Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3 - New Life

Mobil Raka berhenti tepat di depan rumah Dinda. Tak banyak perbincangan yang terjadi sepanjang perjalanan, namun gadis itu tetap harus berterima kasih untuk hari ini.

"Makasih ya, Ka. Hati-hati di jalan. See you." Dinda membuka sabuk pengaman dan hendak menarik kunci pintu.

"Gue serius soal tadi."

Tangan Dinda terhenti seketika.

"Apa pun yang mau lo makan, gue temani."

Dinda terdiam, namun ia bergegas keluar mobil Raka tanpa mengatakan apa-apa. Kakinya melangkah dua kali lebih cepat untuk masuk ke dalam rumah. Meski Dinda sadar kalau di halaman rumahnya terparkir mobil SUV milik Adam. Kakaknya itu pulang khusus untuk makan malam bersama.

Dinda masuk rumah dan disambut dengan suara perbincangan ayah dan kakaknya dari ruang makan. Seperti biasa, mereka terdengar antusias membahas salah satu kasus yang sedang ditangani kakaknya. Sampai saat ini, Dinda masih belum mengerti. Di mana letak nikmatnya makan sambil membahas kasus penipuan?

"Dinda, ayo makan. Ada Kak Adam sama Adel, jarang kan kita bisa kumpul lengkap kayak gini." Ibu menghampiri Dinda yang nyaris saja melewati ruang makan tanpa suara.

"Dinda udah makan sama teman, Bu."

"Ibu masak semur favorit kita lho, Kak!" Adel berseru ceria tanpa bangkit dari meja. Sedetik kemudian, adik Dinda itu ikut hanyut ke dalam perbincangan kakak pertama dan ayahnya. Kasus penipuan yang melibatkan dua keluarga konglomerat memang kelewat seru bagi mereka.

"Semur kasus," bisik Dinda yang terdengar oleh ibunya.

Ibu langsung menggenggam jemari Dinda, "Ibu juga bukan orang hukum. Nanti kita bahas yang lain aja gimana?"

Sadar bahwa hanya ibu satu-satunya orang yang memahami perasaan Dinda, akhirnya gadis berkacamata itu mengangguk. Setidaknya ada semur, itu yang akhirnya Dinda gunakan sebagai penghibur.

🌹   🌹   🌹

Dua jam lebih pagi dari biasanya, Dinda sudah berada di stasiun kereta. Duduk termenung di peron dan mencoba menatap lalu lalang manusia yang berebut memasuki gerbong agar memenuhi pikirannya. Tapi gagal.

Pikiran Dinda masih dipenuhi kejadian semalam. Kata-kata ayahnya terdengar lebih menyakitkan hingga Dinda tidak sanggup lagi untuk diam menahan diri. Ia memilih masuk kamar dan pergi lebih pagi agar tidak ada interaksi.

"Kupikir setelah izinin aku kerja bareng Kak Satya dan Kak Putri, ayah mulai berubah. Ternyata aku salah, Ayah nggak akan pernah berubah..."

"Ayah bangga sekali sama kalian. Putra sulung ayah jadi pengacara yang diperhitungkan firma. Dan putri bungsu ayah rupanya ingin jadi jaksa. Andai saja yang satunya mau diatur, nggak akan jadi kayak sekarang. Nggak jelas tujuannya mau ke mana."

"Ayah, jangan begitu dong. Dinda juga lagi berusaha sekarang. Iya kan, Sayang?" Ibu mengusap lembut jemari Dinda yang sudah mengepal di bawah meja.

"Apa kata orang? Ayahnya mantan hakim. Tapi anaknya malah kerja di perusahaan rintisan. Itulah kalau nggak--mau ke mana kamu?! Ayah belum selesai bicara, Dinda! Pergi saja kalau nggak mau diatur!! Jangan pulang sekalian!!!"

"Jangan pulang... Tapi aku harus ke mana? Aku belum punya uang sebanyak Kak Adam yang bisa tinggal di apartemen dan beli mobil." Dinda menunduk sambil mengacak rambutnya. "Kenapa sih hidup orang dewasa berat begini?"

"Dinda?"

Seketika Dinda mendongak ke sumber suara. "Lho, Kak Putri?! Kenapa kakak di sini? Eh, tunggu-tunggu. Kakak duduk dulu. Aduh, itu perutnya udah besar. Kenapa malah naik kereta?"

Putri tertawa kecil melihat Dinda yang tiba-tiba jadi banyak bicara. "Kamu banyak berubah ya, Dinda. Mas bilang sejak kamu makin dekat sama Raka, kamu jadi makin rame. Mau nyaingin Mbak Dini malah ramenya."

"Eh, aku?! Masa sih..? Aku nggak nyadar. Tapi Kak Putri mau ke mana sepagi ini? Itu kotak bekal ya, Kak?"

Putri tersenyum sambil mengangguk, tangan kanannya menggenggam tas bento. "Iya, ini bekal buat Mas. Tadi malam dia nggak pulang. Sepertinya ada sesuatu, kemarin tiba-tiba Mas ditelepon dan langsung ke kantor."

Ah, iya... Kemarin ada pihak investor nemuin Pak Arya, makanya aku sama Raka bisa beli kado melahirkan. Kak Satya pasti sengaja rahasiain ini biar Kak Putri nggak cemas.

Dinda memperhatikan wajah Putri yang perlahan memucat, keringat pun mengalir di pelipis wanita yang terlihat lebih berisi itu. "Kak Putri nggak apa-apa?"

Putri hanya tersenyum kecil sambil menahan sakit, "Nggak apa-apa kok, Din. Cuma... perut bawahku agak mulas. Sedikit... lebih nyeri dari biasanya."

Dinda menatap Putri dengan ngeri. "K-kak... kita harus ke rumah sakit sekarang."

"Eh?" Sedetik kemudian, Putri menjerit menahan sakit yang teramat sangat. "Akh!"

"Kak Putri itu mau melahirkan, ibuku juga begini waktu mau lahirin Adel!" Dengan panik, Dinda meminta bantuan petugas stasiun untuk membantu Putri masuk ke dalam taksi dan bergegas menuju rumah sakit terdekat.

🌹   🌹   🌹

Dinda duduk di lorong rumah sakit dengan sekujur tubuh gemetar. Bayang-bayang Putri yang kesakitan di dalam taksi menyatu dengan kenangan masa kecil Dinda. Meski samar, rasa sakit ibunya dulu seakan ikut mengalir di dalam darahnya. Dan adegan itu kembali terulang persis di depan mata.

Walau sekuat tenaga Dinda berusaha tenang agar tidak membuat Putri semakin panik selama di perjalanan, namun ia tidak bisa membohongi suaranya yang terbata-bata ketika menghubungi Satya.

"K-kak Satya! Aku sama Kak Putri lagi di taksi. Kayaknya Kak P-putri mau melahirkan. Aku nggak tahu harus apa, tapi Kak... Kak Satya harus ke sini. Mak-maksudku RSIA Pesona Anggrek--eh, kenapa teleponnya mati?!"

Dinda hanya berharap, Satya segera tiba. Ketakutan namun tak bisa melakukan apa-apa itu sebuah bencana. Dan Dinda membencinya.

"Dinda!!"

Dinda menoleh dan bangkit saat melihat Satya berlari menghampirinya bersama Raka. "Kak Putri di dalam, dia--" Tanpa menunggu Dinda selesai bicara, Satya langsung masuk ke ruang yang ditunjuk.

Dinda menggigit bibir sambil menunduk, perasaan lega itu justru membuat wajahnya memanas. Semua kecemasan yang ia tahan sejak tadi seakan ramai-ramai menuntut untuk dikeluarkan. Isakan yang tertahan perlahan terdengar.

Raka yang masih terengah langsung memeluk gadis itu tanpa bersuara. Tak dapat dipungkiri, ia pun panik melihat Satya yang seperti kesetanan menyuruhnya untuk membawa mobil bak pembalap di jalan ibukota. Apalagi gadis yang harus berhadapan langsung dengan seseorang yang akan berjuang menghadapi hidup dan mati di dalam sana.

"It's okay, Dind. Kita tau Putri itu kuat. Satya juga udah di dalam. Semua akan baik-baik aja," bisik Raka pelan. Perlahan, tangan Raka mengusap rambut Dinda. Kelembutannya justru membuat tangis gadis itu pecah.

Di sela tangisnya yang kian terisak, Dinda sadar. Ia bukan hanya cemas akan kondisi Putri yang tengah memperjuangkan jiwa baru di dalam sana. Tapi juga menangisi luka hati yang ia dapatkan semalam, dari seseorang yang seharusnya menjadi tempat Dinda bersandar.

🌹   🌹   🌹

Satya segera mendekat ke ranjang persalinan, Putri memejamkan mata menahan sakit dengan peluh yang bercucuran. Tangannya mengusap lembut bulir keringat di kening Putri lalu mengecupnya singkat. "Sayang."

"Mas..," lirih Putri nyaris berbisik. Rasa sakit membuatnya tak mampu bicara banyak.

Satu tangan Satya mengusap rambut Putri, sementara yang lain menggenggam jemari istrinya yang terasa dingin. "Kamu pasti bisa, mas yakin kamu kuat, Sayang."

Setetes air mengalir dari ujung mata Putri. Perutnya mulas luar biasa dan bagian di antara dua pahanya pun nyeri bukan main. Putri merasa tubuhnya seakan dihancurkan perlahan-lahan. "Mas... sakit...."

Satya mengeratkan genggamannya di jemari Putri. "Kamu pasti bisa, Sayang. Mas selalu di sini sama kamu." Satya menempelkan keningnya di pelipis sang istri yang basah keringat. Hatinya tercabik melihat Putri begitu kesakitan.

Masih jelas di telinga Satya penjelasan dokter mengenai kondisi istrinya sebelum ia menemui Putri. Pembukaan yang belum kunjung lengkap membuat Putri harus terus menahan nyeri tanpa henti. Pemberian suntikan pereda sakit dihindari untuk keselamatan keduanya.

"Nak," ucap Satya pelan sambil mengusap lembut perut Putri. "Anak ayah yang baik."

Suara Satya membuat Putri memfokuskan pandangannya pada sang suami.

"Ayah sama bunda nggak sabar buat ketemu kamu, Sayang. Ayah pengen gendong kamu, cium kamu, ajak main kamu sama Bunda ke tempat yang indah."

Putri tersenyum kecil, tangannya mengusap pipi Satya yang terus menatap perutnya penuh kasih. Entah bagaimana, Putri merasa nyerinya sedikit berkurang.

"Ingat dongeng yang pernah ayah bacakan? Nanti kita ke sana bertiga ya, Sayang. Kamu bebas main apa aja." Satya mengecup perut Putri, "Anak kesayangan ayah. Anak kesayangan bunda. Lahir yuk, Nak. Lahir ya, Sayang. Ayah sayang sekali sama kamu dan bunda."

"Mas," erang Putri tiba-tiba.

Satya terkejut dan dokter segera memeriksa pembukaan Putri. Degup jantung Satya naik dua kali lipat saat dokter akhirnya menganggukkan kepala memberi pertanda. Sudah saatnya.

Semua seakan berjalan lambat.

Teriakan Putri.

Peringatan dokter.

Cengkeraman tangan Putri yang menguat.

Napas yang terengah seakan bisa habis kapan saja.

Dukungan Satya yang tiada henti untuk istrinya yang nyaris putus asa.

Hingga akhirnya tangisan itu terdengar. Suara mungilnya menggantikan ketegangan dengan keharuan yang memenuhi ruangan.

Putri terdiam dengan perasaan membingungkan. Lega, cemas, ragu... semua menjadi satu. Namun, letih yang paling mendominasi tubuhnya saat ini.

"Mas..." Putri yang kelelahan berusaha tetap terjaga, namun pemandangan yang ia lihat membuatnya seakan kembali bertenaga.

Satya menggendong anak pertama mereka dengan berurai air mata. Pria itu menatap istrinya dengan senyum terindah yang pernah Putri lihat sepanjang pernikahan mereka.

"Terima kasih, Sayang." Satya mengecup pelipis Putri. "Kamu ibu yang hebat."

Perasaan Putri seketika dibanjiri kehangatan. Tatapan kasih Satya yang tak kunjung berhenti untuknya dan anak mereka membuat ia merasa begitu dicintai.

"Sayang, jangan cemburu ya. Dia cantik banget kayak kamu."

Putri tertawa kecil, bagaimana bisa seorang bayi merebut perhatian pria miliknya kurang dari satu menit? Namun, sesuatu terlintas di pikirannya. "Maaf ya, Mas. Bukan anak laki-laki."

Satya memberikan bayi mereka untuk Putri gendong. Tangannya menyentuh lembut wajah Putri dan kain bedong anaknya dengan hati-hati.

"Sayang, itu bukan hal yang penting. Buat mas sekarang, dunia mas itu kalian. Selama kalian sehat dan bahagia, mas juga bahagia. Mas sayang kalian berdua."

Mata Putri mulai memanas, bagaimana bisa pria sehebat ini mencintaiku?

Satya tersenyum lembut sambil mengusap sudut mata Putri yang mulai basah. "Terima kasih ya, sudah membuat mas jadi ayah yang paling bahagia hari ini."

Putri mengusap pipi suaminya. "Terima kasih sudah menjadi suami dan ayah yang sempurna, Mas Satya."

🌹   🌹   🌹

Raka terpaku pada manusia mungil dengan bedong berwarna merah muda di dalam salah satu kotak bayi. "Kata Satya, siapa namanya tadi?"

"Sachi, lengkapnya Sachi Prisha Mahendra. Sachi berarti kebahagiaan anak. Prisha berarti penuh cinta. Kebahagiaan anak penuh cinta-nya Mahendra. Manis ya namanya?" Dinda tak kunjung mengalihkan matanya dari bidadari mungil Satya dan Putri di dalam ruang kaca khusus bayi-bayi yang baru dilahirkan.

Raka mengangguk pelan. "Kalau Adinda Tsabita artinya apa?"

"Eh?" Dinda seketika menoleh bingung, "Kenapa kamu tanya arti namaku? Omong-omong, kamu tau dari mana nama lengkapku?" Ekspresi datar Raka membuat Dinda kian heran.

"Ayahmu kan manggil nama lengkapmu waktu ke kantor."*

Dinda seketika mengalihkan tatapannya kembali pada Sachi. "Kamu... masih ingat kejadian memalukan itu rupanya."

"Jadi apa artinya Adinda Tsabita?" Raka berusaha mengalihkan pembicaraan, dengan caranya.

"Perempuan kesayangan yang teguh hati. Aku sendiri bingung kenapa mereka menamaiku itu kalau bersikap sebaliknya."

Raka sebenarnya hendak bertanya, tapi ia sadar kalau perasaan Dinda tidak pernah baik-baik saja jika mengungkit masalah ayahnya.

Ngomong-ngomong soal nama. Gue penasaran Satya dapat ide Sachi dari mana. Kayak nama anak Jepang, tapi artinya bagus, sih...

"Ka, gimana rasanya tinggal di kost sendirian?"

"Tergantung motivasi. Gue sih fine-fine aja selama ada uang buat makan."

Tunggu, waktu itu Putri tahu game yang gue mainin pas awal kenal. Jangan bilang... mereka berdua emang suka jepang-jepangan? Wibu gitu?! Ya ampun, lucu juga mereka, hahaha.

"Hm..." Dinda bergumam singkat. "Apa kita tinggal bareng aja, ya?"

"Boleh." Eh, Dinda bilang apa barusan? Kita tinggal bareng... "HAH?!"

🐣🐣🐣


"Ayahmu kan manggil nama lengkapmu waktu ke kantor."*

Buat yang belum baca bagian ini, silakan baca Married a Stranger season 2 di Aplikasi Memories.

Info selengkapnya ada di
instagram: nnisation

🐣🐣🐣

Selamat datang ke dunia baby
Sachi Prisha💕

Semoga jadi anak perempuan pertama Satya-Putri yang cerdas seperti ayahnya & rame seperti ibunya.

Gimana?
Siapa yang berhasil nebak jenis kelamin anak Mas??

Tenang, meskipun karakter utama STCL itu RADIN, tapi keluarga Mas bakal tetep sering muncul kok💐
Terutama ponakan online kita: Sachi.

Okay, see you next part yesss!

Aku tunggu vote & komentar kalian di chapter ini, thankyou


Picture:

Ssst, Sachi lagi bobo, manis ya 😍

Kalau ini ilustrasi RADIN, waktu Dinda nangis karena panik (dan ingat ucapan ayahnya juga) terus langsung dipeluk Raka tanpa banyak ngomong 😍

Kapan ya bisa ketemu yang komposisinya kayak Raka?
Hehe.

--17 Agustus 2022

Dirgahayu Republik Indonesia ke-77 🇮🇩
Pulih lebih cepat, bangkit lebih kuat!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro