κεφάλαιο 5
“Akhir minggu ini kau ada waktu?” Aku menyeruput frappe yang baru saja aku pesan, berjalan keluar dari cafe sembari menggenggam ponsel. “Katanya kau ingin bertemu dengan Triton, kan? Akhir minggu ini katanya dia ada waktu senggang. Uh ... lebih tepatnya ibunya yang memaksa.”
“Ibu Triton memang tidak pernah kenal ampun pada anaknya itu ya, masih tidak berubah. Lalu jam berapa dia akan senggang supaya aku menyelesaikan tugasku dulu.”
Atas ucapan Erica aku langsung membuka pesanku dengan Triton, balasan yang singkat dan terkesan dingin terpampang di sana, otomatis membuat mataku berkedut kesal. “Kalau bisa dia mau mengajak kita makan siang di rumahnya,” ujarku setelah menempelkan lagi ponsel di telinga.
Aku yang sedang berjalan menuju toko tempat aku bekerja memutuskan untuk membeli sedikit minuman. Setidaknya aku harus memanjakan diri sekali-sekali, bukan? Terlebih aku baru saja melewati ujian dadakan yang menguras mental. Minuman manis adalah cara untukku mengalihkan pikiran dan menenangkan diri. Istilah lainnya, ini adalah healing untukku. Selain minggu yang kacau, aku juga kembali mendapatkan mimpi buruk, kini lebih seperti kenyataan dari biasanya. Mungkin karena ucapan Icarus dan juga Deo.
Selama beberapa saat aku menunduk sembari menunggu tanggapan dari Erica, terdengar dia sedang berbicara dengan teman di kelasnya. Hari itu dia mendapat kelas kosong sehingga terpaksa mengerjakan tugas untuk beberapa saat sembari menunggu dosen yang akan terlambat itu. Ketika aku mendongak, tiba-tiba saja aku merasa ada seseorang yang menubrukku dari belakang, hampir membuatku menjatuhkan ponsel yang aku genggam tapi berhasil menumpahkan frappe yang masih banyak. Duitku yang berharga melayang begitu saja.
“A-aduh,” erangku masih merasakan berat tubuh seseorang di atasku. Beberapa orang mulai berkerumun di sekitar kami.
“Aurora, kau baik-baik saja?” Pertanyaan itu tidak kuindahkan, aku berusaha untuk mengenali siapa yang berada di atasku. Orang itu memiliki tubuh yang cukup tegap, namun tidak terlalu kecil. Matanya terlihat bulat dengan warna yang hampir sama seperti es. Berbeda dengan warna matanya, tatapannya justru memancarkan begitu banyak kehangatan.
“Maaf, hanya saja aku tadi melihat ....” Tanpa perlu mendengar lanjutan bicaranya, aku bisa mencium bau asap dari sekitar. Aku menoleh ke kanan kiri untuk mencari asalnya hingga melihat sebuah motor yang menabrak mobil terparkir, mesinnya menyala. “Kau baik-baik saja kan selain luka di lutut dan tangan?”
Pertanyaan yang dia lontarkan lagi berhasil membuatku menatap tempat yang dia maksud. Memang lututku mulai berdarah sedangkan sikuku terlihat lecet, tidak terlalu parah seperti di lutut. Masih tidak terlalu paham dengan keadaan, aku mematikan sambungan teleponku dan memasukkannya ke dalam kantong jaket, duduk dengan bantuan laki-laki di hadapanku. Kedua kakiku dijenjangkan selama dia mengecek apakah ada luka lain yang serius. Selain pergelangan kakiku yang memang mudah terkilir, aku baik-baik saja, untungnya.
“Apa kau mau kubantu?” Laki-laki itu menawarkan dengan mengulurkan tangan kepadaku. Kerumunan orang-orang mulai menipis karena tidak ada lagi yang perlu ditonton. Pengemudi mobil itu sudah keluar dan membawa pengendara motor gila menuju kantor polisi, sepertinya mereka ke rumah sakit dulu untuk memastikan kondisinya.
“Tidak perlu, aku masih ada urusan. Terima kasih atas bantuanmu.” Secara otomatis aku langsung membungkuk kecil lalu berjalan meninggalkannya. Mataku sekilas menatap frappe yang tertinggal naas di jalanan sebelum menatap laki-laki yang tersenyum kecil, matanya jelas memancarkan ketenangan. “Hari gila apa lagi ini.”
Butuh waktu sebentar untuk aku sampai menuju tempatku bekerja. Mereka semua yang sudah menjadi temanku menyapa dengan antusias. Melirik jam di ponsel, aku langsung menuju loker untuk beristirahat sebentar dan mengecek lukaku. Pendarahannya sudah berhenti, bahkan lecet di siku sudah menghilang. Apa normal untuk bisa sembuh dalam kurang dari sepuluh menit? Aku tidak akan mempertanyakan bila darahku bisa berhenti secepat itu karena ini hanya luka kecil. Tapi menghilang? Apa luka bisa menghilang atau aku yang salah lihat tadi?
Waktu bersiapku masih cukup lama sehingga aku duduk terdiam masih merenungkan apa yang terjadi. Aku tidak ingin bertanya apa yang sebenarnya terjadi karena takut itu justru menggangguku seharian sehingga aku akan menyimpulkannya sendiri. Aku yang sedang berdiri tanpa memandang sekitar hampir saja ditabrak motor yang berlalu lalang di trotoar, jalan khusus untuk pejalan kaki. Jika bukan karena laki-laki dengan mata es, aku tidak akan berada di sini sekarang. Tapi karena dia mendorongku, aku bisa lolos hanya dengan luka kecil. Tunggu ... aku sedang menelepon Erica!
Belum sempat aku meneleponnya, ponselku sudah berdering dengan namanya terpampang. Kedua tanganku gemetar ketika ingin menjawabnya. “HEI ANAK GILA! Apa yang sebenarnya terjadi padamu?! Tiba-tiba kau mematikan teleponku setelah mengerang begitu keras! Kau sangka aku tidak dengar suara tabrakan di sana?! Apa yang terjadi padamu?! Ceritakan padaku sekarang juga, bodoh!” Teriakan Erica berhasil membuatku menjauhkan sedikit ponsel dari telinga.
“M-maaf. Aku juga masih shock tau.” Balasanku yang pelan itu membuat Erica menghela napas namun dia tidak mengatakan apa-apa karena menungguku menjelaskan apa yang terjadi. “Aku sedang bertelepon denganmu tadi, kan? Tiba-tiba saja ada yang menubrukku dari belakang, jelas aku terjatuh karenanya. Dan ternyata, dia sudah menyelamatkanku dari motor yang siap menabrakku.”
“Apa?! Lalu? Apa kau berkenalan dengannya? Apa kau mengucapkan rasa terima kasihmu? Apa ada bagian tubuhmu yang terluka?”
Ocehan Erica kembali membuatku terdiam, untungnya dia juga tidak memaksaku untuk menjawabnya di saat itu juga. Aku mengerutkan kening tanda tidak tau harus menjawab apa. Apa aku harus berkata kalau aku sempat terluka dan sekarang sudah baik-baik saja? Atau aku perlu bilang kalau aku sama sekali tidak terluka? Bukankah itu bohong? Apa tidak masalah bila aku berbohong kepada Erica? Dia sudah bersamaku sejak kecil ... harusnya tidak apa, kan? Atau justru dia akan langsung tau kalau aku berbohong kepadanya? Semua pemikiran itu membuatku frustasi hingga mengacak-acak rambutku.
“Aurora?”
“A-ah iya. Aku baik-baik saja sekarang walau masih merasa sedikit shock. Dan juga ....” Aku memproses kembali apa yang diucapkan oleh Erica. “Aku lupa berterima kasih atau menanyakan nama orang itu!”
***
Menunggu adalah hal yang tidak mengenakkan. Seperti sekarang, aku berada di meja makan hanya berdua dengan Triton, menunggu sampai Erica datang. Dia terlambat karena mendapat panggilan tiba-tiba dari dosen. Dia menyarankan untuk membatalkan pertemuan, namun dengan tegasnya Triton memarahinya, berkata untuk tidak menyia-nyiakan waktu. Sesekali aku menatap Triton yang menutup matanya, menumpukan kening pada tangan yang dia pautkan di depannya. Dia yang seperti itu terlihat lebih baik daripada bisanya.
“Sudah puas menatapku?” Pertanyaan Triton berhasil membuatku duduk dengan tegak.
Dengan sendirinya aku membungkukkan tubuh dalam. “Maafkan aku! Aku tidak bermaksud untuk menatapmu begitu!” Triton membalasnya dengan helaan napas panjang. “Anu ... apa tidak masalah jika kita menunggu selama ini?”
“Aku yang menyuruhnya untuk datang secepat mungkin, jangan komplain.” Ucapan Triton bagai belati yang menusuk jantung. Dia memang selalu seperti itu, dingin dan tak berperasaan terhadap orang lain. Memang dia seperti itu hanya pada waktu tertentu, tapi tetap saja. “Kau berjalan dengan sedikit pincang, ada apa?”
“Kau menyadarinya?”
Triton memberikanku tatapan maut dari balik tangannya, seperti ingin menekankan bahwa dia bukan orang bodoh. Ya, orang bodoh sepertiku ini. Setelah terdiam beberapa saat, mencoba untuk mencari penjelasan yang cukup baik, aku akhirnya menghela napas, memutuskan untuk menceritakan apa yang terjadi. Mengetahui Triton memiliki kekuatan, aku tidak segan mengatakan tentang lukaku yang sekarang juga sudah hilang semua. Terlihat dia mengerutkan keningnya dan siap untuk menjelaskan sesuatu ketika ibunya datang.
“Triton, Erica sudah di depan, sambutlah dengan hangat. Hilangkan kerut di dahimu!”
Triton melakukan apa yang diperintahkan ibunya dengan setengah hati. Begitu dia bangkit, aku langsung mengikutinya agar tidak menakuti Erica yang datang sendiri. Dapat dilihat kalau Triton langsung kembali seperti dirinya yang semula setelah tidak ada ibunya. Keningnya berkerut dan bibirnya ditekuk ke bawah. Memang ikut dengannya adalah pilihan yang benar. Bisa-bisa Erica terkena serangan jantung bila Triton membuka pintu dengan ekspresinya sekarang. Apa dia tidak pernah belajar untuk tidak menakuti anak kecil?
“Aku benci ekspresimu,” celetuk Triton sebelum membuka pintu. Aku yang belum membalas apa-apa hanya bisa memajukan bibir tanda tidak senang. Setelah sambutan yang hangat itu, kami semua langsung makan dengan canggung. “Kalian ... masih satu kuliah?”
Erica mengangguk antusias. “Tentu! Kita hanya berbeda mata kuliahnya saja, jurusannya juga berbeda sedikit. Berkumpul seperti ini membuatku ingat bagaimana Aurora membujuk Triton untuk menjadi tutor! Sungguh, hari-hari yang tidak bisa dilewatkan!”
***
Aku yang saat itu baru beranjak satu SMA kesulitan untuk beradaptasi. Di mana kebanyakan anak memiliki tutor khusus, baik mereka menyewa secara privat atau pergi ke tempat les, mereka selalu memiliki pengajar dari luar sekolah. Aku dan Erica tidak bisa melakukan hal itu. Harga untuk tutor melampaui pendapatan. Aku yang masih di bawah umur belum bisa mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan cukup. Well, sebenarnya Erica bisa menyewa tutor, tapi dia tidak mau membuatku sendirian sehingga dia selalu mengajakku untuk belajar bersama dengan alasan, dua kepala akan lebih baik untuk menyelesaikan masalah. Sehingga awal semester kami tidak melakukannya terlalu baik.
Rasa bersalah membuatku berusaha untuk mencari pekerjaan yang lebih baik lagi, mengumpulkan uang supaya aku bisa menyewa tutor juga. Dengan begitu aku tidak akan membebani keluarga Erica dan juga tidak akan membuatnya tertinggal. Memang, berucap akan selalu lebih mudah dari bertindak. Dengan minim waktu dan juga batas umur, tidak banyak yang bisa aku lakukan. Perasaan semangat yang semula menggebu-gebu di dalam diriku perlahan mulai padam, aku kehilangan harapan untuk bisa menjadi seseorang yang berguna bagi orang lain.
Sudah menjadi kebiasaanku untuk berjalan menunduk ketika ada banyak pikiran. Mungkin karena aku tidak mau ada orang lain melihat ekspresiku berpikir. Kata Erica, ekspresiku ketika berpikir terlihat menyedihkan, dengan begitu orang-orang bisa salah paham denganku. Bukan hanya itu saja, bisa saja aku menjadi seperti beban yang terus-terusan meminta tolong. Dengan adanya alasan seperti itu, tak diragukan lagi kalau aku memang perlu menunduk ketika berpikir. Baru hari itu aku belajar betapa berbahayanya untuk berjalan menunduk terus menerus.
Tentu saja tanpa sengaja aku langsung menabrak seseorang, refleksku juga mengatakan agar aku bertumpu pada sesuatu. Sial aku justru meletakkan tanganku pada sesuatu yang keras. Gyps pada kaki kanan. Orang yang aku tabrak, Triton, sempat mematahkan kakinya beberapa hari yang lalu sehingga dia harus menggunakan gyps di kaki. Dia yang muak berada di rumah seharian dan belajar bersama tutor pribadi ingin berjalan-jalan mencari udara segar. Sialnya dia justru bertemu denganku dan bertabrakkan, memungkinkan kakinya kembali retak.
“Dasar gadis bodoh!” Omelan itu adalah hal pertama yang aku dengar keluar dari bibir Triton. “Apa dua mata saja tidak cukup untukmu melihat jalanan? Tidak bisa lihat kalau aku ini sedang menggunakan gyps? Sekarang apa yang akan kau lakukan, hah? Bagaimana kalau aku semakin parah?”
Teriakannya sungguh menakutkan sehingga mataku sudah berkaca-kaca. “Maafkan aku. Aku sungguh tidak sengaja. Aku sungguh minta maaf!” Triton yang sudah marah besar hanya menepis tanganku yang masih ada di kakinya yang patah. Dia bangun dengan susah payah sebelum berdiri tegak, ekspresinya berubah.
“Kau ....” Ucapan Triton terhenti cukup lama, air mataku mulai mengalir perlahan. “Apa ada yang kau butuhkan?”
“Eh?”
Triton terlihat menggaruk tengkuknya, dia mendongak tinggi agar tidak perlu menatap ke arahku. “Aku tanya, apa kau butuh sesuatu? Atau adakah yang kau inginkan? Kau terlihat ... begitu frustasi, rasanya kau juga sedang gundah.”
“Ah, itu!” Aku mengusap air mata yang sempat mengalir karena rasa panik. Dengan semangat penuh aku langsung bangkit berdiri agar bisa berpandangan dengannya, namun dia sepertinya tidak terlihat begitu senang. “Aku ... aku sedang mencari guru tutor!”
“Guru tutor?” Triton yang mendengar itu rasanya ingin kabur saat itu juga. Dia benci mendengar kata tutor.
“Iya! Aku selama ini selalu hidup menumpang di rumah sahabatku. Namun ternyata SMA lebih sulit dari perkiraan sehingga sekarang kami kesulitan beradaptasi. Sebenarnya mereka bisa membuat sahabatku belajar dengan tutor, tapi dia merasa bersalah kepadaku karena akan tertinggal sendirian sehingga sekarang aku berusaha untuk mencari pekerjaan dan guru tutor yang bisa mengajarkan kami!”
Walau awalnya aku ragu untuk bercerita kepada Triton apa yang aku khawatirkan, sesuatu dari dalam diriku seperti memaksa untuk menceritakan semua itu. Aku juga tidak menyesal telah bercerita karena perasaanku langsung membaik begitu aku menceritakannya. Dia juga tidak terlihat keberatan mendengar ocehanku walau sempat mengerutkan kening begitu aku menyebutkan tutor. Namun aku tidak akan memaksanya untuk menjelaskan apa yang dia maksud. Aku sudah menabraknya, setidaknya aku harus menghargai privasinya.
“Aku ... bisa menjadi tutormu dan sahabatmu itu.”
“Maksud ... nya?”
“Jadikan aku tutormu! Karena sekarang aku berhutang padamu!”
***
“Kalau dipikir-pikir sekarang, Triton. Hutang apa yang kau maksud?” Triton yang sedang menenggak airnya langsung tersedak seperti tidak percaya aku menanyakan sesuatu yang sudah terjadi bertahun-tahun lamanya. Dia mengerutkan keningnya tanda tidak tau harus membalas apa. Aku dan Erica sudah menggunakan jurus kami, tatapan memaksa. Triton sungguh membenci tatapan ini dengan alasan terlalu kekanakkan dan juga mengganggu.
“Itu ....” Triton mengalihkan pandangannya, tangannya yang kanan menutupi wajah bagian bawahnya, sudah bisa dipastikan dia malu dan berusaha untuk menutupi rona di wajahnya! “Aku ... merasa lebih baik waktu itu.” Begitu berucap, Triton membulatkan mata seperti sadar akan sesuatu, ekspresinya juga terlihat menggelap seperti ada sesutau yang buruk terjadi. Tentunya dia yang begitu membuatku merasa takut.
“Triton?”
“Kakiku ... saat itu langsung sembuh.”
🧬💉🧬
(02/10/2021)
Uhuk ... clue-nya udah jelas banget, kan, tuh? 👀 Tapi jangan kecewa sama ceritanya~ ditunggu next chapter-nya ya!
Jangan lupa tinggalkan vomments, follow author, share ke temen kalian, juga masukkan reading list untuk dukung author~
See you next update! ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro