Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 1a

Bangunan megah berdinding kaca, dengan atap bentuk segitiga berhias lampu warna-warni, berdiri angkuh di tengah padatnya kota. Bising klakson bersahutan di jalan, kontras dengan kesunyian dan ketenangan yang ditawarkan oleh penjaga klub saat membuka pintu kaca.

“Mari, silakan masuk, Nona.”

Penjaga itu, laki-laki usia awal tiga puluhan dengan tubuh tinggi gempal, tersenyum ramah. Sementara partner kerjanya, laki-laki dengan usia yang sama, hanya bentuk badan agak kurus, menatap tajam tanpa senyum. Seakan-akan pandangannya memberi peringatan untuk tidak berbuat macam-macam di sini atau dia akan melemparkan siapa pun yang berulah  tanpa ampun.

Zea melangkah gemetar, di atas sepatu berhak tinggi 12 sentimeter warna hitam. Ia berusaha untuk tetap tenang, meski tubuhnya bergetar hebat. Resepsionis memberikan informasi  room yang harus ia tuju,  menggunakan lift ia naik ke lantai lima.

Merapatkan mantel, Zea berusahan menahan gigil karena pendingin ruangan. Malam ini, pakaian yang ia kenakan berupa minidress sangat pendek dengan bagian atas berupa tali kecil. Memakai wig merah, ia menatap bayangannya di dinding lift dan menunduk karena terlihat seperti wanita murahan yang ingin menjajakan diri.

“Datang ke Orion Club pukul 10 malam, jangan sampai telat dan tunjukkan pesonamu pada mereka.”

“Kenapa aku harus menemui orang itu?” Zea sempat menolak perintah itu dan seketika terdengar desisan mengancam.

“Kamu mau jadi artis kelas bawah terus atau mau naik peringkat? Hanya orang itu satu-satunya yang bisa membantumu. Kecuali, kamu punya koneksi yang bisa memberimu jalan? Zea Aureli, siapa yang kamu punyaa? Siapa?”

Zea menggeleng lemah. Sebagai artis pendatang baru, keadaannya memang serba sulit. Ia dihadapkan pada banyak kenyataan kalau memang kancah dunia hiburan justru untuk mereka yang sudah punya nama, entah itu dari orang tua, atau pun karena punya kekasih orang terkenal. Sedangkan dirinya? Bukan siapa-siapa. Hanya gadis biasa yang sedang mencoba peruntungan menjadi artis.

Ucapan pimpinan agency tempatnya bernaung, sempat membuatnya bingung dan sedikit ketakutan. Bagaimana mungkin ia pergi menemui laki-laki yang tidak ia kenal, berpakaian seperti pelacur demi mendapatkan sebuah peran. Bahkan asisten pribadinya pun, sangat menentang keputusannya.

“Jangan ke sana, Kak. Ada banyak cara lain untuk meniti karir. Tidak harus seperti itu.” Fika berusaha melarangnya. Gadis berkacamata yang sudah dua tahun ikut dengannya itu, berucap dengan wajah bersimbah air mata. “Mana perginya sendirian pula. Nanti siapa yang mau jagain?”

“Memangnya kalau kamu ikut bisa jaga aku? Nggak juga, Fika. Lagipula, nggak akan ada apa –apa di sana. Aku hanya merayunya untuk peran itu saja.” Jujur saja, Zea merasa tidak yakin dengan ucapannya, tapi ia berusaha menenangkan diri sendiri.

“Lalu, bagaimana kalau laki-laki itu tergoda dan minta Kakak melayani tidur?”

Hal itu sama sekali belum terpikir dalam benak Zea. Ia hanya ingin berpikiran positif kalau merayu laki-laki itu untuk mendapatkan peran tanpa harus melucuti pakaiannya. Meski penampilannya bisa dibilang sangat menggoda.

Keluar dari lift dengan gugup, Zea melangkah perlahan menyusuri koridor antar ruangan yang sepi dan temaram. Ia bingung, kenapa tempat semewah ini bisa begitu sepi. Tidak ada orang yang ia temui untuk ditanya. Ia sedikit kebingungan dengan susunan ruangan dan kesulitan mencari room no 58, tempat orang itu menunggunya. Lorong panjang dan berkelok-kelok, makin mempersulit pencariannya.

Menyusuri koridor yang sepi, Zea bisa mendengar ujung sepatu sepatunya beradu dengan lantai. Ia mendapati ada tangga bawah darurat di sisi kanan tidak jauh dari lift. Menggaruk kepala karena wig yang ia pakai terasa tidak nyaman, Zea melanjutkan langkahnya.

Setelah pencarian agak lama, akhirnya ia menemukan room no 58. Zea menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari pelayan. Karena nomor delapan yang tertera pada pintu, sedikit aneh bentuknya. Tidak ingin salah kamar, ia berniat bertanya tapi tidak satu pun yang bisa ia tanyai. Saat tangannya menyentuh daun pintu, Zea kaget karena ternyata pintu dalam keadaan sedikit terbuka. Ia berniat masuk dan menyapa saat terdengar suara samar dari dalam.

“Rencana kita bisa dijalankan malam ini?”

“Sedang berjalan di room sebelah. Tentu kita tidak bisa mendengar jeritannya karena teredam.”

Tawa mesum setengah senang, keluar dari mulut mereka.

“Awasi Alexander.”

“Sudah, belum datang.”

“Begitu dia datang, matikan listrik.”

“Bagaimana dengan CCTV dan lainnya?”

“Sudah kami bereskan.”

“Bagus, sudah tak sabar rasanya ingin membuat anak sombong itu terkapar di lantai dan menyembah kaki kita. Selama ini, dia berpikir bisa menekan kita hanya karena merasa sebagai pemilik tempat ini.”

“Jangan kuatir, Pak. Serahkan semua pada saya dan kawan-kawan!”

“Alexander itu, hanya anak kemarin sore yang merasa di atas angin mengandalkan sisa-sisa ketenarannya. Dia merasa dirinya paling suci dengan beranggapan kalau moral bisa dijaga di tempat seperti ini. Berani menentangku? Lihat bagaimana nanti namanya aku bikin hilang!”

“Hahaha! Bukan hanya nama yang hilang tapi juga kepalanya juga akan hilang oleh kami!”

Suara gumaman bercampur tawa tertahan, terdengar dari dalam ruangan. Zea melihat ada sekitar lima laki-laki duduk mengelilingi sofa. Dua di antaranya tidak terlihat wajah karena duduk membelakangi pintu. Pembicaraan mereka tentang menghabisi nyawa seseorang, membuatnya ketakutan. Ia menutup pintu perlahan dan berniat kabur saat terdengar teriakan dari dalam.

“Hei, siapa itu!”

Membalikkan tubuh, Zea berlari menjauh. Di tengah lorong ia hampir menabrak tiga orang bertubuh tegap. Untung saja, ia berhasil menghindari mereka. Mencopot sepatunya, ia berlari ke arah lift saat teriakan kembali terdengar di belakangnya.

“HEI, TANGKAP ORANG ITUU!!”

Jantung Zea bagai dipacu keluar, saat ini ia berdiri di depan lift dan nyaris terjatuh saat seorang wanita entah datang dari mana, menubruknya.

“Tolong akuuu.” Wanita itu merintih dan Zea melotot saat mengenali wajahnya.

Ia terjebak antara menolong wanita yang sedang bersimpuh dengan gaun robek atau menyelamatkan diri. Tercium aroma alkohol yang sangat menyengat dari mulut wanita, dengan penampilan acak-acakan dan ada memar di wajah. Wanita itu menarik mantel Zea  hingga terlepas dan membuatnya hampir terjerembab. Memencet lift dengan panik, saat pintu terbuka, ia memapah wanita itu ke dalam.

“Ayo, masuk!”

Wanita itu masuk tertatih dengan mantel Zea berada dalam genggamannya. Saat pintu lift hendak menutup, Zea melihat ponselnya tergeletak di lantai. Ia buru-buru keluar untuk mengambil tapi sial, lift menutup dan turun.

Zea menyumpah dalam hati, merutuki kebodohannya. Menoleh ke kanan dan kiri, ia menyambar ponsel dan sepatu lalu berlari menuruni tangga darurat.

“Kejar diaa! Ke mana larinya!”

Suara-suara itu terdengar makin dekat, Zea setengah berlari menuruni tangga darurat berpenerangan remang-remang. Terengah karena kehabisan napas dan dadanya sesak, kakinya sakit karena berlari tanpa alas. Mendadak ia tertegun, saat menatap sosok laki-laki yang berdiri di sudut. Sepertinya, laki-laki itu sedang menelepon. Saat mendengar langkahnya, laki-laki itu mendongak dan matanya melebar. Seketika, Zea mengenali siapa laki-laki itu.

“Tolong aku! Toloong!” Tanpa memedulikan rasa malu, ia menubruk laki-laki itu dan bergayut di lengannya. “To-tolong aku. Mereka mengejarku.”

Laki-laki itu mengibaskan Zea dari tubuhnya. “Siapa kamu?” ‘

“A-aku tak bersalah.”

Suara-suara langkah kaki di ujung tangga semakin mendekat. Zea merapatkan tubuh dan merenggut kemeja laki-laki itu.

“Aku tahu siapa kamu, mereka sedang merencanakan sesuatu untuk menjebakmu,” ucapnya terengah.

“Apa?” Laki-laki itu bertanya bingung.

“Kamu Alexander bukan? Me-mereka berniat menjebakmu. Percaya padaku. To-tolong. Selamatkan akuu.”

Alexander menatap gadis yang sekarang bergayut di dadanya. Wajah gadis itu terlihat sangat dekat dengan napas memburu. Ia tidak tahu, apakah gadis yang sedang meracau ini berbohong atau tidak.

“Kamu mungkin tidak percaya padaku. Kalau memang harus bayar, aku bersedi. Ta-tapi, selamatkan aku. Tolong!”

Gadis itu memelas dengan mata basah. Ketakutan terlihat jelas di wajahnya yang memerah. Alexander bisa mendengar teriakan-teriakan di anak tangga, ia menduga mereka sedang mencari gadis ini. Mereka jelas bukan para penjaganya karena tidak mungkin mencari gadis yang hilang di dalam klub sambil berteriak.

Entah apa yang mendasarinya, Alexander mengangkat dagu gadis di depannya dan berucap serius.

“Aku akan menolongmu tapi ada harga yang harus kamu bayar!”

Zea mengangguk serius. “Iya, aku bersedia.”

“Pakai sepatumu.”

Menuruti perintah Alexander, Zea memakai sepatunya dan saat ia meneggakkan tubuh, laki-laki itu meraih pinggangnya dan menghimpitnya ke dinding. Membuat Zea terperangah kaget.

“Kamu pakai wig?”

“Iya.”

“Copot!”

Dengan gemetar Zea mencopot wig dan memberikan pada Alexander yang menyembunyikan di balik punggungnya. “Himpit, jangan sampai jatuh.”

“Hei, ada suara orang di bawah!” Para pemburu berteriak.

Alexander merobek bagian atas gaun Zea dan tidak memedulikan gadis itu yang melotot. “Kamu ingin selamat bukan? Ikuti caraku!” desisnya di telinga gadis itu.

Ia mengangkat sebelah paha Zea untuk ditopangkan ke atas pahanya dengan tubuh saling menempel satu sama lain. Tanpa kata, Alexander menyerbu Zea dengan ciuman yang panas. Tidak memberikan kesempatan pada gadis itu untuk menolak, ia melumat dan memagut bibir Zea. Erangan napas keduanya terdengar nyaring di tangga saat tangan Alexander bergerilya di tubuh Zea dan membuat gadis itu merinding.

Bagaimana tidak, Zea yang belum pernah berciuman seumur hidup, kini merasakan panasnya bibir laki-laki itu melumat mulutnya dengan tangan Alexander memggerayangi pundaknya yang terbuka, pinggang lalu pahanya yang bertengger di atas paha lak-laki itu. Zea merasa tubuhnya memanas dengan bibir basah karena ciuman.

“Siapa itu!”

Suara teguran menghentikan ciuman Alexander. Ia mengembuskan napas panjang dan meletakkan kepalanya di ceruk leher Zea. Bersikap seakan-akan sedang meredakan gairah yang terganggu.

“Siapa kamuuu!”

Kali ini, Alexander menoleh dan menatap tiga orang yang berdiri di anak tangga. “Kalian tidak mengenaliku?”

Ketiganya melebarkan mata dan saat melihat wajah Alexander mereka mengangguk gugup. “Pak, kami sedang mencari seorang wanita. Apa dia ke arah sini?” Salah seorang dari mereka bertanya.

Alexander menyipit dengan lengan tetap memeluk Zea dan berusaha menyembunyikan wajahnya. “Memangnya, kalian siapa berani memburu wanita di klubku? Siapa yang menyuruh kalian?”

Mereka bertiga saling pandang lalu salah satu membantah. “Kami disuruh boss kami!”

“Siapa boss kalian? Sampai berani menggangguku! Hah!”

Lagi-lagi mereka terdiam dan saling berpandangan. Lalu, serentak ketiganya mengangguk hormat. “Maaf! Silakan dilanjut!” Tanpa kata, ketiga berbalik dan kembali berderap ke arah lantai atas.

Setelah beberapa saat dan dirasa keadaan sudah aman, Alexander melepaskan tubuh Zea. Ia mengamati bagaimana gadis itu berusaha berdiri tegak di atas sepatunya dan bersandar ke tembok dengan mata terpejam.

Alexander mengusap bibirnya, memencet ponsel untul melakukan panggilan, tak lama seorang laki-laki datang. Dengan suara tegas ia memberi perintah.

“Bawa gadis itu keluar lewat pintu belakang. Lakukan hati-hati, jangan sampai ada melihat. Antar dia sampai rumah!”

“Siap, Pak!”

Alexander menatap Zea dan mengamati sesaat bagaimana gadis itu sekarang terlihat gugup. “Jangan lupakan janjimu!” tegasnya.

Zea mengangguk kecil, mengamati Alexander yang menghilang di tangga bawah. Sementara ia berusaha meneggakan tubuh dan mengikuti laki-laki yang ditugaskan untuk menolongnya. Sungguh malam yang ajaib, pikir Zea dengan langkah tertatih. Ia yakin, kalau tidak ditolong oleh Alexander, bisa jadi nyawanya akan melayang malam ini.

**
Enjoy cerita baru. Komen dan like menentukan kelanjutan cerita ini dan satu lagi Pengantin Tawanan yang akan tayang besok

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro