Pulang
Cinta seorang ibu pada anaknya adalah cinta sejati
~~~
Eva menyeka air matanya yang tak berhenti mengalir semenjak ia meninggalkan Adnan. Hatinya terasa sangat sakit, Adnan telah memperdayanya. Dan ia merasa bodoh telah percaya semua kata-kata manis Adnan.
Bodoh!
Aku bodoh!
Eva merutuki dirinya di sepanjang jalan
Aku pelacur, tidak mungkin ia mencintaiku dengan tulus.
Eva sibuk dengan pikirannya sampai si pengemudi ojek menghentikan motornya di depan rumah bordil mami.
Eva turun dari motor dan berlari menuju kamarnya. Beberapa rekan kerjanya sempat menoleh namun tak ada yang bertanya perihal kondisi Eva.
Aku harus pergi
Eva memutuskan untuk pergi dari rumah bordil itu. Ia akan mempertahankan sang bayi dan memberinya pendidikan yang layak. Anaknya tidak boleh bernasib seperti dirinya.
Eva memasukkan semua baju-bajunya ke dalam koper. Baju yang ia masukkan adalah baju kesehariannya bukan baju 'dinasnya'. Sampai ke tumpukan baju paling bawah Eva terdiam, sudah lama sekali ia tidak memakai benda itu. Terlintas diingatannya terakhir kali ia memakainya.
"Ya ampun lu sholat?" tanya Ambar yang masuk ke kamarnya tanpa mengetuk.
"Iya," jawab Eva sambil merapikan mukena dan sajadahnya.
"Orang kayak kita gak perlu sholat,"
"Loh kok gitu? Kan sholat itu wajib,"
"Abis sholat kita kerja, kerjaan kita berdosa gak?"
"Mm ... berdosa," cicit Eva.
"Gak ada gunanya kita sholat toh nanti abis itu kita bikin dosa besar. Orang kayak kita gini, mana mungkin diterima sholat kita."
Eva yang saat itu belum lama menjadi anak buah mami hanya mengangguk, membenarkan perkataan Ambar walau hati kecilnya menolak.
Air mata Eva menetes kembali, lama sudah ia meninggalkan kewajiban pada sang Pencipta padahal dulu Emak mewanti-wanti ia agar tidak meninggalkan sholat dimana pun dan kapan pun.
Emak, aku akan pulang.
Eva tidak punya tempat tujuan selain pulang ke rumah orang tuanya.
______
Emak menyambut kepulangan Wati yang tiba-tiba dengan suka cita. Di sini Eva kembali menjadi Wati. Ibu, adik dan para tetangga mengenalnya sebagai Wati.
"Akhirnya kamu pulang," kata Emak sambil memeluk Wati.
"Iya, Mak."
"Majikan kamu gak masalah kamu pulang?"
"Wati berenti kerja, Mak."
"Loh kok berenti?"
"Majikan Wati mau pindah ke Eropa. Dari pada Wati gak bisa pulang mending berenti aja." bohong Wati.
Emak memang tak pernah tahu apa pekerjaan Wati sebenarnya. Yang emak tahu Wati putrinya adalah pembantu rumah tangga di kota lain dan majikannya sangat baik.
Maaf, Mak. Wati bohong lagi.
"Emak mau suruh mba Ijah masak sop ayam kesukaanmu. Kamu istirahat aja dulu di kamar."
"Iya, Mak."
Emak mendorong kursi rodanya menuju ke dapur. Sejak dua tahun lalu Wati membelikan ibunya sebuah kursi roda.
Wati melangkahkan kakinya menuju ke kamar. Ditatapnya rumah yang dibangun dari hasil kerjanya. Dinding yang dulu dari triplek kini menjadi tembok yang kokoh, atapnya pun tak akan bocor lagi. Belum lagi perabot yang menghiasi rumah itu walau tidak mahal tapi sangat layak.
Rumah lamanya dirobohkan lalu dibangun kembali. Biaya yang Eva keluarkan tidak sedikit, ia mengumpulkan dari hasil melayani para pria hidung belang setiap malam. Namun yang emak tahu uang itu adalah hasil pinjaman Wati pada majikannya.
Wati juga meminta ibunya mempekerjakan seorang asisten rumah tangga. Ia tak tega dengan kondisi ibunya yang tak mampu berjalan dan sudah tua. Tiap bulan Wati mengirimkan uang untuk biaya hidup ibu dan adiknya juga untuk membayar sang asisten rumah tangga.
Wati mendesah pelan. Diusap perutnya yang masih rata. Cepat atau lambat emak pasti akan tahu tentang kehamilannya. Saat perut itu membesar Wati tak akan bisa lagi menutupi semua.
Wati merasa amat lelah, tubuhnya, hatinya. Ia merebahkan diri di kasur empuk miliknya dan terlelap.
____
"Hoek ... hoek ...." Sudah 3 kali Wati memuntahkah isi perutnya pagi ini.
"Kamu masuk angin, Wat. Sini emak kerokin!" Emak menghampiri Wati sambil membawa koin dan minyak angin.
"Wati gak pa-pa kok, Mak."
"Muntah terus gitu masa gak pa-pa."
"Bener gak pa-pa, Mak."
"Buka baju kamu, Emak kerokin."
Wati menurut pada perintah ibunya, ia membuka baju lalu duduk membelakangi ibunya.
Emak memulai kerokannya sambil menasehati Wati agar tidak memforsir tenaganya saat bekerja. Tiap sentuhan dan perkataan Emak seperti melecutkan rasa bersalah di hatinya. Kasih sayang ibunya ia balas dengan kebohongan. Air mata Wati menetes.
"Kok nangis, emak kan ngeroknya pelan?"
"Makasih ya, Mak."
"Iya." jawab Emak dengan kening berkerut. Apa yang terjadi dengan anaknya? Pertanyaan itu berputar di kepala emak.
Selesai di kerik Wati kembali memakai bajunya. Hatinya masih tak enak karena berbohong pada ibunya.
"Mak, Wati pengen yang seger-seger."
"Kamu pengen makan apa?"
"Bakso yang pedes kayaknya enak, Mak."
"Beli aja di Mas Bejo, nanti sebentar lagi lewat."
"Iya."
Wati duduk di teras menanti Mas Bejo lewat, perutnya sudah berontak ingin diisi tapi makan apapun selalu dimuntahkan.
"Sabar ya, Dek. Sebentar lagi tukang baksonya lewat," bisik Wati sambil mengelus perutnya.
"Bakso!" panggil Wati begitu melihat gerobak bakso melintas.
Mas Bejo yang mendengar panggilan itu segera berhenti dan menepikan gerobaknya di tepi pagar rumah Wati.
"Baksonya 3, Mas," pesan Wati pada Mas Bejo.
Seorang wanita berusia 30an keluar dari rumah yang tepat berada di depan rumah Wati. Wati menatap perempuan itu ia ingat Emak kemarin bercerita bahwa ada tetangga baru di depan rumah mereka, satu bulan lalu mereka menempati rumah itu.
Perempuan itu menatap tajam pada Wati dan berjalan mendekati Wati. Ia membawa gelas di tangannya.
Byur!
Teh hangat disiramkan perempuan itu tepat di kepala Wati.
"Apa-apaan ini, kenapa saya disiram?" Wati meringis sambil memegang rambutnya yang basah.
"Seharusnya saya siram kamu pake aer comberan bukan teh hangat sisa saya."
"Maksud Ibu apa?"
"Hah, pura-pura lupa!"
"Saya beneran gak ngerti maksud Ibu. Kita baru aja ketemu tapi Ibu langsung siram saya,"
"Pelacur! Perusak rumah tangga orang!"
Plak!
Wati menampar perempuan itu dengan tangannya yang gemetar.
"Kamu menampar saya, seharusnya saya yang menampar kamu. Dasar perempuan panggilan!"
"Ada apa ini?" Emak datang dengan kursi rodanya.
"Anak ibu ini pelacur, perempuan panggilan, Bu."
"Jangan asal tuduh, kamu orang baru di sini mana kenal anak saya,"
"Anak ibu ini perempuan panggilan, dan karena dia mantan suami saya tidak lagi betah di rumah."
Tubuh Wati gemetar, beberapa kali dia memang pernah dipanggil untuk melayani seorang pelanggan di luar rumah bordil. Bukan hanya menemani di ranjang tapi juga sempat berjalan-jalan dan belanja. Ia tidak menyangka jika wanita di hadapannya ini adalah istri dari pria itu.
"Saya akan lapor Pak RT, kamu memfitnah anak saya!"
"Silakan, dan foto-foto anak ibu beserta mantan suami saya akan beredar luas."
"Foto?"
"Ini," tukas perempuan itu sambil memperlihatkan ponselnya pada Emak.
Emak menatap foto itu dalam-dalam. Wajahnya memerah, tangannya mengepal.
"Wati!"
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Wati. Ia menoleh pada ibunya yang menatap marah. Kemarahan ibunya adalah hal yang paling tidak dia inginkan. Tubuhnya seketika lemas dan ia jatuh pingsan.
***
Buat kamu yang di sana ...
Tidak ada kata terlambat untuk bertaubat
Ampunan Allah lebih luas dari bumi dan langit
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro