κεφάλαιο 8
Penawaran tiba-tiba Claus membuatku terdiam untuk waktu yang lama. Baik Triton maupun kakak beradik Lenore sama menceritakan apakah aku harus masuk ke suatu perkumpulan atau semacamnya. Namun dari Triton aku bisa melihat kalau bergabung dengan yang lain sepertinya tidak sepenting itu. Atau mungkin karena dia lebih kuat dari Cheiodis yang lain, dia bisa berbuat semaunya begitu. Terlebih dengan aku yang masih belum mengenal Claus sama sekali, akhirnya aku memutuskan untuk menolaknya mentah-mentah, aku tidak peduli jika dia menganggapku tidak sopan.
“Maaf, tapi aku tidak bisa menerimanya,” ujarku akhirnya.
Balasanku membuat Claus memasang ekspresi terkejut. “Tapi kenapa? Apa karena kau masih belum mengenaliku? Jangan khawatir, jika kita terus bersama, kau akan mengenaliku seiring berjalannya waktu.”
“Bukan hanya itu saja,” potongku yang tidak mau mendengarnya menjelaskan apa pun lagi. “Aku masih belum siap jika harus bekerja sama dengan orang lain, terlebih akan sesuatu hal yang masih belum aku sendiri bisa pahami. Jika boleh, aku akan kembali sekarang.”
Takut kalau Claus akan mencoba mengucapkan hal lain, aku langsung bangkit dari kursiku dan mengambil semua barang-barangku sebelum berjalan keluar, berpamitan dengan beberapa pekerja yang kukenali di sana. Begitu aku keluar, aku bisa melihat Claus yang masih berada di posisinya, kepalanya tertunduk dalam dan ekspresinya begitu gelap. Mungkin sebagian dari alasan dia seperti itu karena ingin aku melihatnya dan bersimpati kepadanya. Sayangnya, jika dia memang berusaha seperti itu, aku tidak akan pernah terpengaruh.
Awalnya aku berpikir untuk menelepon Icarus, tapi ketika aku ingat apa yang dikatakan oleh Claus, meski memang bisa saja itu sebuah kebohongan, aku langsung mengurungkan niatku tersebut. Jika memang keluarga Lenore menjadi salah satu alasan hal gila terjadi, setidaknya aku harus mencari tau lewat orang yang bukan berasal dari keluarga Lenore. Tanganku dengan sendirinya langsung menghubungi Triton. Dia mengangkat telepon tersebut setelah dering yang kedua kali. Namun sepertinya teleponku itu mengganggunya, jelas terdengar dari nada yang dia berikan.
“M-maaf, sepertinya aku mengganggumu.” Baru ketika aku akan mematikan sambungan telepon, Triton memanggil namaku dengan keras. “Iya?”
“Cepat katakan apa yang ingin kau sampaikan.”
“Ah itu, apa kau ada waktu sekarang? Aku memiliki beberapa pertanyaan untukmu, terkait ... seal yang kau buat.”
“Kau di mana sekarang? Biar aku yang datang menjemputmu.”
“Itu ... aku berada di dekat salah satu tempat kerja paruh waktuku.”
“Kalau tidak salah di sana ada mall yang baru, kan? Tunggu aku di depannya. Aku akan sampai dalam lima menit.”
Belum aku bisa menjawab ucapannya, Triton sudah mematikan sambungan telepon secara sepihak, sudah seperti dirinya yang biasa sehingga aku tidak mempertanyakannya lagi. Begitu aku menyimpan ponselku, aku langsung meninggalkan tempatku berdiri menuju tempat perjanjian kami. Selama perjalanan ke sana aku terus terngiang-ngiang ucapan dari Claus. Jika memang semua manusia memiliki sisi seperti itu, bukankah akan lebih baik bila para pemilik kekuatan itu dimusnahkan? Akan lebih baik hidup tanpa mereka daripada harus hidup bersama mereka.
Tanpa sadar aku sudah berada di depan mall yang Triton maksudkan, mataku membulat ketika melihatnya sudah berada di depan mobil. Dia berdiri di depan pintu dengan satu tangan memegang ponselnya dan tangan lain berada di keningnya, seperti seseorang yang sedang berpikir terlalu keras hingga membuatnya merasa terlalu stress. Tanpa aku memanggilnya, dia mengangkat kepala dan bertatapan langsung denganku. Kerutan di keningnya membuat sebuah senyum canggung kuukir begitu saja. Tatapannya sungguh menakutkan, mungkin aku harus berhati-hati dengannya untuk beberapa saat.
Pembahasanku dengan Triton berlangsung lebih lama dari yang aku kira. Meski aku sudah menduganya, aku hanya tidak mau mengakui kebenaran yang ada. Triton berkata kalau memang keluarga Lenore memiliki pengaruh yang cukup besar pada sejarah Cheiodis. Namun Triton juga berkata untuk tidak perlu merasa takut atau was-was dengan keluarga Lenore yang sekarang. Kemungkinan terdapat mata-mata memang besar, tapi mereka yang merupakan penerus dari keluarga Lenore bisa dipercaya. Artinya, Icarus dan Deo bisa dipercaya.
“Seal-mu bekerja dengan baik. Jika kau khawatir akan ada yang mendeteksimu, kau tidak perlu memikirkannya.” Triton mengerutkan keningnya. “Jika kau berada dalam masalah, hubungi aku.”
“Aku rasa ... aku harus berterima kasih.” Aku menyunggingkan senyum termanis yang bisa kuberikan kepada Triton, membuatnya menggerutu dengan keras sebelum mengacak-acak rambutku.
Namun setelah memasang ekspresi kesal, Triton memberikan senyuman kecil selama sesaat. “Ke mana kau akan pergi? Biar aku yang antar.”
Icarus yang sudah tau aku akan bertemu dengan Claus mengirimiku banyak pesan ketika malam. Aku yang memang sedang tidak memegang ponsel sepertinya membuat dia merasa khawatir sehingga tiba-tiba saja dia muncul di depan rumahku. Napasnya yang terengah-engah membuatku yakin kalau dia berlari ke sini dan bukannya terbang seperti waktu itu. Dia menatapku dengan mata terbelalak, menyadari aku sedang membuka pesannya dan siap untuk mengirimkan balasan. Wajahnya seketika berubah merah ketika sadar.
“M-maaf, aku kira kau ... dalam bahaya seperti waktu itu.” Icarus menghela napas dan menyandarkan satu tangannya pada ambang pintu. “Apa aku ....” Sebelum Icarus bisa menyelesaikan ucapannya, aku langsung menarik tangannya dan memberi senyuman kecil. Mungkin bodoh bagiku membawa seorang anak laki-laki ke dalam rumah anak perempuan.
“Mampirlah sebentar. Kau bisa menemaniku makan malam.”
Makan malam berlalu sangat lama karena suasana canggung yang ada di antara kami. Namun pada akhirnya kami sama-sama menikmati waktu yang ada. Aku hanya berkata kalau Claus mengajakku untuk belajar di tempat yang sama dengannya. Mendengar ini akhirnya Icarus berkata kalau dia yang akan terus mengajariku. Aku tidak menjelaskan tentang bagaimana aku tau keluarga Lenore terlibat dalam konspirasi besar itu, sepertinya jika aku jelaskan dia akan merasa bersalah dan mulai menjaga jarak denganku. Hal seperti itu bukanlah yang aku inginkan.
Aku tidak tau apa yang Icarus katakan kepada Deo, tapi aku yakin dia mencurigai sesuatu dariku. Untuk pertama kalinya dia mengirimiku pesan dengan berhati-hati, biasanya dia akan langsung berkata apa yang dia inginkan. Sekarang dia hanya mengulur untuk mengatakan apa yang dia butuhkan. Hingga pada akhirnya dia berkata ingin bertemu denganku, hanya berdua saja tanpa ada Icarus. Bagiku itu bukan hal yang aneh karena mereka memiliki hubungan yang sedikit aneh. Dia berjanji kepadaku untuk menjemputku makan malam besok.
“Apa kau menunggu lama?” Aku menatap Deo yang menunggu di depan cafe. Setelah melihatku, senyuman yang ada di bibirnya, diberikan kepada orang-orang yang menyapa—untungnya tidak mengenali siapa Deo hanya dengan sedikit make-up—langsung mengembang.
“Tidak apa. Berapa lama pun aku akan menunggu.” Kalimat klise yang diucapkan oleh Deo berhasil membuatku mengerutkan kening dan dia membalasnya dengan kekehan. “Hanya bercanda. Ke mana kau akan makan? Restoran favoritmu?”
Selama sesaat aku memikirkan tempat apa yang mungkin cocok untuk Deo. “Bagaimana kalau yang di dekat kampus? Kurasa kau akan menyukainya.”
Deo, untungnya, tidak mengatakan apa-apa dan mengikuti ke mana aku pergi. Melihatnya yang seperti seorang artis, dia memang artis, terkadang membuatku merasa kurang percaya diri akan banyak hal. Salah satunya adalah mengajaknya menuju restoran yang bisa dipercaya dan dia sukai. Begitu aku masuk, Deo memasang ekspresi yang sedikit aneh. Awalnya aku mengira karena dia tidak menyukai tempatnya, namun dia menyuruhku untuk diam. Icarus berkata kalau Deo lebih kuat dari kebanyakan keluarga Lenore, bersama dengan kembarannya.
Icarus memang bisa mendeteksi keberadaan Cheiodis lainnya, namun pendeteksinya itu seperti mengalami eror sehingga hanya bisa pada momen atau jarak tertentu. Berbeda dengan Deo yang berhasil mendeteksi siapa pun yang berada dalam jarak pengelihatan pendengaran, dan ... entah radius berapa karena dia bisa menemukan seseorang berdasar kekuatannya. Aku mengejeknya dengan sebutan GPS, namun dia justru tertawa dan bilang kepadaku sebutan itu memang cocok untuknya dan terdengar lucu, serta unik. Setelahnya aku tidak pernah menyebut tentang GPS lagi.
“Kau merasakan seseorang?” bisikku.
Deo mengangguk mantap. “Tiga elementary, mereka sepertinya sedang membahas tentang sesuatu, duduk di kursi paling jauh.” Kerutan di kening Deo seketika dapat terlihat. Dia yang jarang mengerutkan kening tiba-tiba melakukannya menandakan kalau dia tidak menyukai situasi yang ada. “Aku akan memberikan pesan kepada Icarus, untuk jaga-jaga jika kita, kau tau, tidak bisa keluar dengan baik.”
“Uh ... baiklah?” jawabku ragu-ragu. “Apa kau akan duduk di dekat mereka dan menguping?”
“Kau gila?!” teriak Deo setengah berbisik. Dia menghela napas sebelum menarikku menuju yang kuduga adalah arah yang berlawanan dari para elementary. “Mereka menutupi scent mereka, tandanya mereka bekerja sama dengan seseorang yang cukup kuat. Aku mungkin bisa mengalahkan mereka, namun aku tidak akan membawamu ke dalam masalah. Terlebih ... ketika kau masih tidak mengerti terlalu banyak tentang dunia ini.”
Aku memutuskan untuk diam dan mengikuti apa kemauannya. Anehnya, bukannya aku yang memesan semua makanan, justru dia memilih menu-menu yang juga aku suka. Kerutan di keningku semakin dalam, mengingat apa yang dikatakan Triton waktu itu. Sampai sekarang aku masih belum memiliki kekuatan untuk menjelaskannya kepada Icarus atau Deo, tentang kemungkinan aku masuk ke dalam keluarga Lenore karena aku juga memiliki kekuatan untuk menyembuhkan ... orang lain untuk catatannya.
“Maaf, aku justru memesannya untukmu. Apa kau tidak masalah dengan yang kupesan?” Atas pertanyaan Deo, aku hanya bisa mengangguk, meyakinkan kalau aku tidak masalah. “Apa kau ke sini sering? Makanan apa yang menjadi favoritmu? Apa kau ke sini sendirian saja? Atau bersama dengan sahabatmu, Erica?”
“Deo, lebih baik kau langsung berkata apa yang terjadi dan alasan kau mengajakku bertemu.” Deo langsung terlihat gugup ketika mendengar ucapanku. Biasanya dia akan menatap mataku, namun sekarang dia justru mengalihkan pandangannya dan menolak untuk bisa melihat ke arahku. Ke manapun aku berusaha menatapnya, dia akan mencari tempat lain untuk ditatap. “Deo, I’m warning you.”
“Okei, okei!” seru Deo yang akhirnya menyerah. Dia memajukan bibirnya sebelum menumpukan dagunya kepada dua tangannya yang ada di meja. “Setidaknya tunggu sampai makanannya datang.”
Tau Deo sudah tidak bisa mengelak lagi, aku memutuskan untuk menurutinya juga kali ini. Memang tidak membutuhkan waktu lama untuk makan malam kami untuk datang dan setelah semua tertata di meja, Deo tidak menyentuh makanan yang ada. Ekspresinya justru menggambarkan kesedihan, tidak seperti dirinya yang berusaha untuk tetap aktif dan positif. Kerutan yang ada di keningnya semakin dalam sehingga aku yakin kalau dia tidak akan membaca pikiranku. Dia sudah terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri untuk memasuki pikiran orang lain.
Seketika aku tersadar dari apa yang aku pikirkan. Deo memiliki kekuatan untuk membaca pikiran orang lain, bukankah dengan begitu dia bisa mengetahui memoriku yang telah aku lupakan sendiri? Pastinya memori tersebut masih tersimpan, namun aku meletakkannya di tempat terjauh sehingga aku tidak bisa menjangkaunya dan mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi. Semua kejadian yang kemungkinan terjadi itu tersimpan begitu dalam dan begitu rapat, tapi dengan kekuatan membaca pikiran, itu akan jadi mungkin, bukan?
“Hari ini harinya.” Ucapan Deo yang tiba-tiba membuatku berhenti menyuap makanan yang sudah setengah kuhabiskan.
“Uhm, maksudnya?”
“Peringatan tentang kembaranku. Aku mengajakmu pergi hanya untuk ... pengalihan diri.”
“Oh.” Terkadang, tidak tau adalah hal yang terbaik. Karena tidak selamanya mengetahui sesuatu membuatmu memiliki kekuatan untuk mengubahnya. Seperti yang sedang terjadi sekarang. Sebagian dari diriku merasa bersalah telah bertanya, namun tau kalau aku setidaknya dibutuhkan membuatku yakin kalau Deo memiliki ekspetasi tinggi atasku.
“Jangan pikirkan aku, lanjutkan saja makanmu.” Deo masih menatap makanan yang tersaji, sudah mulai dingin karena tidak segera dimakan.
Sebuah senyum lolos dari bibirku ketika aku membuatnya menatap mataku. “Kau juga harus makan. Apa kau mau sampai sakit? Meski kembaranmu tidak ada di sini, namun kalian akan tetap memiliki sambungan empati. Kau merasa sedih, dia juga akan merasa sedih. Makanlah yang banyak untuk mewakilkannya. Itu akan lebih baik, bukan? Dan nantinya, kau akan bisa menceritakan kepadanya betapa enaknya semua makanan yang pernah kau cicipi ini.”
“Dan ada yang buruk juga,” kekeh Deo akhirnya. Melihat dia sudah mulai tertawa, meski hanya kekehan, membuatku merasa baik.
Berbicara tentang kehilangan memang tidak akan pernah mudah. Berbeda dengan kasusku. Aku tidak kehilangan siapa pun, jadi aku tidak merasa kehilangan. Namun jika suatu hari aku harus kehilangan Erica, aku yakin pada saat itu aku baru akan mengerti apa arti kehilangan yang sebenarnya. Orang-orang berkata kalau mereka mengerti, tapi terkadang, jika kalian belum melaluinya, merasakan hal yang sama pastinya akan sulit. Seberapa pun pentingnya orang tersebut, pastinya ada sudut pandang yang berbeda. Seperti orangtua Erica yang kehilangannya, dengan aku yang kehilangannya.
“Cicipi yang satu ini. Aku yakin kau pasti akan menyukainya. Kau bertanya apa masakan favoritku di sini, kan? Jawabannya adalah ini. Cinnamon apple pie.”
“Kau juga suka cinnamon?’
“The best,” ujarku dengan senyum kecil. Deo tersenyum dengan lebar.
“Thanks ... Aurora. Untuk segalanya.” Aku menganggukkan kepalaku seperti ingin menandakan dia tidak perlu merasa canggung atau aneh.
“Tapi kau juga jangan meninggalkan Icarus! Dia ada di rumah sendirian, kan? Dia juga ... pasti merasa kesepian. Setelah kau pulang, bawakan dia beberapa makan dari sini dan berikanlah kepadanya. Kalau perlu, aku akan datang untuk bertemunya secara langsung. Seingatku di masa SMA dia jarang makan siang ....”
“Kau terlihat seperti pacarnya!” Ucapan Deo yang begitu gamblang membuat wajahku memerah, namun aku tidak akan menerimanya begitu saja sehingga aku memberinya tatapan maut, membuatnya bungkam dan langsung menunduk. “Maaf.”
🧬💉🧬
(23/10/2021)
Jangan lupa tinggalkan vomments kalian sebagai bentuk dukungan, ya~
Masukkan ke reading list, follow author, dan share ke temen2 kalian ^^
See you next update!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro