang menimpanya.

“Pak, besok akan ada pertemuan jam sepuluh.” Stefan turun dari mobil saat mereka tiba di rumah

“Oke. Aku siap dari jam sembilan.”

Mereka beriringan melewati teras dan seorang pelayan membantu membuka pintu. Langkah keduanya terhenti saat di tengah ruangan melihat Zea dalam balutan baju suster yang cukup sexy. Alexander menatap gadis yang kini melangkah gemulai ke arahnya.

“Tuan, mau periksa?” Zea menyapa manja sambil mengedipkan mata.

Alexander terbeliak lalu berdehem, mendadak merasa tenggorokannya kering. Ia menoleh pada asistennya yang terlihat membantu dengan mulut menganga, termasuk beberapa pelayan yang menyambut kedatangannya. Ia menepuk tangan dan berucap keras.

“Bubar semua! Tinggalkan kami berdua!”

Stefan seketika tersadar, menunduk dengan wajah merah padam, laki-laki itu membalikkan tubuh dan kembali keluar. Para pelayan masuk dan tertinggal hanya Zea dan Alexander yang berdiri berhadapan.

Zea menggigit bibir, menempelkan tubuh pada Alexander dan berbisik dengan stetoskop di tangan. “Tuan, ada keluhan apa? Biar aku periksa?”

Alexander meraih pinggang Zea dan meremasnya. “Dadaku,” ucapnya dengan suara berat.

Lagi-lagi Zea tersenyum, kali ini menempelkan stetoskop pada dada Alexander dan berbisik. “Ah, jantungmu berdebar keras, Tuan. Kenapa?”

“Kamu masih tanya kenapa?”

“Iyaa, sebagai suster harus tahu keluhan pasien.”

Alexander tersenyum, merengkuh Zea dalam pelukan dan melihat gadis itu terbeliak. Ia tahu, Zea sedang berakting untuk menggodanya. Dan ia akan meladeni permainan gadis itu. Lagi pula, ia pun menyukainya.

“Bukankah seorang suster harusnya bisa mendiagnosa?”

“Ah, sayangnya aku butuh banyak informasi.”

“Bagaimana untuk lebih akurat, aku buka bajuku?”

“Jangaaan!” Detik itu juga Zea berteriak. Namun, ia kalah cepat karena Alexander kini memerangkap tubuhnya di antara laki-laki itu dan punggung sofa. Ia bingung, harus bagaimana karena terjebak dengan permainannya sendiri. Saat ia berusaha keluar dari kukungan Alexander, laki-laki itu mengangkat dagu dan berbisik.

“Bagaimana kalau kita mulai pemeriksaan dari bibir, Sus?”

Zea ternganga dan masih belum sepenuhnya sadar saat bibibir dilumat dengan panas. Sementara bibirnya merasakan ciuman panas dari Alexander, ia berusaha menjernihkan pikiran. Bagaimana mungkin, ia kalah dan kini dengan terpaksa melayani ciuman laki-laki itu. Namun, benarkah ia terpaksa karena secara tidak sadar bibirnya membuka dan erangan rendah keluar dari mulutnya saat Alexander memagut mesra.

Zea memekin saat tubuhnya terjatuh ke atas sofa dengan Alexander menindihnya dengan posesif. Ia berusaha menyudahi ciuman dan kini bibir Alexander berada di leher, turun ke lekukan  bahu, dan tanpa ia sadari dua kancing teratas dari bajunya telah terbuka.

“Pak, sadarlah,” desah Zea dengan suara berat saat merasakan kecupan hangat di bagian atas dadanya. Ia menggigil, karena kini tak lagi sekedar kecupan, dan bahkan berganti dengan gigitan kecil. Hasrat yang tidak pernah ia rasakan, kini naik ke permukaan dan membuat tubuhnya mendamba. Ia menggeleng, berusaha menyingkirkan kabut gairah saat tangan Alexander bergerilya di pahanya. Ia meraih bibir laki-laki itu dan sekuat tenaga menggigitnya.

“Aduuh, kenapa kamu menggigitku?” teriak Alexander kaget, merasa kalau bibirnya perih.

Menggunakan kesempatan saat laki-laki itu kesakitan, Zea mendorong laki-laki itu dan bangkit dari sofa. Dengan wajah panas, tubuh gemetar dan leher merah-merah, Zea merapikan bajunya. Lalu menunjuk pada Alexander yang terduduk di sofa dengan bibir berdarah.

“Aku melakukan ini untuk kamu, Pak. Bagian dari kesepakatan kita, tapi kenapa setiap kali aku berkostum, kamu kayak orang kesurupan!”

Teriakan Zea mrenyadarkan Alexander. Ia menyugar rambut dan berusaha menenangkan dirinya yang hilang akal. Hanya karena sebuah kostum, ia tidak bisa mengendalikan gairah yang memuncak. Mengusap ujung bibir yang berdarah, ia menatap Zea yang berdiri sambil berkacak pinggang.

“Aku kehilangan kendali,” ucap Alexander.

Zea mengangguk. “Jelas dan itu membuatku takut untuk melakukannya lain kali.”

“Jangan!”

“Apa?”

“Jangan berhenti, tetaplah dengan cosplaymu. Aku janji lain kali akan bersikap baik.”

Zea menatap laki-laki yang duduk di depannya. Sikap Alexander yang tegas, arogan, dan mengintimidasi, langsung hilang saat melihatnya memakai kostum. Sungguh, sebuah sikap kontradiktif yang membuatnya bingung.

“Baiklah, aku percaya janjimu. Tapi, dengan satu syarak kamu harus membantuku.”

“Apa yang kamu mau,” tanya Alenxander.

Tersenyum simpul, Zea berusaha menurunkan bajunya. Sedikit menyesal karena kini menyadari bajunya terlalu pendek hingga nyaris tidak menutupi paha.

“Zea ….”

“Aku sudah mengambil keputusan. Akan mengambil peran wanita pendendam dalam 101 cara membunuh laki-laki. Tapi, aku membutuhkan bantuanmu.”

“Katakan! Apa maumu.”

Zea tersenyum, membeberkan rencananya. Ia menginginkan peran itu dan membutuhkan Alexander untuk mendukungnya. Selesai berucap, ia bertanya serius. “Bagaimana? Bisa membantuku?”

Alexander mengangkat sebelah alis lalu mengangguk. “Menarik. Aku suka caramu riset. Baiklah, aku akan membantumu.”

Tanpa sadar Zea berteriak gembira dan melonjak di tempatnya berdiri. Pertama kalinya ia mengambil peran serius, dan tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.

“Aku lupa satu hal,” ucap Alexander tenang dan menghentikan pekik kegembiraaan Zea.

“Apa lagi, Pak?”

“Hal kecil.” Alexander berdehem. “Kalau kamu sukses dengan riset pertamamu, aku ingin kamu cosplay itu.”

“Apa itu?”

Alexander membuka ponsel, mencari foto dan menunjukkan pada Zea yang terbelalak.

“Pak, sepertinya kamu kena penyakit serius.”

“Penyakit apa?”

“Itu, mesum akut!” Menegakkan tubuh, Zea tersenyum. “Deal!”

Sepeninggal gadis itu, Alexander merosot di sofanya. Dengan pikiran menerawang ia menyadari kalau permainan yang dilakukan dengan Zea makin lama makin berbahaya. Entah kenapa, ia menyukainya. Mau tidak mau Alexander mengakui kalau dirinya memang mesum.

Ponsel di tangannya berdering. Ia membaca satu nama yang tertera di layar. Berbulan-bulan tidak bertemu, entah kenapa wanita itu kini meneleponnya. Ada keenggan untuk menjawab, tapi ia tahu akan terus diteror kalau sampai berani mengabaikan panggilan itu.

“Hallo.” Ia menyapa singkat.

Tak lama dari ujung telepon terdengar suara wanita yang lembut. “Alex, Sayang. Apa kabarmu? Sudah menikah dan tidak mengabariku?”

Alexander terdiam sesaat. “Anastasia, bukankah kamu masih di Italy?” Ia sengaja mengalihkan topik dari pernikahannya.

“Rupanya, kamu masih ingat aku di mana. Hebat bukan? Setelah kini menjadi suami seorang artis.” Tak lama, tawa geli terdengar nyaring. “Oh ya, aku sudah kembali ke klta ini. Dan mrenginginkan kita bertemu.”

Berita kepulangan Anastasia tak urung membuat Alexandern kaget. “Kamub sudah pulang?”

“Iya, aku ada di hotel dan siap untuk bertemu denganmu.”

“Anastasia, aku--,”

“Ayo, kita berselingkuh!”

“Apa-apaan kamu!”

“Dari yang aku dengar, berselingkuh dengan pasangan orang itu memacu andrenalin. Sudah lama aku tidak merasakan itu, dan berharap kalau perselingkuhan kita akan membuat hidupku lebih berwarna.”

Hening sesaat, sebelum Alexander berujar pelan. “Anastasia, kamu jelas tahu aku sudah menikah.”

“Tentu saja, makanya aku ajak selingkuh. Hahaha. Mau, ya?”

Tidak memedulikan rayuan wanita di ujung telepon, Alexander menutup ponsel dan menekuk kepala. Anastasia kembali, dan ia yakinm hidupnya tidak mudah dengan kehadiran wanita itu. Ia berharap, kalau Anastasia tidak bertemu Zea dan akhirnya akan menimbulkan masalah besar.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro