Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 3


'Mana mungkin aku ceritakan hal itu pada Ajax, kaaan?!' benakku merasa malu sendiri mengenang masa lalu.

"Ketika aku menghampirimu di sekolah keesokan harinya, kau sama seperti ini. Kabur, tidak mau menemuiku, dan kau memperlakukanku seperti orang asing," tutur Ajax sambil mengacak-acak rambutnya, frustrasi. "Apakah aku melakukan kesalahan lagi tanpa kusadari?"

Aku terdiam mendengar hal tersebut. Perasaan bersalah mulai memenuhi hatiku. Di momen inilah aku teringat ucapan Venti-sensei di kelas tadi, 'Tuangkan perasaanmu ke dalam musik.'

"Ajax-senpai tidak melakukan kesalahan apa pun," balasku agak cicit karena malu.

Ajax menatapku lurus. Dia terlihat sangat tersiksa mendengar jawabanku barusan. "Katakan saja yang sejujurnya, karena aku tidak paham jika kau berbelit-belit dengan ucapanmu."

Aku menarik napas dalam-dalam, merasa canggung sendiri.

Haruskah aku katakana sekarang? benakku.

"Maaf, Senpai. Aku benar-benar kelelahan hari ini dan ingin tidur cepat," balasku, menjadi pecundang seperti biasa dan pergi meninggalkan Ajax sendirian di ruang makan.

***

Ajax tidak pernah merasakan kekecewaan besar terhadap dirinya menangani perempuan. Di hari semenjak (y/n) memperlakukannya seperti orang asing merupakan tamparan keras untuk Ajax-yang masih menghantuinya sampai saat ini. Ajax ditinggal sendirian tanpa jawaban. (y/n) jelas menyembunyikan hal yang sangat penting sampai kabur seperti itu. Mau tidak mau dia kembali ke lantai dua dan membiarkan tubuhnya terlelap di kasur empuk.

Akan tetapi pikiran Ajax tidak bisa tenang. Kepalanya terus dipenuhi oleh pikiran tentang (y/n). Kemudian tatapan pemuda itu beralih pada foto bingkai ketika mereka pergi ke Festival Tanabata bersama-sama. (Y/n) terlihat menakjubkan dengan yukata yang ia kenakan. Dan selembar foto itu lebih dari cukup menarik Ajax mengenang kejadian terburuk dalam masa mudanya.

Sejujurnya saat itu Ajax belum sadar dengan perasaannya pada (y/n). Dia beranggapan bahwa rasa nyaman setiap kali (y/n) berada di sisinya tidak lebih dari sekedar rasa sayang terhadap seorang adik. Ajax benar-benar terlambat menyadari bahwa perasaannya pada (y/n) berkembang menjadi lebih dari sekedar 'kakak-adik' ketika dia ditinggalkan sendirian di festival tanabata.

Saat acara kembang api, lebih tepatnya ketika asisten pelatih klub bela diri yang dia ikuti menciumnya-Ajax sadar kalau dia tidak menginginkan perempuan lain di hidupnya selain (y/n). Kebanyakan perempuan hanya melihat Ajax sebagai material pacar yang dapat menaikkan status sosial di sekolah. Ajax mungkin tidak pandai dalam kalkulus, tetapi dia memiliki insting baik dalam menebak maksud di balik perempuan yang menggodanya.

Berada di sisi (y/n) sangatlah nyaman. Dia bisa jadi dirinya sendiri tanpa perlu berbohong menjadi 'lelaki keren'. (Y/n) sudah melihat semua sisi dirinya dari yang terburuk. Berbeda dengan perempuan lain yang sejauh ini selalu berekspektasi tinggi terhadap tindakan Ajax dalam suatu hubungan.

Ajax sebenarnya tidak jauh berbeda dari laki-laki lain, dia ingin dicintai sebagai dirinya.

Terlebih, (y/n) tidak pernah membuatnya bosan. Memang terkadang Ajax sebal dengan sikap pemalu dan kebiasaan (y/n) yang enggan menceritakan masalahnya. Akan tetapi, satu hal yang sangat Ajax sukai dari (y/n) ... pikiran gadis itu selalu sulit ditebak. Bukan artinya Ajax menyukai gadis yang pandai dalam menyembunyikan rahasia. Justru Ajax selalu terhibur dan dikejutkan dengan sisi lain yang (y/n) tunjukkan.

Ia sudah mengenal (y/n) dari kecil, siapa yang mengenal gadis itu lebih baik dari dirinya? Sayangnya Ajax salah. Dia tidak benar-benar mengenal (y/n). Seperti saat ini, dia tidak paham apa yang (y/n) pikirkan. Jika perlu berlutut, pasti akan dia lakukan, selama (y/n) memaafkan kesalahan fatal yang pernah sengaja atau tidak sengaja Ajax perbuat.

Jika saja aku bisa mengulang waktu di festival tanabata itu ... atau mungkin saat kami bermain putri dan ksatria semasa kecil, benak Ajax.

"Aaah!" pekik Ajax langsung bangkit duduk. "Jika (y/n) tidak mau memberitahuku, maka aku harus memaksanya jujur padaku."

Dalam hati Ajax merasa layaknya lelaki terendah di dunia karena terpikirkan trik menjebak (y/n) jujur padanya. Akan tetapi, segala cara harus dilakukan untuk menyingkirkan garis batas yang tercipta dengan (y/n) sejak festival tanabata itu.

***

Aku terbangun karena suara panggilan tanpa henti dari Ajax pada jam 7 pagi. Padahal ini hari sabtu-sekolah libur-kenapa dia menelponku sepagi ini?

"Sebaiknya kau punya alasan bagus mengganggu hibernasiku, Ajax-senpai," ucapku risih.

Suara kekehan Ajax dari ujung saluran panggilan ini membuatku semakin kesal. "Selamat pagi, Putri. Aku ingin mengajakmu piknik makan siang di cuaca yang cerah ini!" balasnya riang.

"Ajax ...." Aku memijat keningku dan menarik napas dalam-dalam-sebelum berujar, "INI MASIH JAM 7 PAGI! Apa kau sudah gila?! Kau membangunkanku 5 jam sebelum pukul 12 siang?!"

Ajax tertawa terbahak-bahak mendengar jeritanku. "Kita akan pergi ke pasar dulu karena Ibu Asrama kehabisan stok makanan di kulkas. Ayo kita belanja ke pasar bersama!"

Aku langsung memutuskan panggilan ponsel tersebut dan masuk kembali ke dalam selimut yang hangat. Akan tetapi, nyaris saja aku terlelap ke dunia mimpi, Ajax lagi-lagi menerorku dengan missed call.

Penuh dengan emosi, aku menerima panggilan darinya dan menjawab, "Oke! Oke! Aku akan pergi menemanimu belanja! Sebaiknya piknik kita nanti sepadan dengan waktu yang terbuang untuk hibernasiku!"

Ajax menyeretku pagi-pagi sekali ke pasar, toko kelontong, bahkan kios penjual bunga. Kemudian kami kembali ke asrama dan untuk pertama kalinya Ajax mau mengajariku cara memasak. Tidak kusangka, tapi sepertinya dia melakukan ini karena merasa tidak enak kemarin. Ajax selalu seperti itu. Padahal aku yang bersalah karena membuatnya merasa begitu.

Setelah keranjang piknik siap, kami pergi ke taman kota sambil berjalan kaki. Angin siang hari tidak sedingin saat pagi-tetapi cukup menyegarkan ketika aroma semerbak bunga sakura menyebar di mana-mana. Setidaknya kali ini aku tidak harus bersin-bersin karena hidungku rasanya membeku seperti saat ke pasar barusan.

"Ayo kita duduk di sini," tutur Ajax, lebih dulu menempati kursi taman yang mana membelakangi pohon sakura.

Aku sempat termenung melihat pohon itu. Apakah dia sengaja memilih tempat ini karena rindu masa kecil kami? benakku.

"Hei, ayo duduk! Jangan membuatku seperti lelaki malang di sini," tutur Ajax mulai membuka isi keranjang piknik.

Aku memilih mengabaikan pikiran konyolku dan duduk di sampingnya. Kami melahap roti lapis daging lebih dulu sambil memegang sekotak jus buah untuk minum. Angin sepoi-sepoi pun menerpa kami sampai kelopak bunga sakura nyaris termakan olehku. Ajax yang melihat ini hanya tertawa, "Kau ingat, (y/n)? Dulu kita sering bermain di taman ini."

"Tentu saja," balasku lalu tersenyum mengingat momen ketika kami bermain putri yang terjebak di kastil naga.

"Aku masih ingat momen ketika kau menjerit ketika ada ulat jatuh ke rambutmu," ujarku sengaja menggoda Ajax.

Senyum di wajah Ajax tergantikan oleh ekspresi sebal. "Kau sangat pemberani untuk ukuran seorang putri yang mengambil ulat dan melemparnya tanpa merasa jijik."

"Aku tahu," balasku lalu tersenyum bangga. "Tapi tidak akan kulakukan lagi karena setelahnya aku gatal-gatal."

Kali ini kami berdua tertawa, sebelum terdiam lagi menghabiskan roti lapis masing-masing. Akan tetapi, keheningan yang menyelimuti kami terasa begitu menenangkan. Kapan lagi aku bisa berduaan dengan Ajax tanpa diganggu orang lain?

Tunggu.

Berduaan dengan Ajax?

Suapan terakhir roti lapis yang belum selesai aku kunyah pun seketika tertelan. Aku tersedak dibuatnya. Ajax yang melihat ini pun langsung panik, dia segera menyuruhku meminum jus kotak di tangannya.

"Terima kasih, kau bisa mengambil jus milikku," ucapku sambil menyodorkan jus kotak yang kupegang padanya. "Masih ada setengah isi, sih, kau habiskan saja."

Ajax terdiam sejenak memperhatikan jus kotak di tanganku. "Oh, baiklah," balasnya sebelum mengangkat tanganku untuk menyuapi sedotan jus kotak itu ke mulutnya.

Setelah menyedot jusnya sampai habis, Ajax menyeringai dan bertutur, "Kau tahu? Hal ini termasuk sebagai ciuman tidak langsung."

Kini giliranku yang terdiam bingung. Ajax kemudian menyapu bawah bibir dengan sapuan ibu jari-pada momen ini aku sontak melompat terkejut.

"Kau bilang apa, sih?!" keluhku panik.

Ajax tertawa, lalu ikut bangkit berdiri. Dia kemudian berjalan memutariku, dan menyandarkan punggungnya pada batang kokoh pohon sakura. "Kau masih ingat ini?" tuturnya menunjuk ke arah ukiran dua sosok anak kecil.

Aku mengangguk singkat. "Ya, aku ingat," balasku. "Kenapa memangnya?"

Pemuda di sebelahku sempat terdiam, sebelum dia meraih keranjang piknik kami, dan menarikku menuju pojok taman. Di pojok taman kota, terdapat lahan kosong yang biasa dipakai sebagai lapangan sepak bola anak-anak SD. Aku mengikutinya sambil kebingungan, sampai ketika Ajax menarikku untuk duduk di pinggiran lapangan berumput itu.

Ajax kemudian mengeluarkan buket bunga yang dibelinya tadi di kios penjual bunga. Aku bisa merasakan jantungku berdebar. A-apa yang akan dia lakukan? benakku tiba-tiba merasa antusias.

Kemudian Ajax mengeluarkan satu persatu tangkai bunga itu, dan menyusunnya menjadi mahkota bunga.

Dia tersenyum dan bertutur, "Dulu, sebelum lahan ini menjadi lahan sepak bola, kau sangat suka bunga-bunga daisy yang tumbuh liar di sekitar sini."

Aku terdiam lagi memperhatikan Ajax merangkai bunga-bunga tersebut. Sejujurnya aku tidak menyangka dia ingat hal yang kulupakan sejak kecil.

"Kau juga selalu kabur ke sini setiap habis dimarahi karena dapat nilai buruk-atau melakukan suatu kesalahan besar dan diomeli ibumu," lanjut Ajax masih berfokus menyusun rangkaian bunga lainnya.

"Bukan hanya aku yang kabur ke sini setiap kali habis dimarahi," keluhku lalu menyilangkan tangan sebal.

Ajax tertawa pelan, "Kau benar. Ini markas rahasia kita, dan juga ..." dia kemudian menatap ke arahku. Tangan lelaki itu terulur, menaruh rangkaian mahkota bunga tadi ke pucuk kepalaku.

Tanpa sadar aku membisu ketika pandangan kami bertemu. Tatapan lembutnya seakan mengunci duniaku. Bisa kurasakan jantungku berdebar semakin kencang. Wajahku terasa memanas ketika Ajax menarik tanganku dan menuntunku untuk menaruh mahkota bunga yang lain di kepalanya.

Kemudian dia tersenyum tipis, "Tempat di mana aku berjanji menjagamu sepanjang hidupku."

◆○◆○◆○◆

▶ Next Chapter ◀

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro