κεφάλαιο 2
Peringatan Icarus terus terpikir olehku, tentang aku yang bisa dalam bahaya jika ada yang tau dia memiliki kekuatan semacam itu. Awalnya aku hampir tertawa ketika mendengarnya berkata dia memiliki kekuatan. Maksudku, lihatlah dia, seseorang yang terlihat begitu sangar, menyeramkan dan berwajah dingin. Bagaimana mungkin orang sepertinya mempercayai hal konyol seperti kekuatan? Itu semua hanya ada dalam novel atau komik! Tunggu, aku baru saja terdengar seperti karakter dari novel yang tidak mempercayai akan kekuatan dan nantinya akan disulitkan karenanya. Itu tidak mungkin terjadi, kan?
Semua ini sungguh memusingkan! Memikirkannya saja membuat kepalaku terasa sakit dan berputar-putar, layaknya otakku ini lantai disko di mana semua pikiran sedang berdansa di dalam dengan bahagia. Bahagia karena bisa membuatku pusing. Aku menyapukan rambutku yang terikat hari ini. Untung aku bisa bangun pagi atau sial aku terbangun terlalu pagi karena mimpi burukku. Mimpi burukku ini dimulai ketika aku memimpikan sesosok yang begitu terang ... orang yang membawaku keluar dari sebuah pintu yang misterius. Mungkinkah aku masuk ke dunia lain karena mimpi itu dan sekarang tubuh asliku tertidur lelap?
“Lihat-lihat kalau jalan!” Seruan yang mengejutkanku justru membuat aku menundukkan kepala dan meminta maaf, tidak berani menatap orang yang membentakku.
“M-maaf. Aku tidak sengaja.”
“Masih siang dan kau sudah merusak hariku. Enyahlah! Aku tidak mau melihat wajahmu lagi!” Aku menuruti perkataan itu dan langsung berlari cepat-cepat menjauhi orang-orang yang tadi kutabrak.
Setelah cukup jauh, aku langsung menghela napas dalam. Apa sekarang aku akan terus mengalami hari buruk? Tidak pernah sekalipun aku merasa tenang semenjak mimpi itu datang. Bagaimana caranya agar aku menghentikan semua tindakan konyol ini? Apa aku akan terus merasakan ini? Tidak tau apa yang harus aku lakukan, aku melanjutkan perjalananku menuju kampus dengan jalan pelan. Untungnya aku dapat sampai tanpa ada kekacauan dan tidak mendengar pertengkaran seperti kemarin. Menuju kelas menjadi mudah hingga aku mendapati Icarus berdiri di depan kelasku.
Tangannya terlipat, matanya menutup dan kepala tertunduk, sedangkan punggungnya menempel di pintu yang tertutup. Dari gerak-geriknya terlihat kalau dia sedang menunggu seseorang, aku menduga kalau seseorang itu adalah aku sendiri. Langkahku terhenti ketika menyadari banyak anak-anak yang memperhatikannya, bahkan anak-anak di belakangku mulai membicarakannya. Apa yang mereka ucapkan terdengar mencemooh dan aku yakin kalau Icarus juga sudah sering mendengarnya, tapi mengapa dia hanya diam saja? Kenapa dia tidak mau membela dirinya?
“Icarus,” panggilku gugup. Anak yang kupanggil membuka matanya, menunjukkan warna gelap bagaikan abyss. “Apa kau menungguku?”
Icarus tersenyum kecil dan menatap ke sekitar. “Iya, ada sesuatu ....”
“Jika itu tentang kemarin, aku sudah bersumpah akan menjaga rahasianya. Aku akan ke kelas sekarang, selamat siang, Icarus, semoga harimu menyenangkan.”
Tak ingin berlama-lama dengan Icarus, dia terlihat menyeramkan hari ini dari tatapan matanya, aku segera meninggalkannya dan masuk ke kelas. Aku mengabaikan panggilannya dan bahkan mencari teman sekelas untuk diajak mengobrol. Perasaanku mengatakan bahwa ini tindakan yang tidak benar, namun aku bahkan tidak bisa menahannya. Meski aku ingin meminta maaf kepadanya, aku tidak bisa menggerakkan tubuh untuk berbalik dan mengucapkannya. Bila aku bertemu nanti, aku akan memastikan akan mengatakan ini.
Setelah kelasku selesai, memakan sekitar dua jam, aku mendapatkan sebuah pesan dari nomor yang tidak dikenal dengan berkata kalau itu adalah Icarus. Profile picture yang digunakan terlihat seperti seseorang yang berdiri di atas bangunan tinggi, sepatu yang ada jelas adalah sepatu yang kulihat hari ini. Setelah aku berpikir cukup lama, aku pun membalas pesan itu dan menyimpan kontaknya sebelum aku ikut dengan teman-temanku yang memiliki jadwal sama denganku. Kami semua menuju vending machine terdekat dan mencari kursi yang memiliki atap untuk menghindari sengatan matahari.
“Ah, apa ada dari kalian yang menyimpan nomor Icarus?”
“Maksudmu Icarus, majoring crime scene forensics?”
“Iya, dia.” Aku menatap anak-anak lain penuh harap, jika mereka memang memiliki nomornya, maka aku tidak akan mempertanyakan bagaimana dia bisa memiliki nomorku. Meski sepertinya dia sudah tau sejak SMA.
“Aku rasa tidak. Hanya segelintir saja yang bisa menyimpan nomornya, kalau kau ketahuan membagikan nomor tanpa izinnya, dia tidak akan segan untuk menantangmu.”
Aku bergidik memikirkan kemungkinan yang dikatakan tersebut. Lebih baik aku tidak mengatakan kepada satupun dari mereka kalau sekarang aku memiliki nomor Icarus. Jika memang dia tidak segan menantangku, tentu saja aku akan kalah. Dia dapat pulih dengan cepat, jadi sudah dipastikan dia memiliki upper hands. Sedangkan aku yang tidak begitu baik dengan olahraga hanya bisa tergeletak dan memohon kepadanya untuk mengampuni diri yang malang ini. Seberapa brutalkah dia sampai-sampai tidak segan untuk menantang orang lain?
Pemikiranku lagi-lagi teralihkan ketika terdengar suara notifikasi dari ponselku. Beberapa anak menatap ke arahku dengan penasaran yang kubalas dengan cengiran kecil. Setelah memastikan tidak ada yang menatapku, langsung saja aku membaca pesan yang dikirimkan oleh lagi-lagi Icarus. Apa dia memang memiliki niat untuk menggangguku sampai aku lulus di sini atau dia dikeluarkan? Percuma saja aku terus memikirkan niat awal dia mendekatiku seperti ini, namun apa yang dia ketik jauh lebih mengejutkan. Kata ‘pergi bersamaku’ seperti menjadi highlight dari pesan singkat yang dia kirim, tidak tersangka botolku terjatuh saking mengejutkannya.
“Apa ada masalah? Siapa yang mengirimu pesan?”
“H-huh?” Kini semua anak di dalam kelompok sudah memperhatikanku dengan seksama. “Oh, hanya kakak kelasku waktu SMA. Dia mengajakku untuk bertemu setelah sekian lama.”
“Wah, sangat beruntung! Apa dia laki-laki? Sudah punya pacar? Kenalkan padaku!” Ucapan itu aku balas dengan senyuman canggung karena tidak tau harus bagaimana lagi. Hingga anak yang dekat dengannya memukul kepala dan memarahinya habis-habisan.
“Kau ini! Belajar yang benar dulu baru pikirkan pacar! Apa yang sebenarnya kau inginkan berkuliah di sini? Mendapat materi atau mencari laki-laki? Sungguh, aku merasa kalau kau sama sekali tidak memiliki pendirian.”
Anak yang diomeli untungnya tidak mengomentari ucapan itu sehingga terhindar dari pertengkaran besar mereka. Pada akhirnya mereka semua telah asyik dengan bahasan mereka selama aku membalas ajakan dari Icarus. Dia berkata ada sesuatu hal penting yang harus dikatakan, pastinya bukan tentang aku harus menyimpan rahasianya. Akan lebih baik bila aku ikut dengannya dan menanyakannya langsung apa yang dia ucapkan. Balasanku memang singkat, tapi sepertinya itu membuat Icarus terperangah karena dia berkali-kali seperti mengetik dan menghapus pesan sebelum membalasnya dengan sebuah stiker.
Kekehan kecil keluar dari bibirku ketika melihat stiker yang imut itu. Orang yang selama ini terlihat sangar ternyata memiliki sisi seperti ini. Tidak pernah aku kira kalau Icarus bahkan bisa menyimpan stiker seperti ini. Karena aku tidak tau apa yang harus dikatakan lagi, aku langsung menyimpan ponselku dan menunggu hingga kelas selanjutnya dimulai. Bersyukur karena Icarus memiliki jadwal klub hari ini sehingga dia tidak harus menungguku dalam kebosanan. Atau mungkinkah dia sedang membohongiku? Berpura-pura memiliki jadwal klub padahal sebenarnya dia tidak mau membuatku terbebani?
Pemikiran-pemikiran itu membuatku berusaha secepat mungkin menyimpan semua peralatanku untuk kembali dari kampus. Langit malam terlihat masih begitu cerah walau jam sudah menunjuk pukul tujuh. Matahari masih bertengger dengan setia tanpa kenal lelah, padahal aku sudah ingin langit berubah gelap. Dengan adanya cahaya, sering kali aku kesulitan tidur. Karena cahaya akan terus mengingatkanku pada laki-laki misterius. Senyumannya yang menenangkan tapi terlihat familier. Suaranya yang begitu ceria seperti tidak pernah mengalami masalah.
“Uhm, Deo. Ada apa?” Suara Icarus dapat terdengar di tempat kami berjanji untuk bertemu, namun ketika tau dia sedang menelepon, aku memutuskan untuk menunggu beberapa saat. “Kau belum makan dari siang? Ayah tidak memasak lagi?” Icarus kembali terdiam dan dari posisi aku berdiri dapat terlihat kalau dia sedang menggigit bibir bawahnya dan keningnya berkerut. “Ah ... sebentar lagi hari peringatan itu, ya. Baiklah. Aku sedang menemui seseorang, ya perempuan dan dia bukan pacarku! Aku akan membawakanmu makan. Ketika ibu pulang, bilang bahwa ayah ....”
Icarus tidak melanjutkan ucapannya lagi sebelum berdeham pelan dan mematikan ponselnya. “Icarus,” panggilku setelah beberapa lama menunggunya tenang.
“Tidak usah berpura-pura tidak mendengarnya.”
“Eh? Bagaimana kau bisa tau kalau aku ada di sini?” Icarus menyipitkan matanya ke arahku seperti tidak percaya dengan pertanyaanku.
“Satu, ini sudah mendekati jam perjanjian kita. Dua, parfurm yang kau gunakan tercium, sangat khas dan seperti menunjukkan dirimu. Dan ketiga ... kau tidak akan mempercayaiku, jadi lupakan saja.” Mendengar Icarus yang seperti meledekku membuat aku memajukan bibir tidak senang. Dasar licik!
“Deo itu adikmu? Seperti artis yang sedang naik daun itu? Deo Alexios Lenore. Baru kali ini aku menyadari kalian memiiliki nama yang sama.” Icarus tidak menggubrisku dan berjalan dengan langkah cepat. “Kalau aku boleh tau, apa yang kau bicarakan dengannya? Hari itu seperti ...?”
“Aku punya dua adik,” celetuk Icarus dingin. Nada yang dia berikan seketika membuatku ingin memarahinya. Bila dia tidak mau menceritakannya, dia bisa diam saja dan mengatakannya kalau itu terlalu personal. Tapi di sini dia mengucapkannya seperti aku terlalu berisik. “Dia kembaran Deo. Hilang saat umurnya enam atau tujuh. Sejak itu ayahku selalu berusaha mencarinya hingga diasumsikan kalau dia sudah meninggal. Beberapa hari lagi adalah hari peringatan kepergiannya. Ayah selalu ... menyalahkan diri sendiri.”
“Tidak seharusnya dia begitu, meski pasti dia merasa sedih. Bila kembaran Deo memang benar-benar sudah tiada, dia pasti sedang memperhatikannya di atas sana. Jika ayahmu terus bersedih, maka kembaran Deo tidak akan bisa tenang!”
Icarus tersenyum kecil seperti ingin mengiyakan perkataanku. Namun sama cepat dengan kemunculan, kini wajahnya sudah kembali datar sembari menendang batu kerikil. Kedua tangannya dia masukkan ke dalam kantong hoodie dan terlihat dia juga sudah memakai tutupan kepala hoodie dan headphone melingkar di leher. Dia juga terlihat menggunakan tas ransel dengan sebuah gantungan bikinan tangan, terlihat sedikit usang, tapi setelah mendengar cerita singkatnya membuatku merasa itu adalah buatan adiknya yang hilang.
Icarus mengajakku berjalan tanpa tau arah, tidak mengucapkan apa pun dan menunggu sampai langit sudah menggelap. Menyadari aku sudah terlalu jauh dengan rumah membuatku menyesal ikut dengan anak ini. Tapi meski aku ingin mengelak darinya, rasanya tetap saja tidak enak. Lagipula, aku masih belum meminta maaf atas kejadian hari ini! Bagaimana bisa aku memulai percakapan tentang itu sekarang? Di saat semua terasa begitu tegang, apa mungkin aku langsung berkata kalau aku merasa bersalah atas kejadian di depan kelas? Sungguh, kini aku terdengar sangat konyol.
“Anu, Icarus.”
“Jangan bicara, kita sedang diikut.” Perkataannya otomatis membuatku menatap ke sekitar, namun dengan cepat Icarus langsung menggenggam kepalaku. “Jangan dicari. Akan lebih baik bila kau tidak menemukan mereka. Bagiku ini sudah biasa, tapi jangan sampai mereka melihat wajahmu.”
Tanpa penjelasan, Icarus memasangkan topi yang ada di tasnya ke kepalaku dalam-dalam. Sampai rasanya untuk melihat wajah orang lain sangatlah susah. Dia menggandeng tanganku tanpa berkata apa-apa dan menariknya untuk menandakan ini saatnya kita berlari. Lari adalah satu-satunya olahraga yang bisa aku lakukan, marathon adalah keahlianku. Tapi jika aku harus lari dari sesuatu yang aku bahkan tidak tau wujudnya, bukannya menjadi tenang justru gerakanku akan melambat. Apa yang sebenarnya sedang kita lakukan?! Seberapa seramnya musuh itu hingga kita harus berlari begini? Dan mengapa juga aku menuruti semua perkataan Icarus seperti itu bukan apa-apa?
“Jangan sampai kau berjalan di belakangku.” Icarus mengeluarkan ponselnya dan tidak menatap ke arahku sama sekali, benar-benar menunjukkan bahwa kami tidak sedekat itu. “Deo, change of plan. Rasanya ada yang mengikutiku.”
Meski aku berdiri cukup jauh, aku dapat mendengar suara Deo yang berteriak keras. “Again?! Apa kau masih dengan gadis itu? Cepat kau pergi dari sana!”
“Aku tau dan aku sedang mengusahakannya. Kau tau di mana lokasiku sekarang, kan? Untuk memastikan kalau ada sesuatu yang terjadi.” Aku tidak lagi bisa mendengar ucapan Deo tapi anggukkan dari Icarus seperti ingin menandakan kalau dia mengerti dengan yang diucapkan Deo. “Aku harus mematikannya sekarang, orang itu di depanku.”
Ucapan Icarus membuatku menatap ke arah depan, memang benar tiga laki-laki gemuk terlihat sedang berdiri di depan kami. Cahaya lampu yang ada di depan kami membuat bayangan mereka terlihat lebih besar. Apa hanya aku saja yang melihat mereka begitu menyeramkan? Atau memang dasarnya Icarus yang tidak penakut? Apa pun itu, aku masih tidak bisa mengerti dengan kondisi yang ada di hadapan kami. Helaan napas berhasil lolos dari bibir Icarus, tatapannya berubah dengan cepat ketika dia menyimpan ponselnya, aku menyadari kalau dia masih terhubung dengan Deo. Ucapannya yang berkata akan mematikannya hanya kebohongan belaka.
“Kalian tidak ada bosannya mengejarku?”
“Yang kami kejar bukan kau, berandal!” Istilah itu lagi-lagi berhasil membuat Icarus mendengus. Siapa yang suka disebut berandalan? “Kau hanya pintar bertarung dan kabur. Kami mau gadis yang ada di sampingmu. Berikan dia baik-baik dan tidak akan ada yang terluka, bahkan dia.”
“I-Icarus, apa maksudnya?”
“Jangan didengarkan. Fokus saja padaku, di mana pun kau berdiri tidak akan aman, tapi menempellah padaku terus.” Aku menganggukkan kepala setengah hati. Bila ini satu-satunya jalan untukku bisa selamat, biarlah jadi seperti itu. Meski aku terlihat seperti pengecut! Belum orang-orang di hadapan kami bisa berlari mendekat, mereka sudah terjatuh ke tanah seperti ada sesuatu yang berat menimpa.
“Sialan! Trik ini lagi!”
“Icarus, apa yang kau lakukan?!”
“Percayalah padaku, ini hanya gravitasi. Pada hitungan ketiga, pegangan yang erat pada tubuhku. Deo akan menyelamatkan kita.”
“Deo akan apa?!” Teriakanku sepertinya masih tidak sekeras yang aku kira ketika angin besar mulai menerpa kami semua.
“Satu ... dua ... tiga, sekarang!” Tanpa basa-basi, aku langsung menggenggam erat tubuh Icarus yang terasa begitu kekar.
“Ini gila!” teriakku bersamaan dengan badanku yang terhempas ke langit bersamaan dengannya.
🧬💉🧬
(11/09/2021)
Chapter dua sudah keluar! Ada yang bisa nebak Icarus punya kekuatan apa aja? 👀
Gimana nih sama chapter yang satu ini? Ada yang sering relate sama Aurora?
Jangan lupa tinggalkan vomments kalian! Follow author, masukkan ke reading list kalian~
See you next update!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro