Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 12a


H

ari-hari pertama syuting tidak ada kendala berarti bagi Zea. Ia bisa memainkan perannya dengan bagus. Saat ini sedang syuting untuk karakter awal, seorang wanita yang lemah dan banyak dihina. Ada beberapa adegan yang mengharuskannya bersama-sama dengan Sakha. Sejauh ini, tidak ada masalah karena laki-laki itu, meskipun aktingnya kurang bagus tapi bisa bekerja sama dengannya. Sebelum pengambilan gambar dimulai, keduanya mengobrol lebih dulu untuk mendapatkan chemistry.

“Selama seminggu ke depan, adegan lebih banyak soal kita berdua.” Sakha berucap dengan script di tangan.

Zea mengangguk. “Memang! Terutama soal perasaanku ke kamu. Maksudku, Marlee yang jatuh cinta dengan Dody, sang polisi.” Ia mendongak, menatap Sakha. “Kalau gitu, biarkan aku melayani kamu.”

“Apa?” Sakha bertanya heran.

Zea tersenyum. “Jangan salah sangka dulu. Makdsudku, biarkan aku jadi Marlee selama beberapa hari ini. Marlee yang pemalu dan rendah diri, jatuh cinta pada polisi muda dan tampan. Selama beberapa hari ini, biarkan aku melayanimu dari soal makan, sampai hal lain. Kita harus lebih sering mengobrol, untuk membangun perasaan cinta dalam film kita.”

Sakha terdiam sesaat, menimbang-nimbang mengangguk. “Deal. Mari kita bangun chemistry kita.”

Selanjutnya, selama syuting berlangsung, Zea melayani Sakha seperti suami atau kekasih sendiri. Ia membantu menyiapkan makan, membuat kopi, menyediakan perlengkapan yang dibutuhkan Sakha dari mulai obat sampai pakaian ganti. Tak segan-segan ia menyuapi Sakha dan berbinar saat laki-laki itu memujinya.

Banyak yang salah mengira dengan kedekatan mereka, tapi tidak dengan sutradara yang dari awal sudah tahu apa rencana Zea. Isu berkembang liar di tempat syuting yang mengatakan kalau Zea mengkhianati Alexander demi Sakha. Naasnya, suatu hari ada wartawan datang dan secara tidak sengaja menangkap keakraban Zea dan Sakha. Setelah itu, berbagai tabloid berita dan juga situsi infotaiment online didominasi mereka berdua.

“Gila, ya. Hari ini semua berita nggak cuma TV tapi juga online tentang Kakak dan Sakha.” Fika menatap layar ponselnya sambil berdecak. “Kalian tuh kayak magnet.”

“Mereka aja yang kurang kerjaan. Datang ke lokasi syuting bukannya meliput jalannya pengambilan gambar malah mencari gosip.” Zea menjawa tak peduli.

“Eh, Kak. Jangan sampai Pak Alexander baca. Nanti dia marah.”

Zea mendongak. “Iyakah? Bukannya Sakha itu temannya. Masa, iya, marah?”

“Lah, mana tahu kita. Namanya juga cemburu.”

Zea merenungi ucapan Fika. Ia sama sekali tidak terpikirkan kalau Alexander akan cemburu melihat kedekatannya dengan Sakha. Seharusnya tidak ada masalah, karena Alexander tahu bagaimana Sakha itu. Namun, dipikir lagi benar juga ucapan Fika. Ia tidak mau kalau suaminya salah paham jadi lebih baik dijelaskan.

Menepuk pelipis dengan lembut, Zea tidak habis pikir dengan dirinya sendiri. Entah mulai kapan ia memikirkan perasaan Alexander. Bukankah mereka hanya menikah pura-pura? Seharusnya tidak masalah kalau menjalin hubungan dengan orang lain. Pernikahan pura-pura model apa, kalau setiap kali Alexander melihatnya, laki-laki itu seolah mau menerkamnya.

“Kamu ngapain?” tanya Zea saat tersadar dari lamunannya. Ia melihat sang asisten sibuk mengambil fotonya.

Fika tersenyum. “Dokumentasi.”

“Oh, gitu.”

Zea bangkit dari kursi saat mendengar namanya dipanggil oleh sutradara. Ada Sakha di sana dan mereka berdua mendengar arahan sang sutradara tentang adegan selanjutnya.

Fika dengan ponsel di tangan, sibuk mengirimkan foto-foto Zea pada Stefan. Ia sudah berjanji pada laki-laki itu untuk selalu melaporkan apa saja kegiatan Zea.

“Kenapa Zea selalu bersama Sakha?” Itu adalah pertanyaan pertama Stefan saat ia mulai mengirimkan foto-foto Zea.

“Karena mereka sedang membangun chemistry.”

“Baiklah. Kamu awasi terus.  Nanti ada hadiah khusus untukmu.”

Pesan dari Stefan membuat mata Fika melebar. “Pak, sudah tugas saya untuk menemani Zea. Nggak usah ada hadiah.”

“Santai saja, sudah kusiapkan. Ingatkan aku kalau kita bertemu.”

Fika hanya terdiam, tak mampu berkata-kata. Selain Zea, tidak pernah ada orang lain yang memberinya hadiah. Ia mengenal Stefan belum lama, tapi laki-laki itu sudah begitu baik padanya. Fika berharap, Stefan tidak berpikir macam-macam tentangnya. Bagaimana pun, yang ia lakukan adalah bagian dari tugasnya. Melindungi dan menemani Zea.

Hari ini syuting berjalan panjang. Pukul satu dini hari baru saja selesai mengambil gambar. Zea yang kelelahan meminta izin pada Alexander untuk tidak pulang. Ia akan tidur di mobil karena keesokan pagi ada syuting lagi. Meski merasa berat, tapi Alexander akhirnya mengizinkan istri tidur di lokasi syuting. Ini adalah pertama kalinya, Zea tidak pulang.

Bukan Alexander namanya kalau tidak melakukan sesuatu yang luar biasa. Saat tahu istrinya menginap di luar, entah dari mana asalnya, datang dua pengawal tambahan. Mereka duduk di kursi dan terjaga sepanjang malam di luar mobil Zea. Pemain dan kru film yang lain tidak berani bertanya atau protes, karena tahu kalau suami Zea orang yang protektif tapi perhatian.

“Akhirnya, kita pulang juga.” Fika berucap sambil menguap.

“Iya, nggak nyangka harusnya satu malam menginap di luar ini malah jadi dua malam.” Zea menggerakkan tubuh di dalam kendaraan yang melaju pulang.

“Pak Alexander nggak marah’kan?”

“Nggak, dia sudah di rumah sekarang. Nunggu aku pulang.”

Fika memiringkan kepala, menatap Zea denga senyum tersungging.

“Apa?” tanya Zea bingung. “Kenapa muka kamu kayak gitu?”

“Beda, ya, kalau sudah punya suami. Tiap hari ada yang nungguin pulang.”

Perkataan Fika yang menggoda membuat Zea tertawa. “Kamu apaan, sih? Jelas sudah tahu gimana kami.”

“Iyaa, iyaa, namanya juga perasaan. Akan bertumbuh seiringnya waktu. Kalian sudah empat bulan bersama. Nggak aneh kalau sekarang saling terikat.”

Bukan hanya terikat, tapi ia sudah dalam taraf membutuhkan yang sering kali membuat ngilu hati. Itu yang dirasakan Zea saat memikirkan tentang Alexander. Meski berpisah  karena ia harus syuting dan tidak pulang, tapi mereka selalu mengirim pesan dan menelepon. Bahkan saat ia berbaring di atas mobil, sang suami meminta dikirim foto. Zea yang jahil, berusaha mencari kesempatan untuk mengambil fotonya yang sexy dan reaksi Alexander sungguh membuatnya senang.

Entah hanya dirinya, atau Alexander juga lupa kalau mereka hanya menikah pura-pura. Karena setiap kalu bersama, keduanya saling bercumbu seolah sepasang kekasih yang sungguh-sungguh saling mencinta.

Pukul sepuluh malam, Zea tiba di rumah setelah mengantar Fika pulang. Ia mendapati Alexander duduk di sofa.

“Paak, aku pulang!” Tanpa banyak kata, ia menghamburkan diri dalam pelukan Alexander dan bergelung di sana. “Senang bisa pulang.”

“Besok libur?” tanya Alexander di atas kepala Zea.

“Iya, libur dua hari. Akhirnya bisa tidur nyenyak.”

“Sudah makan?”

Zea menegakkan tubuh dan tersenyum malu. “Belum. Nanti aku minta pelayan siapin makanan yang simple.”

“Sana, mandi dulu! Aku tunggu di ruang makan.”

“Hah, Pak Alex belum makan?”

“Belum, baru juga pulang.”

“Baiklah, aku mandi dulu dan kita makan bersama.”

Zea setengah berlari ke kamarnya. Ia membersihkan tubuh dan keramas. Selesai semuanya, memoles make up tipis ke wajah dan mengganti pakaian berupa longdres bunga-bunga tanpa lengan yang mengembang indah saat dipakai.

Menuruni tangga, ia bergegas ke arah ruang makan dan tersenyum mendapati Alexander menunggunya.

“Kita makan malam yang terlalu malam,” ucap Zea saat melihat banyaknya hidangan di atas meja. “Terbiasa makan nasi kotak, makanan ini terlihat luar biasa enak.”

“Makan yang banyak kalau begitu,” ucap Alexander. “Itu, ada udang goreng kesukaanmu.”

Zea mengangguk, mengambil sedikit nasi dan mulai makan dengan nikmat. Di sampingnya, Alexander memilih lauk ayam panggang.

“Bagaimana syutingnya? Lancar?”

“Lancar, Pak. Belum ada adegan yang sulit, sih.”

“Sepertinya kamu senang syuting film kali ini?”

Tanpa ragu Zea mengangguk. “Iya, kru dan pemain film yang lain baik semua.”

“Termasuk Sakha?”

“Sakha juga, baik banget malah,” jawab Zea sekenanya tanpa memperhatikan raut wajah Alexander yang berubah.”Kami bekerja sama dengan baik. Aku dan Sakha sudah mendapatkan chemistry jadi tidak susah untuk beradegan apa pun dengannya.”

“Kalau begitu kalian selalu berdua?”

Zea berpikir sesaat lalu menggeleng. “Nggak bisa dibilang gitu juga, Pak. Sebisa mungkin kita mengobrol, menjalin perasaan, eh, bukan, maksudnya saling mengenal sebagai Dody dan Marlee. Setelah kenal dekat, ternyata dia bukan orang sombong. Padahal, waktu ketemu pertama di pesta kelihatan angkuh.”

Alexander meletakkan sendok dan menatap Zea yang asyik makan udang dengan tajam. Nada bicara gadis itu yang menggebu-gebu soal Sakha membuatnya tidak suka.

“Begitu? Hanya mengobrol?”

“Iya, Pak. Hanya mengobrol.”

“Kenapa di berita lain? Aku lihat kalian ke mana mana berdua, malah makan aja suap-suapan?”

Zea melongo dan tanpa sadar hampir tersedak udangnya. Ia menatap Alexander yang kini memandang tak berkedip. Merasa bingung, apakah harus berterus terang tentang Sakha atau tidak. Karena menurutnya, hubungannya dengan Sakha tidak lebih dari teman syuting dan bukan sesuatu yang penting untuk dijelaskan.

“Pak, itu, anu--,”

“Kamu jatuh cinta dengan Sakha?”

“Nggaak! Mana ada begitu!”

Mereka berpandangan dengan intens. Hilang sudah selera makan Zea saat menyadari kalau Alexander sudah berburuk sangka padanya. Menghela napas panjang, Zea menggigit bibir bawah untuk mengatur ucapan.

“Pak, aku dan Sakha tidak ada apa-apa. Kami murni hubungan kerja.”

Alexander mengangguk kecil. “Ada apa-apa juga nggak masalah, Zea. Asalkan kamu jujur! Bagaimana pun Sakha itu temanku!”

Rasanya seperti ada palu besar memukul hati Zea saat mendengar ucapan Alexander. Bagaimana mungkin laki-laki itu bisa berburuk sangka padanya soal Sakha? Seharusnya, Alexander bisa menilai sendiri sebelum mencari kesimpulan. Namun, dipikir lebih dalam, pemberian izin dari laki-laki itu untuknya mencintai laki-laki lain adalah bukti kalau Alexander tidak mencintainya. Memikirkan soal itu, kemarahan Zea bangkit seketika.

“Jelas saja nggak apa-apa, karena kita bukan menikah secara sungguhan, Pak!”

“Zea ….”

“Aku boleh sama Sakha, biar dirimu juga bisa berduan dengan Anastasia.”

“Kamu ngomong apa?” tanya Alexander. Ia menatap bingung pada Zea yang berdiri angkuh di dekat meja.

“Aku dan Sakha, biar pun berdua tapi ada banyak orang bersama kami. Mereak tahu, kami berteman tanpa ada hal lain. Tapi kamu? Mungkin senang kalau aku bersama laki-laki lain karena dengan begitu kamu bebas bersama Anastasia itu!”

“Kenapa bawa-bawa Anastasia?”

Zea berkacak pinggang dan berujar marah. “Oh, nggak boleh? Karena kalian dekat? Kamu marah aku bawa-bawa nama dia?”

“Zea, kamu sudah melantur.”

“Aku nggak melantur. Dua hari lalu dia datang ke lokasi syuting hanya untuk pamer kalau dia baru saja dari kantormu dengan pakaian terbuka di bagian depan. Kamu mau bilang apa, Pak? Pantas saja nyuruh aku sama Sakha. Ternyataa, dia sendiri main gila. Oke, mulai besok aku akan dekati Sakha--,”

Belum selesai Zea bicara, tubuhnya direnggut oleh Alexander dan saat ia memekik, ciuman bertubi-tubi mendarat di bibir dan membuatnya terengah. Tidak hanya itu, Alexander bahkan memeluk erat dan mendudukan di pangkuan laki-laki itu. Saat ia menggeliat, Alexander tidak melepaskannya.

“Pak, apa-apaan ini?” tanya Zea terengah saat ciuman Alexander makin dalam di mulutnya.

“Menciummu, beberapa hari kita nggak berciumn.”

“Oh, bukannya ada Anas, aww!”

Zea menjerit saat Alexander mengangkat tubuhnya dan menaruhnya di pundak. “Paak, mau ke mana?”

“Pegangan! Awas jatuh!”

**
Ke atas mau ngapain?

Versi lengkap tersedia di google play book

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro