Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 1b

#Suami_365_Hari
#Bab_1b
#Roman_Dewasa

**

Listrik terputus sambungannya. Hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya karena mereka punya genset yang membantu agar aliran listri tetap menyala. Alexander sibuk, dan meminta para teknisi untuk memeriksa di mana letak masalahnya. Malam ini, ada banyak tamu penting datang dan ini akan menjadi masalah besar bagi citra klubnya.

"Pak, para VIP sudah menunggu di lantai lima." Alexander menoleh pada asistennya, seorang laki-laki pertengahan tiga puluhan dengan rambut panjang sepundak yang diikat rapi.

"Ada di mana mereka?" tanya Alexander dengan mata tertuju pada teknisi yang sedang memperbaiki generator listrik.

"Di lantai lima, ruangan nomor 70."

Alexander menatap sang asisten. "Kamu di sini, Stefan. Biar aku ke atas. Awasi dulu dan usahakan agar menyala secepatnya."

Stefan mengangguk. "Baik, Pak."

Melangkah tergesa menembus kegelapan, Alexander naik menggunakan penerangan dari ponsel. Saat tiba di lantai dua, ia teringat dengan seorang gadis yang meminta pertolongannya. Benaknya bertanya-tanya, siapa gadis itu dan kenapa ada di klubnya dalam keadaan ketakutan. Terbersit di pikirannya kalau gadis itu sedang berbohong, tapi ia juga belum menemui laki-laki yang memburu gadis itu. Karena saat ia turun untuk mengecek siapa saja yang datang ke klub, listri mati tanpa diduga dan membuat semua orang panik.

Tiba di lantai lima, Alexander mengerjap saat listrik menyala. Ia mengembuskan napas lega, akhirnya klub bisa kembali normal. Menyusuri lorong yang agak temaram, ia menuju room 60 dan melihat beberapa orang bergerombol di depan pintu.

Alexander mendesah, merasa tidak nyaman karena harus berurusan dengan para orang tua itu. Paling tua bernama Pramono, pejabat tinggi negara setingkat menteri, dengan tubuh gemuk pendek dan rambut berminyak. Hobinya adalah mengoleksi mobil antik dan tentu saja wanita cantik. Ada pula Lasmada, dengan perawakan tinggi kurus adalah seorang bankir yang ia tahu sedang di ambang kesulitan karena banknya bermasalah dalam keuangan. Desas-desus mengatakan, laki-laki itu sedang mencari investor untuk menyelamatkan bukan hanya banknya tapi juga harga dirinya karena sang istri terlibat perselingkuhan dengan manajernya sendiri.

Berdiri di deretan paling belakang, bertubuh tinggi dengan wajah menawan meski sudah berusia empat puluh tahunan, adalah Emran. Seorang pebisnis ulung di bidang property, hobinya mengkoleksi binatang langka dan juga, hobi menikahi artis-artis muda untuk kemudian diceraikan setelah beberapa bulan. Alexander merasa, lingkup pergaulannya sungguh tidak bagus, tapi apa daya ia membutuhkan mereka semua.

"Maafkan saya atas ketidaknyamanan kalian, Bapak-Bapak yang terhormat!"

Ia menyapa ramah dengan tangan menangkup di depan dada. "Harap maklum, kesalahan teknis yang di luar perkiraaan."

Beberapa orang itu tersenyum meski dengan enggan. Seorang laki-laki kurus tinggi dengan kacamata bingkai emas, menatap Alexander sembari berdecak.

"Alexander, ada apa dengan klub kamu? Bukankah seharusnya ini tidak terjadi di klub yang eksklusif seperti ini?"

"Maaf, Pak Lasmada, saya salah. Sungguh semua terjadi di luar dugaan. Bisa kita masuk lagi sekarang?" Alex memegang gagang pintu dan membukanya. Tak lama, terdengar jeritan dari seorang pegawai wanita berseragam yang berdiri di depan room paling ujung.

"Ada apa itu?" Para laki-laki yang sedang berkerumun, saling pandang satu sama lain. Dipimpin oleh Alexander mereka menuju room paling ujung, tempat pelayan wanita berseragam menjerit.

"Apa apa?" tanya Alexander padanya.

"It-tu, Pak." Dengan gemetar, pelayan itu menunjuk ke arah dalam. Alexander melongok dan tertegun di tengah pintu, menatap seorang wanita tergeletak di atas sofa dengan rambut dan pakaian berantakan. Bisa dikatakan wanita itu setengah telanjang karena bagian bawah tubuhnya terbuka. Alexander dengan sigap meraih mantel yang diduga milik sang wanita untuk menutupi bagian bawah tubuhnya.

"Kita telepon polisi dan ambulan," ucap Pramono saat melihat kondisi si wanita. "Sepertinya, ia mengalami hal buruk."

Alexander tidak mengatakan apa pun, membiarkan mereka memanggil polisi sementara ia berdiri mematung di ujung sofa, menatap wajah wanita yang tergelatak tak sadarkan diri di hadapannya. Ia tahu, wanita itu belum mati. Bisa jadi pingsan atau teler karena alkohol. Namun, ia tahu satu hal kalau wanita itu mengalami perundungan, oleh siapa dan di mana, ia tidak tahu. Apa yang terjadi sekarang membuatnya bingung. Gadis yang diburu di tangga, listrik yang mati tiba-tiba, dan mendapati seorang wanita tak sadarkan diri di room, Alexander merasa ada yang salah dengan semuanya. Namun, ia belum tahu ada apa.

**

Zea menguap, merasa tubuhnya pegal bukan kepalang. Ia bangkit dari ranjang, menuju dapur kecil yang berada di bagian depan dekat pintu masuk. Apartemennya tipe studio, yang keseluruhan ruangan bisa dilihat hanya sekali pandang dari pintu.

Ia menyalakan kompor dan memasak air di panci kecil. Perutnya keroncongan dan ingin membuat mie instan. Saat merobek bungkus mie dan menuang bumbu ke piring, ingatannya tertuju pada kejadian tadi malam. Tiba-tiba ia merasa wajahnya memanas. Bagaimana tidak, kalau ada seorang laki-laki tampan yang menciumnya tiba-tiba. Memang, apa yang dilakukan Alexander untuk menyelamatkannya, tetap saja itu mengejutkan. Tanpa sadar jarinya terulur, membelai bibir bagian bawah dan seketika ia merasa bulu kuduknya meremang.

"Dasar bego! Aduuh, ciuman melulu yang diingat!" Zea memukul dahinya sendiri, mengangkat mi dari air mendidih dan menungkan dalam piring.

Ia duduk di meja kecil yang menempek tembok, lalu membuka ponsel. Membuka media sosial dan merasa sedih karena akunnya sepi dari komentar dan minim like, ia pusing memikirkan cara untuk mendapatkan perhatian masyarakat.

"Apa aku harus foto telanjang?" gumam Zea sambil mengunyah. "Atau menjalin hubungan dengan aktor jelek tapi terkenal, melakukan pernikahan settingan? Ih, menjijikan."

Semakin banyak yang dipikirkan, ia semakin ngeri. Ia memang ingin mencari follower dan menambah popularitas tapi tidak dengan cara murahan seperti itu.

Matanya membulat saat melihat headline berita di media sosial. Klub milik Alexander terkena masalah, seorang wanita ditemukan over dosis obat terlarang dan nyaris mati karena diperkosa.

Sendok yang dipegang oleh Zea jatuh seketika. Ia melongo lalu mengucek mata, memastikan tidak salah baca. Tangannya memegang ponsel dengan gemetar saat melihat semua akun gosip memberitakan itu.

"Ya Tuhan." Zea memijat pelipis dan menyadari kalau apa yang ia curi dengar semalam menjadi kenyataan. Ada sekelompok orang yang berniat menjebak Alexander. Seketika ia menyadari betapa gawatnya masalah yang terjadi. Hilang sudah selera makannya, dan ia memikirkan nasib Alexander.

Bel pintu berdering membuat Zea berjengit kaget. Ia bangkit dari kursi untuk melihat siapa yang datang dari lubang pengintai dan mendapati asisten pribadinya, berdiri di depan pintu.

"Kak, bagaimana kabarmu? Apa kamu baik-baik saja?" Fika menyerbu masuk dan memerika keadaan Zea dari atas ke bawah.

"Aku baik-baik saja, kenapa panik begitu?" tanya Zea heran. Ia membiarkan Fika menutup pintu, melangkah menuju kasur dan merebahkan diri di atasnya.

"Kakak bisa-bisanya tenang begitu? Pak Ernest mengamuk di ponsel tadi, katanya Kakak menggagalkan rencana pertemuan tadi malam tanpa komformasi."

"Iya, memang," jawab Zea malas. "Lagi pula, kamu juga nggak setuju aku ketemu sama pemilik PH yang hidung belang itu'kan?"

Fika mengangguk. "Memang, tapi nggak gini caranya. Sekarang, kamu mandi dan bersiap-siap, Kak. Kita harus menemui Pak Ernest."

"Kenapa aku harus menemui dia?"

"Untuk meminta maaf tentu saja, kalau tidak peran Kakak di film terbaru akan dicancel."

"Sial!" Zea memaki pelan. Merasa kalau nasib sedang mempermainkannya. Ia baru saja menyelesaikan peran pembantu di sebuah film yang akan segera tayang, setelah itu berharap mendapat peran baru. Siapa sangka, kalau Ernest mengancamnya dengan peran itu.

"Ayo, Kak. Siap-siap."

Meski enggan, Zea bangkir dari ranjang, menuju kamar mandi. Ia mengguyur tubuh dengan pikiran dipenuhi tentang Ernest dan Alexander. Ia tidak tahu apa yang akan menimpa Alexander selanjutnya, ia hanya berharap laki-laki itu mampu mengatasi masalah dengan baik.

Memakai celana jin dan kaos putih, Zea keluar dari unitnya ditemani Fika. Ia memakai kacamata hitam untuk menyamarkan wajah, meski itu sebenarnya tidak perlu karena tidak banyak penghuni apartemen ini yang mengenalnya.

"Kakak semalam pulang naik apa?" tanya Fika saat mereka keluar dari lift.

"Diantar orang."

"Hah, siapa?"

"Ada deh. Orang yang baik--,"

Ucapan Zea terputus saat di tengah lobi ia mendapati sesosok laki-laki tinggi berkacamata hitam. Laki-laki itu tampan dengan karisma yang begitu kuat memancar dari wajahnya. Memakai kemeja biru laut dengan lengan ditekuk hingga nyarus mencapai siku, dan celana abu-abu gelap, Zea merasa kalau Alexander sedang berpose untuk iklan pakaian.

"Kenapa aku ngrasa kenal dia?" bisik Fika padanya.

Zea terdiam dan ia melihat Alexander melambaikan tangan, memintanya mendekat.

"Kok, dia manggil kita, Kak?" Lagi-lagi Fika bertanya heran.

"Kita ke sana."

Mengabaikan keheranan Fika, Zea melangkah mendekati tempat Alexander berdiri. Ia tahu, dirinya sedang dalam masalah saat laki-laki itu membuka kacamata hitamnya dan menatap tajam tak berkedip ke arahnya.

"Ikut aku!"

Singkat, padat, tanpa basa-basi, Alexander mengucapkan perintahnya dan Zea menghela napas panjang, merasa kalau sekarang waktunya tiba untuk membalas perbuatan laki-laki itu karena sudah menyelamatkannya tadi malam.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro