Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2. Terjerat


Wati menatap dirinya di depan cermin yang ada pada lemari baju miliknya. Beberapa kali ia merubah mimik mukanya, tersenyum lalu diam lalu senyum lagi. Jika diperhatikan ia tak kalah cantik dengan teman-teman sekolahnya yang nasibnya lebih baik dari dirinya. Kulit wati kuning langsat, mukanya oval, bermata bulat hidungnya tidak terlalu mancung tapi pas di wajahnya.

"Ngapain senyum sendiri di depan kaca?" tegur emak dari belakang tubuh Wati.

Wati menoleh ke belakang lalu ke bawah. Ibunya menatap sambil duduk di papan beroda. Papan beroda itu adalah alat andalan ibunya untuk bergerak, sudah 2 tahun sang ibu tidak bisa berjalan karena sebuah kecelakaan. Ayah wati membuatkan papan beroda itu agar ibunya bisa beraktifitas seperti biasa.

"Ditanya bukan jawab malah diem,"

"Wati cantik juga ya, Mak?"

"Namanya perempuan ya pasti cantik masa ganteng."

"Iya juga ya,"

"Sudah tidur sana, besok harus bangun pagi!"

"Iya, Mak."

Wati tidak pernah membantah ibunya, ia tahu ibunya berhati baik. Tadi saja sepulang sekolah saat ia menceritakan gorengannya yang jatuh ke selokan Emak tidak memarahi justru mengkhawatirkan tubuh Wati yang terserempet motor. Wati sungguh menyayangi ibunya.

Wati sudah terlelap, namun suara keributan antara ibu dan ayahnya membangunkannya.

"Mau kemana, Pak?" suara emak terdengar di telinga Wati.

"Cari perempuan yang bisa muasin aku!" bentak sang ayah.

Emak tidak bisa berkata apapun, semenjak kecelakaan 2 tahun lalu ia tidak bisa memenuhi kebutuhan biologis sang suami, ia tidak ingin dicerai juga tidak ingin suaminya menikah lagi maka ia merelakan sang suami untuk jajan di luar.

Wati mendengar isak tangis ibunya, ia keluar dari kamar lalu memeluk ibunya.

_______

Wati telah bersiap berangkat. Ranselnya telah penuh dengan nasi uduk dan di tangan kanannya wadah gorengan siap diangkat.

Dor! Dor! Dor!
Suara pintu digedor.

"Wati, lihat ada siapa di depan!"

"Iya, Mak."

Wati berjalan menuju pintu, dibukanya pintu berbahan triplek itu. Dua pria bertampang seram menatap Wati.

"Mana ibu kamu?"

"Sebentar saya panggilkan,"

Wati menghampiri ibunya dan memberitahukan keberadaan dua lelaki itu.

Emak bernafas berat, dia sudah menduga hal ini akan terjadi. Papan beroda yang diduduki emak bergerak pelan. Tangan emak bergerak seperti mendayung, menekan lantai hingga roda bergerak.

"Sudah 3 bulan kamu gak bayar cicilan!" ucap salah satu pria begitu melihat emak ada di depannya.

"Saya banyak kebutuhan,"

"Juragan Sultan gak peduli kebutuhan kamu, bayar hutang kamu!"

"Nanti kalo udah ada pasti saya bayar,"

"Nanti? Enak aja kamu!"

"Tolong beri saya waktu,"

"Gak ada waktu lagi, kamu udah nunggak 3 bulan!"

" Tolong beri saya waktu, seminggu saja!"

"Seminggu? Kelamaan!"

"3 hari, saya janji dalam 3 hari saya akan bayar cicilan."

"Kalo dalam 3 hari kamu gak melunasi hutang kamu, rumah ini kami ambil!"

"Jangan ambil rumah ini!"

"Salah sendiri gak bayar hutang!"

6 bulan yang lalu, emak berhutang pada juragan Sultan untuk membayar keperluan sekolah Wati dan adiknya dan juga untuk membayar hutang-hutangnya di warung.

"Berapa hutang ibu saya?" Wati memberanikan diri bertanya.

"10 juta!"

"Loh kok 10, saya cuma pinjam 5?"

"Ini udah 6 bulan dan kamu nunggak bayar. 10 itu utang kamu beserta bunga dan dendanya!"

"Saya gak punya uang sebanyak itu, tolong bilang pada juragan, kasi saya keringanan!"

"Gak ada keringanan buat kalian!"

"3 hari lagi kami kembali!"

2 pria menyeramkan itu pergi, emak menatap kepergian mereka tanpa ucapan apapun.

"Mak, 3 hari lagi kita bayar mereka pake apa?" tanya Wati sambil berjongkok mensejajarkan posisinya dengan sang ibu.

Emak tidak berkata hanya menggeleng. Ia menyesali tindakannya 6 bulan lalu saat meminjam pada juragan Sultan yang seorang rentenir.

Setelah kedatangan 2 penagih hutang itu Wati tetap berangkat ke sekolah namun ia tidak bersemangat. Jika ibunya tidak bisa membayar hutang maka mereka akan diusir dari rumah. Entah akan tinggal dimana nanti.

"Wat, kok ngelamun? Aku beli nasi uduk 2,"

"Eh iya, maaf." Wati memberikan 2 bungkus nasi uduk pada Salma.

"Ngelamunin apa sih?"

Wati menghembuskan nafasnya. Ia dan Salma bukanlah sahabat, mereka berbeda kelas. Selama bersekolah tidak ada satu siswa pun yang benar-benar dekat dengan Wati.

Pikiran Wati benar-benar kacau saat ini, tidak ada salahnya ia mulai bersahabat dan berbagi dengan salah satu temannya. Mungkin saja mereka bisa memberi solusi.

"Ibuku ditagih rentenir pagi ini," ucap Wati sedih.

"Terus?" Salma menyimak sambil membuka bungkusan nasi uduknya.

"Emak gak punya uang buat bayar, kalo dalam 3 hari gak dibayat rumah kami disita."

"Hutang emak kamu berapa?"

"Awalnya 5 juta, karena bunga dan denda jadi 10 juta."

"Sayangnya aku gak punya uang sebanyak itu."

"Makasih udah mau denger cerita aku."

"Tapi aku pengen bantu,"

"Katanya kamu gak punya uang?"

"Aku emang gak punya uang sebanyak itu tapi aku kenal orang yang bisa bantu kamu."

"Beneran?"

"Iya."

"Apa aku harus pinjem duit ke orang itu?"

"Enggak, tapi kamu kerja sama dia."

"Aku mau kalo kerja, jadi gak perlu berhutang lagi."

"Tapi aku gak yakin kamu mau dengan pekerjaan itu,"

"Emang apa kerjaannya?"

"Aku gak bisa jelasin di sini, orang itu yang bisa jelasin ke kamu."

"Kalo gitu, kenalin aku sama dia. Ya?"

"Kamu harus janji untuk ngerahasiain hal ini dari siapapun soalnya dia gak mau banyak orang tahu tentang dia."

"Aku janji."

"Yaudah nanti sore aku jemput kamu ke rumah."

Sore hari, Salma datang menjemput Wati dengan motor bebeknya. Segera saja Wati berpamitan dengan ibunya dan naik ke motor Salma.

Setelah melalui jalan yang berliku selama 30 menit perjalanan, mereka tiba di sebuah tempat. Ada beberapa bangunan di sana, perempuan-perempuan berpakaian minim terlihat berjalan di sekitar.

Salma memarkirkan motornya di depan sebuah bangunan yang paling besar. Mereka berdua turun dari motor lalu masuk ke dalam.

Di dalam tampak perempuan-perempuan berpakaian minim berlalu-lalang.

Wati dan Salma menuju sebuah ruangan tertutup, ruangan kecil yang ada di lantai 2.

"masuk!" ucap seorang perempuan dari dalam ruangan.

Wati dan Salma masuk ke dalam. Mereka melihat seorang perempuan berusia 30 tahun duduk di sebuah kursi dibalik meja kerja.

"Duduk!"

"Ini Wati, Mam. Yang aku ceritain di telpon tadi,"

"Owh ini toh orangnya. Kenalkan saya mami Cila," mami Cila menjulurkan tangannya dan disambut oleh Wati.

"Wati,"

"Salma udah cerita masalah kamu. Coba kamu kamu berdiri!"

Wati mengikuti perintah mami untuk berdiri. Sang mami menatap Wati dari kepala sampai kaki lalu mengangguk-angguk.

"Salma bilang ibu bisa bantu saya,"

"Panggil mami, saya nggak biasa dipanggil ibu."

"Iya, Mami."

"Saya bisa bantu kamu, tapi kamu harus kerja untuk dapatkan uang itu."

"Kerja apa saja saya mau asal hutang ibu saya bisa terbayar."

"Tapi saya gak yakin kamu mau kerja di sini,"

"Memang apa yang harus saya kerjakan?"

"Di sini kami menyediakan jasa memuaskan gairah lelaki,"

"Apa?"

"Iya, kamu bisa dapatkan uang dengan cara memuaskan para lelaki di atas ranjang."

"Jadi pelacur?"

"Masyarakat menyebutnya begitu,"

"Kamu gila Salma, mengajak aku ke tempat terkutuk ini!"

"Tidak ada paksaan bekerja di tempat saya, kalau kamu tidak mau silakan pergi. Tapi kalau kamu berubah pikiran silakan datang pada saya."

Wati pergi tanpa berkata apapun lagi, bahkan ia meninggalkan Salma. Ia tidak ingin ada di tempat terkutuk itu.

______

Brak!
Pintu depan rumah didobrak, membuat emak dan Adi yang ada di dalam terkejut.

"Bayar hutang kamu!"

"Sebentar," emak pergi ke kamar lalu kembali dengan sebuah dompet. "Saya cuma ada ini,"

Dua pria bertampang seram itu memeriksa dompet yang diberikan emak, "apa ini? Satu juta aja nggak ada!"

"Cuma itu yang saya punya, gak ada lagi,"

"3 hari lalu kamu janji mau lunasi hutang tapi mana uang kamu? Jadi sekarang kami ambil rumah ini."

Salah satu pria mulai mengeluarkan pakaian-pakaian dari dalam lemari dan melemparnya keluar.

"Jangan! Ini rumah Adi!" Adi memohon sambil memegang kaki salah satu pria itu. Dihempaskannya tangan Adi hingga Adi terjungkal.

"Anak kecil!"

"Ini rumah kami, kalian gak berhak mengusir kami!" Emak bicara lantang.

"Rumah ini buat bayar hutang kamu!" Pria yang menjawab emak mendorong papan beroda hingga emak meluncur keluar dan terjatuh.

"Berhenti!" Wati datang dengan nafas terengah-engah memakai seragam putih abu-abunya. Ia baru saja pulang sekolah dan berlari setelah melihat motor para penagih hutang dari kejauhan.

Watu membantu ibunya bangun dan memeluknya. Ia tak tega melihat air mata menetes di pipi sang ibu.

"Suruh ibu kamu bayar hutang baru kami berhenti,"

Para penagih hutang itu terus mengeluarkan barang-barang milik Wati dan ibunya. Tidak ada yang membela mereka, ayah Wati pun tidak ada di sana. Sejak subuh ayahnya berangkat ke kota. Wati merasa tidak punya pilihan lain, biarlah ia berkorban asalkan ibu dan adiknya bisa bahagia

"Saya yang akan bayar hutang itu,"

"Tapi pake apa, Nak?"

"Emak tenang aja."

"Kamu emang punya uang?"

"Beri saya waktu satu jam untuk mengambil uang. Kalian bisa menunggu saya di sini."

Kedua pria itu tampak bicara sejenak, "baik, kami tunggu 1 jam. Jika dalam satu jam tidak ada maka kalian keluar dari rumah ini!"

"Emak tunggu di sini, Wati mau ambil uangnya dulu!"

Hanya satu pikiran Wati yaitu mami Cila, dia akan meminta pertolongan sang mami. Biarlah ia mengorbankan dirinya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro