Bab 3a
“Sekarang kamu tahu kalau ada orang yang mengincar nyawamu.”
Ucapan Alexander membuat Zea terdiam. Ia memandang laki-laki tampan di depannya dan menggeleng pelan.
“Bisa jadi bukan aku yang diincar tapi Ernest.”
“Orang yang tinggal di bangunan itu?” tanya Alexander.
“Iya, dia salah satu managemen artis. Barangkali, banyak yang tidak suka dengannya.”
Alexander tersenyum tipis, menangkupkan tangan di atas dengkul dan menatap Zea yang terlihat pucat tapi secara bersamaan sangat menggemaskan dalam kostum Bunny.
“Kami punya bukti bahwa kamu yang diincar, bagaimana?”
Zea berpandangan dengan Fika, menolak percaya dengan perkataan Alexander. Meski begitu, ia tidak lupa akan dentuman senjata yang ia dengar dan ketakutan kalau peluru akan mengenai tubuhnya.
“Kak, sepertinya benar.” Fika berucap pelan, tangannya meremas jemari Zea.
“Menurutmu begitu?” tanya Zea balik.
“Iya, aku takut kamu akan mengalami bahaya terus menerus setelah ini.”
“Lalu, kita harus bagaimana?” Zea bertanya dengan wajah pucat.
Alexander membiarkan dua gadis di depannya bicara dan berspekulasi tentang apa yang terjadi. Namun, ia yakin kalau memang penembak sengaja mengarahkan senjata pada Zea. Dari informasi yang ia dapatkan, orang-orang yang menjebaknya kini tahu ada salah satu saksi yang akan membantunya dan itu Zea.
Seandainya ia jadi Zea, tentau saja akan menolak untuk percaya. Karena memang merasa tidak salah apa pun tapi kenyataan yang sebenarnya tidak seperti itu. Di dunia ini, banyak sekali orang-orang yang akan melakukan segala cara demi mendapatkan apa yang diinginkannya, termasuk tentang menyingkirkan orang-orang yang dianggap menghalangi jalan. Saat ini, dirinya dan Zea adalah penghalang langkah seseorang dan mereka pasti akan disingkirkan.
“Kita akan menemukan jalan keluar dari masalah ini. Sementara orang-orangku menyelidiki lebih lanjut, untuk sementara kamu tinggal di rumah ini.”
Ucapan Alexander membuat Zea ternganga. “Ti-tinggal di sini?”
Alexander menganggguk. “Iya, untuk sementara waktu. Sampai kami menemukan orang-orang yang ingin mencelakakan kita.”
Zea bertukar pandang dengan Fika sembari menggigit bagian bawah bibirnya. Ajakan Alexander untuk tinggal di rumah laki-laki itu membuatnya kebingungan. Satu sisi ia tidak tahu apa yang akan dilakukan kalau memang ada orang jahat yang mengancam jiwanya. Di sisi lain, tinggal bersama Alexander adalah ide paling gila.
“Bisakah aku memikirkannya?” tanya Zea.
Alexander menatapnya dan pandangan tajam laki-laki itu seakan menembus jantungnya. “Apa lagi yang kamu pikirkan? Menunggu hingga kepalamu pecah terkena peluru?”
“Bu-bukan.”
“Lalu? Menunggu tubuhmu ditemukan di gang dalam keadaan tak bernyawa?”
“Bukan itu juga.”
“Kaaak! Sudahlah, tinggal di sini saja biar aman.” Fika merengek dan membuat Zea terdiam. Memejamkan mata dan berusaha menemukan jalan keluar untuk masalahnya, ia akhirnya menyerah.
“Baiklah, aku tinggal di sini.”
Tanpa tersenyum, Alexander bangkit dari sofa. “Bu Asih yang akan mengurus keperluanmu. Dia tata rumah tangga di sini.”
Seorang wanita pertengahan empat puluhan dengan rambut pendek dan tubuh gemuk menghampiri Zea.
“Mari, ikut saya.”
Zea menatap wanita itu lalu mengangguk. “Sebentar.”
Ia menoleh ke arah Fika dan meremas bahu asistennya. “Bawa kemari barang-barangku dan kamu jaga diri. Sementara jangan keluar ke mana-mana, carilah tempat aman untuk bersembunyi.”
“Iya, Kak. Pasti.”
Tidak ada waktu berpikir dua kali. Semua terjadi begitu cepat. Saat Zea mengatakan persetujuannya, ia dibawa ke kamarnya dan berpisah dengan Fika. Satu jam kemudian, ia membaca berita tentang bangunan yang ditembaki dan melihat wajah Ernest terpampang di layar. Laki-laki itu mengatakan sambil menangis kalau ada orang mengincar nyawanya karena dia adalah seorang manager artis terkenal. Zea mendengkus dan nyaris membuat ponselnya karena merasa jijik.
Tinggal di rumah besar dengan pelayan yang menyediakan semua kebutuhan, ternyata tidak selamanya menyenangkan. Zea merasa terkurung dalam tembok tinggi yang tidak tergapai olehnya. Ia ingin keluar, hanya bisa sebatas halaman. Meski kebutuhannya tercukupi semua tetap saja ia bosan.
Sang pemilik rumah jarang ada di tempat. Entah ke mana perginya Alexander, ia tidak mengerti. Tidak ada yang bisa diajak bicara di sini, selain tembok tinggi yang mengurungnya. Orang yang paling bisa ia andalkan untuk mengobrol hanya Asih, itu pun kalau sang kepala pelayan sedang tidak sibuk.
“Film kamu dirilis Minggu ini, jangan lupa promo.”
Pesan dari Ernest masuk dan membuat Zea mengulum senyum. Akhirnya, ia bisa melihat wajahnya terpampang di layar bioskop meski hanya sebagai peran pembantu.
“Iya, Pak.”
“Gunakan sebaik mungkin, mumpung namaku lagi naik. Kalian harus lebih tahu diri untuk menggunakannya.”
Zea mendesah ke arah ponselnya. Bagi orang lain, peluru dan kecelakaan yang nyaris merenggut nyawa adalah sebuah hal yang menakutkan tapi tidak bagi Ernest. Laki-laki itu menganggap sebuah musibah adalah promosi gratis. Ia yakin, Ernest menikmati diwawancara berbagai media dan saat ini sedang menyombongkan diri.
Suatu malam, sosok Alexander terlihat di ruang makan. Sungguh mengejutkan melihat laki-laki itu di sana, karena biasanya Zea makan sendiri. Ia mengangguk kecil dan duduk di seberang laki-laki itu, berusaha menikmati hidangan tanpa terusik dengan sikap dingin Alexander.
“Ehm!” Zea berdehem. Menatap Alexander yang sedang makan dan tidak melihat ke arahnya sama sekali. “Pak, sampai kapan aku di sini?”
Alexander mendongak, sedikit kaget dengan panggilan ‘pak’ dari mulut Zea. Namun, ia mengabaikannya. “Kamu tidak betah di sini?”
Zea tersenyum. “Betaaah banget, seandainya ini rumahku sendiri. Sayangnya bukan.”
“Lalu?”
“Lalu? Aku ingin kerja, Pak. Disuruh promo sama Ernest karena film baruku keluar.”
“Oh, kamu bintang film?”
“Iya, bukannya aku udah pernah bilang?”
“Nggak terkenal.”
Tanpa dosa Alexander mengangkat bahu, tangannya meraih ponsel dan mencari sesuatu di sana. Tidak memedulikan Zea yang melotot ke arahnya. Ia menghentikan gerakannya jarinya di ponsel dan mengernyit.
“Lumayan juga, 600 ribu penonton dalam tiga hari. Kamu jadi antagonis?”
“Benar sekali, jadi cewek yang rebutan sama pemeran utama dan juga--,”
“Iya-iyaa, masih pemeran pembantu. Banggalah kalau sudah jadi pemeran utama.”
Zea menggenggam sendok dan garpu di tangan. Menahan diri untuk tidak melemparkannya ke muka laki-laki di depannya. Di saat banyak ulasan yang memuji aktinya, Alexander justru meremehkannya.
“Lihat saja nanti, aku akan mendapatkan peran utama yang hebat. Yang canggih, yang keren,” desis Zea saat Alexader menatapnya.
“Contohnya?”
“Wanita psikopat, gila, atau juga penari erotis.”
“Kamu mau jadi penari erotis?”
“Kenapa nggak? Kalau memang membuatku bisa jadi artis utama.”
Alexander menatap Zea dengan pandangan heran. Merasa bingung kenapa gadis di depannya ingin mendapatkan peran yang aneh seperti itu. Ia tidak berkomentar lebih lanjut karena merasa bukan urusannya. Baginya, kehadiran Zea di rumah ini tak ubahnya hanya sebuah tuntutan. Kalau bukan karena kasus yang menimpanya, ia tidak akan meminta gadis itu tinggal di rumahnya. Ia terbiasa sendiri dan Zea sedikit banyak mengusiknya. Itulah kenapa, ia enggan muncul apalagi bertegur sapa dengan gadis itu.
Ternyata, film baru Zea mendapat ulasan positif. Banyak yang memuji perannya sebagai gadis antagonis dan membuatnya banyak dibicarakan di forum-forum film online. Zea tidak dapat menahan senyum saat pengikut media sosialnya naik secara signifikan. Hanya saja, ia tidak berani mengunggah gambaran kehidupannya sehari-hari karena tidak tinggal di rumahnya sendiri.
“Anda mau ke mana?” Asih menegur saat melihatnya menuruni tangga dengan masker dan topi.
“Ke supermarket sebentar,” jawabnya pelan.
“Biar saya saja yang belikan. Nona cukup di rumah.”
Zea tersenyum, mencolek lengan Asih. “Aku bosan. Biarkan aku jalan-jalan.”
“Tapi, Pak Alex melarang--,”
“Daaah, Bu Asiih!”
“Tunggu, Nona!”
Memotong ucapan Asih, Zea berlari ke arah ruang depan dan membuka dengan cepat. Ia sedang bosan dan ingin keluar untuk melihat-lihat. Lagi pula ini kesempatan bagus karena Alexander sedang tidak ada di rumah.
Menerobos pagar yang setengah terbuka, di mana penjaga keamanan sedang lengah, Zea berlari makin kencang dan sedikit terengah saat tiba di jalan raya. Ia menyetop taxi dan memintanya untuk diantar ke mall terdekat.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro