Bab 10b
Zea bergerak dalam tidurnya. Ia meringkuk dalam dekapan hangat sepasang lengan yang memeluknya dari belakang. Embusan napas hangat menyapu tengkuk dan membuatnya menggeliat tanpa sadar. Ia belum menyadari, ada di mana sekarang. Yang ia inginkan hanya meringkuk lebih dalam, dengan kehangatan menyebar dari ujung kaki sampai kepala melalui sentuhan punggungnya dengan tubuh kokoh yang mendekapnya.
Bisa jadi karena melihat ia bergerak, tubuh yang memeluknya pun ikut bergerak. Sapuan hangat dari mulut laki-laki itu menyentuh bagian belakang leher, bahu, dan tengkuknya. Zea mendesah tanpa sadar dan mengerang makin keras saat merasakan tangan laki-laki itu menyelusup masuk dari bagian bawah bajunya untuk membelai dadanya yang terbungkus bra.
“Kamu lembut dan hangat,” bisik laki-laki itu.
Zea tidak menjawab, membiarkan tangan itu membelai dan memijat dadanya serta memberikan rasa nyaman di sana. Ia makin terengah saat remasan makin kuat dan tubuhnya dibaringkan dengan laki-laki itu menindihnya.
Ia tidak tahu, apakah dirinya sedang bermimpi atau memang kenyataan, saat merasakan mulut panas Alexander menyergap bibirnya. Selimut yang semula menutupi tubuh, kini entah ke mana berganti dengan tubuh laki-laki itu yang melingkupinya.
Gaunya tertarik ke atas dengan kait bra yang telah terlepas. Dada Zea menegang saat mulut Alexander bermain-main di putingnya. Ia mendamba, pada rasa panas yang mengalir melalui sentuhan tangan dan bibir Alexander. Erangannya terdengar jelas di dalam kamar yang sunyi saat mulut laki-laki itu berpesta pora di dadanya.
Zea membuka mata, saat gerakan Alexander terhenti. Mereka bertatapan dengan napas tersengal. Akhirnya, ia menyadari kalau yang dialami bukan mimpi. Alexander benar-benar mencumbunya.
“Hentikan aku kalau kamu mau,” bisik laki-laki itu dengan suara serak dan kemudian membungkam mulut Zea dengan ciuman yang panas.
Zea mendesar karena gairah. Ia bahkan tak lagi mampu berpikir jernih. Saat tangan Alexander menyelusup masuk ke celah celana dalamnya, ia tersentak dalam rasa ragu dan merapatkan pahanya.
“Pak, mau apa?” tanyanya gemetar.
“Menyentuhmu, kalau diizinkan.”
“Tapi, Pak. Akuu, aah.”
Penolakannya tertelan oleh erangan dari tenggorokannya sendiri saat jemari Alexander mengelus lembut bagian intimnya. Rasa anegh seketika mendera tubuhnya. Ia berbaring dengan tangan mencengkeram rambut Alexander sementara tangan laki-laki itu terus membelai kewanitaannya dan bibir laki-laki itu mengulum puncak dadanya tak berhenti.
Rasanya seperti dibawa ke langit dan dihempaskan ke dasar bumi, saat sentuhan dan belaian Alexander makin intim dan makin lembut di tubuhnya. Zea menjerit tanpa sadar, saat merasakan tubuhnya memanas dan lembab secara bersamaan.
“Kamu basah dan hangat,” bisik Alexander. Ia menindih Zea, memberikan kecupan bertubi-tubi, mengangkat kedua tangan gadis itu di atas kepala dan turunm untuk mengecup leher, dada, perut dan terakhir pada kewanitaannya yang tertutup celana dalam. Setelahnya bangkit dan meraup Zea dalam pelukan.
Suara napas mereka terdengar nyaring, dengan Zea berusaha merapikan pakaiannya. Tanpa kata, ia merapikan pakaiannya dan berbaring berhadapan dengan laki-laki itu. Zea membiarkan Alexander memeluknya dan keduanya kembali terlelap. Saat bangun, waktu sudah menunjukkan pukul dua sore. Rasa lapar menguasainya. Bangkit perlahan dari ranjang, ia tertatih menuju kamar mandi dan menjerit saat melihat bayangannya di cermin.
“Apa-apaan ini, kenapa seluruh leher dan dadaku merah-meraaah!”
Zea melepas pakaiannya, membasuh tubuh dengan air dan sabun. Menggosok kulitnya yang merah dan berharap tanda itu pergi tapi sia-sia. Tidak peduli berapa banyak sabun yang ia pakai, tidak mengubah keadaan.
“Dasar mesum! Bisa-bisanya memberiku banyak tanda! Padahal, dia yang meminta tidur sekamar. Hah! Dia membodohiku!”
Zea terus mengomel sepanjang acara mandi. Masih tetap mengomel saat mengeringkan rambut dan berganti baju. Entah kapan, pelayan membawa setelan bersih untuknya. Isu panas pasti berputar di dalam rumah, di antara para pelayan kalau tuan dan nyonya rumah kini tinggal sekamar. Setelah memastikan kemerahan di tubuhnya tertutup kain, Zea berniat turun untuk makan. Rumah sepi, pelayan mengatakan Alexander pergi dari sejam yang lalu. Tidak ada yang tahu ke mana.
Mengunyah makanan dalam diam, benak Zea berkecamuk antara Alexander, percobaan pembunuhan padanya, dan syuting film yang akan dilakukan besok.
Fika datang dengan membawa kabar terbaru. Gadis berkacamata itu memberikan nakah untuk dibacanya.
“Ada perubahan susunan pemain.”
Zea mendongak. “Saat saat terakhir? Kenapa?”
“Nggak tahu, katanya pemain yang seharusnya menjadi detektif terkendala masalah pribadi. Tertangkap tangan menyimpan ganja.”
“Aww, sial!”
“Kamu tahu siapa penggantinya?”
Zea menggeleng, sama sekali tidak ada bayangan. Ia bahkan baru tahu kalau ada pergantian pemain justru dari Fika.
“Sakha, dia yang akan menjadi detektif.”
“Sakha? Mantan anggota grup band Alexander?”
“Yuup, dia. Terpilih di antara beberapa orang yang menjadi kandidat dari sutradara. Aktingnya bagus, sih. Kalian sudah kenalan belum?”
“Tadi malam, ketemu di pesta.”
“Bagus! Kamu bisa banyak belajar darinya, Kak. Meski pun dasarnya adalah penyanyi tapi aktingnya lumayan mumpuni.”
Ingatan Zea tertuju pada Sakha, laki-laki tampan dengan tubuh tinggi dan rambut hitam. Dibandingkan dua temannya yangn lain, penampilan Sakha terhitung biasa dan tidak mencolok. Namun, harus diakui kalau laki-laki itu bersikap sangat sopan dan ramah. Yang Fika katakan benar adanya, ia harus lebih banyak belajar dari orang-orang yang lebih ahli darinya. Terlebih, ini adalah peran pertamanya yang sangat serius.
Alexander datang bersama Stefan. Keduanya menatap heran pada Zea dan Fika yang sibuk memasukkan barang ke dalam koper.
“Kalian mau ke mana?” tanya Alexander.
Zea mendongak dan tersennyum. “Besok mulai syuting, Pak. Kami sepakat untuk menyewa rumah kecil yang tak jauh dari lokasi, biar lebih mudah.”
Alexander mengernyit dan menatap tidak mengerti. “Siapa yang memberi kalian izin tinggal di luar?”
Kali ini Zea yang keheranan, menatap suaminya dengan bingung. “Pak. Kenapa harus izin? Aku bukan pergi berlibur.”
“Memang, apa kamu lupa kalau tadi malam baru saja jadi sasaran pembunuhan? Lalu, sekarang ingin tinggal di luar sendiri? Kamu cari mati atau berniat bunuh diri, Zea?”
Teguran Alexander membungkam penyangkalan dari mulut Zea. Ia terdiam, menatap kopernya yang setengah terbuka. Di depannya, Fika yang sama sekali tidak mengerti bertukar pandang dengan Stefan dan kembali menunduk dengan rona merah menjalar dari wajah hingga leher.
“Kalau pakai pengawal bagaimana, Pak?” tanya Zea coba-coba.
“Berikan aku alasan yang kuat, kenapa kamu harus menginap di luar.” Alexander mengenyakkan diri di depan Zea dan menatap gadis itu tajam. “Akan ada Fika dan seorang sopir yang menemanimu 24 jam. Kamu bisa pulang dan pergi jam berapa pun. Kenapa harus ngontrak di luar?”
Zea kehabisan kata-kata untuk menyangkal. Ucapan Alexander benar adanya. Dengan sika dan seorang sopir, ia bisa pulang pergi tanpa harus menginap. Awalnya, ia mencari kontrakan untuk mempermudah geraknya. Namun, dirasa-rasa kini memang niatnya terlalu berbahaya. Menutup koper di depannya, Zea menunduk pasrah.
“Baiklah, aku menurut. Nggak jadi ngontrak.”
“Bagus. Jangan lemas begitu!”
Mendadak Zea teringat sesuatu. “Eh, ada perubahan pemain, Pak. Katanya Sakha yang akan jadi detektif.”
Alexander mengangkat sebelah alis. “Kapan berubah?”
“Baru kemarin,” jawab Fika. “Hanya Sakha yang dianggap cocok dari sekian banyak kandidat.”
“Berarti tadi malam dia sudah tahu pas ketemu kita di pesta. Kok diam saja?” ‘
Protes Zea ditanggapi dengan dingin oleh Alexander. Laki-laki itu meraih ponsel dan melihat jam yang tertera di layar.
“Ganti baju sana. Aku akan mengajakmu pergi.”
“Ke mana?”
“Cari baju buat kamu bawa besok.”
“Tapi, bajuku sudah banyak.”
Alexander berdehem sesaat, menatap Zea sambil memiringkan kepala. “Baju yang bisa menutupi merah-merah di lehermu dan juga cosplay, kali ini aku yang memilih!”
Serta merta Zea bangkit dari sofa dan menutup lehernya. Rasa malu menjalari dan ia menatap sengit pada Alexander.
“Sengaja, Pak. Mau bikin malu?”
“Nggak, kata siapa? Sana, ganti baju. Apa perlu aku membantumu?”
Mengomel panjang pendek, Zea berlari ke kamarnya untuk berganti pakaian. Alexander bangkit dari sofa, menuju kamarnya sendiri. Sepertinya, laki-laki itu pun berniat mengganti pakaian. Tertinggal Fika yang duduk canggung, menatap Stefan yang sedari tadi berdiri diam. Mau tidak mau ia mengakui ketenangan laki-laki itu. Ia sangat shock melihat tanda kemerahan di leher Zea. Lebih kaget lagi mendengar ucapan Alexander. Rasanya, sangat memalukan untuknya. Namun, ekpresi Stefan tidak berubah. Seakan-akan percakapan mesum antara Zea dan Alexander sudah biasa didengarnya.
“Apa kabar, Pak?” sapa Fika dengan sopan.
Stefan menunduk, menatap gadis berkacamata yang duduk di sofa dengan salah tingkah. Ia tidak kuasa menahan senyum, mengetahui kalau percakapan dengan topik sex, membuat Fika malu., Sungguh gadis yang lugu dan polos.
“Apa kamu sudah pernah dicium?” tanyanya coba-coba.
Fika terperangah. “Eh, apa, Pak?”
“Sudah pernah punya pacar?”
Kali ini Fika menggeleng.
“Berarti belum pernah dicium? Padahal, ciuman itu enak kalau dengan orang yang tepat.”
Rasanya Fika ingin melesak masuk ke dasar bumi. Merasakan malu di sekujur tubuh,. Ia tidak tahu, kenapa hidupnya kini dikelilingin oleh orang-orang yang suka sekali bicara mesum. Setelah Zea dan Alexander, kini Stefan. Fika mengeluh dalam hati, akan menjadi dewasa sebelum waktunya.
***
Udah pada beli ebooknya?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro