Chapter 3
'Kenapa dikatakan jatuh cinta? Sebab jatuh cinta adalah proses yang terjadi tanpa aba-aba. Terjadi begitu saja tanpa direncanakan sebelumnya'
Rintik-rintik hujan menemani malam hari yang kelam. Sebuah payung hitam menjadi pelindung saat berjuta-juta tetes air jatuh dari langit. Tubuh yang dibiarkan kedinginan dengan suhu yang menusuk. Hanya berbalutkan selembar kain tipis dengan sebuah jaket memeluk tubuh.
Gadis itu berdiri dengan setia, menunggu seseorang diluar sana. Yang mana, seseorang itu tengah dibopong oleh gadis lain setelah kendaraannya melewati gerbang dan latar rumah, berhenti di garasi mobil-mobil berharga jauh sangat tinggi.
Padahal, sedari tadi kepala itu menoleh ke kanan dan kiri untuk menemukan tanda-tanda kepulangan pria itu. Hati itu berseru untuk yang ditunggu segera pulang agar dia berhenti menjadi manusia bodoh yang menyiksa diri sendiri. Tapi yang terjadi, pria itu justru telah dibopong wanita lain kedalam rumah.
Masih dipegangnya erat payung itu. Oh ayolah, dia tidak buta untuk menyadari yang sedari tadi ditunggu ternyata sudah berada dalam pelukan wanita lain. Ditahannya air mata yang hampir menetes. Sebuah perasaan sakit yang menyeruak ke dalam dadanya.
Pada saat hati itu siap untuk menjelaskan rasa kepada Masato, rela menunggu berhujan-hujan daripada bergelung di bawah selimut hanya untuknya, dan hasilnya sia-sia saja. Hampir dua jam dia menunggu bak patung di depan rumah.
Baru saja dia mengerti arti sebuah kata, dan kini ia harus merasakan sakitnya. Apa memang sesakit ini? Kata yang mana setiap pujangga bilang tidak bisa digambarkan dengan sekedar prosa indah. Sebuah kata yang menyentuh titik terdalam setiap manusia.
Cinta, cinta. Kadang kau menjadi malaikat. Kadang kau menjadi iblis itu sendiri. Benar! Hatinya tiba-tiba disesaki dengan segala rasa khawatir pada Masato. Khawatir, yang kemudian berubah menjadi perhatian, perhatian-perhatian kecil yang ia berikan saat masih menjabat sebagai sekretaris Masato dulu, dan sekarang berubah menjadi cinta.
Dan sekarang dia takut. Takut Masato tidak mau menerimanya. Takut kehidupannya akan menjadi rumit hanya karena satu rasa ini. Takut dia akan kalah dari [Name] dalam mengambil hati Masato.
Oh, tidak taukah kau, Momoi? Bahwasanya Masato selama ini sudah mencintaimu? Kau yang terlalu polos atau kau yang terlalu bodoh? Siapapun bisa melihat bahwa Masato memendam rasa tersendiri untukmu. Yah, siapapun kecuali [Name] dan kau. Oh, ada apa dengan wanita-wanita tidak peka ini?
Dengan pelan, wanita yang masih mengenakan pakaian kerja khas Dokter ini merebahkan tubuh pria yang tadi dibopongnya dengan susah payah dari garasi menuju sofa ruang tamu. Dan percayalah, jarak itu tidak sependek yang kalian kira.
Gadis itu berdecak pelan akan keadaan Masato yang menarik belas kasihannya. Oh, siapa lagi yang mampu membuat gadis itu jadi sebaik malaikat, meninggalkan pasien dan rumah sakit sialan hanya untuk menjemput Masato yang katanya berpesta alkohol di sebuah bar ternama.
Dan amarahnya kembali tersulut saat tadi dilihatnya mobilnya melewati Momoi yang berdiri di depan rumah hanya bermodalkan payung dan jaket.
"Tck, ada apa sebenarnya dengan kau dan wanita itu?" Disuarakannya pertanyaan itu meski sadar pria di hadapannya tidak akan menjawabnya.
[Name] menjatuhkan tubuh pria yang dibopongnya di atas sofa ruang tamu.
"Apa kau pikir dengan mabuk-mabukan akan membuatku mengatakan jika aku tidak sudi mengemis cinta dari seorang pemabuk?"
Gadis itu menghela napas kasar. "Tidak! Kau mabuk pun tidak akan mengubah keputusanku untuk mengejar cintamu."
[Name] berbicara sendiri tanpa tanggapan dari pria dihadapannya. [Name] terus menatapi pria itu dengan rasa kecewa pada diri sendiri yang terlalu sulit meluluhkan hati pria itu.
Andai kau tau, [Name], tidak akan sesulit itu bila saja cintanya tidak sedalam itu kepada seseorang. Kau hanya tidak tau seberapa pria itu hancur mengetahui fakta bahwa gadis itu secara terpaksa diwajibkan menikah dengannya.
"Dan apa yang wanita itu lakukan di luar sana? Dia tidak sedang menunggumu, kan?"
[Name] angkat bicara sembari tangannya mengelap halus bulir-bulir peluh di wajah pria itu.
"Jika iya, kalian memaksaku bertindak lebih dari yang sebelumnya."
Mata [Name] menusuk tajam pada kamar di depan sudut pandangnya. Berapi-api sebelum melepas kasar jas putihnya.
"Jika terjadi sesuatu antara kau dan wanita itu, akan kupastikan kalian tidak akan pernah bertemu kembali. Bagaimanapun itu, semua harus berakhir sesuai keinginanku."
Amarah [Name] mulai terbakar. Prediksi demi prediksi berlalu-lalang di kepalanya. Ketidak-tahuannya mengenai masa lalu Masato dipergunakan sisi iblis dalam dirinya untuk menggandai antagonis [Name].
Ditemani amarahnya, sisi kepedulian itu tercubit melihat kekacauan yang terjadi pada Masato. Meski bayangan Momoi yang tadi dilewati mobilnya beberapa puluh meter di depan gerbang rumah mereka sering melintas.
"Aku benci harus mengurusmu jika kau sekacau ini karena wanita lain dan bukan karena aku."
Kesalnya, berjalan pelan menuju dapur untuk mendapatkan air hangat untuk Masato. Rumah mereka sepi setelah Tuan dan Nyonya Hanamiya meninggalkan rumah untuk urusan mereka di luar negeri. Hanya berlalu-lalang para asisten rumah tangga dan juga pekerja mereka yang lain.
Saat kaki itu membawanya ke dapur, dan gelas berisi air hangat telah dipegang oleh tangan kanannya, gadis itu berniat untuk kembali pada tempat semula. Tidak sampai disana, matanya sudah lebih dulu tergoda untuk mengintip kecil pada sesuatu yang menarik pendengarannya. Sebuah bunyi hempasan keras, meski hanya satu kali, di samping kamar yang tadi ditatapnya tajam.
Mungkin bunyi itu akan biasa jika bunyinya berasal dari sebuah ruangan atau berasal dari benda jatuh yang bisa disaksikan langsung oleh indranya. Tapi faktanya, bunyi itu berasal dari dinding yang di depannya berdiri kokoh sebuah buvet dengan deretan buku rapi yang teramat banyak.
Matanya mencari-cari manakala bunyi keras itu berasal dari buku yang terjatuh, menutupi logikanya yang mengatakan bunyi buku yang jatuh tidak akan sekuat yang tadi didengarnya.
Rasa penasaran mengganda sudah ketika tak satu pun barang di depannya ada yang berpindah atau jatuh. [Name] memperlambat langkah, bukan takut pada hal mistis, karena dia percaya hal ilmiah. Rasa takutnya ada, tapi bukan pada kemungkinan kehadiran makhluk dimensi lain, tapi pemikiran lain bahwa mungkin itu adalah penyusup.
Tangannya yang membawa air hangat sedikit bergetar, berulang kali menelan saliva, dan apa yang dilihatnya?
Nothing at all.
Tidak ada satu pun di sudut ruangan itu yang membayar lunas rasa penasarannya. Matanya berkeliling, dan seperti sebelumnya, tidak ada apa-apa disana selain sinar lampu yang selalu dinyalakan meski tidak dibutuhkan.
"Mereka mengaku baik. Beginikah orang baik?"
Sindirnya pada lampu yang selalu menyala meski tidak dibutuhkan.
"Membuang-buang energi listrik. Apa mereka tidak tahu, mematikan satu lampu saja sudah sangat bisa membantu bumi yang kian rusak termasuk membantu manusia lain yang tidak bisa menggunakan listrik karena kemiskinan."
Mulutnya terus menggerutu, kemudian mencari-cari saklar untuk mematikan lampu.
"Dikatakan baik jika diawali dari hal sederhana dan kecil. Bukan dengan memberi sumbangan besar pada LSM. Kalian bodoh jika berpikir aku tidak tahu itu semua kalian lakukan hanya untuk pencitraan. Aku muak dengan semua sikap munafik kalian."
Umpat [Name] kembali. Menekan tombol putih itu dan seketika, lampu itu padam. Menggelap dan akhirnya diputuskannya untuk kembali melanjutkan langkah.
"Jika bukan karena Masato, aku tidak akan memaksakan diri tinggal bersama manusia-manusia merepotkan."
Umpatnya ulang saat melewati keramik di depannya. Matanya mengarah pada dinding yang menempel foto berpigura besar dengan wajah Tuan dan Nyonya Hanamiya terpampang di dalamnya.
Dan seketika, kaki itu berhenti melangkah ketika cahaya di depannya muncul. Bukankah dia telah mematikan lampu? Jadi, benarkah rumah itu berhantu?
Perlahan kakinya memutar kembali di tempat yang sama dan kepala itu berbalik ke belakang. Dan seketika itu juga, kedua matanya membesar ketika buvet tempat buku itu hampir usai berputar. Menampakan suatu ruangan yang misterius. Ruang rahasia—entah milik siapa.
Kakinya tidak bisa menahan untuk diam, hingga membawanya mendekati pintu yang berputar tadi. Dia tidak tahu jika rumah itu menyimpan banyak rahasia di dalamnya.
Saat dirinya masuk dan semuanya gelap. Pintu tadi akan otomatis tertutup kembali setelah terbuka selama enam puluh detik. Bergerak untuk kembali seperti semula.
"Sial! Aku tidak bisa melihat apa-apa."
Umpat [Name] sembari meraba-raba kantung. Beruntung dirinya tidak memasukan ponsel pada jas yang tadi dilepasnya. Ponsel itu didapatinya berada di kantung rok hitamnya. Kemudian yang dilakukan oleh [Name] adalah menyalakan senter meski baterai itu telah berada di ujung napas. Mungkin akan tewas setelah digunakan selama lima belas menit.
[Name] menerangi sekitarnya sambil mencari tahu—apa sebenarnya yang disembunyikan disana? Kakinya sengaja meraba-raba jalan. Lantas, cahaya kecilnya menunjukkan sesuatu yang menarik mata.
Merasa melihat sesuatu yang menarik dan berhasil membuat kakinya melangkah.
Dan, hebat!!
[Name] justru tersandung sesuatu yang membuatnya lantas terjatuh sebelum memekik terkejut dengan rasa kulit manusia yang menyentuh tangannya.
Ada manusia lain disana? Di lantai?
Sepersekian detik kemudian, tangan [Name] mengarahkan ponsel. Menerangi dan memberitahunya siapa manusia yang tadi mengenai kakinya.
"Pria ini?"
Kesekian kalinya [Name] memekik setelah melihat manusia di hadapannya, yang tergeletak di lantai dengan mata tertutup.
"Apa dia mengikuti aliran sesat?"
[Name] mengangkat bahu merinding sekaligus jijik. Dia mengaku modern, tapi pria itu masih percaya hal mistis?
Oh, tidak [Name]. Anggapanmu salah.
"Apa-apaan ini?"
Ketiga kalinya [Name] memekik ketika sinar itu kembali menunjukkan sesuatu. Dia tidak akan pernah tahu apa yang terjadi di depannya jika dia tidak membuka mata—atau membuka mata namun tanpa cahaya.
Terkadang manusia melihat, namun sering yang dilihat salah disimpulkan. Menilai hanya dalam sekali pandang tanpa pertimbangan.
"Luar biasa."
Hanya itu yang bisa [Name] suarakan sebagai tanggapan, memunggut sesuatu tadi dan mencari tahu apa isinya.
"Suntik penenang. Kau pengguna narkotika?! Hebat!!!"
Kepala [Name] menggeleng tidak percaya. Menatap berulang antara suntik di tangannya dengan pria itu.
"Pantas saja ruangan ini rahasia. Kau ternyata menggunakannya untuk memuaskan kebusukanmu."
Ejek [Name] lagi.
"Pria menyedihkan."
Merasa jika yang dilihatnya bukan sesuatu yang penting atau pun sesuatu yang menjadi urusannya, [Name] pada akhirnya mengangkat bahu. Termasuk mengangkat kaki untuk meninggalkan ruangan gelap itu.
To Be Continue
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro