Bab 10a
Penyelidikan panjang dilakukan oleh polisi setelah kejadian tewasnya penjaga keamanan kepada semua tamu pesta. Tidak ada yang boleh pulang selama pemeriksaan berlangsung. Sepanjang malam Zea gemetar ketakutan, beruntung ada Alexander yang selalu di sampingnya untuk menemani. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi tanpa laki-laki itu, yang pasti akan merasa hancur dan takut karena tahu sasaran pembunuhan adalah dirinya.
Setelah memeriksa semua orang, polisi melepas pulang satu per satu para tamu, jika terbukti tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Selain itu mereka juga melihat rekaman CCTV selama pesta berlangsung.
Tuan rumah pesta, merasa geram dan marah tentu saja karena polisi mengacaukan pestanya. Mereka seperti tidak peduli dengan penjaga yang sudah menjadi mayat. Lebih penting menjaga martabat dari para kolega, dan lebih merasa malu karena pesta gagal bukan karena adanya pembunuhan. Seolah-olah, sebuah nyawa tak lebih berarti dari pada nama baik mereka.
“Kamu nggak apa-apa? Masih takut?” Alexander mengusap bahu Zea. Ia sudah mencopot jasnya untuk menutup tubuh Zea yang terbuka.
Zea mengangguk. “Kita sudah memberi keterangan, kenapa belum boleh pulang?”
“Mungkin sebentar lagi.”
Alexander sendiri tidak tahu, apa yang membuat mereka tertahan lebih lama dari pada tamu yang lain, bahkan Anastasia dan mantan anggota bandnya pun sudah pulang. Sang kakek bahkan memberikan jaminan pada polisi kalau Zea bersamanya sepanjang malam, tapi tetap saja polisi menahan mereka lebih lama.
“Aku nggak habis pikir, bagaimana orang bisa membunuh orang lain di depan banyak orang.” Perkataan Romi yang berbelit membuat Zea mendongak. “Maksudku begini, kalau di film-film’kan, biasa pembunuh melakukan aksinya di tempat sepi. Ini, lumayan gila, sih! Di sebuah pesta dengan banyak orang. Entah berani atau bodoh nggak tahu!”
Alexander menatap adik sepupunya. Merasa kalau yang dikatakan pemuda itu benar adanya. Memang pembunuhnya bisa dikatakan berani karena melakukan kejahatan di depan banyak orang. Kalau benar Zea yang diincar, berarti ada hubungannya dengan kejadian di klub. Pelayan yang memberinya minum, tidak terlihat di mana pun. Dari rekaman CCTV, terlihat kalau sang pelayan meninggalkan pesta segera setelah minuman beracun itu ada di tangannya. Rupanya, itu hanya orang yang menyamar menjadi pelayan dan tidak ada yang menyadarinya.
“Romi, apa kamu bisa memberiku daftar tamu malam ini?”
Permintaan Alexander membuat Romi kaget. Untuk sesaat pemuda itu terdiam lalu mengangguk. “Bisa, nanti aku kirim via ponsel.”
“Oke, thanks.”
“Eh, bolehkah kalau aku antar ke rumahmu langsung?”
Kali ini Alexander yang terdiam mendengar ucapan sepupunya. “Kamu ingin ke rumahku?”
“Iya, aku belum pernah ke sana. Pingin lihat-lihat dan mengobrol dengan Zea. Kalau diperbolehkan tentu saja.”
“Tentu, datang saja kapan kamu mau.”
Ekpresi Romi yang penuh kegembiaraan terlihat jelas di wajah tampan pemuda itu. Diam-diam Zea merasa aneh dengan hubungan keluarga Alexander. Meski punya hubungan keluarga tapi terlihat tidak akrab satu sama lain. Romi dikatakan masih akrab dan ramah, berbeda dengan Angga, yang sangat angkuh dan dingin. Saat tanpa sengaja bertatapan dengan laki-laki itu, Zea menggigil ketakutan. Ada sesuatu dalam diri Angga yang tidak ia suka. Bisa jadi hanya perasaannya, tapi ia merasa kalau Angga Alexander. Bisa jadi karena pengaruh orang tuanya, Zea tidak tahu.
Setelah rombongan para pengusaha diizinkan meninggalkan pesta, kali ini giliran mereka. Zea bernapas lega, bisa pulang akhirnya. Mereka berpamitan pada sang kakek dan berjanji akan datang lagi untuk menjenguk. Pukul lima dini hari, mereka sampai rumah dalam keadaan lelah dan tertekan.
“Zea, tidurlah di kamarku malam ini,” saran Alexander.
“Kenapa?” Zea yang sedang melepas sabuk pengaman, bertanya heran.
“Aku tahu kamu ketakutan, pasti nggak bisa tidur kalau sendiri. Di kamarku, kita bisa mengobrol atau apa pun, untuk membuatmu tenang.”
Zea berpikir sesaat, menimbang usul Alexander. Ia tahu, apa yang diusulkan laki-laki itu sama sekali tidak ada unsur kemesuman. Bisa dikatakan, murni untuk menghibur dan menemaninya. Ia pun merasa tidak akan bisa tidur setelah kejadian yang membuatnya shock.
“Baiklah, aku tidur di kamarmu.”
Sekian lama menjadi istri Alexander, ini pertama kalinya Zea masuk kamar laki-laki itu. Jauh lebih besar dan mewah dari kamar yang ditempatinya. Berdesain minimalis yang lebih mengandalkan kepraktisan, kamar Alexander adalah cerminan dari penghuninya.
Pelayan datang mengantarkan baju tidur Zea. Setelah membersihkan badan dan berganti baju, Alexander datang dengan secangkir teh hangat.
“Minumlah, biar pikiranmu tenang.”
Zea menerima dan meneguk perlahan, mengamati laki-laki yang sudah berganti pakaian dengan jubah tidur.
“Kamarmu bagus, aku suka lukisan itu meski nggak tahu apa artinya.” Zea menunjuk lukisan berupa pemandangan yang didominasi warna biru dan hijau. Unik tapi terlihat sangat cantik, bahkan bagi dirinya yang tidak mengerti seniu gambar.
“Hasil tangan Delsy Syamsuar, salah satu karya terakhir sebelum beliau meninggal.”
“Mahal pasti.”
“Lumayan.”
Zea mengangguk, menerusakan minuman teh. Ia mendongak, menatap Alexander yang sedari tadi memperhatikannya. “Mereka ingin meracuniku, pasti ada hubungannya dengan kejadian di klub.”
Tanpa ragu Alexander mengangguk. “Sudah pasti.”
“Kali ini gagal, mereka akan menggunakan cara yang lain untuk menyingkirkanku.”
“Aku takutnya, begitu.”
Meletakkan teh ke atas meja, Zea mendesah lelah. “Jujur saja, aku takut. Orang-orang itu tidak peduli dengan nyawa orang lain, yang penting tujuan mereka tercapai. Itulah yang membuatku takut. Bisa jadi, mereka akan bertindak makin brutal untuk membuatku celaka dan mengesampingkan orang-orang yang justru tidak bersalah.”
Alexander membenarkan ketakutan Zea. Ia yakin kalau mereka yang berniat mencelakai Zea akan mencoba lagi dan lagi, hingga misinya tercapai.
“Kamu belum mengantuk?” tanya Alexander, tepat saat melihat Zea menguap.
“Sepertinya sudah, bisakah aku tidur dulu.” Zea merangkak naik ke atas ranjang. Tidak memedulikan tatapan Alexander, ia berbaring dan memejamkan mata.
Alexander mematung di ujung ranjang. Akhirnya, obat tidur yang ia berikan pada Zea bereaksi. Sebenarnya, ia tidak suka melakukan itu. Rasanya seperti membius paksa. Tapi, melihat Zea terlihat takut dan tertekan, mau tidak mau ia melakukannya.
“Mari, kita istirahat.” Bergerak lembut, ia ikut naik ke ranjang. Setelah mematikan lampu dan mengandalkan cahaya pagi untuk memberikan penerangan dalam kamar, Alexander pun terlelap.
**
Di sebuah hotel dengan gorden tertutup rapat, seorang laki-laki merokok di sudut ruangan. Ia tidak peduli, meski asap rokonya membuat ruangan bau. Gerakannya yang terus menerus mengisap, seolah menandakan kegundahannya. Sementara di belakang, laki-laki lain terlihat lebih gelisah, duduk di ranjang dengan tangan mencengkeram rambut kuat.
“Gagal lagi bukan? Makin hari kamu makin nggak becus!” ucap laki-laki dengan rokok di tangan, menatap temannya dengan berang. “Pekerjaan mudah seperti ini dan kamu gagal melakukannya.”
“Sudah aku usahakan sebaik mungkin, okee!” Laki-laki yang duduk di atas ranjang berucap tak kalah sengit. “Aku bahkan menyewa orang khusus untuk meracuni gadis sialan itu. Siapa sangka malah gagal! Sial!”
“Itu karena kamu tidak becus! Susah aku bilang, kalau gadis itu akan menjadi boomerang yang akan melukai kita. Singkirkan dia secepatnya!”
“Kamu pikir aku tidak mencoba? Di tempat Ernest, lalu di pesta. Dan kini makin tidak leluasa setelah Alexander menikahinya!”
Laki-laki dengan rokok di tangan berbalik, menatap temannya yang terlihat kesal di atas ranjang. Ia sendiri justru lebih geram dari pada si teman tapi tidak bisa berbuat banyak karena posisinya. Mematikan rokok di dalam asbak, ia menyingkap gorden untuk memberinya penerangan. Setelah malam yang panjang di pesta, ia berharap bisa tidur dengan tenang. Namun, kenyataan kalau Zea lolos dari rencana mereka, membuatnya marah.
“Aku yakin kalau mereka menikah hanya pura-pura. Tujuan Alexander adalah menyimpan gadis itu agar tetap dekat dengannya.” Ia berucap pelan.
Laki-laki di atas ranjang bangkit dan mengangguk. “Kita sudah tahu itu.”
“Kalau begitu, kita bongkar dulu soal pernikahan mereka. Buat kehebohan di publik. Mau tidak mau Alexander harus melepaskannya. Setelah itu, kita habisi.”
“Rencana yang bagus. Lalu, bagaimana dengan para orang tua serakah yang memeras kita?”
Laki-laki di dekat gorden tersenyum, menatap temannya. “Kita akan urus itu bersama.”
Keduanya berpandangan lalu mengangguk bersamaan. Gorden kembali ditutup saat kedaunya mulai Menyusun rencana. Pembicaraan sengaja dilakukan di hotel, agar tidak ada yang curiga kalau mereka terlihat bersama. Masalah Zea dan Alexander adalah soal hidup dan mati mereka. Diperlukan kekejaman khusus untuk mengakhiri masalah ini, dan mereka bertekad tidak akan membiarkan Zea lolos kedua kali.
**
Tersedia di google playbook.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro