κεφάλαιο 9
{NOT EDITED}
Begitu tau kalau Deo sedang mencari pelarian, seketika aku merasa begitu banyak beban yang menimpaku. Aku bahkan tidak bisa mengatakan kepadanya tentang kemungkinan akulah orang yang mereka cari. Namun, jika memang aku termasuk dari keluarga Lenore, bisa jadi aku adalah core dari semua kekuatan ini. Hidupku tidak akan mudah, memang sedari awal tidak mudah, jika menjadi seorang Lenore dan core dari semuanya. Orang-orang akan berlomba untuk mendapatkanku dan memanfaatkanku untuk kepentingan mereka saja. Dengan kata lain, aku akan dalam bahaya besar.
Triton sama sekali tidak menyukai ide aku dalam bahaya, alasan itu yang membuatnya menggunakan seal untuk menutupi Cheiodis lain mendeteksiku. Meski dia sudah melakukannya, ada sebuah kekhawatiran yang sampai sekarang juga tidak bisa dijelaskan. Seorang Cheiodis bisa mendeteksi Cheiodis lainnya, Triton sudah mengaku kalau dia merasakannya namun membiarkan aku karena tidak terlihat sadar dengan semuanya. Namun yang jadi masalah adalah Icarus. Dia berkata kalau kekuatannya untuk mendeteksi tidak sekuat Deo, Triton mengelak penjelasan tersebut. Jelas sekali kalau dia sedang berbohong. Terlebih, keluarga Lenore itu tidak mungkin lemah.
Karena penjelasan Triton, kini aku memilik banyak pertanyaan tentang Icarus. Tentang masa lalunya, cara dia bisa kabur bersama dengan Deo, terlebih, bagaimana mereka bisa terpisah dengan kembarannya. Dari semua itu, aku masih tidak habis pikir bagaimana mereka tidak menyebutkan nama dari keluarga Lenore yang sudah hilang. Mereka tidak benar-benar menutupi kebenaran dariku, kan? Jika memang mereka melakukan hal tersebut, lalu siapa yang harus aku percayai di dunia Cheiodis ini? Semuanya seperti memiliki maksud tersembunyi dalam tindakan, tidak terkecuali Triton. Bahkan, dia yang terlihat paling mencurigakan ketika menjelaskannya kepadaku. Seperti ingin aku belajar semuanya dalam sekali tembak.
Karena hari itu aku tidak memiliki jadwal kelas pengganti, Erica berkata kalau aku butuh waktu sendiri. Setelah berbincang dengan Deo memang berhasil menghabiskan seluruh energi yang kusimpan. Nampaknya Erica langsung menyadari ekspresiku yang begitu penuh beban ketika menginap semalam. Dia tidak bertanya apa yang aku bicarakan dengan Deo dan menghargai privasiku, namun dia juga ingin untukku lebih berhati-hati dan menjaga diri lebih lagi. Atas sarannya, kini aku memutuskan untuk berjalan-jalan di taman. Seorang diri. Akan sangat percuma jika aku mengajak orang lain, mereka pasti akan mulai mengajakku berbicara.
Merasakan sendirian seperti ini bukan masalah bagiku, terlebih ketika aku bisa menatap orang-orang yang juga berlalu lalang. Meski jam sudah menunjukkan pukul sepuluh di mana kebanyakan orang berada di rumah untuk beristirahat atau melanjutkan pekerjaan mereka, masih banyak pula yang berkeliaran di jalanan. Entah mereka yang masih melanjutkan jogging mereka, atau mereka yang menggunakan earphone dan terlihat siap bertemu dengan teman. Semua pemandangan seperti itu selalu membuatku merasa takjub. Dunia akan selalu terlihat sibuk melakukan pekerjaan mereka. Kapanpun itu, dunia tidak akan pernah menutup matanya.
“Aurora?” Suara bariton tersebut berhasil mengejutkanku yang duduk di kursi taman dengan mata tertutup. Ketika aku memerhatikan ke depan, orang tersebut menutupi sinar matahari yang mulai terik dengan tingginya. “Apa yang kau lakukan di sini sendiri?”
Aku mengerutkan kening berusaha mencari jawaban yang tidak terkesan kasar. “Mencari waktu untuk sendiri. Kejadian-kejadian belakangan ini berhasil membuat kepalaku terasa pening. Lagipula, Erica berkata kalau aku ‘worn out’ sehingga lebih baik jika aku melakukan me time.”
“Dengan berjalan-jalan di taman?” Pertanyaan Triton tersebut jelas tidak seperti pertanyaan pada umumnya. Aku memicingkan mata ke arahnya dan mendengus kecil.
“Memang kenapa kalau aku berjalan-jalan di taman? Aku memang tidak suka untuk bertemu dengan orang luar, namun hal seperti ini menjadi kenikmatan tersendiri. Tidak sepertimu yang pergi ke manapun menggunakan mobil mewah dan disetirkan oleh orang lain.”
Mungkin sekarang aku tidak menyesalinya, namun bisa juga ke depannya aku menyesali setiap ucapan yang aku lontarkan kepada Triton. Namun, aku lebih tau lagi kalau anak tersebut tidak akan masalah dengan ucapanku selama tidak ada kata kasar yang kuberikan kepadanya. Dia juga sadar diri kalau sifatnya yang blak-blakan berhasil membuat orang lain merasa kesal. Sebagian dari diriku masih mau berhubungan dengannya hanya karena dia menyelamatkanku dulu. Dan sisa dariku mengakui kalau dia adalah teman yang harus kubantu dan kusayangi. Hubunganku dengan Triton memang tidak pernah jelas, namun selama kami masih saling mengerti, itu tidak akan masalah.
Aku yang sudah kembali menutup mata tiba-tiba merasakan sesuatu yang sedikit berat dan memiliki aroma yang manis menyelimuti kepalaku. Aroma yang sangat aku kenali, berasal dari pakaian Triton. Karena penasaran, aku membuka mata untuk menyadari jas milik Triton sekarang bertengger manis di kepalaku seperti sedang berusaha menghalau hujan. Kini yang dihalau bukanlah hujan, melainkan teriknya matahari. Kerutan di keningku semakin bertambah ketika merasakan Triton yang duduk di sampingku. Perlu kutekankan, tepat di samping, tanpa memberikan jarak sedikit pun. Masih tidak mengerti dengan maksudnya, aku memberi sedikit erangan agar menarik perhatian Triton. Tentu saja perhatiannya langsung terarah kepadaku.
“Kenapa?” tanyanya dengan nada yang tidak mengenakkan. Mendengarnya hanya membuatku merasa menyesal telah melakukannya.
“Apa maksudnya ini?” Bukannya menjawab, Triton justru menggumamkan sesuatu yang tidak bisa aku dengar sama sekali. Kerutan di keningku kini sudah berhasil membuat kawah. “Aku bertanya untuk dijawab, bukan untuk melihatmu berbicara sendiri,” omelku yang berhasil menarik perhatiannya.
“Cuaca yang ada cukup terik. Kalau ... sampai mataharinya terlalu menusuk, justru kau akan merasakan sakit kepala. Aku yakin itu bukan hal yang kau inginkan pada me time-mu itu.” Ucapan Triton memang ada benarnya sehingga aku terdiam dan kembali menutup mata, tapi aku bisa merasakan tubuh Triton yang bersentuhan denganku.
“Dan bisa kau jelaskan kenapa kau duduk tempat di sampingku?”
Pertanyaanku kali ini benar-benar tidak digubris. Bahkan Triton sibuk memainkan ponselnya tanpa menoleh ke arahku, berpura-pura kalau dia tidak mendengarnya. Sikapnya yang semena-mena ini berhasil membuatku naik darah sehingga aku memilih untuk menggigit bibir bawahku, menahan emosi sebelum kembali menutup mata. Sebelumnya aku sudah menarik jas tersebut sehingga kini seluruh wajahku tertutupi. Aroma tubuh Triton yang menenangkan berhasil tercium olehku, anehnya membuatku tersenyum begitu saja. Saat aku sadar akan apa yang aku lakukan, senyuman tersebut langsung menghilang sama cepatnya dengan datang.
“Kenapa kau tersenyum begitu?” Pertanyaan Triton membuatku melepas jas tersebut dan duduk dengan tegak, sebisa mungkin menutupi rona yang muncul di wajah.
“A-apa maksudmu tersenyum? Untuk apa aku tersenyum?!” Triton mendengus dan memberikan sebuah smirk, mengalihkan pandangannya dari ponsel serta menyimpan benda tersebut di dalam kantong celananya.
“Berbohonglah sesukamu. Tapi kau tidak akan bisa menipuku. Ayo jalan-jalan bersamaku. Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan.”
Tidak ingin membuat Triton menemukan titik lemahku lagi, dia akan menggunakannya untuk mengataiku ke depannya, aku menuruti perkataannya. Jas yang semula kugunakan untuk menutupi wajah kini kulipat dengan berantakan sebelum kupeluk. Terasa sedikit berat karena ukurannya yang besar, namun juga terasa nyaman di tanganku seperti ini. Aku sedikit menjaga jarak dengan Triton, tidak mau terlalu dekat dengannya, namun juga tidak mau terlalu jauh. Kalau aku berada pada jarak yang terlalu jauh, baginya, dia pasti akan langsung mengomeliku dan berkata untuk tidak berdiri terlalu jauh karena bahaya. Rasanya seperti aku sedang bersama dengan seorang ayah yang protektif.
Aku tau maksud dari Triton baik. Terlebih setelah mengetahui kalau aku juga seorang Cheiodis. Triton bilang kalau tidak selamanya seal itu bisa bekerja dengan baik. Terlebih jika orang-orang tersebut memiliki kekuatan secara illegal. Dia tidak mau mengancam nyawaku hanya demi kebebasan sementara saja. Sampai semua sudah tenang, para Cheiodis akan bisa hidup dengan tenang. Karena bertahun-tahun sudah terlewati dan masih tidak ada tanda dari keluarga Lenore, Triton juga berkata kalau orang lain bisa saja mendeklarasikan perang kepada keluarga Lenore, menyangka mereka menutupi keberadaan sang kembaran Deo.
Ketika aku berjalan di belakang Triton, dari ekor mataku dapat terlihat seekor anjing dengan warna cokelat. Matanya yang bulat hitam menatapku tajam, seperti merasa tertarik dengan keberadaanku. Berusaha untuk mengetahui rasnya, aku terhenti dari langkahku dan juga menatap anjing tersebut sama intensnya. Tau sudah mendapat perhatianku, anjing tersebut terlihat terengah-engah, sepertinya dia juga menunjukkan senyumannya, dan menggerak-gerakkan ekornya. Kibasan yang semula pelan itu semakin kencang ketika dia melangkah untuk mendekatiku. Setiap langkah yang dia ambil membuatku ikut mundur perlahan. Aku baru tersadar ketika Triton berteriak memanggil namaku. Anjing tersebut juga sepertinya terkejut, namun dia tetap pada tempatnya.
“Apa yang kau lakukan?!” bentak Triton ketika berada di hadapanku. “Sudah kukatakan untuk tidak berada terlalu jauh dariku. Apa kau terlalu bodoh untuk mengerti?”
“Bukan begitu,” sergahku cepat, tidak suka ketika Triton mulai melontarkan kata-kata kasarnya. “Lihat anjing itu. Dia terlihat ... imut. Tapi seperti ada yang aneh.”
Triton menyipitkan matanya sebelum menggenggam pergelangan tanganku kuat-kuat. “Ya, aneh. Aneh karena dia mau mendekati orang sepertimu.” Tarikan Triton berhasil membuatku menjerit kecil, bukan karena sakit tapi lebih ke arah terkejut. Baru beberapa langkah aku ambil, anjing tersebut tiba-tiba menggonggongi Triton dan berlari-lari di sebelahku. Melihatnya yang seperti memarahi Triton justru berhasil membawa kekehan kecil.
“Dia memarahimu,” ujarku kepada Triton. Tanpa perlu melihat ekspresinya, aku sudah bisa tau apa yang terjadi. Triton menghela napas dan melepaskan genggaman tangannya sebelum mengusap wajahnya seperti orang yang sedang banyak pikiran. “Kenapa? Tidak senang dengan anjing yang memarahimu? Dia bahkan lebih pintar darimu, tidak baik untuk menyakiti perempuan, tau.”
“Hentikan ocehanmu itu.”
Triton yang masih menutupi wajahnya menggumam kembali, terlihat seperti orang yang sedang merapalkan mantra. Setelah beberapa saat, Triton menyunggingkan senyum, terlihat mengerikan, kepada anjing tersebut sebelum dia berjongkok. Dari yang kulihat Triton nampak mengintimidasi anjing tersebut, tapi bisa saja sebenarnya dia sedang mencari tau alasan anjing tersebut mnegikutiku. Setelah beberapa saat menginspeksinya, bahkan Triton mengangkatnya supaya bisa menatap matanya secara langsung—bukan ide bagus karena tiba-tiba saja dia menggeram—Triton menghela napas dalam, seperti seseorang mengaku mengalah.
Triton bukan orang yang mudah mengalah, karenanya hal seperti ini berhasil membuatku penasaran. Aku ikut berjongkok di sampingnya untuk langsung disambut oleh anjing tersebut. Dia mengelus-eluskan kepalanya pada tanganku dan bahkan menjilatinya beberapa kali, respons yang jauh berbeda dari saat Triton menghampirinya. Seketika sebuah kekehan lain keluar dari bibirku. Mungkin saja anjing ini benar-benar merasa terintimidasi oleh Triton hingga melakukan hal tersebut. Membayangkannya saja berhasil membuatku sakit perut menahan tawa. Aku berusaha melirik ke arah Triton, menyadari ekspresi pahit di wajahnya.
“Jangan pasang wajah masam begitu, kau justru menakutinya.” Aku mengangkat anjing tersebut, tidak terlalu besar hingga tidak berat, namun juga tidak terlalu kecil seperti cihuahua, ke hadapan Triton. “Lihat, betapa manisnya dia. Ekspresi yang dia berikan seperti mengingatkanku akan seseorang ... siapa ya?”
“Tentu saja dia manis. Hanya pada beberapa orang saja.” Ucapan Triton berhasil membuatku menelengkan kepala.
“Apa maksudmu?” Triton lagi-lagi tidak menjawab dan justru mendengus. Seketika nama seseorang terlintas di benakku. “Oh, Deo!”
“Hmph! Menyamai anak dengan seekor anjing.”
Triton langsung bangkit dan menepuk-nepuk celananya, dengan kasar dia mengambil jas yang tersampir di lenganku. Dia mengebut-ngebutkan jas tersebut sebelum kembali menggunakannya. Masih dengan ekspresi masam, dia melirik ke arloji yang terikat di lengannya dan menghembuskan napas. Matanya memandang ke arahku, seperti memeringatkan. Sadar akan maksud dari tatapannya, aku ikut bangkit dan menurukan anjing tersebut. Jelas terlihat dari wajahnya kalau dia sedih harus aku turunkan. Rengekannya lagi-lagi membuat Triton menggerutu sendiri. Entah dia yang tidak menyukai anjing, atau dia hanya tidak menyukai yang satu ini.
Kami berdua lanjut berjalan dalam diam. Anjing tersebut masih tidak kunjung meninggalkanku sendirian dan justru mengikuti ke mana pun aku pergi bersama Triton. Orang yang mengajakku berjalan-jalan sendiri sudah tidak peduli lagi dengan keberadaannya dan berjalan sambil sibuk memainkan ponselnya. Awalnya aku berpikir kalau dia memiliki sesuatu yang ingin dibicarakan, namun melihatnya hanya diam membuatku menyesal telah setuju untuk ikut bersama dengannya. Akan lebih baik bila aku hanya duduk dan menikmati waktu tersebut.
Selama beberapa saat tidak ada dari kami yang saling bertukar omongan sampai teleponku berdering. Ketika aku menatapnya, aku melihat nama Icarus terpampang di layar, otomatis mataku melirik ke arah Triton untuk memastikannya masih sibuk. “Halo? Ada apa kau tiba-tiba meneleponku?”
“Maaf, namun aku merasa sedikit khawatir. Deo pulang sedikit mabuk semalam, padahal dia tidak pernah minum jadi aku tidak tau apa yang terjadi kepadanya. Dan pagi ini aku tidak bisa menemukannya di rumah. Apa mungkin ... kau sedang bersamanya?”
Pertanyaan Icarus berhasil membuatku berhenti, bersamaan dengan Triton. “Maksudmu Deo menghilang?” Icarus terdengar terkekeh kecil sebelum dia menjawab pertanyaanku, dan pada saat ini Triton menatapku seperti ikut mendengarkan pembicaraan kami.
“Bagaimana menjelaskannya, ya. Deo ... sering kabur seperti ini ketika merasa terlalu tertekan. Biasanya kalau tidak mau sampai ketawan, dia akan merubah dirinya. Kau tau kan dia memiliki kekuatan untuk mengubah bentuk dirinya? Jadi bisa saja ... dia sedang dalam mode bukan manusia.” Begitu Icarus selesai berucap, mataku langsung tertuju kepada anjing yang berdiri tepat di sampingku, matanya yang bulat seperti ingin bertanya mengapa aku menatapnya. Namun senyumannya, senyuman jahil tersebut, tidak dapat dipungkiri lagi. Sepertinya anjing tersebut adalah Deo sendiri.
💉🧬💉
(31/10/2021)
Tujuan mau update semalem batal karena ketiduran, tapi semoga bab kali ini bisa menebus kesalahan itu, ya TwT
Jangan lupa untuk tinggalkan vomments kalian, ya!
See you next update~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro