3
Dua hari kemudian ...
Rafli baru saja sampai di depan kontrakannya saat ia melihat mobil yang sepertinya ia tahu, di dalam mobil itu ada dua orang dan salah satu orang ia lihat ke luar dari dalam mobil, tampak laki-laki yang sangat tidak ingin ia lihat tapi tak etis rasanya jika ia mengusir tamu.
"Raf, bisa kita bicara?"
Rafli hanya mengangguk, ia membuka pagar lalu memasukkan mobilnya ke garasi dan melangkah menuju pintu, memasukkan anak kunci dan mendorong pintu.
Abdi mengekor langkah Rafli dan tanpa disuru ia duduk, menunggu Rafli yang tak lama kemudian kembali, duduk di hadapannya.
"Nggak usah ke sini ngga papa, silakan kalo mau nikahin kakakku, nggak harus aku yang hadir, sodara papa pasti bisa hadir."
"Tapi kau satu-satunya adik Redanti, ia pasti ingin di hari bahagianya kau hadir."
Rafli menatap laki-laki di depannya yang sok yakin jika kakaknya akan bahagia.
"Bahagia? Apa kau yakin ia akan bahagia?"
"Setidaknya aku akan berusaha, akan aku tebus kesalahan masa lalu dan membuatnya bahagia."
"Masa lalu tak bisa begitu saja dihapus, apalagi masa lalu yang menyakitkan, kau tahu jika ibu meninggal karena ibumu? Ibumu yang mencaci maki ibu seolah ia tak becus membesarkan anak hingga kakak selingkuh dengan laki-laki lain? Tuduhan yang salah pada kakak hingga ibu seperti merasa bersalah dan menganggap kakak membagi hati pada laki-laki lain padahal ia sudah menikah, rasa berdosa ibu membuat beliau sakit dan akhirnya meninggal."
"Aku minta maaf atas nama almarhum ibuku, beliau tak tahu pasti tapi asal kau tahu ibuku menyesal setelah tahu semuanya dan ingin meminta maaf pada ibumu dan Caca, tapi kalian pindah dan tak tahu harus ke mana mencari kalian."
Rafli tersenyum mengejek, ia hanya menggeleng pelan.
"Kesakitan ibu dan kakak karena tuduhan tak beralasan itu terbayang terus di mataku, itu yang membuat aku malas bertemu denganmu, jika tak ada apa-apa lagi pergilah."
"Tidak aku belum selesai, sekali lagi aku minta maaf dari lubuk hati yang paling dalam, dan aku berjanji akan membuat kakakmu bahagia."
"Pergilah, aku tak akan bicara apa-apa lagi, aku sudah bilang pada kakak jika aku tak mau jadi penghalang kalian."
Rafli berdiri, hingga akhirnya Abdi ikut berdiri.
"Kau tak kasihan pada kakakmu? Saat kami menikah tak ada siapapun yang berdiri di sampingnya, tak ada orang yang paling dekat dengan pertalian darah langsung di sisinya?"
"Keluarlah, aku tak mau menjawab apapun lagi."
Abdi menghela napas dan melangkah meninggalkan Rafli yang masih mematung.
Setelah mobil Abdi, mantan kakak iparnya menjauh barulah Rafli masuk ke dalam kontrakannya yang nyaman. Ia mulai membuka bajunya dan melangkah ke kamar mandi untuk melepaskan segala penat dan kekesalannya.
Makan malam Rafli lalui sendiri tadi ia sempat membeli pecel lele dan menikmatinya sendiri sambil melamun. Mengingat lagi bagaimana ibunya sakit dan kakaknya yang menjadi tertuduh tanpa alasan yang jelas membuatnya tak ingin bertemu Abdi lagi.
Mungkin bagi yang tidak mengalami akan mudah berkata lupakan saja dan maafkan, tapi jika mengingat wajah sedih ibunya hingga stres dan meninggal juga kesakitan kakaknya yang dituduh berselingkuh oleh mantan suami dan ibu mertuanya rasanya sulit bagi Rafli untuk memaafkan begitu saja. Ditambah lagi ucapan sekretaris kakaknya yang sok tahu ia jadi kesal bukan main.
Entah mengapa tiba-tiba ingatannya kembali pada Silvi yang menatapnya dengan tajam dan kalimat pedas serta tegas terus berdenging di telinganya. Sejujurnya ia akui wanita kecil mungil dengan dada besar itu sedikit menarik perhatiannya. Tak tahu mengapa sejak pertemuan yang berujung pertengkaran itu seolah terbayang terus dalam pikirannya wajah manis dengan kulit putih bersih itu.
"Aaah enyah kau gadis cerewet sok tahu!"
.
.
.
Rafli melangkah menuju butik kakaknya setelah melalui resepsionis dia mengayun langkahnya menuju ruang kerja Redanti, dari jauh dia sudah melihat wanita yang sangat malas rasanya ia lihat setelah beradu mulut di rumah kakaknya, sekretaris sok tahu yang akhir-akhir ini sering hadir dalam pikirannya. Saat semakin dekat ia lihat gadis itu menoleh padanya.
Badan Silvi menegang saat ia melihat Rafli melangkah ke arahnya, ia masih ingat kata-kata Rafli, rasanya masih sangat menyakitkan.
"Kakak ada?"
"Masuk aja." Silvi tetap menatap ke arah komputernya tanpa menoleh.
"Aneh aja kakak milih kamu jadi sekretaris, kalo ada tamu gak bisa berwajah menyenangkan."
Silvi menoleh dengan wajah marah, ia merasa bahwa laki-laki yang kini melangkah meninggalkannya mungkin tidak satu species dengannya, tidak mengerti bahasa manusia. Ia bangkit dan melangkah dengan cepat, menarik lengan Rafli. Hingga Rafli menoleh padanya dengan ekspresi datar.
"Heh, orang macam kamu minta dihargai? Mulut kamu itu belajar dulu bicara dengan bahasa manusia yang baik dan benar, kamu minta dihargai tapi mulut kamu nggak tahu gimana caranya menyenangkan orang lain, otak dan mulut kita itu satu komando, kalo mulut kamu nggak bisa ngomong yang bener, berarti otak kamu perlu direparasi."
Rafli menatap wajah wanita yang sebenarnya cantik tapi mirip liliput.
"Kamu kenapa sih? Yang kapan hari sok kenal, sok akrab, sok nasehatin aku tentang hubungan kakak sama laki-laki itu, kalo aku jawab kamu marah, sekarang aku tanya kakak baik-baik eh jawabannya ketus, gak salah kan kalo aku menilai kamu nggak becus jadi sekretaris? Trus salahku di mana?"
"Otakmu yang perlu diperbaiki!"
"Oh ya? Lalu kamu merasa otakmu baik-baik saja saat mencoba mendekati aku dengan pura-pura ke rumah antar berkas kau kira aku tak tahu itu hanya akal-akalan? Aku tahu itu cuman modus, kamu suka aku tapi kamu marah karena aku nggak nanggapin, iya kan? Ngaku aja nggak usah jaim, orang tampan dan gagah kayak aku memang banyak yang suka tapi maaf kalo aku harus selektif milih pacar."
Kemarahan Silvi memuncak, napasnya tersengal menaham marah.
"Najis aku suka sama laki-laki macam kamu!"
"Aku pegang ucapan kamu! Ingat liliput, aku akan bikin kamu ngejar-ngejar aku, najis sekarang nanti kamu akan nyembah-nyembah di kakiku bahkan bisa jadi minta dinikahin sekalian." Sahut Rafli sambil tersenyum miring.
"Benar-benar gak waras, salah makan apa kamu? kok bisa orang baik kayak Bu Re punya adik sinting macam kamu!"
"Sinting? Tapi akan bikin kamu tak akan pernah bisa melupakan aku! Aku tahu tatapan lapar matamu saat melihat tubuh telanjangku!"
"Heeeh ada apa ini, Rafli, Silvi?"
Suara Redanti yang tiba-tiba membuat keduanya segera mengatupkan bibir yang sebenarnya masih saja ingin memuntahkan sumpah serapah.
💕💕💕
3 Februari 2021 ( 05.29 )
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro