Bab 13b
Syuting dilanjut setelah jeda dua hari. Kali ini, Zea beradu akting dengan Anastasia yang berperan sebagai wanita kerabat Marlee yang suka menyiksa. Zea berusaha meredam jantungnya yang bergejolak, karena tahu ada part di mana ia diharuskan untuk berkelahi dengan Anastasia.
Sakha datang saat ia sedang dirias dengan tampilan Marlee yang compang-camping. Laki-laki tampan itu menarik kursi di sebelahnya dan tersenyum ramah.
“Zea, apa kamu gugup?”
Zea menoleh dan mengangguk. “Sedikit.”
“Karena Anastasia?”
“Karena kami akan berkelahi tepatnya!”
Keduanya berpandangan lalu tergelak. Semua kru syuting tahu kalau hubungan Zea dan Anastasia kurang bagus. Dengan status istri dan mantan pacar Alexander yang beradu peran di film yang sama, cukup menimbulkan kegaduhan di kolom berita gosip. Bagi Zea sendiri tidak masalah karena ia tidak menyukai wanita itu. Namun, ia tidak akan membiarkan dirinya diinjak-injak tentu saja.
Sakha terdiam lalu menatap Zea dengan serius. Memperhatikan bagaimana wanita itu memejam saat wajahnya dipoles. Meski sudah dibuat sedemikian jelek, tidak bisa menyembunyikan kecantikan dari Zea.
“Sakha, aku bawa kolak labu kuning. Ada di mobil, istirahat jangan lupa dimakan.” Zea mendadak membuka mata dan bicara cepat.
“Kamu bawa kolak buat aku?” tanya Sakha sedikit keheranan.
Zea mengangguk. “Iya, bukannya kamu suka kolak? Bukan aku yang buat,sih, tapi koki di rumah. Dijamin enak, aku sudah nyobain.”
Sakha menatap tanpa kata, tidak menyangka kalau Zea akan sedemikian mendengarkan ucapannya. Ia hanya sambil lalu mengatakan pada gadis itu suka kolak tapi ternyata Zea mendengarkan. Sebuah perhatian kecil yang cukup membuatnya tersentuh.
Syuting dimulai setelah lokasi selesai diatur. Zea bangkit dari kursi, bersamaan dengan Anastasia yang baru keluar dari ruang rias.Mereka berpandangan dengan penuh permusuhan saat memasuki lokasi. Namun, saat sutradara mulai memberi pengarahan, wajah keduanya mulai berubah serius. Di luar mereka boleh saja bersiteru tapi saat ini, keduanya dituntut untuk tampil professional.
“Ingat, part ini sangat krusial. Di mana Marlee mengalami perundungan sangat parah dilanjut dengan dia pergi, lalu bertemu dengan lima laki-laki berandal. Zea, Anastasia, kami mengandalkanmu,” ucap sang sutradara.
Begitu sutradara berteriak ‘action’ Zea memejam dan saat membuka mata, ia adalah Marlee. Gadis yatim piatu yang disia-siakan oleh sekitarnya.
“Marlee, ke sini lo. Dasar murahan! Brengsek!”
Anastasia merengsek maju, melontarkan sumpah serapah. Zea terduduk di tanah dengan wajah memucat. Sebagai Zea ia akan melawan saat dihina, sebagai Marlee ia hanya bisa patuh dalam ketakutan. Ia merintih saat Anastasia menggamparnya. Hal yang dilakukan secara berulang-ulang, alhasil saat syuting break, Zea merasa pipinya sakit.
“Sial! Kayaknya dia bukan berakting tapi lagi dendam pribadi sama aku.” Zea merintih saat Fika membantunya mengoles salep untuk menyembuhkan memar.
“Pukulannya kuat sekali. Aku sampai takut.”
“Memang, mana berulang kali. Semoga saja tulang pipiku nggak retak.”
“Masih sakit? Perih nggak?” tanya Fika kuatir, menatap pipi Zea yang membiru.
“Nggak perih tapi masih sakit.”
“Aduh, jangan sampai berbekas. Takut Pak Alex lihat, nanti marah.”
“Nggaklah, ini’kan lagi kerja.”
Saat itulah Anastasi melewati mereka, dari senyum wanita itu Zea seperti melihat dendam terselubung. Ia memejam, membiarkan Fika mengompresnya dengan es. Rasa dingin di pipi sedikit membantunya mengurangi rasa nyeri.
“Ini pengambilan gambar terakhir. Kita pulang,” ucap Zea.
“Oke, aku rapiin barang-barang kita dulu, Kak.”
Sepeninggal Fika, Zea memejam dengan es batu di tangan. Pikirannya mengembara soal Alexander. Seharian ini suaminya tidak mengirim kabar. Ia menduga, pasti karena kesibukan yang menuntut perhatian. Ia menyingkirkan perasaan kesal, yang entah kenapa menyeruak begitu saja dari dalam dadanya. Ia sudah mengingatkan diri sendiri untuk tidak terbawa perasaan pada suaminya, tapi sejujurnya itu hanya teori baginya. Bagaimana tidak, di pikiran, hati, dan ingatannya hanya soal Alexander.
“Zea, kamu sakit?”
Zea membuka mata, menatap sosok Sakha yang melihatnya kuatir. Ia mengerjap saat lampu yang tepat berada di atasnya mengedip cepat. Sepertinya sedang konslet.
“Kayaknya lampunya konslet,” ucapnya menunjuk lampu.
Sakha menatap lampu besar yang biasa digunakan untuk syuting. Lampu itu ada penyangganya dan terlihat begitu besar.
“Kenapa lampu ini ada di sini? Emangnya kita mau ambil gambar?” tanya Sakha heran.
Zea mengangkat bahu. “Nggak tahu juga. Perasaan tadi nggak ada.”
“Nanti aku suruh kru pindahin. Seram amat kalau dekat gini.” Sakha menoleh, tersenyum pada Zea. “Ngomong-ngomong kolaknya enak. Makasih.”
Zea seketika tersenyum cerah. “Syukurlah kalau kamu suka. Nanti kapan kapan aku bawain lagi.”
“Kamu baik banget,” puji Sakha tulus.
“Ah, nggaklah. Kita’kan teman. Eh, bukan. Kamu sahabat suamiku.”
Perkataan Zea membuat Sakha tergelak, ia mengambil kursi dan duduk di depan Zdea. “Jado, kamu nggak mau temenan sama aku kalau bukan Alex?”
“Iya, nggak gitulah. Kita’kan mitra. Ngomong-ngomong, saat kalian dulu masih bersama, apa kamu dekat sama suamiku?”
Sakha mengangguk. “Sangat dekat. Bisa dikatakan kami seperti saudara kembar tapi tak sedarah.”
“Bagaimana dia dulu?” tanya Zea ingin tahu. “Maksudku sikap dan sifatnya. Sekarang’kan sudah pengusaha jadi ada wibawa yang harus dijaga. Kalau dulu hanya idol!”
Memiringkan kepala, Sakha berusaha mengingat masa lalu. Senyum kecil terkulum di bibirnya. Menatap Zea, ia berujar dengan nada geli.
“Dari dulu, Alexander itu bersikap sok bossy sama kami. Seolah-olah dia itu pemimpin kami.”
“Wah, ternyata dia udah dari dulu gitu,” decak Zea.
“Bukan tanpa alasan dia begitu. Semua yang dilakukannya memang untuk kemajuan kita. Anggota paling muda dan paling pemberontak adalah Rauf. Tidak suka diatur dan akibatnya jadi sering ribut dengan Alexander. Namun, di atas panggung kami tetap kompak satu sama lain. Tidak ada perselisihan karena hal pribadi.”
Zea mengangguk, mendengarkan cerita Sakha tentang masa lalu suaminya. Menelaah dan menarik kesimpulan kalau sikap Alexander dari dulu sampai sekarang tidak berubah. Seorang pemimpin yang punya banyak rencana masa depan.
“Kalau boleh tahu, apa yang membuat suamiku keluar dari grup kalian?”
Pertanyaan Zea membuat Sakha menegakkan tubuh. Laki-laki tampan itu terdiam sesaat. “Alex nggak cerita sama kamu?”
Zea menggeleng. “Aku belum berani tanya.”
“Oh, cobalah kamu tanya dia dan kita cocokkan apakah jawabannya sama.”
“What? Apakah ada sesuatu yang serius selain ketidakcocokan?”
Sakha mengangguk. Ekpresi wajahnya kini terlihat murung. Zea yang melihatnya jadi kuatir dan tidak enak hati.
“Ada apakah? Kalau boleh tahu.”
“Karena Kyra.”
“Kyra? Siapa itu?”
“Adikku. Penyebab Alexander mundur dari grup.”
Zea ternganga bingung. Ia menatap Sakha dan saat hendak bertanya lebih lanjut, perhatian terpecah oleh lampu besar yang kini bergoyang menyeramkan karena ada seseorang yang secara tidak sengaja menyenggolnya.
“Ada apa?” tanya Sakha melihat arah pandang Zea. Ia melompat dari kursi dan menubrukl Zea tepat saat lampu bergoyang dan ambruk di tempat mereka duduk. Lampu pecah, mengenai Sakha. Semua orang panik dan Zea yang merasakan hangat darah mengalir di telapak tangannya, berteriak kencang.
“Sakhaaa!”
**
Terima kasih sudah mengikuti kisah ini, cerita lengkapnya bisa didapatkan di play book atau pdf via WA : 085811788865
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro