Bab 3b
Rasanya sungguh menyenangkan, saat ia menyusuri toko-toko di mall dan berkeliling dengan gembira. Zea naik ke lantai paling atas di mana ada bioskop di sana. Mengamati keadaan dengan antusias karena banyaknya penonton yang antri untuk menonton filmnya. Ia tidak dapat menyembunyikan senyumannya.
“Ups, maaf.”
Tubuhnya oleng dan hampir jatuh saat seseorang menubruknya. Topi yang ia pakai terjatuh dan rambutnya terurai. Ia memungut topi dari lantai dan menegakkan tubuh. Menatap laki-laki yang menubruknya belum beranjak pergi.
“Zea Aureli?” ucap laki-laki itu.
Zea menggeleng. “Salah orang.”
“Iya, itu kamu. Waaah, ada Zea Aureli.”
Selanjutnya, hal yang terjadi di luar dugaan. Saat beberapa orang merengsek maju dan mengenalinya. Zea memekik, saat tubuhnya didorong, dihimpit, dicubit dan membuatnya menjerit panik. Petugas keamanan berusaha menembus kerumunan untuk membantunya tapi tidak mudah. Hingga sebuah tangan yang kokoh menariknya dari kerumunan.
Zea tidak tahu, ke mana tangan itu menuntunnya. Yang ia inginkan hanya lekas pergi dari orang-orang yang ingin menjamahnya. Saat mereka sudah tiba di tempat yang sepi, ia mendongak dan menatap heran pada Alexander.
“Pak, ke-kenapa ada di sini?” tanyanya dengan bibir gemetar.
Zea mengedarkan pandangan dan melihat di mana ada enam orang laki-laki yang berdiri mengelilingi mereka. Sepertinya, mereka adalah pengawal Alexander kalau ia tidak salah duga.
Alexander mengangkat sebelah alis.“Kamu pergi tanpa pamit seperti maling lalu membuat keributan di bioskop?”
“Bu-bukan begitu. Aku hanya ingin jalan-jalan dan melihat-lihat saja. Tidak menyangka akan seperti itu.” Ia menunduk, menahan malu dan berusaha menyembunyikan rasa sakit di sekujur tubuh dan wajahnya.
Mengulurkan tangan, Alexander mengangkat dagu Zea dan menatap tajam. “Lain kali dipikir dulu sebelum melakukan sesuatu. Kalau beginim siapa yang repot?”
Zea mengangangguk. “Maaf, tapi kenapa kamu ada di sini, Pak?”
“Itu urusanku.”
“Apa kamu kuatir denganku?” tanya Zea tanpa pikir panjang dan ia mengatupkan mulut saat melihat tatapan dingin yang diarahkan Alexander padanya.
“Kita turun!” perintah Alexander pada anak buahnya.
Zea mengikuti dengan langkah perlahan saat Alexander bergerak ke arah lift. Banyaknya pengunjung membuatnya sedikit kesulitan menyembunyikan diri. Banyak orang mengenali mereka, entah itu dirinya atau pun Alexander. Mereka menjadi sasaran foto dan orang-orang yang ingin tahu. Untunglah ada pengawal yang melindungi, Zea tidak dapat membayangkan apa yang terjadi seandainya hanya berdua dengan Alexander di tempat ramai seperti ini.
Zea sedikit menyesali diri, tidak sempat makan atau pun berbelanja sesuatu di mall. Karena dengan adanya kericuhan, mau tidak mau Alexander membawanya pulang. Ia duduk di belakang dengan menunduk dan pasrah harus pulang ke rumah Alexander yang menurutnya seperti penjara.
“Lain kali kalau kamu ingin ke mall, atau ke mana pun itu, bicara terus terang dan akan ada pengawal untukmu.” Alexander berucap dengan tegas saat mereka sudah tiba di rumah laki-laki itu. “Bayangkan, kalau seandainya pembunuh itu ada di mall itu dan mengikutimu, kamu pikir bisa pulang dalam keadaan hidup?”
“Iya, Pak. Aku mengaku salah.” Zea menunduk, menatap lantai.
“Bagus kalau begitu. Memang kamu harus disadarkan.”
Zea menatap punggung Alexander yang menjauh. Memikirkan ucapan Alexander yang memang benar adanya. Beruntung hari ini ia hanya dikerumuni penonton dan penggemar. Entah apa yang akan terjadi kalau di sana ada orang yang berniat mencelakainya. Ia bergidik, memikirkan kemungkinan itu.
Mengenyakkan diri di sofa, Zea tak habis pikir bagaimana Alexander bisa tiba di mall dan bersamaan ke bioskop dengannya. Apakah laki-laki itu membuntutinya? Zea bangkit dari sofa dan meraba-raba tubuhnya.
“Jangan-jangan ada alat pelacak.” Ia bergumam dan terus meraba pakaiannya tapi tidak menemukan alat yang ia cari. Ia menarik kesimpulan memang Alexander secara tidak sengaja ada di tempat yang sama dengannya.
Masalah datang keesokan harinya. Harian surat kabar, berita online dan berbagai tayangan infotaimen di layar kaca memberitakan tentang Zea dan Alexander. Foto-foto mereka bergandengan di mall terpampang di mana-mana dan berbagai spekulasi muncul tentang hubungan mereka.
Bukan hanya berpacaran tapi hubungan Alexander dan Zea memang intim karena mereka tinggal serumah.
Sebuah tajuk berita berikut foto-foto saat mereka memasuki rumah Alexander menimbulkan kehebohan. Zea mendapat telepon dari Fika dan gadis itu bertanya dengan nada tinggi.
“Kaak, Ernest mencarimu. Aku harus jawab apaaa?”
Zea menghela napas, merasa kepalanya pusing karena masalah yang datang secara terus menerus.
“Bilang sama Ernest, aku sudah mati.”
“Kaaak! Kok gitu!”
Ia mematikan ponsel setelah menenangkan Fika. Bukan berita-berita itu yang membuatnya tertekan melainkan Alexander. Entah bagaimana reaksi laki-laki itu saat membaca berbagai berita tentang mereka. Ia makin menyesali kecerobohannya karena pergi menyelinap.
Ketakutannya akan sikap Alexander terjawab saat laki-laki itu muncul sore harinya. Bersikap seakan tidak terjadi sesuatu, Alexander membaca satu per satu berita tentangnya dan Zea. Termasuk juga tuduhan kalau mereka tinggal bersama yang diperkuat dengan bukti dari tetangga yang membenarkan itu.
Beberapa orang tanpa sengaja memergoki secara tak sengaja kalau Zea tinggal bersama Alexander. Mereka memberikan bukti berupa foto-foto yang diambil secara diam-diam dan menjualnya kepada wartawan.
Tidak lama, Stefam muncul dan memberikan satu map dokumen pada Alexander.
“Pak, sepertinya semua berkembang dengan tidak bagus.”
Alexander membaca isi dokumen dan mendesah keras, membuat Zea yang duduk di seberangnya merasa ketakutan.
“Sial! Kita harus bagaimana, Stefan?” tanya Alexander pada asistennya.
“Orang-orang berspekulasi dan itu membuat citra perusahaan kita sedikit merosot. Beberapa investor menanyakan kebenaran kabar itu. Mereka sudah marah dengan skandal di klub dan kini merasa makin tercoreng karena kasus baru.”
Alexander mengangkat tangannya. “Bagaimana kalau aku membuktikan pada mereka?”
“Akan banyak yang tidak percaya mengingat bukti-bukti terpampang nyata.”
“Sial!” Alexander menyugar rambutnya dan menatap asistennya. “Duduklah, Stefan dan bantu aku cari jalan keluar.”
Stefan mengangguk, duduk di kursi paling ujung. Menatap bergantian pada Alexander dan Zea yang sedari tadi terdiam. Ia berdehem lalu berucap perlahan.
“Saya punya saran demi kalian berdua. Terutama untukmu.” Ia menunjuk Zea.
“Aku? Kenapa?” tanya Zea.
“Karena sekarang namamu sedang naik. Filmmu mendapat sambutan besar dan ulasan tentang peranmu juga positif. Lalu, mendadak kamu muncul dan terlibat hubungan dengan Pak Alexander, semua orang jadi bertanya-tanya.”
“Kalau dibiarkan saja bagaimana?” tanya Zea.
“Maka, bukan hanya namamu yang rusak tapi juga Pak Alexander. Kalian dianggap tinggal serumah atau istilahnya kumpul kebo yang tidak bermoral.”
“Ta-tapi kami bukan begitu!” bantah Zea dengan bingung.
“Yang tahu hanya kami, orang lain tidak. Terlebih saat pengurus apartemenmu mengatakan sudah beberapa hari kamu tidak lagi pulang.”
Zea memejam dan memijat pelipisnya. Baru saja ia merasa senang karena keberhasilan filmnya, kini dihadapkan pada kenyataan kalau ada masalah besar di depannya. Ia menatap Alexander yang duduk tenang. Seperti tidak ada kepanikan dalam diri laki-laki itu. Menyimak setiap perkataan Stefan dengan tenang.
“Solusi apa yang kamu tawarkan, Stefan?”
Stefan menatap Alexander. “Pernikahan palsu.”
“Apaa?”
Baik Zea maupun Alexander bertanya bersamaan. “Maksudmu apa?” tanya Alexander.
“Pernikahan pura-pura antara Pak Alexander dan Zea. Sebuah pernikahan palsu yang akan membantu kalian keluar dari masalah ini.”
Zea menggeleng pelan. “Ti-tidak mungkin. Pasti ada jalan keluar lain?”
Stefan memiringkan wajah, menatap Zea yang kalut. “Oh ya? Coba katakana seperti apa jalan keluarnya? Kamu pindah? Silakan! Setelah itu nyawamu terancam dan bisa jadi esok hari kamu ditemukan tidak bernyawa entah di mana.”
“Ti-tidak mungkin itu.” Zea menggeleng kencang.
“Itu karena kamu tidak mengenal orang-orang yang sedang memburumu. Mereka akan melakukan segala cara untuk membunuhmu. Yang bisa melindungimu hanya Pak Alexander dan itu berarti harus tinggal di sini.”
Keadaan hening setelah Stefan selesai bicara. Zea yang kebingungan mengatupkan mulut dan memejam. Masalah makin runyam karena satu tindakan bodoh yang telah ia buat. Yang dikatakan Stefan memang ada benarnya, nyawanya sedang terancam dan ia yakin kalau Alexander bisa melindunginya.
“Berapa lama?”
Suara Alexander membuat Zea membuka mata dan menatap laki-laki itu.
“Berapa lama waktu untuk berpura-pura, Stefan?”
Stefan menghela napas panjang. “Setahun, Pak. Kurang lebih 365 hari.”
Alexander mengalihkan pandangan dari sang asisten ke arah Zea. Untuk sesaat hanya menatap tanpa bicara. Mengamati bagaimana Zea terlihat gelisah dan menyesal.
“Kita menikah, pura-pura tentu saja selama 365 hari. Mau tidak mau, kamu harus mau, Bunny.”
“Haruskah seperti itu?” Zea bertanya, menggigit bibir bawahnya.
“Hanya ini cara satu-satunya paling masuk akal Jujur saja aku enggan menikahimu tapi ini harus dilakukan demi nama baikku.”
Zea mengangguk kecil, pasrah dengan apa yang akan terjadi. Kalau memang pernikaha n pura-pura menjadi jalan satu-satunya, mau tidak mau ia harus menerima.
“Stefan, kamu urus kontrak kami berdua. Lakukan secepatnya, Minggu depan kita adakan pesta syukuran pernikahan di rumah ini.”
Saat Alexander pergi diiringi Stefan, Zea masih terdiam di kursinya. Masih tidak percaya ia akan melakukan sebuah hubungan pura-pura dengan laki-laki seperti Alexander. Imbas dari tindakan kecilnya, kini mempengaruhi hidup orang seperti Alexander yang berpengaruh.
Meletakkan kepala ke atas meja, Zea merasa dadanya sesak dan dilanda sendu. Akan seperti apa hidupnya kelak karena terus terkurung di rumah ini. Bagaimana dengan karirnya setelah ini? Masih adakah sutradara yang ingin memakainya setelah ia terlibat skandal dengan Alexander? Ia tidak tahu. Sekarang, semua bergantung pada keputusan Alexander dan ia hanya bisa menjalani.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro