Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 4b

Tiga hari setelah pernikahan, Zea baru bernapas lega. Meski berita tentang pernikahannya dan Alexander masih mendominasi berita entertaimen dan kolom gosip, tapi tidak separah sesaat sebelum hari pernikahan. Banyak gosip beredar yang antara lain mengatakan ia hamil lebih dulu, ia menjebak Alexander, dan memaksa untuk menikah. Hampir semua orang-terutama kaum wanita-mendukung Alexander dan mencelanya. Zea merasa dirinya hanya obyek kekesalan mereka dan itu membuatnya geram.

Selama tiga hari ini, ia sama sekali tidak pernah keluar rumah. Kerjanya tiap hari hanya menonton berita, bermain media sosial, dan terbukti melakukan keduanya membuat emosinya meninggi. Bagaimana tidak, kalau setiap hal tentangnya hanya yang buruk-buruk diceritakan. Seolah-olah, Alexander itu dewa agung dan ia hanya rakyat jelata yang dianggap tidak cocok bersanding dengan laki-laki itu. Mereka seakan tidak peduli kalau dirinya juga seorang artis, meskipun pendatang baru.

“Sialan mereka! Nggak ada satu pun komentar yang baik tentangku. Hah! Nggak tahu aja mereka gimana aslinya si Alexander itu!”

Setelah membaca rangkain hate komen untuknya di media sosial, Zea melemparkan ponselnya ke sofa dan menyumpah tiada henti. Ia menegakkan tubuh saat melihat Alexander datang diiringi Stefan. Laki-laki itu berdiri tegak di dekat jendela.

“Kamu siapkan koper-kopermu.”

Zea mengedip. “Hah, apa?”

“Siapkan barang-barangmu. Besok kita pergi.”

“Ke mana?”

“Bulan madu.”

“Apaaa?”

Malam itu, Alexander tidak banyak bicara. Ia hanya memberitahu, yang bagi Zea terdengar seperti perintah singkat tanpa banyak penjelasan tentang bulan madu. Meninggalkan gadis itu yang terlihat kebingungan dan  membiarkan Stefan yang mengurus sisanya. Tiga hari bersama, dan ia sama sekali tidak merasa sudah beristri.

Disertai gerutuan, Zea merapikan barang-barangnya di dalam koper. Stefan mengatakan kalau tujuan mereka adalah pulau dewata dan akan menjalani masa bulan madu pura-pura selama empat hari tiga malam. Zea memejam, berharap kalau mereka akan tinggal di sebuah vila dengan beberapa kamar, jadi ia tidak perlu satu kamar tidur dengan Alexander. Membayangkan 24 jam bersama laki-laki itu dalam satu ruangan membuatnya bergidik.

Pukul delapan pagi keesokan hari, Zea sudah siap dengan satu koper besar. Di sampingnya, Alexander terlihat menawan dengan setelan santai berupa kaos dan celana panjang. Mereka duduk berdampingan di dalam mobil tanpa bicara sama sekali.

“Di bandara akan banyak wartawan menunggu. Saya mengingatkan kalian berdua untuk bersikap layaknya suami istri.”

Ucapan Stefan dari kursi depan membuat keduanya saling pandang.

“Ma-maksudnya bagaimana?” Zea bertanya bingung.

“Kalian harusnya tahu seperti apa sikap pengantin baru.”

Penjelasan Stefan membuat Zea menghela napas panjang, belum apa-apa ia sudah merasa gugup. Mereka diharusnya mempertontonkan sikap pengantin baru, dan Zea tidak yakin apakah mereka bisa. Diam-diam ia melirik Alexander yang sedari tadi terdiam. Sikap dan permikiran laki-laki itu sungguh sukar ditebak. Mengalihkan pandangan ke jalan tol yang padat, Zea meyakinkan diri bisa berakting sempurna sebagai pengantin baru.

Suara Alexander terdengar saat kendaraan yang mereka naiki memasuki area bandara. “Persiapkan dirimu untuk berakting. Ingin, para wartawan itu adalah penonton dan kita beruda adalah aktor.”

Zea mengangguk. “Iya, Pak.”

“Aku memberimu otoritas untuk melakukan apa pun itu, demi mendukung aktingmu. Sekarang ini, peranmu adalah istri dari Alexander.”

Sekali lagi Zea mengangguk. “Tentu, aku mengerti. Sekadar mengingatkan juga, kalau kamu adalah suami dari Zea Aureli. Harap bersikap layaknya suami yang hangat dan sedang jatuh cinta.”

Alexander mengernyit. “Kenapa kamu harus mengingatkan aku?”

“Karena di sini, bukan hanya aku yang berakting tapi kamu juga, Pak. Harap diiingat. Ah, itu dia para wartawan tercinta, suamiku.” Zea sengaja berucap sambil tersenyum menggoda, mengabaikan wajah Alexander yang kaku. Menghela napas panjang, ia menguatkan hati untuk bersiap-siap berakting.

Begitu pintu mobil dibuka, Zea dan Alexander turun, para wartawan yang menunggu di lobi bandara langsung menyerbu. Tak ayal tindakan mereka menimbulkan keributan. Dua orang pengawal pribadi membantu Alexander dan Zea mengatur kerumuman dan memberi jarak pada wartawan untuk tidak terlalu dekat.

“Zea, apa pendapatmu tentang berita kehamilan itu?”

Zea tersenyum. “Ah, gosip itu. Kami menikah karena memang ingin menikah.” Ia melirik Alexander dan bergayut di lengan laki-laki itu.

“Alexander, kenapa pernikahan dilakukan buru-buru?”

Kali ini, Alexander tersenyum tipis, merangkulkan lengannya pada pundak Zea dan menjawab singkat. “Cinta, mengubah segalanya.”

Mereka tidak memberikan banyak kesempatan pada wartawan untuk banyak bertanya. Dibantu oleh petugas keamana bandara, Alexander menggandengn tangan Zea dan menembus kerumunan. Teriakan para wartawan masih terdengar nyaring, bahkan saat keduanya melenggang masuk.

Bersikap layaknya pengantin baru, di bawah intaian banyak mata yang menatap mereka, Zea tidak melepaskan tangannya dari Alexander. Sesekali beberapa orang yang mengaku sebagai fans, meminta foto bersama. Dari mulai chek-in hingga duduk di ruang tunggu, Zea bersikap layaknya istri yang melayani suaminya. Menggenggam tangan laki-laki itu, mengelus lengan laki-laki itu, bahkan berpura-pura melayani saat Alexander ingin makan atau minum sesuatu. Saat sudah duduk nyaman di pesawat, Zea melepaskan topengnya dan keduanya duduk berdampingan tanpa bicara sama sekali dari pesawat tinggal landas hingga mendarat.

“Kita akan menginap di sini.” Itu adalah ucapan pertama Alexander, selama mereka melakukan perjalanan berdua.

Zea dibuat tercengang dengan bangunan di depannya. Sebuah resort yang menghadap langsung ke laut, pemandangan yang terlihat sungguh luar biasa indah. Ia tidak dapat menahan kekaguman dan pekik kegembiaraan dari mulutnya.  Diantar oleh dua bell boy yang membawa barang-barang mereka, keduanya menuju kamar.

Bukan vila seperti yang ia inginkan, Alexander memesan kamar tidur dengan jendela menghadap ke laut yang biru. Kamar mewah dan luas dengan sofa empuk. Ada balkon untuk tamu duduk dan menikmati pemandangan. Sepeninggal bell boy, Alexander menatap Zea dan berucap tegas.

“Kita akan berbagi kamar ini selama empat hari ke depan, aku harap kita saling menghargai privasi masing-masing dan tidak saling menganggu.”

Zea mengangguk. “Tentu, nggak saling ganggu. Deal kalau begitu.”

Sementara Zea duduk di balkon untuk mengagumi keindahan alam, Alexander berkutat dengan laptop dan pekerjaan. Menerima panggilan tak berhenti dari Stefan dan sesekali mengambil jeda istirahat untuk minum kopi. Mereka bahkam memesan makan malam untuk disantap di dalam kamar, tidak ada keinginan untuk menghabiskan waktu di luar. Zea berpikir, untuk pergi sendiri berkeliling Bali sementara Alexander bekerja. Namun, idenya ditentang keras oleh laki-laki itu.

“Jangan membuatku berada dalam kesulitan. Kamu pikir, tidak ada yang mengenalimu di sini? Bagaimana kalau mereka melihatmu pergi sendiri, sedangkan kita diberitakan sedang berbulan madu?”

Zea mencebik. “Aku bosan.”

“Lakukan sesuatu untuk menghilangkan kebosananmu. Baca buku atau apa, asal jangan merepotkanku.”

Zea tidak membantah ucapan laki-laki itu, karena ia pun masih trauma denga napa yang terjkadi di mall dan akhirnya membuatnya masuk dalam perangkap pernikahan palsu. Yang dikatakan Alexander ada benarnya, ia hanya akan membuat masalah kalau bepergian sendirian.

Pengaturan tempat tidur, tanpa diduga Alexander mengalah. Laki-laki itu mengatakan akan tidur di mana saja, meski itu di sofa dan memberikan kesempatan pada Zea untuk menikmati ranjang yang empuk.

Merebahkan diri setelah menikmati siraman air hangat di kamar mandi, Zea mengamati Alexander yang masih sibuk dengan pekerjaan. Sekarang ia tahu, kenapa laki-laki itu sampai membawa dua koper. Rupanya, salah satunya berisi banyak dokumen dan berkas-berkas pekerjaan. Benar-benar workaholic, pikir Zea masam dan berusaha memejamkan mata.

Rasanya seperti terperangkan dalam mimpi panjang dan membingungkan. Tentang Alexander, makanan, dan juga laptop. Zea menggeliat dalam tidurnya, saat merasakan sesuatu yang hangat merengkuh tubuhnya. Ia meringkuk lebih dalam dalam kehangatan itu dan merasakan kenyamanan di sana.

Saat terbangun, Zea mengerjap. Berusaha melepaskan diri dari sesuatu yang membelitnya. Ia menguap dan terjaga dengan kaget. Bagaimana tidak? Wajah Alexander berada satu senti dari wajahnya, dengan kaki laki-laki itu berada di tengah tubuhnya. Baju tidur yang ia pakai tertarik ke atas sementara salah satu tangan Alexander berada tepat di bawah dadanya.

“Eh, apa ini?” Ia menggumam bingung. Berusaha bangkit dan mendorong tubuh Alexander menjauh dan tercengang saat menyingkap selimut, melihat laki-laki di sampingnya nhanya memakai boxerIa menggeleng, mengalihkan pandangan dari tubuh sempurna tanpa pakaian di sampingnya. Ia terus mendorong dan usahanya sedikit mengalami kesulitan karena bobot tubuh laki-laki itu.

“Aduh, berat amat dia?” Ia menyingkirkan tangan Alexander dari dadanya dan merapikan pakaian yang berantakan, kali ini mencoba menyingkirkan kaki dan menjerit saat tubuhnya kembali direngkuh dalam pelukan.

“Jangan pergi,” bisik Alexander di telingannya dan ia menjerit saat laki-laki itu kini menciumi wajah dan lehernya.

“Hei, bangun! Jangan sampai aku siram air!”

Zea berucap sedikit histeris, lagi-lagi berusaha menyingkirkan tubuh Alexander yang kini setengah berada di atas tubuhnya. Ia meringis dan tersengal karena laki-laki itu terus menciumi wajahnya dengan mata tertutup. Ia menggeliat dan tanpa sengaja tangannya memegang area intim Alexander yang menegang. Laki-laki itu mengerang nikmat, Zea merinding dan berteriak.

“Banguun! Sudah siang! Oii, bangun!”

Menggunakan seluruh tenaga, ia menggulingkan tubuh Alexander menjauh dan menyingkap selimut. Bangun dari ranjang, ia berdiri di lantai dengan mata melotot dan lutut gemetar. Bagaimana tidak, sebagai seorang gadids yang belum pernah bersentuhan dengan laki-laki dengan intim, ia berada di tempat tidur dengan Alexander yang tampan dalam kondisi setengah telanjang.

“Orang ini tidur seperti orang mati!”

Ia menatap selimut yang tersingkap lalu pada Alexander yang tidur dengan posisi telentang. Pandangannya menyelusuri dari wajah, bahu, perut, dan bagian bawah di mana ada sesuatu yang keras dan menegang di balik boxer putih. Zea merasa wajahnya memanas, setelah menutupi tubuh Alexander dengan selimut, ia bergegas ke kamar mandi dan tak hentinya menyumpahi diri karena berani mengamati laki-laki yang sedang bergairah dalam tidur.

 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro