Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

35. Satu Permintaan

“A–aku nggak tahu, bener-bener nggak tahu. Sewaktu masuk kamarnya, he already like that. Padahal … padahal AC-nya nggak dingin, but why his body is freezing like ice? And why—

“Theo, tenangkan diri kamu!” sentak Samuel yang mulai tak tahan mendengar rancauan Theo sejak mereka menjatuhkan bokong di kursi tunggu.

Rei sudah dalam penanganan dokter. Meski belum diketahui bagaimana kondisi bocah itu saat ini, Samuel hanya ingin meyakinkan diri bahwa putranya baik-baik saja. Namun, melihat Theo yang tampak kacau membuat hatinya berdenyut nyeri.

Anak yang biasanya selalu keras kepala dan tak peduli dengan orang-orang di sekitarnya, kini dibuat kacau oleh orang yang selama ini dibenci. Sebagai orang tua, Samuel bahkan tak bisa mendeskripsikan bagaimana berada di posisi Theo.

Everything will be fine, okay?” lanjutnya kali ini dengan suara lebih lembut.

It’s not fine at all!” pekik Theo tiba-tiba. Kondisi lorong yang sunyi membuat suara bocah itu menggema dan cukup untuk mengejutkan Samuel.

“Salahku … ini salahku.” Remaja itu memukul-mukul dadanya cukup keras. “Aku yang pengecut sampai nggak berani bicara. Dia pasti sangat tertekan dengan semuanya dan berusaha untuk mengakhirinya. I know that feeling, but I never had a courage to do it.”

“He didn’t deserve all of this, Dad. The one who should suffer is me, the one who should feel the pain is me. I’m the one who cause this shit, not him.” Lagi-lagi tangisnya pecah hingga membuat Samuel kelabakan.

Pada akhirnya, pria itu hanya bisa merengkuh bahu putranya dan membawanya ke dalam pelukan tanpa ada sepatah kata yang terucapkan. Membiarkan anak yang selama ini sering diabaikan kini diliputi kesedihan, sementara dirinya tak bisa berbuat apa-apa. Sungguh, Samuel mulai menyadari betapa tidak berguna dirinya sebagai orang tua.


🍬🍬🍬


Sepoi-sepoi angin malam memaksa remaja itu merapatkan jaketnya. Namun, tak ada keinginan untuk beranjak dari duduknya. Dia masih betah di sana, ditemani taburan lintang yang malam ini tampak sedang beramai-ramai menunjukkan pesonanya. Seolah mencoba menghibur si penggemar malam yang kini tengah ditelan muram.

Dua jam lalu, dokter yang menangani Rei telah berhasil menyelamatkan nyawa anak itu. Memompa belasan butir pil keluar dari lambungnya dan mengatakan sebuah kemungkinan bahwa Rei menelan obat tidur itu secara sengaja.

Saat mendengar penuturan itu dari sang ayah, tubuh Theo seketika lemas. Jelas sekali ini adalah salahnya, si pecundang yang tidak memiliki keberanian untuk mengucap maaf dan berakhir melukai seseorang. Penyesalan tak berujung itu membuatnya tak mempunyai keberanian untuk sekadar melihat kondisi Rei. Dia hanya bisa mengasingkan diri di sudut taman rumah sakit dengan alasan menghirup udara segar. Padahal, kenyataannya hanya sesak yang kini mendesak.

“Theo ….” Suara lembut nan halus terdengar, seiring dengan kemunculan sosok yang beberapa hari ini mulai Theo akui eksistensinya.

Sosok itu, Celine, lantas duduk di bangku tempat Theo sedari tadi bersandar sembari memandangi pekat langit. Jemari lentiknya terangkat, mengusap pelan pipi remaja dengan sweater biru muda itu dan membuang napas pelan.

“Udaranya udah mulai dingin. Kamu nggak mau masuk?” ujar wanita itu, menatap lekat pada sosok yang seolah tak terusik dengan kehadirannya.

“Belum, nanti.” Theo menjawab singkat. Meski sebenarnya enggan bersuara, ia merasa semakin berdosa jika mengabaikan Celine.

“Tante duluan aja, nanti aku nyusul,” lanjutnya, dengan maksud mengusir wanita itu secara halus. Namun, tampaknya Celine tak memiliki keinginan untuk beranjak.

Wanita itu justru menyodorkan sebuah kantong berisi makanan yang sengaja ia bawa untuk menemui Theo.

“Kalau gitu makan dulu, yuk. Tadi Mama delivery burger, kita makan bareng, ya,” tukasnya dengan tangan yang masih setia terulur.

Keterkejutan tergambar jelas di wajah anak itu. Rasa benci yang selama ini bersarang di hati membuat Theo tak pernah sudi untuk sekadar menatap wajah sosok ini. Ia selalu murka tiap kali Samuel menekankan jika orang ini adalah ibunya. Sebab bagi Theo, tak ada wanita manapun yang bisa menggeser posisi sang ibu di hatinya. Terlebih lagi, dia beranggapan bahwa kehadiran Celine telah mengikis jarak antara ayah dan anak itu. Kebencian terhadap ibu dan anak itu semakin membesar seiring waktu berlalu.

Namun, begitu mengingat kembali kenangan yang terpendam, nyatanya Theo dulu tak begitu membencinya. Wanita ini memang sedikit menyebalkan, tetapi dia tak pernah terusik dengan kehadirannya. Bahkan mereka pernah mempunyai saat-saat bahagia bersama.

“A–aku nggak laper,” sahutnya kikuk.

“Mana mungkin nggak laper. Papa bilang tadi baru mau ajak makan malam bareng, tapi nggak jadi, ‘kan?” Celine mengeluarkan satu bungkus burger dari kantong dan kembali menyodorkannya pada Theo. “Dimakan, ya. Mama temenin.”

Akhirnya, Theo tak lagi bisa menolak. Bocah itu menerima burger dari Celine dan mulai menyantapnya tanpa selera. Sesekali sudut matanya melirik sosok di samping yang juga tengah menyantap makanannya. Tak ada yang bersuara hingga sepotong roti berisi cincangan daging dan beberapa helai sayuran itu tandas tak tersisa.

“Kamu pasti syok dengan semua ini, ya?”

Pertanyaan itu terlontar tepat setelah Theo selesai meneguk air dari botol yang Celine berikan. Tangannya yang tengah terangkat untuk menutup kemasan seketika terhenti dan fokusnya beralih pada sosok anggun itu.

“Mama juga kaget begitu dapat telepon dari Papa soal Rei yang minum obat tidur belasan butir sekaligus. Dunia Mama rasanya berhenti berputar dan nggak ada yang apa pun di pikiran Mama selain segera sampai sini dan ketemu Rei.”

Theo melihat jemari Celine meremas pelan botol di genggamannya. Seolah menandakan jika sebenarnya wanita ini tengah berusaha menguatkan diri dan sok tegar di hadapan yang lebih muda.

“Syukurlah, sekarang kondisinya sudah stabil. Kita tinggal tunggu dia siuman,” ucapnya dengan senyum tipis yang jelas sekali dipaksakan.

“Kenapa?” Remaja itu menggigit bibirnya, berusaha keras untuk tidak bergetar ketika melontarkan pertanyaan itu.

Sementara itu, Celine justru mengernyit. “Kenapa gimana?”

“Yang bikin dia kayak gini itu aku.” Theo mengubah posisi duduknya hingga berhadapan dengan Celine. “You should blame me for everything that happened to him.”

“Tante bisa tampar atau pukul aku. Do anything that makes you feel better. Kenapa malah bertingkah seolah aku nggak terlibat? You know that my hatred makes you both suffer, right? So, at least do something like I’ve done to you,” lanjutnya diiringi dengkus gusar.

Namun, luapan emosi Theo yang sudah diutarakan sedemikian rupa lagi-lagi hanya dihadiahi dengan senyum tipis dari Celine. Wanita itu beralih mendongak dan menatap langit yang kini perlahan ditutup awan, menyembunyikan bintang yang tadinya bertebaran.

“Kalau bicara soal penderitaan, kita semua menderita, Nak. Karena keegoisan yang ada pada diri masing-masing, tanpa sadar kita hancur. Jadi, jangan cuma menyalahkan dirimu, karena pada dasarnya kita semua sudah melakukan kesalahan.  Dan sangat wajar buat kamu benci kami, orang asing yang tiba-tiba mengusik kebahagiaan keluarga kecil ini.”

Kini sepasang netra legam itu kembali menatap Theo, tepat ke manik almond bocah itu hingga ia tak memiliki kekuatan untuk berpaling.

“Tapi ….” Tangan wanita itu terangkat dan meraih jemari milik Theo. “Boleh sekali lagi Mama egois dan minta kamu untuk berhenti menyalahkan dirimu? Baik kamu maupun Rei, nggak ada yang bersalah. Semua adalah takdir dari Tuhan yang kebetulan dirangkai untuk kalian. Jadi, jangan sedih, ya. Kamu kuat, Rei juga.”

Jika hatinya memiliki pintu dengan kunci ganda, maka saat ini juga Celine telah berhasil menerobos melewati batas itu. Dia luluh dengan betapa lembut ucapannya. Meski masih sedikit canggung setiap berhadapan, tapi Theo tahu betul ketulusan yang terpancar bukanlah kebohongan. Setidaknya, untuk kali ini saja, Theo ingin memenuhi keinginan dari wanita ini.

–STRUGGLE–

Halowww~

Update yaaa. Tinggal 2 bab lagi end.

Jangan lupa ramaikan, dan follow aku 😗

Salam

Vha

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro