Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

• TUJUH •

Hari makin malam, pengunjung yang tadinya sibuk berlalu-lalang di toko buku kini berangsur sepi. Namun, Daffa masih harus menemani Keisya mencari buku yang pas untuk pengobatan Eva. Satu buku saja tidak cukup bagi gadis itu, apalagi kalau sudah bertukar pikiran dengannya, waktu pun dilupakan.

Daffa menguap lebar lalu membuang napas kuat-kuat, memberi kode untuk Keisya supaya mereka bisa cepat pulang. Sayang, gadis itu tidak peka, jarinya masih sibuk menunjuk setiap buku yang terpajang di rak.

Hingga seorang anak kecil asing di ujung rak mencuri perhatian Daffa. Anak kecil itu melompat-lompat, seperti mencoba mengambil cerita kartun di rak paling atas. Namun, tubuhnya terlalu kecil untuk menggapai, seukuran anak TK.

Anak kecil itu mencoba memanjat rak. Buru-buru Daffa berlari mendekatinya sebelum tubuhnya jatuh terhuyung ke belakang. Untung saja, dia berhasil memeluk anak kecil itu. Kalau tidak, pasti kepalanya sudah membentur lantai.

“Aku mau Elsa!”

Pinta anak kecil itu sambil menunjuk buku di atas rak. Ternyata, dia sangat menyukai salah satu karakter dari cerita Frozen. Daffa mengangguk, lalu mengambilkan buku itu untuknya. “Suka banget, ya, sama cerita ini?”

“Suka, Elsa bisa buat boneka salju!”

Senyum hangat anak kecil itu, menyambar ke bibir Daffa hingga dia ikut tersenyum. Jika dilihat dari dekat, anak kecil ini memiliki bola mata berwarna biru muda seperti laut, rambut sedikit pirang, dan freckles di wajah, pasti keturunan bule. Sangat menggemaskan, ditambah baju kodok yang dikenakannya. “Nama kamu siapa?”

“Abel.”

“Abel sendirian aja ke sini?”

“Enggak sendirian, sama Mama.”

Daffa menengok ke kanan-kiri, mencari mamanya anak kecil itu. Rasanya tidak benar bila mereka meninggalkannya sendirian di sini. “Mamanya mana sekarang?”

“Enggak tahu.”

Jawaban tak acuh anak kecil tadi membuat jantung Daffa mencelus. Apa dia anak hilang?

“Daffa, ngapain tadi lo lari-lari? Kirain mau ninggalin gue!” Keisya datang sambil membawa buku bergambar stetoskop dan novel berjudul Struggle karya Rachma Angelica.

Daffa mengernyit menatap novel itu. Sempat-sempatnya Keisya mencari buku lain, atau mungkin alam bawah sadar gadis itu ingin merasakan perjuangan, entahlah. Yang jelas gadis itu sekarang cemberut dan terus mengutuknya yang pergi begitu saja. Setelah Daffa menjelaskan soal anak kecil itu, barulah Keisya mengerti dan memaklumi.

“Kayaknya kita harus pergi ke layanan informasi,” usul Keisya yang dibalas anggukan oleh Daffa.

Daffa, Keisya, dan Abel pergi ke bagian informasi yang masih berada dalam toko, menghubungi layanan pelanggan untuk mengumumkan keberadaan anak hilang. Siapa tahu orang tuanya juga sedang kebingungan mencari.

Selagi menunggu orang tua Abel datang, Daffa membeli es krim dari salah satu restoran fast food untuk Keisya dan Abel.

“Nih, rasa vanila kesukaan lo.” Senyum Keisya mengembang, setelah menerima es krim darinya, seperti bolu yang baru matang: manis dan hangat. Gadis itu bersenda gurau dengan Abel sambil melayangkan sesendok es krim ke mulutnya.

Daffa ikut terkekeh saat Abel tertawa girang. Pipi anak itu membulat disuapi Keisya. Pandangan Daffa juga tidak lepas dari mata Keisya yang selalu berbinar, apalagi saat gadis itu memeragakan sendok seperti pesawat terbang.

“Sambil nunggu mama kamu datang, kita makan es krim dulu, ya. Nih, pesawat akan segera mendarat. Ayo, buka mulutnya lebar-lebar!” tutur Keisya membuat Abel melahap suapannya.

Daffa mengepalkan tangan dalam saku, makin lama menatap Keisya, makin membuatnya takut akan kehilangan gadis itu. Gue engga bakal ngelepasin lo, Kei. Sampai lo jadi milik gue. “Kei, lo tau sesuatu engga?”

Keisya menautkan alis. “Nggak taulah! Orang belum dikasih tau.”

“Sebenarnya, udah lama gue mau ngomong ini—“

“Abel!”

Tiba-tiba ada suara seorang wanita memanggil Abel. Daffa berbalik badan, ternyata orang tuanya sudah datang. “Mama!” Seketika, Abel turun dari kursi lantas berlari dalam pelukan sang mama dan Laura.

Loh, Laura? Kenapa kedatangan lo memang selalu bikin kacau!

Sepertinya, semesta belum berpihak pada Daffa, sehingga waktu belum mengizinkannya untuk mengakui perasaan yang sebenarnya pada Keisya. Mungkin, dia bisa mencoba lain kali.

“Dicari-cari malah hilang. Makanya, jangan berkeliaran sendiri, Dek!”
Omel Laura hingga seisi pengunjung toko menatap bingung ke arahnya.

Tidak heran jika Abel adalah adik Laura, dari segi wajah dan penampilan mereka memang mirip, tapi Laura terus mengomeli Abel habis-habisan sampai menjitak kepalanya. Membuat Abel mengaduh dan merengek kesakitan.

Cepat-cepat mamanya turun tangan untuk melerai mereka, sebelum pertengkaran itu menjadi konsumsi publik. “Sudah, Laura, jangan kasar sama Abel! Dia udah ketemu.” Setelah Laura diam, mamanya menatap Daffa dan Keisya secara bergantian.

“Terima kasih, ya. Saya sama Laura tadi sudah khawatir banget Abel hilang karena sibuk berdebat soal buku tadi sampai enggak sadar anak ini sudah hilang.”

Daffa menggaruk tengkuk yang tidak gatal dan melirik Keisya yang hanya bisa tertunduk sambil memilin jari. “Tadi kami cepat-cepat hubungi layanan informasi, Tan.”

Mama Laura mengangguk, menatap buku yang digenggam Abel, lalu menghela napas lega. “Apa buku Frozen itu kalian yang belikan?” Bukannya dijawab, Daffa dan Keisya malah diam saja. “Kalau iya, berapa harganya? Biar saya ganti.”

Daffa segera menahan tangan mama Laura, sebelum wanita itu memberinya uang. “Engga usah repot-repot, Tan.”

“Ayolah, terima saja.”

“Tolong, Tan, engga usah. Kami ikhlas kok.”

“Terus, bagaimana saya membalas kebaikan kalian?”

Makin ditolak, makin besar dorongan mama Laura untuk membalas kebaikan keduanya. Akhirnya tidak ada yang mau menjawab, baik Keisya maupun Daffa. Perlahan, kesunyian merambati mereka sampai terdengar irama Abel bernyanyi. “Happy birthday to you! Happy birthday to you!”

“Lusa nanti hari ulang tahun Abel, makanya dia nyanyi terus, di rumah juga begitu. Mungkin kangen dengan pesta kecil tahun kemarin.” Mama Laura mendesah lesu. “Saya belum ada persiapan, kue belum dipesan, balon-balon juga, kira-kira kalian tahu enggak cara menyiapkan pesta dengan cepat?”

“Aku mau balon!” celetuk Abel dengan girang yang langsung disunguti oleh Laura.

Daffa menjentikkan jari. “Kebetulan banget, Tan. Keisya kerja di event organizer, pegawai mereka profesional, dekorasinya juga sempurna. Lengkap sama kue-kuenya. Ya, ‘kan, Kei?”

Seketika, Keisya melotot dan terus-terusan menyikut lengan Daffa. Daffa mengernyit, kenapa gadis ini malah gugup dan terkekeh tidak jelas menanggapi mama Laura? Padahal, bagus dirinya dipromosikan. Dengan begitu, dia tidak perlu susah-susah mencari klien.

“Kamu kerja di EO? Wah, bagus dong. Masih muda, cantik, pintar cari uang sendiri lagi. Berapa nomornya? Nanti saya hubungi.”

Daffa menunggu Keisya memberikan tanggapan, tetapi gadis itu malah diam saja, membuatnya geram. “Ayolah, Kei, ini kesempatan bagus. Mau sampai kapan kamu malu-malu?” bisiknya.

“Ya, masa bareng Laura, Daf? Lo liat sendiri dia dari tadi nggak mau natap gue, kayak gue ini matahari aja. Malah sibuk sendiri sama Abel.”

“Dia memang gitu orangnya. Judes, tapi baik. Buktinya dia bantuin nyari donasi buat lo.”

“Justru itu, gue nggak enak. Belum ganti duit Laura, udah nolak donasinya lagi. Kira-kira mamanya tau nggak, ya, soal ini?”

“Makanya buat nebus kesalahan itu, lo terima pekerjaan ini. Hitung-hitung bantu pegawai lain.”

“Tapi ….”

Mama Laura berdeham, raut wajahnya berubah sedikit masam, seperti sudah lelah menunggu lama. “Jadi, bagaimana? Saya harus segera pulang, toko ini juga mau tutup.”

Walau sedikit berat hati, Keisya setuju menyebut nomor digit perusahaannya, tidak lupa nomor ponsel pribadinya, agar lebih mudah untuk dihubungi. Setelah itu, Laura, mamanya, dan Abel berpamitan pada Keisya dan Daffa.

~•••~

Keisya meletakkan sepeda di depan hotel yang cukup terkenal. Setelah melingkarkan kamera di leher, dia menyugar, lalu masuk ke hotel dengan penuh senyum. Siang ini, dia akan mengambil beberapa gambar untuk mendokumentasi acara ulang tahun Abel.

Seperti biasa, sebelum mulai bekerja, Keisya mengangkat sebelah tangan yang mengepal. Semangat!

Dengan seragam hitam berlogo perusahaan, Kesya tiba di depan ballroom hotel. Sudah terpajang gate dari styrofoam dengan tema Frozen khas warna biru persis kesukaan Abel di sana.

Tanpa membuang waktu, Keisya segera masuk, yang pertama menyergapnya adalah ratusan balon berwarna biru dan putih yang menghias dinding dan kursi mungil berbalut pita yang manis. Diramaikan backdrop styrofoam di atas panggung yang menggemaskan dengan bentuk kartun favorit empunya pesta, yaitu Elsa, Olaf, dan karakter lainnya.

Baru pertama kali, Keisya melihat dekorasi semeriah ini.

Tim penyelenggara tampaknya masih sibuk mengerjakan tugas masing-masing, tetapi tetap kompak dan teliti. Keisya ikut membantu dengan menata bingkisan dan aneka suguhan di meja.

Kue yang dihiasi lilin angka lima sudah siap, saatnya ketua penyelenggara melakukan inspeksi alias pemeriksaan final, yaitu memastikan semuanya lengkap. Dada Keisya menggebu-gebu ketika tangannya dengan para tim bersatu, saling mendoakan untuk keberhasilan nanti. Tidak ada yang lebih sempurna dibanding kerja sama tim yang baik.

Tak lama, Abel masuk dari pintu ballroom dengan berbalut gaun anggun. Mama dan Papanya turut hadir dengan setelan yang menyesuaikan. Sejenak, Keisya pangling sampai akhirnya dia tersadar, tidak menemukan batang hidung Laura. Batinnya mulai bertanya-tanya. Apa Laura nggak datang?

Lima belas menit menunggu, Keisya tetap setia berdiri di pojok, menunggu kehadiran Laura. Namun, gadis itu tak kunjung muncul, sedangkan para tamu sudah berdatangan. Ada 60 anak dan 150 undangan dewasa. Keisya mulai menggigiti jari, seingatnya dia tidak melakukan kesalahan buruk lainnya. Apa gue tanya Abel aja, ya?

“Keisya!”

Keisya ingin menanyakan perihal Laura pada Abel, tetapi salah satu pegawai memanggil, meminta bantuan karena kewalahan menangani tamu. Keisya mendengkus, mau tak mau dia harus turun tangan. “Nanti kalau ada badutnya sudah datang, jangan lupa dipotret, ya.”

“Wah, kita nyewa badut, ya. Ada berapa orang?”

“Tidak, kok, mana ada kita sewa badut. Dia kerja sendiri. Makanya, biar tambah bagus, fotonya kamu jepret beberapa kali.”

Keisya mengangguk, tidak sabar menunggu sang badut datang. Usai para tamu mengisi daftar tamu, mereka kini berbaur, dan berfoto bersama.

Begitu acara dimulai, semua wajah tampak ceria. Dari ujung panggung Keisya ikut bernyanyi dan bertepuk tangan meriah untuk Abel. Senyumnya mengembang. Perutnya seakan dipenuhi kupu-kupu. Tak pernah, dia rasakan kebersamaan seperti ini sebelumnya. “Selamat ulang tahun, selamat ulang tahun, kami ucapkan ... selamat panjang umur, kita ‘kan doakan ....”

Abel meniup lilin bersama orang tuanya. Perlahan, hangat menjalar dalam dada Keisya. “Coba aja gue jadi Abel, pasti seru.” Matanya berbinar, Abel memang beruntung masih memiliki orang tua lengkap dan dikelilingi oleh orang-orang tersayang. Berbeda, dengan dirinya yang sedari kecil sudah ditinggal sang Ayah.

“Astaga, kok gue ngomong gini, sih!” Keisya menggeleng-geleng, dadanya seakan dipukul palu godam. Tidak seharusnya membanding-bandingkan nasibnya dengan orang lain. Saat ini, ibunya sedang terbaring lemah di rumah sakit dan butuh pengobatan, bukan malah asyik berpesta.

Sampai pada puncaknya, pembawa acara mengajak semua tamu untuk bermain. Anak-anak tampak antusias, mengetahui ada hadiah yang bisa mereka buru. Melihat anaknya girang sudah pasti orang tua ikut senang, selain menghibur ajang ini juga bermanfaat untuk membuka ruang interaksi sosial bagi si kecil. Inilah kesempatan Keisya untuk bertanya pada Abel. Sebelum itu dia harus memberikan ucapan ulang tahun.

“Abel, Kak Laura ke mana?”

Seketika, bibir Abel cemberut. “Enggak ikut!”

Keisya mendesah gusar. Walau penasaran, dia tidak akan menanyakan alasannya, tidak juga membuat raut wajah Abel masam, jadi lebih baik dia memeluknya erat. “Semoga Kak Laura nyusul ke sini, ya.”

“Ada badut Mickey Mouse!” pekik salah satu anak.

Mata Abel langsung berbinar, mulutnya menganga. “Mickey Mouse datang!” Dia ikut menyusul anak-anak lain yang berlari ke arah pintu ballroom.

Kirain cuma suka Frozen, batin Keisya sambal terkekeh.

Sorak-sorai anak-anak begitu heboh menyambut badut yang muncul di pintu ballroom, dengan taburan confetti yang ditembakkan padanya. Badut itu masuk membawa puluhan balon helium. Keisya menyunggingkan senyum melihat anak-anak tertawa girang. Namun, senyumnya perlahan pudar, setelah badut itu membuka topeng untuk tos dengan Abel. “Si monyet?”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro