Chapter 2
'Kapan kau akan melihatku sebagai seorang perempuan?'
Kemudian tidak sengaja aku bertatapan dengan pantulan bayanganku di kaca jendela dekat sofa. Blazer hitam yang kebesaran, rok standar, sepatu pantopel biasa, rambut (hair color) sepanjang (hair length) terlihat berantakan akibat terpaan angin sepoi-sepoi di luar. Ah, satu lagi ... wajah tanpa makeup.
Bagaimana dia akan melihatku sebagai perempuan jika aku terlihat biasa dan normal seperti ini?
Benar juga. Aku bukanlah gadis yang rajin merawat diri. Aku bahkan tidak tahu cara mengenakan riasan wajah. Apa bagusnya dariku? Selera fesyen saja tidak punya. Jangankan bersanding dengan gadis populer yang selalu mengelilingi Ajax, jika aku berdiri sebelah adik kelas 'normal' dari klub menari pun pasti kalah telak.
"Hei, ada apa dengan wajah murungmu itu?" tanya Ajax mendekatkan wajahnya padaku. "Apa terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan barusan?"
Dari jarak sedekat ini, bisa kurasakan embusan hangat napasnya-yang malah membuat jantungku semakin berpacu cepat. Apakah ini terhitung dosa besar jika aku mengagumi garis wajahnya yang tegas, tatapan serius dari iris mata kebiruan di balik bulu mata lentik itu, dan belahan bibir tipis merah muda lembabnya? Oh, Tuhan dia tampan sekali.
Secara spontan aku memalingkan wajah. "Tidak juga."
Setelah mendengar jawabanku, Ajax memicingkan matanya dan memperpendek jarak di antara tubuh kami, hingga aku terpaksa menunduk dan menjorok lebih dalam di sandaran sofa. Dari jarak sedekat ini, aku bisa melihat betapa lebar bahunya. Kemudian tanpa sengaja mataku menangkap dua kancing atas kemejanya yang dibiarkan terbuka. Bagaimana aku bisa mengelak kalau dia menunjukkan ruang lebar untuk melihat betapa bagus dan kekar tubuh pemuda ini di balik kemeja santainya? Yang secara terang-terangan membentuk figur maskulin tubuh Ajax.
Aku yang tersadar tidak sengaja mengagumi tubuh pemuda itu langsung menenggak ke atap. Dan tebak apa? Tatapan kami bertemu. Dia menatapku lurus, penuh kesungguhan seperti hendak memakanku. Bagus. Bisa dipastikan wajahku merah matang sekarang.
Pemuda yang memerangkapku di antara kedua lengannya itu menyeringai bak rubah licik. "Oh, kurasa firasatku benar. Seminggu terakhiran ini kau selalu menjauh dan bersikap seakan aku tidak ada ketika menyapamu. Berarti ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku."
"T-tidak juga," balasku dengan suara pelan-berusaha mematahkan kontak mata dengannya.
Akan tetapi Ajax lagi-lagi mengunci pandangannya denganku dengan mempertemukan ujung hidung kami. "Aku paham kalau gadis seumuranmu sedang masuk masa pemberontakan. Tapi kau harus ingat. Aku sudah berjanji untuk menjagamu dan aku bukanlah lelaki payah yang melanggar janjinya.
"Jadi tolong cerita ada apa. Jangan sampai kejadian semasa SMP terulang," tutur Ajax sengaja memelankan suaranya-yang justru membuatku semakin gugup. Tatapannya berubah kecewa sebelum melanjutkan, "saat itu kau bahkan tidak cerita apa pun sampai aku mencidukimu nyaris dilukai oleh mereka."
Tidak, tidak, tidak. Aku tidak sanggup bertahan di posisi ini lebih lama lagi! benakku, sekuat tenaga mendorong Ajax menyingkir. Pada saat dia lengah, aku segera bangkit berdiri. Apa ini hanya perasaanku saja atau ... aku benar-benar kasar barusan? Maksudku, tidak mungkin, kan, kakak dan adik nyaman berlama-lama di posisi barusan?
"Um-maaf soal tadi. Sejujurnya aku sangat lapar sekarang, Jadi mari bahas masalah ini ketika-" tepat setelah itu, perutku berbunyi. Untuk pertama kalinya aku bersyukur suara memalukan ini datang di waktu yang tepat.
Ajax yang kebingungan pun tertawa, "Aku akan masakkan sesuatu untukmu. Ayo kita ke atas."
Pemuda itu pun beranjak lebih dulu naik ke lantai dua. Aku yang mengikutinya dari belakang menghela napas lega. Tadi merupakan momen yang sangat intens untukku. Sambil menatap punggung lebar Ajax dari belakang, aku mengekorinya menuju ruang makan. Semoga saja Ibu Asrama sedang pergi keluar jadi aku tidak akan kena omelan.
***
Makanan buatan Ajax memang tidak pernah mengecewakan. Terkadang aku iri padanya. Sudah punya tampang bagus, disukai banyak orang, atletis, dia juga bisa masak. Apa kekurangannya?
"Hei, Ajax-senpai," panggilku setelah melahap suapan terakhir hamburger campur kari sayuran di piringku.
"Telan dulu baru bicara," balas Ajax lalu tertawa.
"Kenapa kau tidak mau mengajariku masak?" tanyaku kini menatapnya lurus. "Sudah dari lama aku ingin diajari masak olehmu. Maksudku, kalau kau tidak ada nanti aku bisa-bisa mati kelaparan."
Ajax mengistirahatkan lengannya di atas meja, dan mengangguk, "precisely."
Aku menatapnya bingung. "Aku tidak paham."
Dia menoel hidungku sambil tersenyum jahil, "Kau juga tetap adikku. Katakan saja aku egois, tetapi aku tidak rela melihatmu tumbuh besar dan berlagak seolah tidak lagi membutuhkanku untuk memasak makananmu."
Sontak aku tertawa mendengar alasannya, "Kau benar-benar tidak keren. Aku sudah 17 tahun, masa harus bergantung terus padamu?"
Ajax menatapku sambil tersenyum, lalu bertutur, "Hei, dengar. Biasanya perempuan itu suka dimanja. Anggap saja tindakanku sebagai servis spesial, untuk memanjakan adik kecil manisku, yang akhir-akhir ini menjadi menyebalkan," balasnya.
Tawa kecil lagi-lagi terselip dari bibirku. "Lalu apa kau ingin aku memanggilmu Ajax-oniichan lagi?"
Aku tidak menyangka kalimatku barusan justru melenyapkan senyum dari wajah Ajax. Apa aku mengatakan sesuatu yang salah? Dia langsung terlihat murung setelah aku mengucapkannya barusan.
"Waktu SMP dulu ... kenapa kau berhenti memanggilku begitu?" tanya Ajax menatapku lagi.
Apakah ini sejenis pertanyaan ranjau dalam hubungan kakak-adik kami? Kenapa aku merasa ... seakan nyawaku bergantung pada pertanyaan ini? benakku melihat adanya ekspektasi dari pandangan Ajax.
Aku menundukkan kepala, memfokuskan pandanganku pada piring kotor yang masih tersaji di meja. "Sebenarnya ...."
***
Kupikir kehidupan SMPku akan semenyenangkan masa-masa sekolah dasar. Akan tetapi aku seharusnya tahu ... seiring kami beranjak dewasa suatu hari nanti, hubungan ini tidak akan berarti apa-apa.
"Kau dekat sekali dengan Ajax-Senpai. Kalian pacaran, ya?" tanya teman sebangkuku.
Aku yang sedang buru-buru mengerjakan tugas pun menoleh padanya, "Tidak. Dia hanya menganggapku sebagai adiknya, sudah begitu sejak aku kecil."
Teman sebangkuku terdiam. Gadis itu memangku wajahnya dengan satu tangan yang bertumpu pada meja, sementara tatapannya tidak terlepas dariku. "Benarkah?"
Aku mendengus sebal. "Kenapa kau melihatku seperti itu? Kau mengganggu konsentrasiku," keluhku menghapus ejaan salah di buku tulis.
"Aku iri padamu, (y/n)," balas gadis itu. "Tidak hanya aku, sih. Aku rasa mayoritas siswi di sekolah ini cemburu padamu."
"Kenapa harus cemburu?" balasku lagi tidak acuh.
"Kau tahu banyak hal tentang Ajax-senpai. Aku jamin kau bahkan tidak tahu betapa sulitnya mendapatkan perhatian dia," ujarnya.
"Oh, omong kosong," balasku tidak acuh.
Aku memang masih naif semasa SMP. Tidak sedikit pun aku terpikirkan untuk menjalin hubungan romansa dengan orang lain. Aku juga belum menyadari perasaanku saat itu. Mungkin karena pikiranku terus menganggap serius janji Ajax dulu-yang akan selalu ada untukku di masa sedih dan ketika membutuhkan pertolongan.
Hari itu, percakapan tersebut, aku sama sekali tidak sadar bahwa masa SMPku akan dipenuhi pengalaman pahit yang sulit terlupakan.
Semua bermula ketika ada seorang kakak kelas-perempuan-yang mengaku teman baik Ajax. Ya, dilihat sekilas, mereka memang terlihat seperti teman baik. Mereka sering bercanda gurau, gadis itu kerap membantu Ajax saat kesulitan dan menutupi kesalahannya ketika dia melakukan kesalahan. Dia kakak kelas yang sangat baik, aku juga nyaman berteman dengannya. Tidak disangka kalau Ajax dan aku akan kedatangan teman baru yang sangat cocok.
Kebaikan kakak kelas itu sangat tidak ternilai. Dia merawatku, mentraktirku, dan memperluas lingkungan sosialku dengan anak-anak keren di sekolah. Tidak sedikit pun aku menyadari bahwa dia melakukan itu untuk menjauhkanku dari Ajax. Seringkali juga aku menciduki mereka bersikap ... lebih dari sekedar teman. Terutama ketika makan siang-gadis itu selalu mencari kesempatan menyuapi Ajax dan menempel lengket padanya.
Sejak menyadari tingkah laku gadis itu berlebihan, aku mulai menganggap dirinya sebagai seseorang yang akan mencuri Ajax dariku. Tetapi aku mencoba mengusir pikiran tersebut, karena aku bukan anak nakal. Dan orangtuaku selalu bilang untuk hormat pada orang lain jika ingin dirimu dihormati. Jadi aku menepis perasaan itu jauh-jauh.
Bodohnya diriku saat itu. Seiring berjalannya waktu, Ajax dan aku mulai memisahkan diri dan sulit bertemu hanya untuk sekedar bercanda gurau. Setiap kali Ajax hendak makan siang denganku, gadis tersebut akan mengganggu kami. Entah itu alasan Ajax harus berlatih lebih banyak jika ingin memenangkan kejuaraan nasional, atau urusan sekolah lainnya. Perlahan-lahan interaksiku dan Ajax merenggang.
Lebih parah lagi, kehadiran Ajax menjadi tidak lebih dari sekedar orang asing.
Aku mulai merasa kesepian, karena Ajax yang biasanya menghibur hari-hariku dengan candaan konyolnya-sudah tidak ada. Dia jadi sangat sibuk, dan aku tidak ingin jadi seorang brengsek yang malah menganggu kehidupan masa muda Ajax. Lelaki itu memiliki banyak potensi di masa mudanya, tidak sepertiku ... yang biasa-biasa saja.
Kemudian suatu hari menjelang akhir liburan musim panas, Ajax mengirim pesan ajakan ke festival Tanabata. Ketika mendapatkan pesan itu, aku masih ingat rasanya seperti memenangkan hadiah undian uang tunai. Oke, aku mungkin terlalu berlebihan. Tetapi satu hal yang pasti, aku merasa sangat senang akhirnya Ajax mau meluangkan waktu untukku.
Aku bersiap-siap menjadi diriku yang terbaik untuk menemui Ajax. Orangtuaku bahkan membantu mencarikanku yukata untuk dikenakan ke festival. Kami tinggal di perkampungan pelosok, jadi tidaklah susah mencari berbagai pakaian semacam ini. Malahan, kampungku terkenal dengan kerajinan tangan pakaian tradisional. Aku yakin Ajax akan terkejut melihatku nanti.
Dan benar saja. Ajax sama sekali tidak menduga aku akan tampil feminim saat itu. Yah, Ajax sudah mengenalku dengan sangat baik sejak kecil. Dia tahu aku tidak suka pakaian yang rumit-rumit.
"Kau terlihat keren memakai itu, ada alasan khusus?" tanya Ajax penasaran.
"Aku sudah besar, Ajax-niichan. Apa kau tidak bangga melihat adikmu tumbuh jadi gadis yang cantik hari ini?" candaku lalu tertawa.
Ajax ikut tertawa, "Ya, kau tampak cantik. Jadi jangan jauh-jauh dariku. Di festival ini kau mungkin tersesat. Dan ... kalau jatuh, nanti siapa yang akan menggendongmu?" pujinya sedikit meledekku.
"Kau mungkin pemenang kejuaraan bela diri nasional, tapi tolong jangan remehkan aku. Meski tubuhku mungil, aku pasti bisa bangkit berdiri entah seberapa parah aku terjatuh. Dan aku tidak akan menangis!" balasku berkacak pinggang.
Ajax tertawa lagi. "Itu baru adikku."
Akhirnya aku bisa bermain bersama Ajax lagi setelah sekian lama tidak mendengar kabar darinya. Hari itu sangat menyenangkan, tidak tergambarkan betapa meriahnya festival dengan kehadiran Ajax di sisiku.
"Sebentar lagi waktunya kembang api diluncurkan. Ayo kita cari tempat duduk dan camilan untuk dibawa pulang," tutur Ajax, menemaniku berbelanja camilan.
Sayangnya di tengah jalan, kami bertemu dengan si Kakak Kelas Pengganggu yang lagi-lagi menggangguku kesenanganku. Aku cukup kesal melihat dia di waktu berharga kami. Bahkan Ajax terkesan sebal berjumpa dengannya.
"Ini hari libur. Apakah kau datang menemuiku untuk mengganggu lagi? Bisakan kau datang tanpa memerintahku melakukan apa pun itu yang berhubungan dengan kewajiban?" keluh Ajax.
Aku merasa senang ketika kakak kelas itu terlihat kaget mendengar ucapan Ajax.
"Kalau begitu kau beruntung. Aku datang ke sini hanya untuk liburan sepertimu," balasnya kembali sarkas.
"Yaaa, kurasa sekarang kau bisa pergi," balas Ajax lagi.
Lawan bicaranya memasang wajah pura-pura sedih. "Apa aku bahkan tidak boleh menonton kembang api dengan kalian? Temanku sudah pulang karena dia sakit perut. Aku tidak mau menontonnya sendirian seperti orang menyedihkan."
Ajax langsung melirikku, memberi sinyal kalau semua terserah padaku untuk membolehkannya ikut bersama kami atau tidak. Sejujurnya aku tidak mau. Akan tetapi, aku kasihan juga padanya. Aku tahu pasti seberapa buruknya rasa kesepian. Apalagi di acara seperti festival tanabata.
Dengan berat hati aku berkata, "Baiklah. Lebih ramai lebih baik," balasku memaksakan diri tersenyum.
Kami pun pergi menuju kedai dengan kursi terbaik menonton kembang api. Selagi menunggu, aku dan Ajax tidak dapat berbincang sedikit pun sebab kakak kelas itu selalu menyela kami. Aku tahu kalau ini tindakan pengecut. Saat itu aku malah memilih lebih baik diam dibanding terlihat menyedihkan karena perhatian Ajax direbut olehnya.
"Oh! Kembang api!" sahutku menunjuk ke arah langit malam.
Suara kembang api terdengar sangat memekakkan telinga. Ajax langsung beralih memperhatikan ke mana jariku menunjuk. Akan tetapi, belum sempat dia mengagumi kembang api, sosok gadis di sebelahnya menangkup wajah Ajax untuk menatapnya lagi. Sedetik kemudian, Ajax dibungkam oleh kecupan manis di bibir. Aku hanya bisa membisu melihat bagaimana cahaya kembang api yang seakan menyorot kedua sosok itu.
Sakit.
Sesuatu seperti merasuki tubuhku. Seakan berada di bawah kendali, aku segera merebut kantung belanjaan isi camilan yang dibiarkan di meja sebelum melarikan diri dari sana.
Kenapa aku lari?
Aku berlari secepat yang kubisa, kemana pun kaki ini melangkah, yang jelas aku ingin menghilang dari festival ini. Dadaku terasa sesak seperti tercekik. Bibirku mulai bergetar bersamaan dengan pandangan yang kabur. Sedetik kemudian, wajahku dibanjiri air mata.
Aku benar-benar payah.
Beruntungnya semua perhatian orang-orang tertuju pada kembang api yang bermekaran di langit malam. Kakiku mulai terasa sakit lari menggunakan geta. Aku bahkan sampai tersandung di tangga pintu keluar festival tanabata. Akan tetapi aku memaksakan diri untuk bangkit dan berlari menuju rumah.
Satu hal yang pasti, kebisingan suara kembang api tidak mampu menyembunyikan bunyi gemeretak hatiku yang hancur.
◆○◆○◆○◆
▶ Next Chapter ◀
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro