Bab 2b
“Kenapa aku harus pakai ini?” Zea berteriak tak percaya saat Fika menyodorkan kostum padanya. Warna merah tua dari bahan lembut, dan yang membuatnya meradang adalah kostum itu punya topi berbentuk kepala kelinci yang harus ia pakai.
“Kemauan Pak Ernest.”
Zea menepuk dahinya tak percaya. Ia tahu kalau Ernest memang aneh dengan orientasi seksual yang patut dipertanyakan. Laki-laki itu suka meminta artis yang dinaunginya berdandan aneh-aneh dengan alasan seni. Padahal, semua orang tahu kalau itu omong kosong. Ernest hanya ingin melihat tubuh molek para artisnya dengan gratis.
“Orang aneh,” gumam Zea mencopot bajunya di kamar ganti dan memakai setelah rok pendek kotak-kotak serta kemeja tanpa lengan warna putih yang disodorkan Fika.
Selama berganti pakaian, pikiran Zea tertuju pada Ernest dan kelanjutan karirnya. Ia tahu, pasti akan mendapat banyak makian dari Ernest karena gagal menemui laki-laki pemilik PH. Bisa jadi setelah ini, ia akan kesulitan mendapatkan kontrak baru. Mendesah resah, Zea memakai bando kelinci dan menatap bayangannya di cermin. Rok super pendek yang memamerkan pahanya yang jenjang, kemeja tanpa lengan yang ketat membungkus tubuh dengan kancing bagian atas terbuka, serta bando lucu yang dipakainya, ia merasa seperti kelinci percobaan untuk para laki-laki hidung belang.
“Ayo, kita ke atas.” Membuka pintu kamar ganti, Zea menyerahkan pakaiannya pada Fika yang melipat dan memasukkan dalam tas. “Ada siapa saja di atas?”
“Ada beberapa artis pendatang baru, termasuk sainganmu si Anya.”
Zea menghela napas panjang. Berhadapan dengan Anya membuat kepalanya pusing. Bukan apa-apa, gadis yang punya pengikut lebih dari satu juta orang di instagram itu, merasa lebih terkenal darinya. Anya tidak akan suka padanya karena selalu kalah dalam audisi memperebutkan peran.
Mereka naik ke lantai dua menggunakan tangga. Bangunan tempat Ernest bernaung adalah ruko yang disewa per tahun, tidak terlalu bagus tapi karena laki-laki itu mengklaim punya kemampuan mendapatkan kontrak untuk para artis pendatang baru, banyak yang rela datang ke tempat ini.
Fika mengetuk pintu sebuah ruangan dan mendorong Zea masuk. Di dalam ada beberapa orang berjejer menghadap meja besar di mana seorang laki-laki perlente berkepala botak, umur tiga puluhan menatap mereka dengan asap rokok mengepul dari bibirnya. Laki-laki itu melotot dan meraung saat melihat Zea masuk.
“Hah! Masih berani kamu datang kemari, yah!”
Zea meringis. “Masihlah, kostum ini bukannya Bapak yang ngasih?”
Ernest menuding dengan beringas. “Bapak? Kamu panggil aku bapak?”
“Iya, mau apa lagi?”
Bergerak cepat, Ernest mengangkat tangan. Bersiap-siap untuk memukul, sedangkan Zea hanya memejamkan mata. Pasrah dengan nasibnya. Tak lama, terdengar derak kayu beradu dan Ernest melampiaskan amarahnya dengan menedang kursi.
“Kalian semua nggak ada yang becus jadi artis! Kamu Gio!” Ernest menuding pemuda awal 20 tahunan yang berdiri hanya memakai celana boxer tanpa atasan. Ia mengelus sejenak dada Gio sebelum melanjutkan perkataannya. “Masa kamu akting begitu saja nggak bisa? Hah! Kamu baca nggak hujatan nitizen di media sosial kita?”
Gio menggeleng. “Maaf, Kak. Tapi, aku memang lebih suka nyanyi.”
“Halah, kamu nyanyi juga lagumu nggak trending. Kumpulkan dulu followermu di media sosial. Pikat mereka dengan cara apa pun, termasuk jual tubuhmu. Baru kamu bisa melakukan apa yang kamu mau!”
Gio menunduk, Zea merasa kasihan saat melihatnya. Ia memang tidak terlalu akrab dengan pemuda itu, hanya beberapa kali mengobrol. Tapi, ia tahu persis kalau suara Gio memang bagus. Sialnya, mereka terjebak dalam genggaman tangan Ernest dan mau tidak mau harus mengikuti aturan laki-laki itu.
“Kalian semua harusnya mengikuti jejak Anya. Lihat bagaimana caranya menggaet follower. Per hari ini, sudah hampir dua juta pengikut di instagram. Kalian apaaa, hah!”
Dengan genit, Ernest mencubit pinggang Anya yang hari ini memakai bikini merah muda. Gadis itu tersenyum genit dan melempar pandangan mencibir ke arah Zea.
“Paling parah kamu, Zea. Kamu bisa akting, ingin peran baru. Kenapa malah mengingkari janji, hah!”
Zea menunduk, tangannya mencengkeram rok yang ia pakai. Dari awal ia sudah tahu akan dimarahi tapi tidak menyangka akan mendapatkanya saat ada banyak orang. Ia yakin, setelah ini Anya tidak akan berhenti mencibirnya.
“Kenapa diam?!”
Gelegar amarah Ernest membuat Zea mendongak. “Bapak, eh maksudnya Kak, aku sudah datang tapi ada satu hal dan yang lain, nggak ketemu orang itu.”
“Apa maksudnya kamu datang? Jelas-jelas orang itu menunggu hingga pukul 12 malam. Bahkan mengalami mati lampu yang waktunya cukup panjang, dan tidak ada kamu di sana.”
“Aku datang, Kak. Swear deh. Bisa tanya sama resepsionis, tapi ya itu. Ada satu dan hal lain yang membuatku terkena masalah.”
“Halah, dia bohong, Kak.” Anya menyela keras. “Nggak mungkin Bapak itu bohong. Aku’kan sudah pernah bertemu beliau.”
“Nah, iya. Memang Zea saja yang kurang ajar!”
Menahan diri untuk tidak mengamuk, Zea mendengarkan ocehan Ernest yang sesekali ditimpali oleh Anya. Tangannya mengepal, menahan geram. Ingin rasanya ia membungkam mulut Anya yang sudah ikut campur urusannya.
Mereka berdiri hingga satu jam lamanya, sampai ocehan Ernest mereda dan laki-laki itu duduk kembali ke kursinya.
“Aku tidak mau tahu, entah bagaimana caranya kalian naikkan pengikut di media sosial. Terutama kamu, Zea. Terlalu sedikit pengikutmu dibandingkan sama yang ada di sini.”
Saat Ernest mengatakan itu, terdengar dengkus tawa mencemooh dari Anya. Zea tahu, dirinya sedang diremehkan.
“Kalau perlu, kalian buat hubungan pacaran pura-pura. Yang penting, atensi masyarakat tertuju pada kalian.”
Anye mengelus lengan Gio dan mengedip genit. “Kita pura-pura pacaran, bagaimana? Pasti bagus hasilnya. Secara kita berdua punya image yang sama yaitu sexy.”
Gio mengangkat bahu, melepaskan tangan Anya dari lengannya. “Sorry, kalau mau pura-pura, aku lebih memilih Zea.”
Seketika terdengar jeritan memekakkan telinga. Anya tidak terima karena ditolak. Ernest seketika bangkit dari kursi untuk menenangkan gadis itu dan memarahi Gio. Zea yang tidak tahan untuk tetap berada di ruangan, berniat keluar. Baru dua langkah, suara Ernest kembali memanggilnya.
“Ingat, Zea. Kamu harus datang lagi menemui orang itu, kalau kamu mau peran selanjutnya!”
Zea menoleh dan mengangguk lemah. “Film terbaruku kapan rilis, Kak?”
“Minggu depan, tapi entahlah. Nanti aku beritahu!” Ernest melambaikan tangan, mengusir Zea yang menutup pintu dengan wajah ditekuk. Berondongan omelan Ernest membuat harinya memburuk.
“Kak, waktu kita mepet. Ada pemotretan produk kecantikan.” Fika muncul dari belakangnya, membacakan tentang produk yang akan ia iklankan di media sosial. “Fotograper sudah dalam perjalanan.”
Zea mengangguk. “Kamu sewa studio yang biasa?”
“Iya, ayo! Ganti baju saja di sana.”
Melangkah cepat bersamaan, Fika sibuk memesan mobil yang akan membawa mereka ke tempat pemotretan. Tiba di teras ruko, keduanya menunggu mobil jemputan. Zea yang sibuk memikirkan nasibnya, tidak menyadari kehebohan saat sebuah motor melaju cepat menubruk pembatas parkir bersamaan dengan sebuah mobil yang melaju ke arah mereka. Pengendara motor mengeluarkan sepucuk pistol dan menodongkan ke atas. Bunyi letusan senjata memekakkan telinga. Peluru mengenai bagian atas bangunan karena sang penembak memborbardir plang gedung, jendela, dan juga lampu yang membuat benda-benda itu jatuh. Jeritan ketakukan terdengar memekakkan telinga.
Dari arah pintu masuk, sebuah mobil sport merah melaju kencang dan berhenti tepat di depan mobil sewaan Zea. Sang pengendara, mengeluarkan senjata dan menembak pengendara motor. Peluru mengenai badan kendaraan dan membuat si pengendara melarikan motornya keluar.
Zea duduk gemetar di tempatnya. Tangannya menutupi kepala sementara serpihan kaca mengenai tubuhnya. Di sampingnya, Fika pun melakukan hal yang sama. Tangisan pecah dari mulut gadis itu.
“Bangun! Ayo, ikut!”
Saat Zea belum sadar apa yang terjadi, tubuhnya ditarik berdiri oleh sebuah lengan yang kokoh dan memaksanya masuk ke dalam mobil merah. Tak lama, Fika pun menyusul duduk di sampingnya. Keduanya duduk gemetar, dengan air mata berlinang.
“Kita ke rumah. Panggil dokter!”
Zea menghapus air mata dan menatap laki-laki yang berada di jok depan. Ia melotot, saat melihat sosok Alexander. Laki-laki itu sibuk mengelap tangan dengan tisu sementara sang asisten yang berada di belakang kemudi, terdengar menelepon dokter.
Menyadari dirinya diperhatikan, Alexander menoleh dan menatap Zea lekat-lekat. “Kalian ke rumahku dulu. Akan ada dokter yang merawat.”
Zea mengedip, merasakan tusukan rasa perih di kulitnya. Bisa jadi, beberapa serpihan kaca mengenai tubuhnya.
“Apa kepala kalian baik-baik saja? Ada yang tertimpa sesuatu?”
Kali ini, baik Zea maupun Fika menggeleng bersamaan. Keduanya terlalu kaget untuk bisa bicara.
“Bagus, berarti hanya luka gores. Tapi, biar dokter yang memastikan.”
Zea mengangguk kecil, merasakan Fika yang meremas tangannya dengan gemetar. Peristiwa yang baru saja terjadi, seolah membuat jantungkan meloncatk keluar. Tubuhnya keluar keringat dingin dan bergetar dengan hebat.
Ia tidak tahu apa yang terjadi dan kenapa ada tembak menembak di area ruko yang semula tenang. Apakah orang-orang itu mengincar salah satu dari artis Ernest? Karena tembakan ditujukan tepat di bangunan yang dihuni Ernest.
Menyandarkan kepala ke kursi, Zea memandang jalanan yang ramai. Masih tidak percaya, di siang bolong terjadi penembakan. Ia kira, hal semacam itu hanya ada dalam film. Ternyata, benar terjadi di kehidupan nyata dan sangat mengerikan menurutnya.
Bisa jadi karena ketakutan hingga tak sanggup bicara, Zea baru menyadari mereka tiba di rumah Alexander saat mobil berhenti. Seorang pelayan bergegas membantunya membuka pintu.
“Ayo, keluar!” perintah Alexander.
Zea bertukar pandanf dengan Fika lalu bersamaan keluar dari mobil. Menegakkan tubuh sembari mengernyit menahan sakit, Zea tidak menyadari Alexander menghampirinya.
“Selamat datang di rumahku, Bunny!”
Tangan Alexander menyentuh pelan topi kelinci yang dipakainya dan seketika Zea sadar kalau dirinya masih memakai kostum. Rasanya ingin menghilang ke bumi saat rasa malu mengalahkan rasa sakit di tubuh Zea.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro