Bab 13a
Setelah percintaan panas mereka, Zea kini menempati kamar Alexander. Semua barang-barang miliknya dipindahkan ke kamar laki-laki itu. Ia tidak tahu apakah ini artinya kalau hubungan mereka benar menjadi suami istri atau sekadar saling membutuhkan sebagai pemuas gairah. Zea tidak ingin berprasangka meski jujur saja hatinya meragu. Siapa yang tidak? Meskipun tinggal satu rumah, berstatus suami istri tapi Alexander sama sekali tidak pernah menyatakan cinta padanya. Bagi banyak orang mungkin ucapan cinta itu remeh, tapi baginya itu hal yang penting. Bukankah lebih bagus dan menenangkan kalau bukan hanya raga mereka yang menyatu tapi juga hati? Zea hanya bisa berharap semoga suaminya membuka pintu hati.
“Apa kalian benar-benar suami istri?” tanya Fika.
Zea menggeleng. “Entalah, yang pasti kami tidur bersama. Apa menurutmu aku murahan?”
Fika tercengang lalu menggeleng. “Iya, nggaklah. Kalian’kan menikah resmi meski awal niatnya hanya pura-pura. Wajar kalau hati kalian tersentuh satu sama lain. Lalu timbul cinta.”
“Yang timbul cinta aku, dia sepertinya belum.” Zea menggigit bibir, menahan gundah di hati. “Kami bermesraan dan bercumbu, tapi sama sekali tidak ada pernyataan cinta. Apakah aku kenakan-kanakan kalau sedikit galau?”
“Nggak, sih. Aku rasa itu wajar. Bukankah semua wanita sensitif soal perasaan?”
“Iya, takut juga kalau semisalnya dia hanya--,”
Fika meraih tangan Zea dan meremasnya. “Kak, jangan mikir aneh-aneh. Udah sekian bulan kalian bersama. Yakin saja, pasti ada rasa itu. Kalau nggak, masa iya tidur bersama?”
Zea terdiam memikirkan perkataan Fika. Berharap hatinya bisa seoptimis itu. Meski tidak seoptimis itu, karena ia pernah mendengar kalau laki-laki bisa tidur dengan wanita manapun yang dimau bahkan tanpa cinta sekalipun. Berbeda dengan wanita yang mengedepankan perasaan.
“Kita berangkat sekarang?” Percakapan mereka disela Alexander yang menuruni tangga. Ada Stefan di belakang laki-laki itu.
“Mau ke mana?” tanya Fika spontan. Ia tidak tahu kalau ada acara malam ini. Detik itu juga ia merasa malu, karena sadar yang ditanya Alexander adalah Zea, bukan dirinya.
“Kita makan malam berempat. Ayo!” Zea bangkit dari sofa dan menyambut tangan suaminya. Mengesampingkan perasaa galau, ia ingin menikmati momen saat bersama.
“Kamu mau nonton juga?” tanya Alexander merangkul bahu istrinya.
“Boleh. Kapan lagi kita pacaran?”
Kedua bertukar tawa. Mengendarai dua mobil, mereka menuju mall. Awalnya hanya ingin pergi berempat, tapi mengingat kalau Zea dan Alexander sedang naik pamornya, dan takut akan banyak orang mendekat, akhirnya diputuskan untuk membawa dua pengawal. Sepanjang jalan Zea tak hentinya tertawa. Ia menggoda dan membuat suaminya malu dengan candaannya yang aneh.
Lain halnya dengan Fika. Duduk bersebelahan dengan Stefan membuatnya gugup. Ia duduk tegak di kursi dan tak berani bergerak. Ia takut, seandainya bergerak sedikit saja maka Stefan akan mengamuk.
“Kamu sering menonton?” Pertanyan Stefan yang tiba-tiba membuat Fika tersadar dan ia buru-buru menggeleng.
“Nggak, Pak.”
“Kenapa? Kamu masih muda, harusnya senang-senang.”
Menekuk jari kemarinya, Fika tertawa gugup. “Itu, karena sibuk dengan Kak Zea. Lagi pula, saya bingung kalau ke mana mana sendirian.”
“Memangnya kamu nggak punya pacar?”
Untuk kali ini Fika tersenyum. “Punya, tapi kami putus beberapa bulan lalu.”
Stefan menoleh. “Kenapa?”
Tertawa lirih, Fika merapikan letak kacamatanya. Mengingat kembali momen memalukan dalam hidup yang tidak akan pernah ia lupakan. “Sebenarnya, ini memalukan.”
“Nggak usah ngomong kalau kamu nggak nyaman.”
“Eh, bukan, lucu juga. Jadi, cowok itu masih muda. Seumurlah kita dan tampan. Awalnya saya pikir dia itu beneran suka makanya nembak dan ngajak jadian. Ternyata, dia punya maksud lain. Yang sebenarnya adalah ingin dekat dengan Kak Zea dan berharap bisa jadi model atau bintang film juga.”
“Dia memanfaatkanmu,” ucap Stefan lugas.
Fika mengangguk. “Setelah tahu saya putisin. Tapi, dari situ saya tahu kalau cinta itu nggak ada yang benar-benar cinta.”
Stefan terdiam, saat melihat Fika tertawa miris. Sebuah kisah yang receh menurutnya, karena dunia percintaan orang dewasa bahkan lebih kejam dari pada itu. Tapi, ia menyadari kalau seumur Fika pasti berpikir serius tentang cinta dan kehilangan, terlebih saat tahu dimanfaatkan. Mereka berdiam diri hingga kendaraan memasuki pusat perbelanjaan.
Perkiraan Stefan benar. Begitu memasuki pintu mall, Zea dan Alexander diserbu oleh penggemar yang ingin berfoto bersama atau bersalaman. Tidak semua dilayani, karena terlalu banyak yang meminta. Dua pengawal bertindak sigap dengan mengamankan mereka hingga tiba di restoran.
Selesai makan, mereka naik ke atas untuk menonton. Alexander sedikit merasa geli saat menggandeng istrinya menuju studio. Mereka bisa menonton di rumah tapi memilih berada di tempat umum.
“Kamu nggak tahu sensasinya menonton di tempat umum?” bisik Zea pada suaminya saat mereka berpelukan masuk.
“Apa memangnya?”
“Bisa bercumbu.”
Jawaban istrinya membuat tubuh Alexander memanas. Menurutnya itu ide yang bagus sekali kalau mereka bisa bermesraan di bioskop. Sayangnya, mereka tidak bisa mewujudkan keinginan itu karena pengaturan tempat duduk. Bagaimana mungkin keduanya bermesraan sementara ada Fika dan Stefan duduk tepat di samping keduanya. Saat Alexander mengeluhkan hal itu, Zea hanya tertawa kecil.
Selama dua jam menonton, yang tidak tenang justru Fika. Berkali-kali tangannya tanpa sengaja menyentuh lengan Stefan dan itu membuatnya malu. Ia memang pernah punya pacar, tapi tidak pernah saling bersentuhan. Cowok yang mengencaninya bahkan tidak bisa membuat perasaan berdebar seperti sekarang. Fika menghela napas, berusaha menenangkan diri. Saat pemain laki-laki di film membuka baju, ingatannya tertuju pada Stefan dan seketika wajahnya memanas.
Kehebohan yang lebih besar terjadi saat selesai menonton film dan sedang melangkah ke arah kendaraan. Banyak penggemar mengerumuni dari pintu keluar hingga tempat parkir. ZEa dan Alexander harus diamankan lebih dulu tanpa cidera. Stefan yang melihat Fika kesusahan melindungin Zea, merangkul gadis itu dan keduanya mengiringi langkah Zea hingga masuk ke dalam mobil.
“Nggak nyangka kalau penggemar mereka bertambah begitu banyak,” ucap Fika saat mereka dalam perjalanan pulang.
“Kamu nggak luka?” tanya Stefan.
“Nggak, Pak. Lecet sedikit.”
Saat kendaraan mereka berhenti di lampu merah, Stefan menoleh dan mengulurkan tangan untuk mengelus dahi Fika yang agak memar. “Lumayan, nanti kamu kasih salep.”
Sentuhan yang lembut membuat jantung Fika menggelepar. Ia menarik napas, menahan diri untuk tidak gemetar. Saat mata mereka bertatapan, Fika mengalihkan pandangan dan menunduk malu.
***
Versi online cerita ini akan tamat 1 bab lagi. Versi lengkap bisa di dapatkan di playbook.
Untuk pembelian ebook atau PDF bisa WA ke : 085811788865
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro